and Post-Traditional Wayang in Java Today,” di The Routledge Companion to Puppetry and
Material Performance, disunting oleh Dassia Posner, John Bell and Claudia Orenstein (London:
Routledge, 2014). Terima kasih atas izin dari penerbit dan penyunting.
1
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
2
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
3
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
4
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
5
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
Kebudayaan datang secara reguler untuk sekali pertunjukan. Salah satu cara
menariki uang dari para penampil. Setelah Ki Surwedi melaksanakannya adalah
turunnya Soeharto, peraturan-peraturan dengan membangun ikatan-ikatan
daerah Indramayu ini dihapuskan, dan sosial dengan para pendukungnya.
tindak korupsi ‘penilik kebudayaan’ Ia mendorong pelaksanaan arisan di
tadi ditekan. Lebih-lebih, dalang-dalang kalangan pengikutnya agar mereka
serta penampil lain pun menyadari dapat memesan pementasannya
bahwa pendanaan drama ritual tahunan secara berkala. Ia datang be berapa
desa-desa tersebut dapat diajukan dari jam sebelum tiap pertunjukan untuk
subsidi pemerintah dan oleh karenanya menemui pendukungnya di perkebunan
mulai bekerja sama dengan patron- sebelum acara, lantas minta dipijat, alih-
patron khusus untuk menulis aplikasi- alih sekadar hadir untuk tampil atau
aplikasi permohonan pendanaan. Subsidi beramah-tamah dengan para elit di rumah
pendanaan ini rupanya sudah ada sejak pihak penyelenggara. Ia minum dengan
masa pemerintahan Soeharto namun pendukung serta teman-temannya, dan
tertutup bagi para seniman maupun membuka rumah serta sanggarnyakepada
komunitas-komunitas yang mendanai khalayak umum untuk bermain gamelan.
mereka. Kita dapat mencermati bahwa Dengan menerjemahkan hubungan
konteks-konteks dari acara-acara ini klien-patron Ki Surwedi ke bahasa
selalu bergeser, walau bentuk dramatis manajemen seni, Christianto memainkan
dan makna ritual dari drama ritual telah peranan penting dalam permakelaran
bertahan kurang lebih secara konstan. tradisi. Dalam rekonfigurasi kontemporer
Saya menghabiskan satu atas tradisi, seseorang dapat melihat
akhir pekan panjang di tahun 2009 konteks pertunjukan tak lagi dibatasi
untuk mengunjungi lapangan studi pada tataran lokal namun lebih-lebih
folkloris Wisma Nugraha Christianto pada tataran nasional atau bahkan
dan mendiskusikan risetnya mengenai internasional. Para penampil dan
wayang kulit Jawa Timur, yang menyoroti komunitas mereka menyadari berbagai
manajemen seni Ki Surwedi, salah satu model manajemen pertunjukan dan
dalang yang paling digemari di provinsi mampu menghibridisasinya agar
ini. Riset Christianto menunjukkan sesuai dengan keadaan-keadaan yang
bahwa popularitas Ki Surwedi dengan melingkupi acara-acara tersebut.
