Anda di halaman 1dari 8

NAMA : MONIKA SUCI WULANDARI

PRODI : SENI MURNI


NIM : 07402022
TUGAS :TEORI SENI

SENI DAN REALITAS BARU


Perdebatan mengenai hubungan seni dan realitas telah berlangsung dari masa ke masa sejak
zaman Plato. Ada tiga golongan besar pendapat mengenai keterkaitan seni dan realitas:
1) seni merupakan imitasi atau tiruan dari realitas;
2) seni merupakan penyempurnaan dari realitas;
3) seni sama sekali terpisah dari realitas. sebelum membahas mengenai perdebatan tersebut,
terlebih dahulu penulis kemukakan mengenai definisi dari seni dan realitas. Seni alias kunst,
dalam kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert, mempunyai pengertian hikmat,ilmu,
pengetahuan, kepandaian, ketukangan. Pengertian ini sesuai dengan kata art dalam bahasa
Inggris yang berarti skill in making or doing yang ditulis dalam ‘Art an The Arts’, The World
Book Encyclopedia. Seni di sini lebih menunjuk kepada perbuatan atau ketrampilan, bukan
pengetahuan. Pengertian seni seperti ini nampak sejalan dengan asal kata art dalam bahasa
Yunani yaitu techne yang berarti ketrampilan.
Istilah realitas diperkenalkan ke dalam filsafat pada abad ke 13, oleh Duns Scotus, yang
menggunakan istilah itu sebagai sinonim being (yang –ada, pengada). Realitas mencakup
baik apa yang bereksistensi maupun yang bersubsistensi (misalnya kemungkinan-
kemungkinan). Ada beberapa pengertian realitas, dalam Kamus Filsafat oleh Lorens Bagus,
antara lain: segala sesuatu yang ada; jumlah seluruh semua yang ada; alam semesta; keadaan
atau kualitas sesuatu yang real, atau benar-benar ada, mencakup segala sesuatu yang ada.

Diskursus hubungan seni dan realitas


Sejarah diskursus mengenai hubungan seni dan realitas, sebagaimana dikemukakan di atas,
sudah dimulai sejak Plato. Plato, menyatakan bahwa seni ialah mimesis atau tiruan realitas.
Sedangkan, realitas tersebut merupakan tiruan dari dunia ide. Karya seni merupakan tiruan
dari tiruan. Pematung, misalnya, ia membuat patung penggembala kerbau, maka ia hanya
meniru penggembala kerbau di dunia nyata, dan penggembala kerbau dalam dunia nyata
tersebut hanya merupakan copy dari dunia ide

Teori imitasi yang dianut secara kaku dan tanpa kompromi, memandang daya spontanitas
sebagai faktor perusak dan bukannya faktor pembangun. Spontanitas dianggap sebagai
‘penyesatan’ terhadap wujud murni benda-benda. (Cassirer, 1987: 210).

Aristoteles, berbeda dengan Plato, menyebutkan bahwa seni merupakan penyempurnaan dari
realitas. Seniman mempunyai tugas untuk menciptakan karya seni yang mengatasi realitas.
(Ratna, 2007: 26). Misalnya, pemandangan gunung dan sawah semakin indah ketika telah
disempurnakan pelukisnya di atas kanvas.

