Abstrak
Penulis ingin mengetahui secara mendalam pada kajian karya yang dibuat sendiri oleh penulis yaitu karya Stick
Puppet Petruk Kontemporer yang berjudul “Sisi Lain Petruk”. Proses mengetahui karya tersebut adalah dengan
menggunakan konsep tokoh filsafat postmodern yaitu Jean Francois Lyotard dengan teori mengenai penolakan
posmodern terhadap narasi agung sebagai salah satu ciri utama dari postmodern. Karya Stcik Puppet lahir
sebagai sesuatu perubahan bentuk radikal yang masih sesuai dengan representasi makna tokoh Petruk dalam
Punakawan. Perubahannya didasarkan kepada pola-pola prilaku masyarakat pada umumnya.
Abstract
The author would like to know in depth the work of the study made by the author of the work Petruk
Contemporary Stick Puppet titled "The Other Side Petruk". The process of knowing the work is to use the
concept of the postmodern philosopher Jean-Francois Lyotard, namely the theory of the postmodern rejection of
the grand narrative as one of the main characteristics of the postmodern. Stcik works Puppet born as something
radical shape change that is still in accordance with the representation of meaning in Punakawan Petruk
figures. Amendments based on the patterns of behavior of society in general.
199
PENDAHULUAN atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang
sama dengan kondisi waktu yang sama
Seni dalam praktek kehidupan sehari-hari atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah
memunculkan sebuah konsep tentang seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan
bagaimana menjadikan suatu bentuk bahasa zaman dulu dan berkembang sesuai zaman
rupa menjadi lebih dimengerti oleh sekarang. Lukisan kontemporer adalah
masyarakat sesederhana mungkin. karya yang secara tematik merefleksikan
Kesederhanaan ini bukan hanya sekedar situasi waktu yang sedang dilalui. Tommy
“asal” melainkan mewujudkan sesuatu yang F. Awuy kembali berujar sebagai berikut,
rumit bak seperti benang kusut menjadi
lebih simpel menjadi satu pengertian Demikianlah apabila saya menyaksikan
makna. Hakikat ini membawa seni sebagai sebuah pertunjukan seni, maka pada saat itu
garda terdepan dalam perkembangan saya sedang berhadapan dengan
perubahan masyarakat. Seni dalam representasi dari suatu realitas yang ingin
perkembangannya kini, sudah melebur disampaikan oleh subyek yang melakukan
menjadi bagian yang bisa dinikmati oleh pertunjukkan tersebut. Apakah representasi
masyarakat manapun dan kalangan apapun. itu disampaikan lewat medium gerak, bunyi
Salah satu karya seni yang secara konsep atau benda-benda semuanya tidak lain
dekat dengan kehidupan masyarakat menampilkan suatu tanda yang bagi saya
sekarang ini adalah Seni Rupa representasi itu disampaikan lewat medium
Kontemporer. Tommy F. Awuy berujar gerak, bunyi, atau benda-benda, semuanya
sebagai berikut, tidak lain menampilkan suatu rekayasa dari
suatu aliran seni tertentu, (Awuy, 2004: 55).
Seni senantiasa membuat hidup menjadi
indah pada waktunya. Dari segi fungsinya, Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat
seni dapat menawarkan suatu katarsis pada Rennaissance. Begitu pula dengan
(terapi) bagi ketegangan dan ketertekanan tarian, lebih kreatif dan modern. Kata
hidup. Hingga disini kiranya dapat “kontemporer” yang berasal dari kata “co”
dipahami maksud dari seni sebagai “modus (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga
pemikiran”. Pendeknya ia memiliki pola menegaskan bahwa seni kontemporer
tertentu yang tidak harus inferior adalah karya yang secara tematik
dibandingkan dengan pola berpikir lainnya. merefleksikan situasi waktu yang sedang
Filsafat dalam hal ini mengakui seni dengan dilalui. Atau pendapat yang mengatakan
bahasa imakinasinya sering terungkap bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni
melompat-lompat, spontan, instingtif, main- yang melawan tradisi modernisme Barat”.
main namun bagaimana pun itu adalah Ini sebagai pengembangan dari wacana
bagian dari realitas kehidupan. Karena pascamodern (postmodern art) dan
bagian dari realitas kehidupan maka pascakolonialisme yang berusaha
disinilah dasar alasannya bahwa ia memiliki membangkitkan wacana pemunculan
pola logika atau pemikiran tersendiri indegenous art (seni pribumi). Atau
sebagai dunia yang dihayati, (Awuy, 2004: khasanah seni lokal yang menjadi tempat
42-43). tinggal (negara) para seniman.