sponsor lokal terus bertahan oleh
karena fleksibilitas manajemen dan Tradisi dalam Pertunjukan: Kritik
familiaritasnya dengan patron. Ki Surwedi Politis
mempertahankan komunitas kuat dengan Rezim militer Orde Baru mengatur
membentuk jaringan pengikut serta perilaku penerimaan politis yang pasif
pendukung, yang mampu memesannya dalam wayang. Tak banyak dalang di
untuk pentas sebanyak lebih dari 100 kali era Soeharto yang memiliki kekuasaan
setahun dengan harga lima juta rupiah cukup besar untuk mengartikulasikan visi
6
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
politis ataupun menantang ketidakadilan. Selain itu, pada tahun 2009, saya
Sebaliknya, dalang justru dipekerjakan berhubungan kembali dengan Purjadi,
sebagai ‘juru bicara’ yang membeokan asisten serta informan utama saya selama
berbagai peraturan pemerintah mengenai riset doktoral. Ketika saya pertama kali
tipe benih padi anjuran pemerintah, KB, bekerja dengannya selama tahun 1994
dan ideologi nasional Pancasila. Pada hingga 1995, Purjadi merupakan sarjana
masa awal Reformasi, kebanyakan dalang baru dari Institut Agama Islam Negeri
masih enggan bersuara, takut akan tindak Syekh Nurjati sekaligus menjadi pengikut
balik walaupun ikrar untuk kebebasan seorang khatib Muhammadiyah. Walau
berpendapat sudah dicanangkan. Purjadi tak berasal dari keluarga dalang, ia
Saya melihat tanda-tanda di tahun memiliki suara vokal yang menakjubkan
2009 yang menunjukkan bahwa perilaku (terus dilatih lewat kegiatannya menyanyi
politis di kalangan dalang mulai bergeser di rombongan bujanggaan setempat)
dan kritik-kritik politis serta religius dan bakat bawaan untuk mengimitasi
yang tadinya tak terpikirkan di bawah vokal-vokal lain2. Purjadi berani main
rezim Soeharto mulai diintegrasikan drama ritual, seperti Murwakala, tanpa
ke dalam pertunjukan. Dalang-dalang sesaji karena membantah keberadaan
terpelajar yang membahas wacana arwah dan menyesuaikan cerita Semar
mengenai hak asasi manusia serta Munggah Haji – konon diciptakan sebagai
dialog antar-kepercayaan mulai kritik atas kaum skripturalis Islam oleh
banyak mengisi perestorasian wayang dalang sayap-kiri Abyor – menjadi lakon
sebagai ruang dialog istimewa. Saya untuk dakwah bagi umat Islam untuk
mengamati dalang Yogyakarta, Ki Seno menerangkan peraturan-peraturan serta
Nugroho, menafsirkan lakon kanonis prasyarat menjadi haji yang mabrur.3
Anoman Obong pada bulan Mei 2009 Saya mencermati di tahun
sebagai potret dari sifat otoritarian di 2009, bahwa setelah bertahun-tahun
sebuah pertunjukan di Balai Sasono berkegiatan di komunitas dalang serta
Hinggil di Keraton Yogyakarta, serta pendukungnya, Purjadi menjadi semakin
menginterpretasi ulang lakon Semar terbuka pada nilai-nilai toleransi
Mbangun Kahyangan sebagai sebuah beragama. Sebagai contoh, ia kini
kritik atas opresi pemerintahan dan memberi para penyokong dana pilihan
ketidaksamarataan ekonomis pada satu untuk mendanai drama ritual Murwakala
pertunjukan yang disponsori kejaksaan dengan persembahan seturut adat
tinggi pada di bulan Februari 2009. Mas istiadat. Purjadi juga terlibat dalam politik
Seno baru saja bergabung di website setempat, dan banyak pertunjukan yang
media sosial Facebook, dan kami sering ia ciptakan, seperti Cungkring Nyaleg,
berkomunikasi melalui fitur chat di bertema politis, berisi debat-debat panas
website ini mengenai pertunjukan- antara tokoh dengan ideologi berlainan.
pertunjukan serta kegiatan-kegiatannya Salah satu pertunjukan Purjadi
yang lain. yang paling menarik di tahun 2009
7
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
8
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
9
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
dan Bali; dalang Indonesia mengajar, dari yang disebut Ward Keeler sebagai
mempelajari, dan pentas di luar negeri; “dissembled authority”, atau “otoritas
dan seniman wayang Indonesia mulai tersamar” (Keeler, 1987: 268), menjadi
menjalin kontak langsung dengan ‘seniman berkarisma’, sebaliknya,
kolega-kolega baru di Asia Tenggara hanya memakan waktu kurang dari dua
yang juga mempraktekkan bentuk- generasi.