Perdebatan antara mimesis (seni merupakan tiruan realitas) dengan creatio (seni merupakan
ekspresi manusia) belum berakhir. Di Barat, hubungan antara seni dengan realitas merupakan
masalah aktual sepanjang masa. Pada Abad pertengahan, karya seni harus meniru alam,
manusia harus meneladani ciptaan Tuhan. Keindahan yang dihasilkan manusia meskipun
berwujud berbeda-beda tetapi merupakan penjelmaan ‘Yang Esa’. Sekitar abad ke-18 konsep
karya seni sebagai peniruan alam mulai ditinggalkan. Subjek kreator dipahamai sebagai
pencipta mutlak. Tokoh penting zaman ini ialah Jean Jacques Rosseau dengan bukunya Les
Confession. Rosseau menempatkan manusia sebagai subjek yang hanya patuh pada
hukumnya sendiri, sehingga manusia sebagai yang memiliki pengalaman total, melalui
imajinasinya berhasil untuk membayangkan segala sesuatu. Puncak kompetensi individu
sebagai subjek creator terjadi abad ke-19, yang dikenal sebagai Abad Romantik,
dengan genre dominan adalah puisi lirik. Seni mencoba dipisahkan dari realitas (Ratna, 2007:
28).
Teori mimesis kemudian muncul lagi di abad ke 19, sebagai counter dari ‘seni yang selalu
merupakan ekspresi pribadi’, muncullah aliran realisme dan naturalisme. Realisme
menyatakan bahwa seni itu cermin dari realitas, atau cermin dari masyarakat. Sedangkan
kaum naturalisme, menganjurkan bahwa para seniman bekerja berdasarkan sikap ilmiah.
Sebuah karya seni harus dimulai dengan kerja observasi dan eksperimen. Imajinasi sama
sekali tidak dibutuhkan. Kaum naturalis jelas menolak kaidah seni Aristoteles yang
menekankan karakteristik general dan universal dalam setiap karya seni.
George Lukács, mencatat bahwa kemunculan realisme abad ke-19 ini merupakan penerus
ajaran Plato ‘seni sebagai mimesis’. Menurut Lukács, perkembangan sastra realis dipengaruhi
oleh pemahaman yang berubah terhadap sejarah. Sejarah sebelumnya dipandang sebagai
suatu perubahan yang tetap dan alamiah. Kemudian terjadi perubahan, sejarah menjadi
dipahami sebagai sesuatu yang arah geraknya dapat ditentukan oleh manusia. Manusia
mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Berdasarkan pemahaman baru terhadap sejarah
tersebut, lahirlah aliran seni realisme sosialis.
Diskursus mengenai hubungan seni dan realitas terus berlanjut. Sekolah Frankfurt di paruh
terakhir abad 19 menangkap terjadinya krisis kultural yang disebabkan kegagalan karya seni
memainkan posisi kritis. Karya seni, menurut mazhab Frankfurt, sebagaimana filsafat
terlempar dalam dua jebakan. Jika filsafat terpecah ke dalam ilusi alternatif yang dibuat
Heidegger sehingga menjadi filsafat yang serba abstrak dan ke dalam positivistik, demikian
juga yang terjadi dalam seni, ia terlempar ke dalam dua jebakan yang berbeda dari filsafat
tapi memiliki substansi yang sama.Ini menggambarkan bahwa keindahan seni merupakan
sesuatu yang independen, terlepas dari ketakutan dan kecemasan masyarakat. Estetika
menjadi sesuatu yang seakan hadir dalam ruang vakum. Konsep ‘seni untuk seni’ atau art
for art’s sake, menurut analisis Sekolah Frankfurt, lahir dari gagasan modern mengenai
individuasi, yang tidak lain muncul dari ontologi Heidegger. Konsep ini mengisolasi karya
seni dari konteks sosial-historis. Jebakan kedua, pararel dengan filsafat yang terjebak dalam
postivisme,Karya seni hanya mengafirmasi realitas yang ada, kehilangan kemampuan untuk
menempatkan diri dalam posisi kritisnya. Peranan dan fungsi karya seni di sini ialah hanya
memproduksi kembali realitas secara terus-menerus. Seni terjebak dalam baik ultrarealisme
ala Zhdanov dari kubu sosialis, atau ultrarealisme ala Warhol dari kubu kapitalis. Di tengah
perdebatan antara abstraksionisme dan ultrarealisme yang satu sama lain mengklaim dirinya
yang paling benar, Sekolah Frankfurt membangun idealisme untuk menciptakan kembali
momen-momen historis di mana seni mampu mengatasi segala kemandulan tadi dan kembali
bersikap kritis

