Anda di halaman 1dari 18

Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

VOLUME 01, No. 01, November 2014: 1-18

WAYANG KULIT TRADISIONAL DAN PASCA-TRADISIONAL


DI JAWA MASA KINI1
Matthew Isaac Cohen
Jurusan Teater & Drama
Royal Holloway, University of London
matthew.cohen@rhul.ac.uk

Klaim-klaim otentisitas dan seperti tógalugómbeaṭṭa di India (Singh,


antikuitas selalu dikaitkan pada teater 1999), nyatanya, selalu diperbarui
boneka di seluruh dunia, terutama dan dirubah dengan cara-cara yang
oleh pihak-pihak yang mengupayakan kadang halus, kadang dramatis. Inovasi
penaungan dari lembaga-lembaga bukanlah oposisi dari tradisi; perubahan
heritage, pemasukan finansial dari diperlukan untuk menjaga tradisi agar
industri pariwisata, atau legitimasi, tetap vital dan bermakna sebagaimana
pada saat menanggapi audiens yang ditekankan oleh sosiolog Edward Shils
semakin berkurang. Walau demikian, (1981) bertahun-tahun lalu.
semua yang kita ketahui tentang teater Bagaimanapun, selama
boneka mengindikasikan bahwa dalam abad terakhir ini muncul sejumlah
kenyataannya, tradisi tak pernah statis perkembangan atas artikulasi-
melainkan secara terus menerus perlu artikulasi baru dari tradisi boneka –
disesuaikan untuk audiens kontemporer bukan mencakup inovasi dalam tradisi
dengan konteks pertunjukan yang melainkan keberangkatan strategis
selalu berubah pula. Bahkan bentuk- darinya. Seniman boneka seperti Alfred
bentuk teater boneka yang sekilas Jarry dan pengikutnya telah menghisap
tampak stagnan ataupun ‘melempem’, secara mendalam wujud-wujud sosial
sebagaimana pertunjukan marionette tradisi, struktur dramaturgis, teknik, dan
yang ditampilkan pada hari-hari libur teknologi tanpa mengacuhkan peraturan-
di Amerika, perkumpulan Bunraku peraturan dan pantangan-pantangannya.
yang disubsidi oleh negeri di Jepang, Dengan mempergunakan pemikiran
ataupun teater bayangan yang selalu sosiolog Inggris Anthony Giddens (1994),
dipentaskan berkaitan dengan ritual saya menyebut teater boneka macam

Dialihbahasakan oleh Leilani Hermiasih (email:leilanihs@gmail.com) dari artikel “Traditional


1

and Post-Traditional Wayang in Java Today,” di The Routledge Companion to Puppetry and
Material Performance, disunting oleh Dassia Posner, John Bell and Claudia Orenstein (London:
Routledge, 2014). Terima kasih atas izin dari penerbit dan penyunting.

1
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

ini sebagai pasca-tradisional. Produksi Faktor-faktor endogen inilah


biasanya dioperasikan di luar waktu yang menjadi sebab utama munculnya
dan ruang yang secara tradisional perubahan dalam wayang tradisional
disarankan, cenderung sangat reflektif, di Indonesia dan juga perkembangan
dan kebanyakan melék politik, bahkan wayang pasca-tradisional. Wayang kulit
terkadang bersifat subversif. Praktisi di Pulau Jawa, fokus utama tulisan ini,
pasca-tradisional biasanya dikritik dari berbagai sisi, sangat konservatif,
oleh kaum konservatif tradisionalis dalam upayanya mereproduksi mitos-
atas upayanya “menghancurkan” mitos Jawa kuno dan menanamkan
tradisi, walau banyak diantaranya, Ramayana serta Mahabharata versi
sesungguhnya, lebih mementingkan Jawa dalam konteks-konteks ritual.
transmisinya selagi melawan ideologi- Lakon wayang tradisional diimprovisasi
ideologi represif dari “tradisionalisme” secara oral dalam pertunjukan dan
(Pelikan, 1984). oleh karena itu selalu berkaitan dengan
Beberapa pementasan teater konteks, namun kita bisa menyaksikan
boneka pasca-tradisional berupa “tradisionalitas substantif” tingkat tinggi,
kolaborasi antara agen-agen dari luar didefinisikan oleh Shils sebagai “apresiasi
tradisi – seperti Tall Horse, sebuah atas pencapaian serta kearifan dari
kolaborasi antara Handspring Puppet masa silam dan atas institusi-institusi
Company dari Afrika Selatan dengan yang dibenihi oleh tradisi, dan juga atas
Sogolon Puppet Troupe dari Mali keinginan untuk mempertimbangkan
(Hutchison, 2010). Selain itu, pementasan pola-pola yang diwariskan dari masa
teater boneka pasca-tradisional dapat pula lampau sebagai panduan-panduan
berasal dari praktisi non-herediter dalam hidup yang syah” (Shils, 1981: 21).
upayanya memasuki ranah (teater) yang Wayang kulit yang serupa dengan yang
telah mapan dan mereproduksinya sesuai dikoleksi oleh T. S. Raffles lebih dari
dengan nilai-nilai non-tradisional, seperti 200 tahun lalu dan kini ditempatkan di
dalam kasus Sovanna Phum Theatre dari British Museum, dapat dengan mudah
Kamboja, yang mengkombinasikan sirkus digelarkan dalam pertunjukan Jawa
dengan teater bayangan sbaekthom. hari ini. Wayang dinilai sebagai pusaka;
Ada juga beberapa contoh dari tradisi sebuah koleksi wayang untuk satu
yang bertransformasi, oleh karena pertunjukan umumnya dikumpulkan
yang disebut Shils sebagai “faktor dari generasi ke generasi, bukan hasil
endogen”. Kini pembawa-pembawa pekerjaan satu tukang semata.
tradisi mengeksplorasikan kemungkinan- Perkembangan-perkembangan
kemungkinan baru dalam bentuk dalam komunikasi serta transportasi dan
tersebut, menolak secara radikal aturan- publikasi teks wayang yang dimulai dari
aturan tertentu, dan mencampurkan pertengahan abad ke-19 menyebabkan
bentuk serta nilai kultural asing dengan munculnya pengaburan atas gaya-
tradisi (Shils, 1981: 213-239). gaya regional wayang dan juga reduksi