Kaitan seni kontemporer dan (seni)
Seni Kontemporer adalah salah satu cabang postmodern, menurut pandangan Yasraf
seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Amir Piliang, pemerhati seni, pengertian
Kontemporer itu artinya kekinian, modern seni kontemporer adalah seni yang dibuat
200
Stick Puppet Petruk sebagai Representasi Narasi Kecil atas Dominannya Bentuk Nilai Tunggal
yang Terdapat Pada Petruk Pewayangan, (F.C. Ndaru Ranuhandoko)
masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. (religius) bila ditinjau dari struktur
Sedangkan seni postmodern adalah seni masyarakat mistis (pra sejarah).
yang mengumpulkan idiom-idiom baru.
Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak Sedangkan pada era ini, diciptakannya
semua seni masa kini (kontemporer) itu artifak oleh manusia adalah tidak lain untuk
bisa dikategorikan sebagai seni posmodern, menjawab berbagai kebutuhan yang lebih
seni posmodern sendiri di satu sisi memberi luas (seperti: telepon, komputer, televisi
pengertian, memungut masa lalu tetapi dan lainnya). Artifak kebendaan dan
disisi lain juga melompat kedepan (bersifat manusia merupakan sebuah relasi yang
futuris). Sehingga seni sering kali nantinya dapat tercermin menjadi identitas.
memunculkan obyek atau benda-benda Artinya: manusia dan benda adalah ketegori
yang secara fungsional dapat berguna untuk yang berbeda tapi, kedua-duanya memiliki
masyarakat. unsur relasi yang selaras, hal itu dapat
dilihat bila seseorang yang memakai artifak
Kehadiran benda dan atau obyek yang A dengan seseorang memakai artifak B
memiliki sifat fungsional telah hadir akan dapat diketahui status sosial maupun
disekitar kita. Kehadirannya diciptakan oleh psikologisnya. Atau contoh lainnya suatu
manusia untuk menjawab kebutuhan dari artefak yang diciptakan oleh manusia
tujuan-tujuannya. Ciptaanya tersebut berupa lukisan, akan dapat terlihat makna
merupakan manifestasi dari ekspresi atau nilai-nilai yang tersembunyi dibalik
manusia yang didasari atas pengalaman, emperis atau pengetahuan penciptanya. Ni
pengetahuan dan keinginannya. Dalam Made Purnami Utami menyatakan sebagai
pendekatan estetika, sebelum benda-benda berkut,
tadi diciptakan, manusia terlebih dahulu
mengamati lingkungan sekitar atau mencari Kritikus Amerika Arthur Danto pernah
kriteria-kriteria kenyamanan tempat melihat dengan cemas kemunculan seni
berpikir untuk melakukan kontemplasi rupa kontemporer. la mencatatnya sebagai
mendalam. hal itu dilakukan untuk berakhirnya tradisi seni, sebagai
mendapatkan sebuah deskripsi ide yang berakhirnya modernisme dan munculnya
kemudian disusun secara struktur berupa pluralisme. Danto menulis, "Sekali
konsep penciptaan benda. berakhir, seniman bisa menjadi apa saja,
abstraksi, seniman bisa menjadi apa saja,
Setelah itu, konsep benda ditempatkan pada abstrakis, realis alegoris, pelukis metafisik,
kategori fungsi, kesenangan dan atau gaya surrealis, pelukis pemandangan alam atau
hidup yang nantinya diputuskan untuk pelukis model. Bisa juga menjadi seniman
dapat menggugah selera manusia dalam dekoratif, seniman naratif, anekdotalis,
melihatnya, mempelajarinya bahkan sampai seniman religius atau seniman ponografis.