bentuk boneka serupa dalam festival Salah satu figur penting dalam
maupun proyek pertukaran budaya wayang pasca-tradisional adalah
setelah dibentuknya ASEAN pada tahun Almarhum seniman Yogyakarta, Sigit
1967 (Cohen, 2007). Komunikasi serta Sukasman, yang mengambil pendekatan
pertukaran antarbudaya memungkinkan eksperimental untuk membuat wayang,
kesempatan-kesempatan dan sarana setelah terekspos seni modern di
untuk penafsiran ulang dari wayang. New York dan Belanda dari tahun
Dalang Indonesia menggubah tradisi 1964-1965 (Susilo, 2002). Sukasman
(Susilo, 2002: 185) dan mengembangkan mengolah wayangnya dengan kulit yang
varian-varian baru wayang dengan transparan dan ikonografi yang ganjil
bentuk-bentuk wayang, teknik, serta serta idiosinkratik. Produksi-produksi
teks baru. Studi-studi sosiologis tentang eksperimentalnya yang bernama wayang
sejarah seni Eropa menunjukkan bahwa ukur menampilkan dalang di depan
konsep seniman yang dikenali namanya maupun di belakang layar berkolaborasi
(the onymous artist) muncul berabad- dengan penari yang mengenakan kostum
abad setelah masa serikat buruh seni dan dari wayang orang – sebuah kombinasi
scriptoria monastik (Martindale, 1972). tanpa preseden lokal. Studio Sukasman
Proses transformasi dalang Indonesia di Yogyakarta, hingga kematiannya di
10
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
tahun 2009, menjadi titik temu reguler dengan motif tie-dye dengan rok mini.
bagi orang Indonesia maupun pendatang Wayang ketiga memamerkan rambut
yang tertarik untuk mengkaji filsafat Mohawk-nya yang berwarna merah muda
serta estetika wayang dengan kritis. Ia dan hijau. Wayang keempat mengenakan
memperoleh pendapatan dari penjualan seragam tempur dengan motif batik
wayang-wayang buatannya kepada dan memamerkan eyeliner serta lipstick
kolektor-kolektor dan mengeluhkan tebal. Sebuah wayang yang menyerupai
betapa pengrajin wayang lainnya di kayon 4 mencatat nama-nama pihak-
Jawa menjiplak desain-desainnya pihak yang terlibat dalam pementasan
dengan sembarangan tanpa atribusi. tersebut, dengan sebutan-sebutan lucu
Sikap eksperimental Sukasman menjadi (contoh: “Saptlik Rahardjoslaq” untuk
semacam kandang untuk keberagaman Sapto Rahardjo) dan slogan-slogan
permainan dalang Yogyakarta atas berbahasa Inggris maupun Indonesia
kaidah-kaidah wayang. Berbagai kreasi (seperti “Flowers of the War”. Nama dari
avant-garde serupa muncul di Yogyakarta produksi ini adalah Wayang Kreasul,
dan sekitarnya pada tahun 1970an dan konon sebagai singkatan dari ‘kreasi’
1980an. baru tanpa melupakan ‘asal usul’.
Kebanyakan dari eksperimen- Beberapa ide yang muncul dalam
eksperimen dengan sebutan wayang Wayang Legenda, yang dipentaskan
kontemporer bersifat sementara – “akan tahun 1988 di Yogyakarta oleh pelukis
populer tetapi tidak berkelanjutan” dan seniman instalasi Heri Dono, mulai
seturut kata-kata seorang kritikus dikembangkan dalam instalasi Dono
wayang (Mulyono, 1982: 283). Salah yang selanjutnya serta pertunjukan
satu hasil representative dari kategori berbasis komunitas di Australia, Kanada,
ini adalah set wayang peninggalan suatu Selandia Baru, dan Inggris Raya (Behrend,
pertunjukan di tahun 1975 ciptaan 1999). Pencitraan serta ide-ide mengenai
komposer gamelan kontemporer Sapto wayang terus mempengaruhi karya Dono
Rahardjo, yang kini dipamerkan secara dalam cara-cara yang kompleks. Namun
permanen di Museum Wayang Kekayon walaupun Dono cukup terkenal sebagai
Yogyakarta. Wayang-wayang ini, terbuat seniman kontemporer di Indonesia,
dari kertas karton dan dilukis dengan karyanya sebagai dalang belum banyak
tinta fluorescent (diterangi sinar ultraviolet disorot di negara asalnya ini.
