NPM : 6112001157
Seni adalah fenomena misterius. Seni penuh dengan ambiguitas, ketidakpastian, pikir saya berbagai macam interpretasi
dapat diterima dalam komunitas penikmat seni. Suatu karya seni dapat mencerminkan kebenaran realitas, terjadi sebab
seorang seniman bermaksud demikian. Bagaimana bila seorang seniman menciptakan suatu karya fiksi yang
kemungkinan tidak memiliki makna tersirat? Tidak memiliki nilai realitas? Melainkan hanya penikmat seni sajalah yang
mengada-ada kan makna tersebut? Apakah itu tetap dikatakan bahwa karya tersebut mencerminkan kebenaran? Saya
pikir iya.
Kebenaran dalam seni disampaikan dengan berbagai cara, tersirat maupun tersurat. Seperti peran dan
pentingnya metafora dalam suatu karya seni, yaitu mampu melatih kemampuan analitik yang berkaitan dengan dunia
realitas. Selain itu ketajaman imajinasi, kepekaan rasa, nalar logis terhadap objektivitas eksistensial. Dalam proses
analitik dan memahami seni itu sendiri secara keseluruhan dapat disadari bahwa, bidang estetika dan seni seakan-akan
hanya lah perkara selera subjektif dari tiap penikmat karya seni.
Perkembangan dunia seni disempitkan menjadi sekadar urusan karya-karya artifaktual maupun hanya soal kemasan
dinyatakan oleh Bambang Sugiharto bagian pendahuluan; Buku Untuk Apa Seni? Seni disuarakan dalam berbagai bentuk,
sebagai kegiatan elitis, tersendiri, pelik, dan sulit dimengerti maupun keterampilan praktis sampingan dan demi
kesenangan.
1
HEIDEGGER'S ONTOLOGY OF ART.The Work of Art as Articulating a Culture's Understanding of Being. p.409
kenyataan itu akan selalu abadi berada di masa tertentu. Sebagai contoh, saya ambil dari koleksi karya karikatur di
Museum Jim Crow pada seksi Anti-Black Imagery banyak karya seni, barang-barang antik pada masa rasisme di Amerika
Serikat. Orang kulit hitam telah digambarkan dalam budaya populer sebagai eksotik yang menyedihkan, biadab
kannibalistik, penyimpangan hiperseksual, badut kekanak-kanakan, pelayan yang patuh, korban yang membenci diri
sendiri, dan ancaman bagi masyarakat. Poin yang ingin saya tonjolkan adalah karya seni ini sangat amat kontroversial
pada zamannya dengan otonomi fungsional untuk bertindak rasis, tidak terikat oleh otonomi etis, namun memiliki
kebebasan ‘ke luar’ (ad extra) -pada masa itu keterbatasan, kekang untuk berekspresi tidaklah ada (1800s)2- Kebenaran
realitas melekat pada karya tersebut, namun relevansi terhadap pengamat dari generasi sesudahnya tanpa ada
interpretasi makna dari generasi yang merasakan kompleksitas batin pasti akan mendapatkan kebenaran pengalaman
yang jauh berbeda, dan barangkali hanya sebatas pengetahuan dan mengerti. Namun tidak mendalami seberapa
rasisnya, seberapa pengamat seni merasakan teror pada masa itu. Tak dipungkiri juga bahwa hadirnya kembali
karya-karya tersebut dapat membuka luka lama terhadap pada pengamat seni maupun yang pernah mengalami.
“Kebenaran eksistensial, kebenaran kenyataan dan pengalaman, bukan kebenaran ideal, ilmiah dan normatif”
(Rahayu, 2018, 189)
Fluiditas karya seni, kemajuan peradaban menimbulkan perubahan perilaku manusia. Pemahaman konvensional
mengenai ‘ esensi’ dan ‘makna’ berubah. Emoticon [:), :’), :’(, :0], kode dalam proses komunikasi yang mempengaruhi
kebenaran realitas, seni yang melibatkan tanda visual ini sering dipergunakan oleh berbagai khalayak pengguna aplikasi
mengirim pesan. Efek pemaknaan tanda visual dalam teks melibatkan logika imajinatif3.