kepada mengafirmasi peredaran benda Semua kemungkinan bisa terjadi karena
tersebut untuk menggunakannya. Kegiatan tidak ada lagi sejarah (Jim Supangkat,
tersebut merupakan bentuk riil dari 1998). Seni rupa kontemporer tidak bisa
tindakan manusia, ketika manusia diartikan sederhana sebagai seni rupa masa
menciptakan sebuah benda yang kini. Seni rupa kontemporer yang muncul
mempunyai fungsi untuk menjawab pada awal dekade 1970 an adalah sebuah
kebutuhannya. Manusia menciptakan era baru yang menghadirkan secara radikal
artifak adalah usaha pemenuhan keyakinan sebuah perkembangan baru, (Utami, 2009:
5-6).
201
Isu-isu yang diwacanakan seni rupa Penelitian ini ingin Mengetahui salah satu
kontemporer misalnya : Jender, HAM, pemikiran Jean Francois Lyotard mengenai
Multikultural, Budaya Etnik, Lingkungan penolakkan terhadap narasi besar (Grand
Hidup, Buruh Migran, Diaspora dan lain- Narative) dan menjelaskan hubungan Stick
lain. Ciri-ciri Seni Kontemporer antara lain, Puppet Petruk Sisi Lain Petruk sebagai
(1) Tiadanya sekat antara berbagai disiplin bagian dari narasi kecil ditengah
seni, alias meleburnya batas-batas antara langgengnya pakem-pakem bentuk wayang
seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, pada tokoh petruk. Dalam penjabarannya,
musik, anarki, omong kosong hingga aksi penulis meng-gunakan metode penulisan
politik. (2) punya gairah dan nafsu deskriptif analitik untuk menjabarkan
“moralistik” yang berkaitan dengan matra kajian mengenai hubungan Stick Puppet
sosial dan politik sebagai tesis. (3) Seni Petruk Sisi Lain Petruk sebagai bagian dari
yang mempunyai kecenderungan diminati narasi kecil ditengah langgengnya pakem-
media massa untuk dijadikan komoditas pakem bentuk wayang pada tokoh petruk.
pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang Pada prosesnya penulisan ini bersifat
fashionable. kualitatif.
202
Stick Puppet Petruk sebagai Representasi Narasi Kecil atas Dominannya Bentuk Nilai Tunggal
yang Terdapat Pada Petruk Pewayangan, (F.C. Ndaru Ranuhandoko)
203
yang besar. Dalam bidang kesenian menjelaskan, Sehingga dapat disimpulkan
misalnya, manusia terus-menerus mencari dari pengertian yang dan variasinya adalah
bentuk-bentuk ekspresi baru. Dalam bidang tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang,
religi manusia berusaha untuk menanggapi terbang, bergerak kian-kemari, (Mulyono,
kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, 1982: 9)
tanda-tanda dan perbuatan yang terus-
menerus diperbaharuinya. Teknik dan Awalan “wa” di dalam bahasa Jawa modern
kemampuan manusia untuk ber-organisasi tidak mempunyai fungsi lagi. Namun,
dikembangkan dan selalu memperbaharui dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut
alat-alat produksi, kemungkinan untuk masih jelas dan memiliki fungsi tata bahasa
berkomunikasi, kebiasaan-kebiasaan dalam seperti pada kata wahiri yang berarti iri hati,
bidang pekerjaan dan hidup. Proses belajar cemburu. Lebih lanjut Sri Mulyono
dalam kebudayaan menghasilkan bentuk- menjelaskan, Jadi, bahasa Jawa wayang
bentuk baru dan diakumulasi-kan dalam adalah mengandung pengertian berjalan
wujud pengetahuan dan kepandaian. Meski kian-kemari, tidak tetap, sayup-sayup. Oleh
demikian perlu dipahami bahwa tidak berart karena itu, boneka-boneka yang digunakan
bahwa proses belajar selalu memberikan dalam pertunjukan itu berbayangan atau
hasil yang positif. Melalui ”trial and eror” member bayang-bayang sehingga di
manusia menjadi bijaksana, kekeliruan dan namakan wayang, (Mulyono,1982: 10).