2
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

atas spesifisitas kultural lokal. Sarjana Pengkonstruksian “Jawa” yang


Belanda mengistimewakan penafsiran monumental dan kraton-sentris pada
literasi oleh elit-elit dari Surakarta, sebagai masa Orde Baru, yang dikritik oleh
kota kraton, dan mendukung pelatihan antropolog Amerika John Pemberton
wayang dan buku teks yang terkait (Sears, (1994), telah ditantang oleh gerakan-
1996). Teks-teks yang berasal dari Kraton gerakan dinamis dalam kultur Jawa sejak
Surakarta dianggap sebagai sumber turunnya Soeharto pada 1998. Dalam
otoriter oleh seniman wayang di pulau demonstrasi-demonstrasi bergaya karnival
Jawa. Dominasi wayang kulit Surakarta menuju penggulingan rezim Soeharto,
selanjutnya tersebar luas pada abad juga protes-protes kelanjutannya yang
ke-20 dalam media rekaman serta radio menentang regulasi-regulasi Islami sharia
(dan nantinya televisi serta media digital). berkaitan dengan ‘kesopansantunan’,
Organisasi wayang pemerintahan baru, seniman dan aktivis mempergunakan
Pepadi dan Senawangi, yang terbentuk bentuk-bentuk lokal dalam pertunjukan
di Jakarta pada masa Orde Baru dan kultural untuk menentang otoritas
dilindungi oleh kroni-kroni Presiden hegemonis. Seniman hari ini berjuang
Soeharto, mempromosikan wayang untuk membentuk komunitas-
Surakarta sebagai bentuk esensial tradisi komunitas dengan audiens serta patron
Jawa dalam festival, publikasi, dan lokal, dengan membangkitkan serta
representasi publik lainnya. Wayang menginterpretasikan kembali bentuk-
menjadi “carriage-trade item” atau barang bentuk kultural kuno dan residual dari
deluks (Geertz, 1990:52) di Jawa Timur wayang serta kesenian lainnya. Bentuk-
pada tahun 1980an, dan dalang-dalang bentuk wayang yang terancam punah,
lokal harus mengadopsi aspek-aspek seperti wayang beber, tiba-tiba mendapat
gaya Surakarta agar bisa terus bersaing perhatian lebih yang tak hanya mencakup
(Day, 1996). Dalang-dalang di Jawa khalayak kolektor barang antik. Bentuk-
Tengah dan Jawa Timur lantas membeli bentuk kesenian ini merupakan sumber
wayang-wayang gaya Surakarta yang kultural yang vital untuk “resistensi
berwarna-warni dan berbobot ringan, terhadap kekuatan yang sudah melekat”
memungkinkan gaya permainan yang (Nancy, 1986). Kunjungan-kunjungan
dipopulerkan pada tahun 1980an oleh saya ke Jawa pada tahun 2009 dan
dalang gaya Solo Ki Manteb Soedharsono, 2011 menegaskan bahwa wayang masih
lantas menjual wayang-wayang tua merupakan gudang untuk nilai-nilai
mereka kepada penjual-penjual barang tradisional, dan juga merupakan bentuk
antik, walau banyak diantaranya telah kesenian yang dinamis, dalam respon-
lama ijadikan bibit atau model untuk responnya atas arus budaya populer,
membuat wayang. Gaya-gaya regional lain perubahan politik dan religius, serta isu-
dan bentuk-bentuk wayang minoritas, isu terkini.1 Tak “sekadar” menjadi relik
seperti wayang krucil dan wayang gedhog, historis, wayang selalu diciptakan ulang
mulai terancam punah. dalam berbagai sektor dan melibatkan

3
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

audiens baru melalui pemakaian humor Gundono, dalang pasca-tradisional


aktual, komentar-komentar sosial dan yang barangkali paling ternama di Jawa
politis, mode-mode baru teknologi, dan sampai kematian mendadaknya tahun
refleksi filosofis. 2014 ini, menyampaikan pada saya kalau
Di sini, saya akan mendiskusikan sesungguhnya tidak ada perbedaan
dua tipe atau arus luas dari pertunjukan fundamental antara pertunjukan wayang
wayang Jawa. Tipe pertama saya sebut kulit sepanjang-malam, dengan iringan
“tradisional”; mengacu pada pertunjukan- gamelan yang terkadang ia pentaskan,
pertunjukan berbahasa Jawa dengan dengan kolaborasi kontemporer
iringan standar gamelan, biasanya dan intermedialnya. Baik wayang
berdurasi sepanjang malam, dipentaskan kontemporer maupun tradisional
dalam konteks-konteks ritual, dan menawarkan Ki Slamet rumah-rumah
terbuka bagi khalayak umum secara yang dapat ia tinggali, atau, sebagaimana
gratis. Tipe kedua yakni wayang “pasca- disampaikannya, rumah-rumah di mana
tradisional”, terkadang di Indonesia ia merasa enjoy (bahasa Inggris dalam
dirujuk sebagai wayang kontemporer pernyataan asli). Komentar kurator seni
(Cohen, 2007; Mulyono, 1982: 281- Nicolas Bourriaud atas yang ia sebut
289), yang dipentaskan di luar konteks- seni paska-produksi (postproduction)
konteks ritual, dalam gedung-gedung cukup jitu. “Prefix ‘pasca’ tak menandai
teater, festival-festival, atau galeri- negasi ataupun kelebihan; ia mengacu
galeri seni. Wayang pasca-tradisional pada zona aktivitas. Proses-proses
mengartikulasikan relasi-relasi baru dalam pertanyaan ini tidak mencakup
antara penampil (performer) dengan … penyesalan atas fakta bahwa semua
komunitas-komunitas mereka, serta ‘telah terjadi’, melainkan penciptaan
mode-mode pengikutsertaan di dalam protokol-protokol penggunaan untuk
serta lintas dunia seni kontemporer. semua mode-mode yang masih ada
Perlu juga ditekankan bahwa untuk representasi serta semua struktur-
kedua arus wayang ini bukan merupakan struktur formal. Hal ini merupakan
kategori-kategori yang posisinya saling persoalan perampasan semua kode-kode
berseberangan. Seniman wayang pasca- kebudayaan, bentuk-bentuk kehidupan
tradisional biasanya sangat terampil sehari-hari, hasil-hasil dari patrimoni
dalam pementasan tradisional dan global, dan upaya untuk membuat mereka
juga berkenan mementaskan wayang semua berfungsi. Untuk mempelajari
tradisional sesuai pesanan. Jan Mrázek bagaimana mempergunakan bentuk-
(2005) dalam monograf Phenomenology bentuk ini … yang terpenting adalah
of a Puppet Theatre mengibaratkan untuk mengetahui bagaimana untuk
wayang sebagai sebuah rumah yang menjadikannya milik seseorang, untuk
sedang dibangun melalui pertunjukan dapat menghuninya” (Bourriaud, 2011:
untuk ditempati oleh penampil dan 17-18). Shils mengembangkan metafor
penonton pada waktu tertentu. Slamet ini lebih lanjut dalam pembahasannya

