Istilah “seni patung kontemporer” digunakan pertama kali oleh G. Sidharta untuk Pameran Seni
Patung Kontemporer Indonesia pada 1973. Pameran itu dimaksudkan untuk mengakomodasi
berbagai kecenderungan yang ada dalam penciptaan patung Indonesia di masa itu. Selain
kecenderungan modernisme yang dominan, beberapa karya waktu itu menampilkan ciri-ciri lokal
yang kuat, yang dipengaruhi oleh seni tradisi, seperti karya-karya Suparto, Wiyoso, serta G.
Sidharta sendiri. Meskipun istilah “kontemporer” saat itu sekadar dimaknai sebagai “masa kini”,
namun ternyata implikasinya cukup luas. Pameran Seni Patung Kontemporer Indonesia 1973 itu
telah menyatakan bahwa di dalam wacana seni kontemporer, dikotomi antara seni modern dan
seni tradisi tidak berlaku lagi.
Kini, kata kontemporer di dalam wacana seni rupa (terutama di Indonesia) menyandang makna
yang cukup rumit, serta terus berkembang. Pengertian kata contemporary (Inggris) sendiri berarti
“sezaman” (pada zaman/periode waktu yang sama), atau juga berarti “masa kini”. Namun,
dewasa ini, di dalam wacana seni pascamodern, kata contemporary mendapatkan pemaknaan
yang lebih ketat, yaitu sebagai sebuah genre di dalam seni dengan ciri-ciri
tertentu. Contemporary Art kemudian menjadi kategori karya-karya seni yang dipertentangkan
dengan seni modern, karena mengandung ciri-ciri pascamodern. Dengan kata lain, seni
kontemporer adalah seni pascamodern.
Salah satu ciri yang ditengarai ada dalam seni kontemporer adalah menghilangnya batas-batas
antarmedia seni. Batas antara seni lukis dan seni patung, antara patung dan kriya, atau seni yang
lain, menjadi semakin cair. Kotak-kotak yang memisahkan media seni yang satu dengan yang
lain tidak ada lagi, sehingga dengan sendirinya berbagai kriteria dan konvensi yang sebelumnya
ada menjadi tidak berlaku lagi. Anything goes.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian muncul persoalan, ketika pada kenyataannya istilah-
istilah seperti “seni patung kontemporer” masih dipergunakan, karena di dalamnya terkandung
paradoks, yaitu antara patung yang bersifat “konvensional” dengan kategori “kontemporer” yang
bebas konvensi.
Dalam hampir satu dekade terakhir, dunia seni rupa diramaikan oleh kemunculan karya-karya
tiga dimensi, yang berupa objects, instalasi, readymades ataupun bentuk-bentuk figuratif. Karya-
karya trimatra ini hampir mendominasi berbagai peristiwa seni rupa, baik bienal, trienal
maupun art fair. Tidak ketinggalan, tren ini pun melanda para perupa kita, sehingga para perupa
yang semula bekerja dengan media dwimatra beramai-ramai menampilkan karya-karya trimatra,
dalam berbagai perwujudannya yang bercirikan seni kontemporer. Gejala ini oleh banyak orang
dianggap sebagai boom patung. Namun, benarkah demikian?
Di dalam ranah penciptaan seni rupa kontemporer, gagasan menduduki peran utama. Pemikiran
konseptual seorang seniman menjadi penentu nilai karyanya, karena gagasan-gagasannya adalah
realitas dalam dirinya yang merupakan cerminan dunia di sekelilingnya. Oleh karena itu, faktor-
faktor personal, seperti ekspresi spontan, penghayatan atau kepiawaian teknik, tidak lagi menjadi
penting. Dengan demikian, di dalam rangkaian proses penciptaan, eksekusi sebuah karya seni
hanya merupakan tahapan teknis, di mana gagasan sang seniman diwujudkan secara visual dan
material.
Dengan dasar pemikiran demikian, maka bisa dipahami apabila sebagian peran seniman sebagai
pencipta kemudian dialihkan, dalam hal ini kepada artisan, yaitu pihak yang mengambil peran
dalam tahapan eksekusi. Persoalan proses “bagaimana” sebuah karya seni terbentuk menjadi
kurang penting, dibandingkan dengan persoalan “apa” yang disampaikan oleh karya seni
tersebut. Content lebih penting daripada form.