selama pertunjukan), menggambarkan Selain ditandai oleh pemaparan
betapa hidupnya kultur anak muda di dialog yang spontan sehingga tak mungkin
kota pelajar ini. Satu wayang berbajukan ada dua pertunjukan yang sama, wayang
kaos lengan buntung dan sarung batik tradisional juga ditandai oleh kualitas
tengah mendengarkan musik dengan estetik rapinya, dengan proses kreasi
headphone yang menancap pada yang dapat dipetakan dengan jelas.
pemain audio portabel. Wayang kedua Dalam bentuk idealnya, wayang sesuai
mengenakan kaos lengan buntung ketat dengan perkataan Theodor Adorno
11
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
12
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
13
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
14
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
15
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
wayang baru oleh Sukasman) dapat saja I Wayan Wija (2001), Mahabharata Jazz
didaur ulang oleh praktisi tradisional. and Wayang dengan ansambel jazz
Wayang tradisional, seperti tradisi Luluk Purwanto dan the Helsdingen
lainnya, merupakan “konsensus antara Trio berkolaborasi dengan dalang Jawa
generasi yang hidup dengan generasi Nanang HP (2003), Semar’s Journey
yang telah mati” (Shils, 1981: 168). dengan dalang Jawa Seno Nugroho (2007),
Wayang pasca-tradisional, sebagai dan Cebolang Minggat dengan dalang
kontrasnya, seperti seni kontemporer, Jawa Slamet Gundono (2009). Generasi-
“cenderung menghapuskan kepemilikan generasi terdahulu dalam teater Eropa
atas bentuk, atau dalam kasus lain mengapropriasi wayang demi eksotisme.
untuk menggoncangkan yurisprudensi Hari ini, kolaborasi internasional dengan
yang lama” (Bourriaud, 2001: 35). seniman Indonesia “mengharuskan kami
Sementara kaum tradisionalis masih [orang asing] untuk memahami secara
membawa asosiasi-asosiasi nasional reflektif bahwa ‘konsep-konsep’ kami
wayang Pepadi dan Senawangi yang hanya satu set lain dari skema yang (atas
berupaya memahatkan gaya-gaya wayang kebetulan Barat semata) mendapat hak
regional ke dalam kompleksitas wayang istimewa” (Lash, 1994:156).
nasional Indonesia, sebagai sikap defensif
untuk menopang integritas kultural Catatan
teritorial Indonesia terhadap serbuan 1
Saya telah mempelajari wayang sejak
dari Malaysia, wayang pasca-tradisional tahun 1988, ketika saya pertama kali
dengan tegas membuka tradisi pada datang ke Indonesia sebagai mahasiswa
arus global. Wayang pasca-tradisional Fulbright dan bersekolah di Jurusan
dengan demikian lebih epokalis ketimbang Pedalangan di sekolah tinggi paling
esensialis, dalam formulasi Geertz (1973); prestisius untuk seni pertunjukan
ia seringkali lebih memperhatikan media tradisional, yakni Institut Seni
internasional daripada kepercayaan lokal. Indonesia Surakarta (ISI Surakarta).