4
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

mengenai faktor endogen dalam tradisi- 2009 di sebuah unjungan di daerah


tradisi yang berubah: “Akuisisi dari pelosok Indramayu. Desa tempat acara ini
masa lampau menghiasi rumah mereka diselenggarakan baru saja mengangkat
namun jarang sekali itu menjadi rumah seorang Muslim fundamentalis sebagai
yang dapat mereka huni dengan nyaman. kepala desanya – mungkin berkaitan
Mereka akan mencoba membentuk- dengan politik uang daripada popularitas
bentuknya sesuai dengan keinginan sesungguhnya. Pada perayaannya, tari
mereka sendiri; terkadang mereka topeng dipentaskan pada siang hari,
membuang atau menggantikan beberapa sementara wayang kulit menjadi hiburan
perabotan yang diwariskan” (Shils, 1981: untuk malam hari. Kepala desa tersebut
213). menarik dana untuk perayaan pertanian
seluruh desa oleh karena pandangan
Tradisi dalam Konteks: Drama Ritual religius modernnya, yang membuat
dan Komunitas banyak pihak merasa tak senang.
Pertunjukan wayang yang Walau demikian, masyarakat
disponsori para masyarakat setempat, desa tetap menyelenggarakan acara
walau jarang di Jawa Tengah dan Jawa tersebut, didanai oleh masyarakat sendiri
Timur, masih sering diselenggarakan terlepas dari birokrasi desa, dengan
di Cirebon, Indramayu, dan daerah memintai sumbangan pintu-ke-pintu
sekitarnya seputar Jawa Barat. Saya atas kepercayaan bahwa arwah-arwah
menghadiri beberapa acara komunitas leluhur mereka akan memberi restu serta
di tahun 2009 dan mementaskan Mapag rezeki kepada keturunannya. Arwah yang
Sri di sejumlah desa. Pementasan ini menengahi dikatakan sebagai seorang
berkisah tentang asal mula padi, yang ningrat, dengan kecenderungan pada
diselenggarakan sebagai hiburan siang kesenian tradisional; sehingga membuang
hari di balai desa untuk merayakan adat istiadat ini jelas tak akan diizinkan.
penanaman pertama tahun tanam. Desa- Bahkan dalam konteks pertunjukan
desa yang mensponsori drama ritual paling tradisional ini telah muncul banyak
semacam ini, dengan sesaji dan doa, tanda perubahan – termasuk munculnya
umumnya digolongkan menganut unsur subsidi dari pemerintah lokal Indramayu.
‘tradisionalitas bersubstansi’ yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto,
Hanya saja, Indonesia sebagai negara yang pertunjukan wayang menjadi perahan
mayoritasnya Muslim; dan kehadiran pendapatan bagi pemerintahan lokal.
kaum Muslim fundamental terkadang Sebuah peraturan daerah di Indramayu
melawan adat istiadat semacam ini, yang mewajibkan pembayaran pajak yang
mereka anggap sebagai bekas-bekas besar dari penyelenggara wayang dan
kepercayaan dari masa lampau yang pertunjukan lain, dan di Cirebon,
politeistik (alias syirik). Saya menyaksikan Indramayu, serta daerah-daerah lain di
ketegangan antara fundamentalisme dan Jawa, para ‘penilik kebudayaan’ yang
tradisionalitas bersubstansi pada tahun diangkat oleh Departemen Pendidikan dan

5
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

Kebudayaan datang secara reguler untuk sekali pertunjukan. Salah satu cara
menariki uang dari para penampil. Setelah Ki Surwedi melaksanakannya adalah
turunnya Soeharto, peraturan-peraturan dengan membangun ikatan-ikatan
daerah Indramayu ini dihapuskan, dan sosial dengan para pendukungnya.
tindak korupsi ‘penilik kebudayaan’ Ia mendorong pelaksanaan arisan di
tadi ditekan. Lebih-lebih, dalang-dalang kalangan pengikutnya agar mereka
serta penampil lain pun menyadari dapat memesan pementasannya
bahwa pendanaan drama ritual tahunan secara berkala. Ia datang be berapa
desa-desa tersebut dapat diajukan dari jam sebelum tiap pertunjukan untuk
subsidi pemerintah dan oleh karenanya menemui pendukungnya di perkebunan
mulai bekerja sama dengan patron- sebelum acara, lantas minta dipijat, alih-
patron khusus untuk menulis aplikasi- alih sekadar hadir untuk tampil atau
aplikasi permohonan pendanaan. Subsidi beramah-tamah dengan para elit di rumah
pendanaan ini rupanya sudah ada sejak pihak penyelenggara. Ia minum dengan
masa pemerintahan Soeharto namun pendukung serta teman-temannya, dan
tertutup bagi para seniman maupun membuka rumah serta sanggarnyakepada
komunitas-komunitas yang mendanai khalayak umum untuk bermain gamelan.
mereka. Kita dapat mencermati bahwa Dengan menerjemahkan hubungan
konteks-konteks dari acara-acara ini klien-patron Ki Surwedi ke bahasa
selalu bergeser, walau bentuk dramatis manajemen seni, Christianto memainkan
dan makna ritual dari drama ritual telah peranan penting dalam permakelaran
bertahan kurang lebih secara konstan. tradisi. Dalam rekonfigurasi kontemporer
Saya menghabiskan satu atas tradisi, seseorang dapat melihat
akhir pekan panjang di tahun 2009 konteks pertunjukan tak lagi dibatasi
untuk mengunjungi lapangan studi pada tataran lokal namun lebih-lebih
folkloris Wisma Nugraha Christianto pada tataran nasional atau bahkan
dan mendiskusikan risetnya mengenai internasional. Para penampil dan
wayang kulit Jawa Timur, yang menyoroti komunitas mereka menyadari berbagai
manajemen seni Ki Surwedi, salah satu model manajemen pertunjukan dan
dalang yang paling digemari di provinsi mampu menghibridisasinya agar
ini. Riset Christianto menunjukkan sesuai dengan keadaan-keadaan yang
bahwa popularitas Ki Surwedi dengan melingkupi acara-acara tersebut.
sponsor lokal terus bertahan oleh
karena fleksibilitas manajemen dan Tradisi dalam Pertunjukan: Kritik
familiaritasnya dengan patron. Ki Surwedi Politis
mempertahankan komunitas kuat dengan Rezim militer Orde Baru mengatur
membentuk jaringan pengikut serta perilaku penerimaan politis yang pasif
pendukung, yang mampu memesannya dalam wayang. Tak banyak dalang di
untuk pentas sebanyak lebih dari 100 kali era Soeharto yang memiliki kekuasaan
setahun dengan harga lima juta rupiah cukup besar untuk mengartikulasikan visi