Seni Menghidupkan
“Pendidikan ‘akhlak’ pun sering dimengerti sekadar sebagai pendidikan agama atau budi pekerti. Penanaman doktrin dan
nilai-nilai tentu ada perlunya, tapi yang lebih penting dan tidak sering disadari adalah hati atau ruh butuh mengenai
kerumitan batin manusia, jatuh bangunnya dalam pergumulan nilai, kedalaman penderitaan mereka, aneka benturan
yang mereka alami,... seni yang memungkinkan mereka mengenali hal itu dalam kompleksitasnya” (Sugiharto, 2018, 41)
Dari situlah yang dimaksud dengan kebenaran eksistensial, selain indah, seni juga mengindikasikan kebenaran realitas
kehidupan manusia. Melalui berbagai bentuk seni, seni mampu memberikan kehidupan, kesadaran, serta pembelajaran
bagi tiap pengamatnya. Bentuk film, musik, lukisan, puisi, teater, foto; still foto (ada ‘being’) membekukan aneka
peristiwa yang senantiasa berlari, Sinematik; realitas sinematik, mengalami sinema, sinema sebagai pengalaman , itulah
manusia memahami hakikat ‘ada’ (being), mencerminkan imaji-imaji yang merupakan jalan masuk kepada realitas nyata
pada pengamat seni.4
Contoh: “Things I Have Learned in My Life So Far” Stefan Sagmeister; Fenomena kehidupan dan kematian oleh David
Carson pada karyanya ‘Life and Death’ (1997 , Itali)
2
Jim Crow Museum, Ferris State University. Anti-Black Imagery
3
Ajie, S. (2018). Postmodernisme. In Untuk Apa Seni ? (4th ed., p. 269). Pustaka Matahari.
4
Sugiharto, B. (2018). Filsafat Film - Jean-Luc Nancy (1940).. In Untuk Apa Seni ? (4th ed., p. 358). Pustaka Matahari.
13 THE FLOATING PIERS
Instalasi seni The Floating Piers (2016) oleh Christo dan Jeanne-Claude ini mengesankan bagi saya karena lebih
dari empat puluh tahun merencanakan konsep instalasi, melibatkan banyak sekali orang, dan instalasi ini
menghubungkan antara daratan dengan berada di atas Danau Iseo yang indah di Italia, di utara Milan. Kemudian
mengeluarkan biaya yang amat besar dengan pemanfaatan teknologi dalam merealisasikan suatu maha karya
(2005-2016) yang hanya dibuka untuk 2 minggu saja. Dibalik kerja keras semua orang yang terlibat, tujuan utama dari
pekerjaan ini adalah untuk menciptakan perasaan berjalan di atas air bagi pengunjung.
“I know these projects are totally irrational, totally useless,” Christo has said. “The world can live without
them, nobody needs them, only me and Jeanne-Claude. She always made the point that they exist because we like to
have them, and if others like them, it’s only a bonus.”5
Karya instalasi seni ini ternyata terwujud karena keinginan pribadi seniman itu sendiri dan pandangan bahwa karya ini
layak dan harus ada. Dari cara berpikir ini lah yang membuat saya terkesan, bahwa segala bentuk karya seni layak untuk
ada dan ter-realisasikan atas dasar apapun, tanpa menghiraukan batasan-batasan yang ada.
5
ArchitectureAU. (2017). “Power of the aesthetic”: Christo and Jeanne-Claude’s Floating Piers. [online] Available at:
https://architectureau.com/articles/postcard-christo-and-jeanne-claudes-floating-piers/. ( diakses 04/11/2021 12:10 WIB)
DAFTAR PUSTAKA
Dreyfus, H. L. (Ed.). (2005). Heidegger's Ontology of Art. Heidegger's Ontology of Art, 25, 12.
https://ide.unpar.ac.id/pluginfile.php/550431/mod_resource/content/0/Ontology%20of%20Art.pdf
Mora, P. (2016, 7 30). Constructing The Floating Piers: How the Last Great Work of Christo and Jean-Claude was Built.
Constructing The Floating Piers: How the Last Great Work of Christo and Jean-Claude was Built.
https://www.archdaily.com/790428/constructing-the-floating-piers-how-the-last-great-work-of-christo-and-jean-
claude-was-built?ad_medium=gallery
Rahayu, T. (Ed.). (2018). Kebenaran Desain. In Untuk Apa Seni? (4th ed., p. 398). Pustaka Matahari.
Sugiharto, B. (2018). Manfaat Seni Murni. In Untuk Apa Seni ? (4th ed., p. 398). Pustaka Matahari.
Sugiharto, B. (2018). Filsafat Film - Jean-Luc Nancy (1940).. In Untuk Apa Seni ? (4th ed., p. 358). Pustaka Matahari.
Wright, L., & Baracco, M. (2017, 05 22). ‘Power of the aesthetic’: Christo and Jeanne-Claude’s Floating Piers. ‘Power of
https://architectureau.com/articles/postcard-christo-and-jeanne-claudes-floating-piers/