Publik seni
Seni publik merupakan karya seni yang diletakkan di ruang publik, bukan
hanya untuk dilihat saja, melainkan untuk berinteraksi dengan masyarakat
dan lingkung sekitar. Oleh sebab itu, seni publik mampu menciptakan ruang
yang berbeda melalui intervensi dari karya yang dibuat. Karya seni publik
dapat bersifat dinamis akibat pengaruh zaman dan perkembangan teknologi di
era modern. Proses kreatif seniman dalam mengintervensi ruang publik
melalui teknik dan media yang beragam, menyebabkan karya seni publik
bersifat interaktif, menarik perhatian dan kontroversial. Karya seni publik
memberikan pengaruh terhadap respon masyarakat yang berperan sebagai
lsquo;observer rsquo;, dalam bentuk pola reaksi dan tingkah laku dalam
mengalami ruang kota. Pola tingkah laku dipengaruhi oleh persepsi terkait
penilaian terhadap karya seni publik. Beragam jenis karya seni publik yang
memiliki nilai makna dan estetika dimanfaatkan sebagai elemen yang
digunakan dalam perancangan kota dengan istilah lsquo;reinvention rsquo;.
Hal tersebut untuk meningkatkan kualitas ruang kota agar menarik perhatian
masyarakat dalam mengalami ruang kota dimana karya diletakkan. Seni
publik yang dipadukan dengan perancangan kota, menjadikan ruang publik
kota menjadi livable yang mengundang untuk berinteraksi, bertinggal maupun
berkunjung. Seperti studi kasus yang telah dilakukan di kota Bandung dan
studi preseden di kota Melbourne, kedua kota memadukan seni dalam konsep
perancangan kota untuk menciptakan lingkung ruang publik yang livable.
Seni dan moralitas
Pengertian umum istiah ‘moral’, seperti diterangkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah:
(i) ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; atau
(ii) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,
berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap
dalam perbuatan; serta
(iii) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Namun dalam praktek
penggunaannya, tak semua orang juga merujuk kamus.
Kebanyakan diantara kita memahami ‘moral’ hanya dalam pengertian
(i) tata nilai yang baik dan luhur, tanpa menyadari lagi bahwa pengertian itu
berkaitan dengan
(ii) sumber-sumber ajaran yang direpresentasikan melalui suatu narasi secara
tertentu. Pengertian ‘moral’ bahkan sering terlupakan sebagai
(iii) kondisi mental atau perasaan yang direpresentasikan sebagai ungkapan.
Pada dasarnya, pada soal representasi inilah paling jelas terkait masalah
seni dan moral.
Sejarah masalah mengenai kaitan seni dan moral telah berlaku panjang.
Masalah ini tak hanya mencakup soal bagaimana penilaian moral digunakan untuk
menilai seni, atau karya seni; tapi juga persoalan bagaimana kita bisa pahami
manifestasi penilaian moral seni. Dalam sejarah tradisi estetik dijelaskan bahwa
terdapat dua kutub yang sering diposisikan sebagai cara pandang yang
bertentangan. Seiring perkembangan prinsip-prinsip penciptaan seni yang
menganggap bahwa seni memiliki wilayah penilaian yang otonom, maka
berkembang pula pandangan yang menyakini bahwa penilaian moral bagi seni
berlaku terpisah dari penilaian yang berlaku bagi pengalaman dan prektek
kehidupan. Seni dianggap memiliki wilayah moral tersendiri, dan hanya bisa diuji
melalui caranya secara khas. Pandangan ini disebut sebagai sikap ‘nominalisme’,
didukung kaum ‘nominalis’, yang berkembang terutama seiring pertumbuhan prinsip-
prinsip modernisme dalam seni. Pandang di kutub yang lain, dianggap lebih
‘tradisional’, disebut sebagai sikap ‘utopisme’. Kaum ‘utopis’ ini, sebaliknya,
menganggap bahwa moral seni justru semestinya terkait erat dengan perkembangan
nilai-nilai yang berlaku dalam pengalaman hidup. Sebenarnya, kedua pandangan ini
tetap memiliki titik pijakan yang sama, keduanya berusaha menempatkan posisi
penting seni dan moral dalam upaya peningkatan kesadaran manusia terhadap nilai-
nilai hidupnya. Dalam perkembangan saat kini, kedua pandangan itu tak lagi dilihat
sebagai kutub-kutub yang seolah berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan
satu dengan lainnya. Kini, aspek-aspek dari keduanya tengah digali kembali dan
justru dianggap saling memperkaya makna kesatuannya.
Dalam pembicaraan tentang seni dan moral, sebenarnya terdapat aspek lain
yang turut memperkaya kaitan diantara keduanya, yaitu: aspek kebebasan. Baik
kaum nominalis maupun utopis sama-sama telah mensyaratkan pembicaraan
tentang kebebasan.Seni dan ekspresi seni dianggap sebagai unsur yang mampu
menghidupkan imajinasi setiap orang terhadap pertimbangan nilai-nilai moral,
hingga akhirnya membebaskan beban yang tumbuh dari pengalaman hidup setiap
orang. Sedangkan bagi kaum nominalis, ihwal cara menghidupkan dunia kebebasan
imajinasi seni secara khusus dan khas itulah yang dianggap jadi perkara utama dan
penting.Tentu saja masalah kebebasan estetis ini berlaku sebagai nilai pengalaman
yang bersifat khusus, yang menetapkan semacam jarak tertentu terhadap
pengalaman dan praktek kehidupan praktis. Bagi pandangan nominalisme,
kebebasan imajinasi estetik ini penting sebagai pra-kondisi bagi segi penilaian moral
dan sikap otonom yang bersifat politis.
Dalam perkembangan seni rupa masa kini, termasuk juga di Indonesia, kedua
cara pandang itu telah jadi warisan sikap yang berlaku saling terpaut. Segi-segi
tertentu yang terbentuk dari masing-masing cara pandangan tersebut kini berlaku
campur, atau tumpang tindik, dan tidak seluruhnya bisa terjelaskan secara tegas dan