6
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

politis ataupun menantang ketidakadilan. Selain itu, pada tahun 2009, saya
Sebaliknya, dalang justru dipekerjakan berhubungan kembali dengan Purjadi,
sebagai ‘juru bicara’ yang membeokan asisten serta informan utama saya selama
berbagai peraturan pemerintah mengenai riset doktoral. Ketika saya pertama kali
tipe benih padi anjuran pemerintah, KB, bekerja dengannya selama tahun 1994
dan ideologi nasional Pancasila. Pada hingga 1995, Purjadi merupakan sarjana
masa awal Reformasi, kebanyakan dalang baru dari Institut Agama Islam Negeri
masih enggan bersuara, takut akan tindak Syekh Nurjati sekaligus menjadi pengikut
balik walaupun ikrar untuk kebebasan seorang khatib Muhammadiyah. Walau
berpendapat sudah dicanangkan. Purjadi tak berasal dari keluarga dalang, ia
Saya melihat tanda-tanda di tahun memiliki suara vokal yang menakjubkan
2009 yang menunjukkan bahwa perilaku (terus dilatih lewat kegiatannya menyanyi
politis di kalangan dalang mulai bergeser di rombongan bujanggaan setempat)
dan kritik-kritik politis serta religius dan bakat bawaan untuk mengimitasi
yang tadinya tak terpikirkan di bawah vokal-vokal lain2. Purjadi berani main
rezim Soeharto mulai diintegrasikan drama ritual, seperti Murwakala, tanpa
ke dalam pertunjukan. Dalang-dalang sesaji karena membantah keberadaan
terpelajar yang membahas wacana arwah dan menyesuaikan cerita Semar
mengenai hak asasi manusia serta Munggah Haji – konon diciptakan sebagai
dialog antar-kepercayaan mulai kritik atas kaum skripturalis Islam oleh
banyak mengisi perestorasian wayang dalang sayap-kiri Abyor – menjadi lakon
sebagai ruang dialog istimewa. Saya untuk dakwah bagi umat Islam untuk
mengamati dalang Yogyakarta, Ki Seno menerangkan peraturan-peraturan serta
Nugroho, menafsirkan lakon kanonis prasyarat menjadi haji yang mabrur.3
Anoman Obong pada bulan Mei 2009 Saya mencermati di tahun
sebagai potret dari sifat otoritarian di 2009, bahwa setelah bertahun-tahun
sebuah pertunjukan di Balai Sasono berkegiatan di komunitas dalang serta
Hinggil di Keraton Yogyakarta, serta pendukungnya, Purjadi menjadi semakin
menginterpretasi ulang lakon Semar terbuka pada nilai-nilai toleransi
Mbangun Kahyangan sebagai sebuah beragama. Sebagai contoh, ia kini
kritik atas opresi pemerintahan dan memberi para penyokong dana pilihan
ketidaksamarataan ekonomis pada satu untuk mendanai drama ritual Murwakala
pertunjukan yang disponsori kejaksaan dengan persembahan seturut adat
tinggi pada di bulan Februari 2009. Mas istiadat. Purjadi juga terlibat dalam politik
Seno baru saja bergabung di website setempat, dan banyak pertunjukan yang
media sosial Facebook, dan kami sering ia ciptakan, seperti Cungkring Nyaleg,
berkomunikasi melalui fitur chat di bertema politis, berisi debat-debat panas
website ini mengenai pertunjukan- antara tokoh dengan ideologi berlainan.
pertunjukan serta kegiatan-kegiatannya Salah satu pertunjukan Purjadi
yang lain. yang paling menarik di tahun 2009

7
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

bertajuk Kitab Sucieng Manusa, lagi- jika ia dapat mengalahkan kesatria


lagi berpijak pada karya Abyor, yang tersebut. Cungkring menghadapi sang
saya tonton pada 14-15 Maret 2009 di kesatria, yang menanyakan litab suci
desa Bodesari, Cirebon. Pertunjukan sejati. Cungkring menjawabnya dengan
ini mengisahkan seorang kesatria yang mengatakan bahwa pertanyaan ini tak
bangkit dari kematian untuk mencari jelas. Kita harus mengetahui apakah
jawaban atas pertanyaan yang telah kepercayaan religius yang dianut oleh
menghantuinya semasa hidupnya: manusia terlebih dulu. Untuk umat
apakah ada kitab suci, yang valid bagi Islam, kitab sucinya Qur’an. Untuk
seluruh umat manusia? Sang kesatria umat Kristiani, Injil. Untuk umat Hindu,
berjanji untuk membunuh siapapun yang Veda. Untuk umat Yahudi, Taurat. Sang
tak bisa menjawab pertanyaan ini. kesatria menyanggah. Teks untuk suatu
Dalam pencariannya, sang agama tak bisa dipahami kecuali kita
kesatria menyerang Suralaya Kedewatan, memahami bahasa yang digunakan
khayangan tempat tinggal Bathara Guru, untuk menulisnya. Sebagai contoh,
pemimpin dewa-dewa. Koalisi-koalisi untuk memahami makna Qur’an, kita
para dewa tak mampu menahannya. harus bisa membaca bahasa Arab.
Lantas Cungkring, keponakan Sang Sang kesatria bersikeras akan adanya
Guru, pelayan terpercaya Pandawa suatu kitab suci yang dapat dipahami
Bersaudara, tiba di Suralaya, ketika oleh setiap manusia tanpa pandang
tengah mencari obat bagi tuannya yang bahasa ataupun agamanya, termasuk
sakit, Darma Kusuma. Bathara Guru bagi mereka yang tak memiliki agama.
berjanji untuk membantu Cungkring Cungkring yang tak mampu menjawab,

Gambar 1. Kitab Sucineng Manungsa, oleh Purjadi, Bodesari;


Bathara Guru (tengah) berkonsultasi pada patihnya Bathara
Narada (kiri). (Sumber: Dokumentasi Penulis, 14-15 Maret 2009)

8
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

dipukul dan terbang meninggalkan sang yang tak pernah mencecapnya


kesatria. sebelumnya. Demikianlah,
untuk mengenali Tuhan,
Sang kesatria lantas menghadap
kau perlu menggunakan
Bathara Guru, yang menanyakan apakah rasa, bukan pikiran.
kepercayaan religiusnya. Sang kesatria ksatria : Aku ingin melihat Tuhan
mengaku tidak beragama. Selanjutnya secara langsung.
guru : Tuhan itu aku, atau lebih
sebuah dialog teologis menyusul, yang
tepatnya, semua yang ada
kira-kira berbunyi seperti ini: dalam hati seorang yang
percaya.
guru : Jadi karena itulah kau tidak
memahami konsep kitab
Wayang Kulit Paska-Tradisional
suci. Kau perlu menganut
satu agama terlebih dulu. Pertunjukan-pertunjukan Purjadi
Setelahnya, kau akan dan Seno, walau kontemporer dalam
paham. etos maupun perspektif religius serta
kesatria : Agama mana yang cocok
politisnya, masih sesuai dengan model-
untukku?
guru : Agama bukan persoalan cocok- model dramaturgis wayang kulit yang
cocokan; itu bergantung terdahulu. Di sisi lain, seperti yang
pada kepercayaan dan iman telah saya sampaikan, wayang terus
pribadi. Apakah kau mau
dikembangkan ke dalam bentuk-bentuk
mengikuti imanku?
kesatria : Yang penting aku memahami baru dan dibingkai dalam cara-cara baru
Kitab. pula. Ia terus diperbarui dan mencapai
guru : Kau perlu memahami Yang audiens-audiens baru, menghasilkan
Ilahi terlebih dulu. Dan
komunitas-komunitas baru dalam
sebelum itu, kau harus
mengenali batinmu. prosesnya. Semakin lama, semakin
banyak pula usaha-usaha ini yang
Guru lantas melanjutkan dengan saling terkait, dan praktisi wayang
penjelasan panjang mengenai keberadaan pasca-tradisional di sekitar Jawa, Bali,
alam-alam yang bermacam-macam dan pulau Indonesia lainnya, juga
dan hubungan antara dunia “dalam” Malaysia, beroperasi dalam kesadaran
dengan dunia “luar”, dari pengetahuan bersama atas inovasi, yang saling
kebathinan Jawa dan mengulang teologi dipertukarkan melalui pertunjukan-
monistik klasik (lihat Zoetmulder, 1995) pertunjukan yang dipublikasikan lewat
dalam bahasa modern sehari-hari: pertemuan-pertemuan formal maupun
informal, Facebook, YouTube, serta
kesatria : Aku tidak paham dengan media lainnya.
perkataanmu. Katakan
Gerakan semacam ini dalam
padaku dengan langsung.
guru : Yang Ilahi tak bisa dipahami wayang sekiranya telah diawali sejak
dengan logika karena Tuhan tahun 1960an, ketika praktisi serta
itu Maha Gaib. Rasa gula akademisi pendatang (non-Indonesia)
ataupun garam tak dapat
mulai mempelajari wayang di Jawa
dijelaskan pada seseorang