kesalahan ada manfaatnya, namun dapat
juga terjadi bahwa manusia lewat Dalam sejarah wayang terjadi kontroversi
kekeliruan dan kesalahan menjadi makin antara pendapat para ahli mengenai asal-
bodoh. usul wayang tersebut ada yang mengatakan
bahwa kesenian wayang berasal dari pulau
Dengan demikian kebudayaan sebagai suatu Jawa dan ada juga menyatakan bahwa
proses belajar tidak menjamin kemajuan pertunjukan wayang berasal dari
dan perbaikan yang sejati. Justru karena kebudayaan Hindu. Namun pada initnya
kebudayaan suatu proses belajar, maka pendapat-pendapat tersebut mwnunjuk titik
manusia perlu terus mempertanyakan kesamaan bahwa wayang berasal dari pulau
kriterianya dan tujuannya dari Jawa.
kebudayaaanya
Lebih lanjut Sri Mulyono menjelaskan, Hal
Teori Wayang Kulit ini terlihat dari pandangan-pandangan
Wayang sebagai sebuah produk budaya beberapa para seperti ahli Dr. G. A. J.
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Hazeu, Dr. W. H. Rassers, dan Drs Suroto.
masyarakat dan lingkungannya, sehingga Menurut Dr. G. A. J. Hazeu wayang berasal
terintegrasi dengan kebudayaan pada dari pulau Jawa ini dibuktikan dengan
masyarakat tersebut. kata wayang adalah menyelidiki istilah-istilah sarana
yang, yung, dan yong, antara lain terdapat pertunjukan wayang kulit seperti wayang,
dalam kata layang yang berarti “terbang”, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak dan
doyong yang berarti “miring”, tidak stabil, cempala. Namun, pendapat tersebut
kemudian royong yang berarti selalu dibantah oleh Dr. W. H. Rassers. Pada
bergerak dari tempat satu ke tempat yang mulanya Rasser membantah Hazeu bahwa
lain, dan Poyang-payingan yang berarti wayang berasal dari Hindu, namun pada
berjalan sempoyongan, tidak tenang, dan akhirnya Rasser ragu akan pendapatnya
sebagainya. Lebih lanjut Sri Mulyono sendiri, (Mulyono, 1982: 10).
204
Stick Puppet Petruk sebagai Representasi Narasi Kecil atas Dominannya Bentuk Nilai Tunggal
yang Terdapat Pada Petruk Pewayangan, (F.C. Ndaru Ranuhandoko)
Jadi, untuk menjawab pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan dapat membawa umat
dari mana wayang berasal adalah bahwa manusia pada kemajuan (progress).
wayang berasal dari Indonesia dan
khususnya di pulau Jawa meskipun lakon- Penolakan terhadap metanarasi/
lakon wayang diambil dari India. grandnarasi berarti menolak penjelasan
yang sifatnya unifersal/ global tentang
Penolakkan terhadap Narasi Agung, realitas, tentang tingkah laku dan
Narasi Besar, Meta Narasi dalam sebagainya. Lyotard juga menyatakan
Pandangan Jean Francois Lyotard bahwa pengetahuan tidak bersifat
Bagi Lyotard penolakan posmodern metafisis, unifersal, atau transendental
terhapad narasi agung sebagai salah satu (esensialis), melainkan bersifat spesifik,
ciri utama dari postmodern, dan menjadi terkait dengan ruang-waktu (historis).
dasar baginya untuk melepaskan diri
dari Grand-Narative (Narasi Agung, Bagi pemkir postmodern ilmu
Narasi besar, Meta Narasi) . Baginya pengetahuan memiliki sifat prespektifal,
Ilmu Pengetahuan pramodern dan modern posisional dan tidak mungkin ada satu
mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang prespektif yang dapat menjangkau karakter
didasarkan pada cerita-cerita besar dunia secara objektif-universal.