ketat. Berkembangnya persepsi tentang seni dan moral, serta kaitan diantara
keduanya, dalam manifestasi karya-karya dalam perkembangan seni rupa Indonesia
menegaskan bahwa penerjemahan kedua warisan pandangan itu dianggap bisa
berlaku mewakili berbagai pandangan kultural. Persepsi tentang nilai-nilai seni,
moral dan kebebasan itu beroerasi dalam berbagai varian praktek kultural yang
berbeda-beda, keseluruhannya bercampur dan berada dalam bingkai nilai-nilai yang
bersifat umum sekaligus juga khusus; universal juga personal; yang global tapi juga
lokal. Pengamatan terhadap segi-segi sensitivitas ekpresi seni toh tetap
menunjukkan persepsi umum yang menyatakan anggapan, bahwa: seni, sepanjang
seseorang menganggapnya penting, akan selalu berlaku pada sisi nilai kebebasan.
Kebebasan moral dan kebebasan seni adalah dua pokok yang tak lagi bisa
dianggap terpisah, sebagaimana halnya kita maklum bahwa bagaimanapun seni
susah bisa dipisahkan dari berbagai manifestasi nilai dan praksis hidup. Pandangan
kaum nominalis , yang sering disalah artikan sebagai sikap elitis yang memarjinalkan
pengalaman hidup, pada dasarnya juga bermaksud memuliakan nilai-nilai
pengalaman hidup yang seolah-olah disangkalnya. Kebebasan juga yang
menentukan penilaian seseorang tentang nilai-nilai moral, karena pada dasarnya
nilai-nilai tersebut hadir serta tumbuh secara jamak dalam berbagai kerangka
budaya dan peradaban. Dalam prakteknya, seni merepresentasikan respon
seseorang terhadap berlakunya nilai-nilai. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari
setiap orang tentu akan memiliki apa yang disebut sebagai ‘alasan bagi tindakan
keseharian’ (every day reasoning), menyangkut pengetahuan kita tentang bahasa
keseharian serta berbagai makna dari asosiasi verbalnya.
Dalam praktek perkembangan seni rupa Indonesia, sumber-sumber rujukan
moral terutama berasal dari berbagai kepercayaan agama dan budaya melalui
narasi-narasi serta bentuk-bentuk simbolik yang mewakilinya. Seiring kemajuan
modernitas Indonesia, muncul dan berkembang berbagai narasi ‘lain’ yang
kemudian jadi rujukan moral. Narasi-narasi ini tak hanya bersumber pada keyakinan
religi dan keyakinan budaya lokal saja, tetapi juga merujuk pada keberlangsungan
tata nilai yang besifat global ?muncul sebagai issue-issue mengenai, misalnya:
keseimbangan ekosistem dunia, perdamaian dunia, keadilan sosial, gaya hidup
global, mitologi peradaban manusia, dll. Dalam implementasinya, berbagai rujukan
tersebut saling bercampur dan berinteraksi. Manifestasi karya-karya dalam bingkai
relasi seni dan moral ini, sedikitnya, bisa dinyatakan melalui tiga ‘strategi’ atau cara
penyampaian, yaitu: (a) pernyataan tentang nilai-nilai keutaman serta kebaikan
(goodness); (b) pernyataan melalui humor; dan (c) pernyataan yang
mempertanyakan atau penyampaian kritik.
Ihwal nilai keutamaan serta kebaikan merupakan manifestasi yang berlaku
umum di Indonesia; menyatakan keyakinan seseorang tentang makna kehidupan
yang semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini
menyampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan moral
sebagai arah rujukan makna-makna yang bisa digali pada karya-karya yang
dikerjakan para seniman. Asumsi utama yang mendasari pengerjaan karya-karya
dalam cara ini, adalah: penempatan alasan, ataupun jawaban, moral sebagai pijakan
makna-makna menyangkut persoalan yang jadi daya tarik atau tantangan bagi para
seniman untuk dinyatakan sebagai karya.
Pernyataan melalui cara humor adalah fenomena yang umum dan
berlangsung di berbagai bentuk peradaban dunia. Dalam prakteknya, pernyataan
humor ini disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh
kebiasaan, tradisi, maupun kode-kode budaya tertentu yang berlainan. Namun
demikian, akan selalu terdapat benang merah yang kadang mampu menunjukkan
persinggungan jenis ‘selera humor’ satu peradaban dengan yang lainnya.Humor
menjadi semacam ‘sub-versi’. Humor dan lelucon merupakan sebentuk
‘penyimpangan’, bahkan bisa berlangsung sebagai manifestasi dari sesuatu di luar
aturan ?jadi manifestasi dorongan ‘dis-order’. Sesungguhnya, tidak selamanya
berlaku seperti itu. Representasi humor justru tidak menunjukkan secara pasti
pendirian yang membela satu sisi pandangan tertentu (misalnya sebagai kubu yang
melawan versi atau order resmi), selain ‘hanya’ menunjukkan kandungan versi
ketidak-sepahaman. Humor bisa dianggap sebagai representasi ketidak-sepahaman
(discord) tanpa pernyataan konflik
Karya-karya yang menunjukkan kritik atau pernyataan yang mempertanyakan
adalah juga versi lain dari representasi sikap ketidak-sepahaman. Manifestasi karya
dalam cara ini mengajukan ekspresi sikap meragukan atau menanyakan ulang
situasi atau berbagai persepsi tentang realitas yang telah dianggap berlaku umum.
Lebih jauh, bahkan karya-karya tersebut menunjukkan sikap tidak percaya.
Pernyataan tentang batas sikap percaya dan tidak percaya ini bisa dinyatakan dalam
representasi masalah secara langsung (dengan berterus terang), maupun secara
tidak langsung (dalam tipuan-tipuan penyataan).
Ketiga cara yang menyampaikan cara hubungan seni dan moral ini, tentu
saja, tidak bisa dianggap terpilah-pilah secara tegas dan ketat. Sebaliknya, justru,
lebih banyak menunjukkan kandungan persinggungan soal. Karya-karya yang
mengandung salah satu aspek cara tertentu penyampaian hubungan secara
menonjol, bisa saja memiliki kaitan dengan cara-cara penyampaian yang lainnya.