9
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

dan Bali; dalang Indonesia mengajar, dari yang disebut Ward Keeler sebagai
mempelajari, dan pentas di luar negeri; “dissembled authority”, atau “otoritas
dan seniman wayang Indonesia mulai tersamar” (Keeler, 1987: 268), menjadi
menjalin kontak langsung dengan ‘seniman berkarisma’, sebaliknya,
kolega-kolega baru di Asia Tenggara hanya memakan waktu kurang dari dua
yang juga mempraktekkan bentuk- generasi.
bentuk boneka serupa dalam festival Salah satu figur penting dalam
maupun proyek pertukaran budaya wayang pasca-tradisional adalah
setelah dibentuknya ASEAN pada tahun Almarhum seniman Yogyakarta, Sigit
1967 (Cohen, 2007). Komunikasi serta Sukasman, yang mengambil pendekatan
pertukaran antarbudaya memungkinkan eksperimental untuk membuat wayang,
kesempatan-kesempatan dan sarana setelah terekspos seni modern di
untuk penafsiran ulang dari wayang. New York dan Belanda dari tahun
Dalang Indonesia menggubah tradisi 1964-1965 (Susilo, 2002). Sukasman
(Susilo, 2002: 185) dan mengembangkan mengolah wayangnya dengan kulit yang
varian-varian baru wayang dengan transparan dan ikonografi yang ganjil
bentuk-bentuk wayang, teknik, serta serta idiosinkratik. Produksi-produksi
teks baru. Studi-studi sosiologis tentang eksperimentalnya yang bernama wayang
sejarah seni Eropa menunjukkan bahwa ukur menampilkan dalang di depan
konsep seniman yang dikenali namanya maupun di belakang layar berkolaborasi
(the onymous artist) muncul berabad- dengan penari yang mengenakan kostum
abad setelah masa serikat buruh seni dan dari wayang orang – sebuah kombinasi
scriptoria monastik (Martindale, 1972). tanpa preseden lokal. Studio Sukasman
Proses transformasi dalang Indonesia di Yogyakarta, hingga kematiannya di

Gambar 2. Sigit Sukasman (1937-2009) menjelaskan teori visual


wayang di sanggarnya. (Sumber: Dokumentasi Penulis, 26 April 2009)

10
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

tahun 2009, menjadi titik temu reguler dengan motif tie-dye dengan rok mini.
bagi orang Indonesia maupun pendatang Wayang ketiga memamerkan rambut
yang tertarik untuk mengkaji filsafat Mohawk-nya yang berwarna merah muda
serta estetika wayang dengan kritis. Ia dan hijau. Wayang keempat mengenakan
memperoleh pendapatan dari penjualan seragam tempur dengan motif batik
wayang-wayang buatannya kepada dan memamerkan eyeliner serta lipstick
kolektor-kolektor dan mengeluhkan tebal. Sebuah wayang yang menyerupai
betapa pengrajin wayang lainnya di kayon 4 mencatat nama-nama pihak-
Jawa menjiplak desain-desainnya pihak yang terlibat dalam pementasan
dengan sembarangan tanpa atribusi. tersebut, dengan sebutan-sebutan lucu
Sikap eksperimental Sukasman menjadi (contoh: “Saptlik Rahardjoslaq” untuk
semacam kandang untuk keberagaman Sapto Rahardjo) dan slogan-slogan
permainan dalang Yogyakarta atas berbahasa Inggris maupun Indonesia
kaidah-kaidah wayang. Berbagai kreasi (seperti “Flowers of the War”. Nama dari
avant-garde serupa muncul di Yogyakarta produksi ini adalah Wayang Kreasul,
dan sekitarnya pada tahun 1970an dan konon sebagai singkatan dari ‘kreasi’
1980an. baru tanpa melupakan ‘asal usul’.
Kebanyakan dari eksperimen- Beberapa ide yang muncul dalam
eksperimen dengan sebutan wayang Wayang Legenda, yang dipentaskan
kontemporer bersifat sementara – “akan tahun 1988 di Yogyakarta oleh pelukis
populer tetapi tidak berkelanjutan” dan seniman instalasi Heri Dono, mulai
seturut kata-kata seorang kritikus dikembangkan dalam instalasi Dono
wayang (Mulyono, 1982: 283). Salah yang selanjutnya serta pertunjukan
satu hasil representative dari kategori berbasis komunitas di Australia, Kanada,
ini adalah set wayang peninggalan suatu Selandia Baru, dan Inggris Raya (Behrend,
pertunjukan di tahun 1975 ciptaan 1999). Pencitraan serta ide-ide mengenai
komposer gamelan kontemporer Sapto wayang terus mempengaruhi karya Dono
Rahardjo, yang kini dipamerkan secara dalam cara-cara yang kompleks. Namun
permanen di Museum Wayang Kekayon walaupun Dono cukup terkenal sebagai
Yogyakarta. Wayang-wayang ini, terbuat seniman kontemporer di Indonesia,
dari kertas karton dan dilukis dengan karyanya sebagai dalang belum banyak
tinta fluorescent (diterangi sinar ultraviolet disorot di negara asalnya ini.
selama pertunjukan), menggambarkan Selain ditandai oleh pemaparan
betapa hidupnya kultur anak muda di dialog yang spontan sehingga tak mungkin
kota pelajar ini. Satu wayang berbajukan ada dua pertunjukan yang sama, wayang
kaos lengan buntung dan sarung batik tradisional juga ditandai oleh kualitas
tengah mendengarkan musik dengan estetik rapinya, dengan proses kreasi
headphone yang menancap pada yang dapat dipetakan dengan jelas.
pemain audio portabel. Wayang kedua Dalam bentuk idealnya, wayang sesuai
mengenakan kaos lengan buntung ketat dengan perkataan Theodor Adorno