Dengan demikian, ia menawarkan pijakan Semenjak itu, studi saya mencakup
ideal untuk kolaborasi-kolaborasi antara analisis etnografis dan historis, dan
seniman Indonesia dengan luar Indonesia, juga praktis: saya mempelajari tata cara
terbukti dalam proyek-proyek internasional melakukan pementasan wayang, suatu
seperti The MahabharANTa oleh Mabou aktivitas yang terbuka bagi orang asing,
Mines berkolaborasi dengan dalang Bali I bahkan dihimbau secara aktif, sejak
Wayan Wija (1992), Visible Religion dengan tahun 1960an. Kebanyakan materi
dalang Jawa Sri Djoko Rahardjo dan dalam tulisan ini terkumpul dalam dua
dalang Bali I Made Sidia (1994), The Theft kunjungan ke Indonesia: lima bulan
of Sita antara dua dalang Peter Wilson sebagai visiting scholar di Universitas
dan I Made Sidia di bawah pengarahan Sanata Dharma di Yogyakarta pada
Nigel Jamieson (1999), ShadowBang tahun 2009 dan kunjungan dua minggu
antara komposer Evan Ziporyn dengan ke Jawa di bulan Januari 2011.
16
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional
2
Bujanggaan merupakan tradisi Cohen, M. I. “An Inheritance from
membaca naskah bersama yang the Friends of God: The Southern
dipimpin oleh seorang ‘dalang bujangga’ Shadow Puppet Theater of West Java,
dan diadakan pada saat itu ritus seperti Indonesia”. Disertasi Ph.D., Yale
tedak siti ataupun secara rutin di University. 1997.
tempat sakral yang di Cirebon disebut —— “Contemporary Wayang in Global
ki buyutan Contexts.” Asian Theatre Journal 24
3
Untuk diskusi yang lebih mendetail (2007): 338–369.
mengenai interpretasi Purjadi atas Day, T. “Performances of East Javanese
lakon-lakon ini, lihat Cohen (1997: 263- Wayang and the Possibility of ‘Internal
332). Otherness’ in Contemporary Java.” di
4
Kayon, atau gunungan, merupakan Performances East/West. Disunting oleh:
wayang pohon kehidupan yang T. Day dan P. Dowsey-Magog. Sydney,
digunakan untuk menandai awalan Australia: Centre for Performance
serta akhiran adegan dan selain itu Studies, University of Sydney. 1996.
dapat pula dipakai sebagai properti De Man, P. “Literary History and Literary
lainnya. Modernity.” Daedalus 99 (1970):
5
Untuk mengetahui lebih lanjut 384–404.
mengenai “proyek wayang” Eko Elam, H. J. “Change Clothes and Go: A
Nugroho, lihat website-nya <http:// Postscript to Postblackness.” Di Black
ekonugroho.or.id/> dan channel Cultural Traffic: Crossroads in Global
YouTube <http://www.youtube.com/ Performance and Popular Culture,
user/TheEkonugroho> (diakses pada Disunting oleh: H. J. Elam, Jr. and
15 Agustus 2013). K. Jackson. Ann Arbor, MI: The
University of Michigan Press. 2005.
DAFTAR PUSTAKA Geertz, C. “After the Revolution: The Fate
Adorno, T. Aesthetic Theory. Disunting of Nationalism in the New States.” Di
oleh: G. Adorno and R. Tiedeman. The Interpretation of Cultures: Selected
Disadur oleh: R. Hullot-Kentor. Essays. New York, NY: Basic Books.
London: Continuum. 1970 [2004]. 1973.
Behrend, T. “The Millennial Esc(h)atology —— “‘Popular Art’ and the Javanese
of Heri Dono: ‘Semar Farts’ First in Tradition.” Indonesia 50 (1990):
Auckland, New Zealand.” Indonesia 77–94.
and the Malay World 27 (1999): Giddens, A. “Living in a Post-Traditional
208–224. Society.” Di Reflexive Modernization:
Bourriaud, N. Postproduction: Culture as Politics, Tradition and Aesthetics in the
Screenplay: How Art Reprograms the Modern Social Order, Disunting oleh:
World. Disadur oleh: J. Herman. New U. Beck, A. Giddens, dan S. Lash.
York, NY: Lukas and Sternberg. 2001 Stanford, CA: Stanford University
[2002]. Press. 1994.
17
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18
18