(Grand-Naratives) yang menjadi kerangka Memudarnya kepercayaan terhadap
untuk menjelaskan berbagai permasalahan metanarasi disebabkan oleh proses
penelitian dalam skala mikro bahkan delegitimasi atau krisis legitimasi, di
terpencil sekalipun. Cerita Besar itu mana fungsi legitimasi narasi-narasi
menjadi kerangka penelitian ilmiah dan besar mendapatkan tantangan berat.
sekaligus sebagai justifikasi keilmiahan.
Grand-Naratives (Meta-narasi) adalah Hubungan Stick Puppet Petruk Sisi Lain
teori-teori atau konstruksi dunia yang Petruk sebagai bagian dari narasi kecil
mencakup segala hal dan menetapkan ditengah langgengnya pakem-pakem
kriteria kebenaran dan objektifias ilmu bentuk wayang pada tokoh petruk
pengetahuan.
Karya Stick Puppet Sisi Lain Petruk
Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi Stick puppet merupakan salah satu bentuk
lain diluar narasi besar dianggap sebagai mainan yang terdapat dibeberapa negara
narasi non-ilmiyah. Sebagaimana di didunia. Sedangkan di Indonesia khususnya
jelaskan sebelumnya bahwa sains di Jawa dikenal dengan nama “Angkle-
modern berkembang sebagai pemenuhan Angkle”. Stick Puppet ini mengadaptasi
keinginan untuk keluar dari penjalasan kedalam berbagai bentuk benda, hewan
pra ilmiah seperti kepercayaan dan maupun karakter visual yang nantinya dapat
mitos-mitos yang dipakai masyarakat dimainkan dengan ekspresi gerak tangan,
primitif. Namun dalam pandangan kaum kaki dan kepala. Berikut dibawah ini adalah
postmodernis termasuk Lyotard bahwa hasil karya penulis mengenai Sisi Lain
sains ternyata tidak mampu Petruk dalam bentuk Stick Puppet,
menghilangkan mitos-mitos dari wilayah
ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an
(abad pencerahan) dua narasi besar telah
muncul untuk melegitimasi ilmu
pengetahuan, yaitu : kepercayaan bahwa
205
adalah simbol dari kehendak, keinginan,
karsa yang digambarkan dalam kedua
tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan
tersebut bagaikan kedua orang yang
bekerjasama dengan baik. Tangan depan
menunjuk ke atas, memilih apa yang
dikehendakinya, sedangkan tangan
belakang menggenggam erat-erat apa yang
telah dipilih.
206
Stick Puppet Petruk sebagai Representasi Narasi Kecil atas Dominannya Bentuk Nilai Tunggal
yang Terdapat Pada Petruk Pewayangan, (F.C. Ndaru Ranuhandoko)
207
(esensialis), melainkan bersifat spesifik, dan seterusnya. Hal yang sama, juga
terkait dengan ruang-waktu (historis). berlaku untuk berbagai pakem lainnya.
Misalnya, pakem beksan (tari) gaya
Hal ini, menurut pendapat saya merupakan Yogyakarta.
hal yang wajar saja. Semakin lama kita
memberlakukan suatu pakem tertentu, maka Bukti bahwa suatu pakem merupakan
lama kelamaan pakem yang semula bersifat kesekapatan bersama yang sebenarnya
relatif flexibel, lalu berubah menjadi sangat bersifat cukup luwes (flexible), misalnya
paten dan sukar menyesuaikan diri dengan adalah saat terjadi perubahan dari wayang
kemajuan jaman. Sikap fanatik dan ketidak- beber menjadi wayang kulit purwa (di masa
tahuan kita tentang bagaimana pakem itu masuk dan berkembangnya agama Islam).
dulu dibangun dan disepakati, juga sangat Bukankah pada masa itu terbukti telah
memungkinkan terjadinya pengubahan sifat terjadi perubahan pakem tatahan rupa
suatu pakem menjadi sangat tunggal dan wayang? Juga terjadi pakem baru yang
kaku. merupakan pedoman pembuatan gamelan,
wayang kulit jenis ‘lama’ menjadi jenis
Tetapi, kembali kepada awal mulanya, baru seperti yang kita kenal sekarang.