11
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

mengenai monad, “sebuah proses yang underground sang perupa, bernama


terjadi akan dan terkristalisasi pada titik Daging Tumbuh. Hal ini merupakan
henti” (Adorno, 1970 [2004]: 237). Pakem keluaran kedua atas yang disebutkan di
Keraton Surakarta untuk pedalangan, website Nugroho sebagai “proyek wayang
Serat Sastramiruda, menentukan, dalam kulit” (Swastika, 2009) sang perupa.
daftar yang sering dikutip berisikan Dalam keluaran pertamanya, yang
sembilan kualitas estetika, di mana menggunakan set wayang yang sama
dalang jika mewayang jangan sampai dan didasarkan pada kartun hitam-
bercerita hal-hali di luar kelir (lakonnya), putih Nugroho, berupa drama yang
dan janganlah melucu (membanyol, lebih konvensional dalam penyusunan
mendagel) yang cabul (porno) dan jangan naskah, dengan judul Bungkusan Hati
pula sampai membosankan penonton di Dalam Kulkas, ditulis dan disutradarai
(Kusumadilaga, 1981: 51). Berkebalikan oleh Joned Suryatmoko dari kolektif
dengan karateristik ini, wayang pasca- Teater Gardanella dari Yogyakarta
tradisional yang saya observasi cenderung dan dipentaskan di Teater Salihara di
cepat-cepat dilatih, ‘berpori’ bagi dunia, Jakarta pada tahun 2008. Dalang untuk
dan sangat bergantung pada keadaan- pertunjukan pertama ini, Catur “Benyek”
keadaan seputar pertunjukan. Wayang Kuncoro yang selalu inovatif, kurang
yang demikian tidak bersifat monadik puas dengan literalisme naskah awal
melainkan sebagai “pertemuan temporer serta kurang sensitifnya sang sutradara
dan nomadik dari material serta produk terhadap idiom-idiom wayang. Swastika
yang asalnya berlainan” (Bourriaud, 2001: lantas mengizinkan Benyek, yang pernah
28) – seperti suatu pasar tradisional. bekerja bersamanya di tahun 2006
Suatu produksi wayang pasca-tradisional sampai 2008 dalam proyek seni berbasis
yang dipentaskan di Yogyakarta tahun masyarakat dengan korban-korban
2009 memperlihatkan rasa fluiditas gempa bumi di Bantul, untuk mengambil
dalam wayang paska-tradisional. alih penciptaan proses kreatif dalam
proyek kedua ini. Benyek adalah seorang
Wayang Bocor kolaborator yang berpengalaman, ia
Pementasan pertama atas tumbuh dari keluarga dalang dan lulus
pertunjukan yang disebut oleh kuratornya dari jurusan pedalangan dari Sekolah
Alia Swastika sebagai wayang bocor, Menengah Karawitan Indonesia. Ia
ditawarkan secara gratis di pembukaan mengikuti beberapa pentas musik di
pameran seni visual Eko Nugroho, luar negeri bersama kelompok seni dari
seorang perupa berbasis di Yogyakarta, Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo
di Cemeti Art House Yogyakarta pada sejak tahun 2004 dan bergabung dengan
tahun 2009. Pertunjukan episodic yang grup vokal Acapella Mataraman pula. Ia
bertajuk Berlian Ajaib tersebut, secara juga pernah bekerja dengan sejumlah grup
longgar berdasar pada kisah-kisah dan musik premier Yogyakarta, termasuk Kua
karakter-karakter dari antologi komik Etnika, dan teatrawan dan dalang yang

12
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

berkunjung ke Yogyakarta, termasuk wayang yang dikonstruksikan untuk


Damiet van Dalsum dari Belanda. Kreasi pameran – salah satunya dicat biru
wayangnya mencakup Wayang Kartun dan putih layaknya langit. Formasi ini
(2005), Wayang Kontemporer Dual Core terbukti canggung untuk tiga dalang yang
(2006), Wayang Pixel (2007), dan Wayang duduk, dan saya mengusulkan untuk
Hiphop (2010), dan ia juga menulis mengendurkan gapit (batang kendali
naskah berbahasa Indonesia untuk pusat) dari wayang-wayang tersebut
Enthus Susmono, yang kini merupakan agar dapat dipegang dari kejauhan
dalang dengan ongkos paling mahal se- sambil berdiri. Teknik penghubungan
Indonesia. Swastika menawarkan edisi- ini memang tidak umum dalam wayang
edisi lama dari Daging Tumbuh sebagai (walau tak sepenuhnya asing dalam trik-
stimulus, untuk kemudia ia jadikan trik pembuatannya), namun Benyek dan
kerangka naskah, serangkaian adegan Toro sepakat, sebab teknik ini menjamin
pendek yang menggambarkan situasi kebebasan serta permainan yang lebih
pasar malam, invasi alien, serta keluarga luas. Tak lama kemudian kami sudah
disfungsional. memutar-mutarkan wayang seputaran
Hanya tinggal dua minggu layar dan melempar-lemparkan wayang
sebelum pembukaan galeri Nugroho dari satu ujung layar ke ujung lainnya
ketika saya mampir di Cemeti Art dengan mengabaikan celah antara kedua
House untuk meminta izin mengamati layar. Toro, yang membuat wayang
proses latihan wayang kontemporer ini. yang kami mainkan, memperlakukan
Benyek, Swastika, dan Nugroho, bersama wayang-wayang tersebut dengan
dengan beberapa seniman lain (termasuk sembarangan, karena tahu kalau ia dapat
diantaranya dalang lain bernama Toro menggantikannya kalau rusak, sebuah
Widyanto; seorang komposer, Yennu pemikiran yang tak sejalan dengan
Ariendra; dan skenografer, Andy Seno Aji), kekhawatiran Alia, yang berharap untuk
menghabiskan dua hari dari proses enam menjual wayang-wayang tersebut sebagai
hari latihan dengan mengobrol saja di benda seni tunggal ketika ditampilkan
Cemeti. Dengan santainya, saya ditawari dalam pamerannya.
ikut menjadi dalang bersama dengan Bagaimanapun, Alia tampak
Benyek dan Toro, yang saya sepakati senang ketika kami menaruh wayang-
dengan antusias untuk mengambil peran wayang yang tak dipergunakan sepanjang
sebagai pengamat partisipan, walaupun dinding di belakang layar, mungkin sebab
pembagian-pembagian formal masih hal ini menyediakan pandangan yang
belum ditentukan. Setelah beberapa lebih strategis bagi wayang-wayangnya. Ia
waktu, akhirnya Alia Swastika, karena mengambil sifat anti-ilusionisme kasual
mengkhawatirkan pentas pembukaan, ini untuk mendefinisikan karakteristik
menekan kami untuk segera mulai pertunjukan ini, menciptakan istilah
berlatih. Pada awalnya kami mencoba generik wayang bocor. Dengan konsep
formasi duduk di belakang dua layar menampilkan wayang serta dalang,

13
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

kami cepat-cepat merancang prolog untuk mengambil posisi ke belakang


di mana seorang pedagang keliling layar untuk memulai adegan pertama.
(dimainkan oleh Benyek) dan rekannya Dalam proses penyusunan dan
(Toro) menjajakan salep dan ramuan latihan untuk pertunjukan tersebut,
ajaib yang konon dibuat dari sebuah Ariendra mengaransemen skor musik dari
berlian ajaib. Bingkai cerita ini, yang sampel-sampel suara dan mengumpulkan
menggunakan aktor manusia dan juga lagu-lagu, beberapa dari komposisinya
wayang, walaupun tak dibuat berdasar sendiri, beberapa dari internet; sementara
pada kartun Nugroho, memungkinkan Seno Aji menyibukkan dirinya sendiri
kami untuk menggunakan set pameran dengan menyusun bagian-bagian lain
lainnya, yakni sebuah gerobak makanan dari pameran tersebut untuk membentuk
yang telah dipersiapkan dan dicat oleh lingkungan sekeliling pertunjukannya.
Toro. Kisah ini didasarkan pada berita Tokoh kreatif terakhir yang ikut terlibat
aktual pada waktu itu mengenai seorang adalah Ignatius “Clink” Sugiarto, seorang
dukun bernama Ponari yang konon penata pencahayaan yang paling dikenal
mampu membuat ramuan obat-obatan atas pekerjaannya dengan Teater Garasi.
dari sebuah batu ajaib berwarna coklat. Sebagai seorang penata pencahayaan
Dalam versi cerita kami, sebelum polisi yang tak biasa bekerja dengan wayang,
tiba, para penjaja berhasil menjual Sugiarto lebih banyak memfokuskan
salah satu ramuan mereka pada orang perhatiannya pada pencahayaan
Barat naif yang ingin meniduri wanita- sebelum acara dan prolog, lantas baru
wanita Jawa (diperankan oleh penulis). menggantungkan lampu-lampu krusial
Para penampil lantas berlari tunggang untuk pencahayaan wayang kulit
langgang, yang mengkondisikan kami nantinya. Saya mengeluhkan kurang