Contohnya:
1. A Subtlety
A Subtlety (juga dikenal sebagai Bayi Gula Marvelous dan diberi subtitle " Penghormatan bagi
Pengrajin yang tidak dibayar dan bekerja terlalu keras yang telah memperhalus selera Manis
kami dari ladang tebu ke Dapur Dunia Baru pada Saat pembongkaran Pabrik Pengilangan
Gula Domino ") adalah karya seni instalasi 2014 oleh seniman Amerika Kara Walker . Sebuah
Kehalusan didominasi oleh bagian tengahnya, sebuah patung putih yang menggambarkan
seorang wanita dengan fitur Afrika dalam bentuk sphinx , tetapi juga termasuk lima belas patung
lainnya. Kelima belas "pelayan" sphinx ini adalah versi lebih besar dari blackamoor kontemporer
yang diproduksi di Cina.
Karya itu dipasang di Pabrik Gula Domino di lingkungan Williamsburg di Brooklyn dari Mei
hingga Juli 2014. Meskipun secara tematis konsisten dengan karya Walker sebelumnya, ruang
lingkup dan presentasinya adalah keberangkatan dari oeuvre miliknya.
Proyek ini ditugaskan oleh Creative Time dan ditanggung oleh Two Trees, sebuah perusahaan
pengembangan real estat yang berbasis di New York, dan dibangun dengan bahan
sumbangan. Pameran ini memicu perbincangan tentang penonton acara itu, gentrifikasi
Brooklyn, dan tema-tema karya tersebut tentang ras, seksualitas, penindasan, tenaga kerja, dan
fana.
2. Yani Mariani
Karya: A Wind Streak (Angin Raya), Full Moon Croon (Senandung Purnama), The Wind
Melodies for the Stone (Nyanyi Angin Kepada Batu), Kidung Hening Taru Raya
Patung berbahan polyresin, copper plate, brass plate, dan stone powder.
Sejak muda, Yani Mariani memiliki kecintaan terhadap seni patung, khususnya
menggunakan batu. Menurutnya, setiap batu merepresentasikan artinya sendiri, unik dan
tak akan pernah sama. Ia menggunakan keindahan ini untuk menggambarkan kekuasaan
sang pencipta lewat bentuk magis pohon, angin, dan bulan. Membuat karyanya sebagai
bentuk berserah diri pada yang Maha Kuasa.
3. Uji 'Hahan' Handoko
4. Heri Dono
Karya: Moon Racer
Siapa yang tak mengenal namanya, perupa ini bahkan telah mengharumkan nama
Indonesia di ajang bergengsi Venice Biennale. Di Art Jakarta 2018, Heri akan
memamerkan salah satu karyanya yang paling ikonis. Menceritakan tentang masa Perang
Dunia ke-2 saat Jepang mendonasikan bemo sebagai salah satu transportasi publik di
Indonesia. Hal ini membuat negara kita tak terbiasa memproduksi teknologi sendiri,
melainkan mendaur ulang teknologi luar.
5. Dolorosa Sinaga
Pematung terkenal dari Indonesia ini harus dihargai lebih dari estetika karyanya. Melalui patung-
patungnya yang dinamis, Dolorosa menggambarkan perspektif yang kuat tentang iman,
solidaritas, multikulturalisme, dan mungkin apa yang paling dikenalnya, pemberdayaan
perempuan. Dolorosa berusaha untuk menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang rentan
tetapi kuat pada saat yang sama, yang dapat diamati dalam kerapuhan tubuh tetapi intensitas
ekspresi wajah dan sikap. Sebagai seorang seniman, empati dan suaranya mendukung orang-
orang yang didiskriminasi dan kurang beruntung dalam politik dan masyarakat, membuatnya
bekerja secara khusus, mendalam, dan tentu saja layak dihargai.
6. Rizal Kedthes,
7. Anusapati berjudul Shelter for the Goodhearted, yang tampak sebagai sebuah obyek
Anusapati membuat obyek yang tingginya kurang lebih satu meter dari bahan kayu yang
menyerupai sebuah rumah dengan tingkat kemiringan tertentu, sehingga tampak seperti ilusi
dan refleksi tentang konsep keseimbangan (balance). Ini sebuah karya menarik karena
mampu keluar dari konvensi patung-patung yang selama ini ada, baik dalam hal media
maupun bentuk.
pematung yang mampu melahirkan karya-karya yang melampaui konvensi patung semacam
karya Anusapati ini. Dan inilah salah satu cermin yang terefleksi dari pameran bertajuk "The
Konsep kuratorial pameran ini dikerjakan oleh pematung senior, Dolorosa Sinaga. Gagasan
dasarnya, ia mengajak setiap pematung yang terlibat dalam pameran ini untuk merespons
ruang galeri dan halaman serta taman belakang gedung Erasmus Huis. Dengan cara
demikian, pematung didorong untuk melakukan interaksi, baik dengan ruang maupun dengan