karena merupakan suatu kesepakatan Bahkan, di masa sekarang kita mengenal
bersama, maka tentu saja suatu pakem bisa pakem garap gendhing yang semula tidak
saja berubah mengikuti jaman, jika ada. Misalnya, pakem garap gendhing
dikehendaki dan dibangun suatu campur-sari.
kesepakatan bersama yang lebih baru dan
mutakhir. Tetapi, sebagai suatu pedoman, Bukti lain, sebelum Ki Narto Sabdho
pakem yang lebih baru tetaplah harus almarhum ‘nekat’ memakai dua gagrak
mengacu kepada sesuatu yang bersifat baik, permainan wayang (Surakarta dan
luhur, bernilai tinggi, bermartabat, dan Yogyakarta) dalam satu pagelaran wayang
estetis. Jadi, akan merupakan kasalahan kulit purwa, pakem permainan wayang
fatal, jika sekelompok orang bersepakat yang dikenal masyarakat di Jawa Tengah
membuat suatu pakem baru, tetapi pakem umumnya adalah pakem pagelaran wayang
itu mempunyai sifat yang buruk, rendah kulit purwa bergaya Surakarta dan bergaya
(candhala), tidak bernilai tinggi, tidak Yogyakarta (Mataram). Kedua gaya
bermartabat, dan tidak estetis. (gagrak) ini, dulu tidak pernah dipakai
secara bersamaan dalam satu pagelaran
Karena di masa lampau suatu wilayah wayang.
secara geografis dikuasai oleh suatu
kerajaan tertentu, maka pakem-pakem itu Pada masa awal upaya penggabungan itu,
lalu disesuaikan dengan karakter kerajaan saya masih ingat benar, Ki Narto Sabdho
tertentu. Karenanya, lalu kita kenal ada dimusuhi banyak orang dan banyak pihak.
pakem tatahan wayang gagrak Surakarta, Dan, hujatan yang dialamatkan kepada
pakem tatahan wayang gagrak Yogyakarta, beliau saat itu, adalah beliau dinyatakan
dan sebagainya. Dalam kasus ini, yang ‘ngrusak pakem’, ‘nerak pakem’, atau ‘ora
dimaksud dengan ‘gagrak’ adalah pola, pakem’. Namun, setelah beberapa tahun
mahzab, corak, atau gaya. Karenanya, kita kemudian, ternyata penggabungan kedua
misalnya lalu bisa mengatakannya sebagai gagrak ini telah menghasilkan ‘pakem baru’
‘pakem tatahan wayang gaya Surakarta’, permainan wayang kulit purwa. Kita, yang
‘pakem tatah wayang gaya Yogyakarta’,
208
Stick Puppet Petruk sebagai Representasi Narasi Kecil atas Dominannya Bentuk Nilai Tunggal
yang Terdapat Pada Petruk Pewayangan, (F.C. Ndaru Ranuhandoko)
209
Frans Magnis – Suseno. (1987). Etika
dasar: masalah-masalah pokok
filsafat moral, Yogyakarta: Kanisius.
Gerrtz, Clifford. (1983). Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka.
Jhon A. Walker. (2010). Desain, Sejarah,
Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
Lexy. J. Moleong. (2004). Metodologi
Penelitan Kualitatif. Bandung,
Remaja Rosdakarya.
Ni Made Purnami Utami. (2009).
Transformasi Jejahitan dalam
penciptaan karya lukis kontemporer.
Nyoman Kutha Rata. (2010). Metodologi
Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Supratikno. (2011). Peradaban
Jawa dari mataram kuno sampai
majapahit akhir. Depok: Komunitas
Bambu.
Sadjiman Ebdi Sanyoto. (2009). Nirmana:
Dasar-dasar Seni dan Desain.
Jakarta: Jalasutra.
Sri Mulyono. (1982). Wayang: Asal-Usul,
Filsafat, dan Masa depannya. Jakarta:
PT Gunung Agung.
Tommy F. Awuy. (2004). Sisi Indah
Kehidupan: Pemikiran Seni dan
Kritik Teater, Jakarta, MSPI.
210