Gambar 3. Latihan untuk Berlian Ajaib, Cemeti Art House,


Yogyakarta. (Sumber: Dokumentasi Penulis, 3 Maret 2009)

14
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

kuatnya lampu standar teater yang sudah sepenuhnya terbentuk. Reputasi


dibawanya untuk menciptakan bayangan dari lokasi pertunjukan dan Eko Nugroho,
wayang yang jelas, namun waktu juga koneksi Swastika dengan pers,
maupun budget kami tak cukup untuk memungkinkan produksi terburu-buru
melengkapi set dengan lampu khusus. ini mendapat perhatian dari media
Benyek, Swastika, dan anggota lain dari nasional, termasuk diantaranya sebuah
tim kreatif ini menyepakati keputusan preview di koran The Jakarta Post serta
Sugiarto berdasarkan reputasinya, walau sebuah review di Tempo, dan juga liputan
mereka pun menyadari bahwa wayang- di berita-berita Metro TV yang berbahasa
wayangnya tak disoroti secara ideal. Inggris maupun Indonesia. Rupanya
Audiens yang menghadiri mode kerja seperti ini cukup sukses
pertunjukan kami tersusun atas kaum untuk mendorong produksi serupa di
muda, hangat, dan antusias, yang masa mendatang – di Jawa maupun Lyon
jumlahnya memenuhi galeri seni. Para Biennale 2009.5
penonton tertawa terbahak-bahak
bahkan untuk lelucon terkecil – dan Refleksi atas Wayang Pasca-
secara khusus terhibur lelucon Toro Tradisional
sebagai seorang aktor pantomim Wayang pasca-tradisional
sekaligus dalang, termasuk juga dagelan menumbangkan struktur dan bentuk
mengenai seekor anjing yang birahinya dari tradisi Jawa. Bagaimanapun,
terlalu tinggi. Ariendra mengomentari berbeda dengan sejarah avant-garde
bahwa secara estetis produksi ini yang pahit di awal abad keduapuluh
“jelek” – banyak aspeknya yang masih Eropa, tak muncul “keinginan untuk
sangat kasar, sehubungan dengan fakta menghapuskan semua yang sudah
bahwa kebanyakan kostum dan elemen ada sejak sebelumnya dengan harapan
pertunjukan lain ditambahkan pada mencapai titik yang dapat disebut
detik-detik terakhir. Walau demikian, sebagai masa kini tercocok, sebuah titik
ia menambahkan bahwa kekasaran ini asal yang menandai terobosan baru” (De
terbayarkan oleh humor dan atmosfer Man, 1970: 388-389). Begitu pulalah
hangat (termasuk kudapan gratis dan kasus yang disebut oleh sejarawan teater
pesta selepasnya dengan DJ dan alkohol). Harry J. Elam sebagai “post-blackness”,
Swastika, yang dengan lihai menyadari wayang pasca-tradisional merupakan
selama latihan bahwa kru yang terbentuk belokan pertunjukan “yang selalu bebas
dari orang-orang yang beragam ini tak dari, namun tetap berhubungan dengan
mungkin akan menghasilkan pertunjukan dan mungkin bahkan dihantui oleh,
yang bersih mengkilap dengan pendeknya warisan-warisan dari masa lalu ke
waktu persiapan, berpendapat bahwa masa kini” (Elam, 2005:382). Wayang
pertunjukan ini lebih menyerupai “event” pasca-tradisional tak bisa dilipat untuk
dengan model teater sampakan Rendra, memasuki ranah tradisi, walaupun
daripada sebuah produk estetis yang inovasi-inovasi tertentu (seperti tipe-tipe

15
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

wayang baru oleh Sukasman) dapat saja I Wayan Wija (2001), Mahabharata Jazz
didaur ulang oleh praktisi tradisional. and Wayang dengan ansambel jazz
Wayang tradisional, seperti tradisi Luluk Purwanto dan the Helsdingen
lainnya, merupakan “konsensus antara Trio berkolaborasi dengan dalang Jawa
generasi yang hidup dengan generasi Nanang HP (2003), Semar’s Journey
yang telah mati” (Shils, 1981: 168). dengan dalang Jawa Seno Nugroho (2007),
Wayang pasca-tradisional, sebagai dan Cebolang Minggat dengan dalang
kontrasnya, seperti seni kontemporer, Jawa Slamet Gundono (2009). Generasi-
“cenderung menghapuskan kepemilikan generasi terdahulu dalam teater Eropa
atas bentuk, atau dalam kasus lain mengapropriasi wayang demi eksotisme.
untuk menggoncangkan yurisprudensi Hari ini, kolaborasi internasional dengan
yang lama” (Bourriaud, 2001: 35). seniman Indonesia “mengharuskan kami
Sementara kaum tradisionalis masih [orang asing] untuk memahami secara
membawa asosiasi-asosiasi nasional reflektif bahwa ‘konsep-konsep’ kami
wayang Pepadi dan Senawangi yang hanya satu set lain dari skema yang (atas
berupaya memahatkan gaya-gaya wayang kebetulan Barat semata) mendapat hak
regional ke dalam kompleksitas wayang istimewa” (Lash, 1994:156).
nasional Indonesia, sebagai sikap defensif
untuk menopang integritas kultural Catatan
teritorial Indonesia terhadap serbuan 1
Saya telah mempelajari wayang sejak
dari Malaysia, wayang pasca-tradisional tahun 1988, ketika saya pertama kali
dengan tegas membuka tradisi pada datang ke Indonesia sebagai mahasiswa
arus global. Wayang pasca-tradisional Fulbright dan bersekolah di Jurusan
dengan demikian lebih epokalis ketimbang Pedalangan di sekolah tinggi paling
esensialis, dalam formulasi Geertz (1973); prestisius untuk seni pertunjukan
ia seringkali lebih memperhatikan media tradisional, yakni Institut Seni
internasional daripada kepercayaan lokal. Indonesia Surakarta (ISI Surakarta).
Dengan demikian, ia menawarkan pijakan Semenjak itu, studi saya mencakup
ideal untuk kolaborasi-kolaborasi antara analisis etnografis dan historis, dan
seniman Indonesia dengan luar Indonesia, juga praktis: saya mempelajari tata cara
terbukti dalam proyek-proyek internasional melakukan pementasan wayang, suatu
seperti The MahabharANTa oleh Mabou aktivitas yang terbuka bagi orang asing,
Mines berkolaborasi dengan dalang Bali I bahkan dihimbau secara aktif, sejak
Wayan Wija (1992), Visible Religion dengan tahun 1960an. Kebanyakan materi
dalang Jawa Sri Djoko Rahardjo dan dalam tulisan ini terkumpul dalam dua
dalang Bali I Made Sidia (1994), The Theft kunjungan ke Indonesia: lima bulan
of Sita antara dua dalang Peter Wilson sebagai visiting scholar di Universitas
dan I Made Sidia di bawah pengarahan Sanata Dharma di Yogyakarta pada
Nigel Jamieson (1999), ShadowBang tahun 2009 dan kunjungan dua minggu
antara komposer Evan Ziporyn dengan ke Jawa di bulan Januari 2011.

16
Matthew Isaac Cohen, Wayang Kulit Tradisional dan Pasca-Tradisional

2
Bujanggaan merupakan tradisi Cohen, M. I. “An Inheritance from
membaca naskah bersama yang the Friends of God: The Southern
dipimpin oleh seorang ‘dalang bujangga’ Shadow Puppet Theater of West Java,
dan diadakan pada saat itu ritus seperti Indonesia”. Disertasi Ph.D., Yale
tedak siti ataupun secara rutin di University. 1997.
tempat sakral yang di Cirebon disebut —— “Contemporary Wayang in Global
ki buyutan Contexts.” Asian Theatre Journal 24
3
Untuk diskusi yang lebih mendetail (2007): 338–369.
mengenai interpretasi Purjadi atas Day, T. “Performances of East Javanese
lakon-lakon ini, lihat Cohen (1997: 263- Wayang and the Possibility of ‘Internal
332). Otherness’ in Contemporary Java.” di
4
Kayon, atau gunungan, merupakan Performances East/West. Disunting oleh:
wayang pohon kehidupan yang T. Day dan P. Dowsey-Magog. Sydney,
digunakan untuk menandai awalan Australia: Centre for Performance
serta akhiran adegan dan selain itu Studies, University of Sydney. 1996.
dapat pula dipakai sebagai properti De Man, P. “Literary History and Literary
lainnya. Modernity.” Daedalus 99 (1970):
5
Untuk mengetahui lebih lanjut 384–404.
mengenai “proyek wayang” Eko Elam, H. J. “Change Clothes and Go: A
Nugroho, lihat website-nya <http:// Postscript to Postblackness.” Di Black
ekonugroho.or.id/> dan channel Cultural Traffic: Crossroads in Global
YouTube <http://www.youtube.com/ Performance and Popular Culture,
user/TheEkonugroho> (diakses pada Disunting oleh: H. J. Elam, Jr. and
15 Agustus 2013). K. Jackson. Ann Arbor, MI: The
University of Michigan Press. 2005.
DAFTAR PUSTAKA Geertz, C. “After the Revolution: The Fate
Adorno, T. Aesthetic Theory. Disunting of Nationalism in the New States.” Di
oleh: G. Adorno and R. Tiedeman. The Interpretation of Cultures: Selected
Disadur oleh: R. Hullot-Kentor. Essays. New York, NY: Basic Books.
London: Continuum. 1970 [2004]. 1973.
Behrend, T. “The Millennial Esc(h)atology —— “‘Popular Art’ and the Javanese
of Heri Dono: ‘Semar Farts’ First in Tradition.” Indonesia 50 (1990):
Auckland, New Zealand.” Indonesia 77–94.
and the Malay World 27 (1999): Giddens, A. “Living in a Post-Traditional
208–224. Society.” Di Reflexive Modernization:
Bourriaud, N. Postproduction: Culture as Politics, Tradition and Aesthetics in the
Screenplay: How Art Reprograms the Modern Social Order, Disunting oleh:
World. Disadur oleh: J. Herman. New U. Beck, A. Giddens, dan S. Lash.
York, NY: Lukas and Sternberg. 2001 Stanford, CA: Stanford University
[2002]. Press. 1994.

17
Jurnal Kajian Seni, Vol. 01, No. 01, November 2014: 1-18

Hutchison, Y. “The ‘Dark Continent’ Goes Pelikan, J. The Vindication of Tradition:


North: An Exploration of Intercultural The 1983 Jefferson Lecture in the
Theatre Practice through Handspring Humanities. New Haven, CT: Yale
and Sogolon Puppet Companies’ University Press. 1984.
Production of Tall Horse.” Theatre Pemberton, J. On the Subject of “Java.”
Journal 62 (2010): 57–73. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Keeler, W. Javanese Shadow Plays, 1994.
Javanese Selves. Princeton, NJ: Sears, L. J. Shadows of Empire: Colonial
Princeton University Press. 1987. Discourse and Javanese Tales.
Kusumadilaga, K. P. A. Serat Durham, NC: Duke University Press.
Sastramiruda. Disunting dan disadur 1996.
oleh: Kamajaya and S. Z. Hadisutjipto. Shils, E. Tradition. Chicago, IL: University
Jakarta: Departemen Pendidikan dan of Chicago Press. 1981.
Kebudayaan. 1981. Singh, S. “If Gandhi Could Fly … Dilemmas
Lash, S. “Reflexivity and Its Doubles: and Directions in Shadow Puppetry of
Structure, Aesthetics, Community.” India,” TDR/The Drama Review 43
Di Reflexive Modernization: Politics, (1999): 154–168.
Tradition and Aesthetics in the Modern Susilo, H. “The Personalization of
Social Order, Disunting oleh: U. Beck, Tradition: The Case of Sukasman’s
A. Giddens, dan S. Lash. Stanford, CA: Wayang Ukur.” Di Puppet Theater
Stanford University Press. 1994. in Contemporary Indonesia: New
Martindale, A. The Rise of the Artist in the Approaches to Performance Events,
Middle Ages and Early Renaissance. Disunting oleh: J. Mrázek. Michigan
New York, NY: McGraw Hill. 1972. Papers on South and Southeast Asia,
Mrázek, J. Phenomenology of a Puppet jilid 50. Ann Arbor, MI: The Center for
Theatre: Contemplations on the Art of South East Asian Studies. 2002.
Javanese Wayang Kulit. Leiden: KITLV Swastika, A. “The Wonder of Diamond,”
Press. 2005. http://www.ekonugroho.or.id/ index.
Mulyono, S. Wayang: Asal-Usul, Filsafat php? page=artwork&cat=Shadow%20
dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Puppet%20Project. 2009. (diakses
Agung. 1972. August 16, 2013)
Nancy, J.-L. La Communauté désoeuvrée. Di Zoetmulder, P. J. Pantheism and Monism
The Inoperative Community, Disunting in Javanese Suluk Literature: Islamic
oleh: P. Conner, Disadur oleh: P. and Indian Mysticism in an Indonesian
Connor, L. Garbus, M. Holland, dan S. Setting. Disunting dan disadur oleh:
Sawhney. Minneapolis, MN: University M. C. Ricklefs. Leiden: KITLV Press.
of Minnesota Press. 1986 [1991]. 1995.

18

Anda mungkin juga menyukai