Konteks seni

1. Seni Dan Masyarakat

Ada yang menyatakan bahwa kebudayaan padadasarnya adalah suatu system nilai. Dalam suatu system nilai
selalu ada apa yang disebut dengan nilai dasar. Nilai dasar inilah yang mendominasi nilai-nilai dalin dalam
kebudayaan tersebut. Dalam masyarakat dagang, misalnya, nilai daasarntya adalah bahan untuk bergadang,
baik berupa modal, ketrampilan maupun sarana perdagangan. Dalam hiddup masyarakat yang demikian itu,
materi sangat penting dalam kehidupan. Maka nilai seni masyarakat dagangpun mengacu kepada nilai dasar ini,
yakni karya seni yang bisa memberikan kenikmatan yang kurang lebih bersifat materi, seperti
tarian striptease serta nyanyian atau tarian sensual.

Secara teori memang nampaknya mudah memahami hubungan antara masyarakat dan keseniannya. Hal ini
benar apabila suatu masyarakat masih merupakan suatu kesatuan monolit, keutuhan berdasarkan tempat
terbatas. Misalnya pada masyarakat suku yang terasing. Dalam masyarakat demikian itu akan segera terlihat
prilaku seseorang dengan wilayah kebudayaannya. Seorang dari Kanekes (Baduy dalam) misalnya, segera akan
dikenal sebagai warga kebudayaan Kenekes. Dengan demikian akan segera pula diketahui nilai-nilai dasar
kebudayaan mereka dan semua sub-nilainya.

2. Latar Sosial Seni

Setiap karya seni sedikit-banyak mencerminkan setting masyarakat tempat itu diciptakan. Dan seniman itu selalu
berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. Kehidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan yang
langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas kesenimanannya. Dalam menghadapi
rangsangan penciptaannya, seniman mungkin sekedar saksi masyarakat, atau bisa juga bisa sebagai kritikus
masyarakat, atau memberikan alternatif dari kehidupan masyarakatnya, atau memberikan pandangan baru yang
sama sekali asing dalam masyarakatnya. Dalam hal ini, seniman memainkan peran keberdayaan dirinya yang
bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi, meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat
dengan tata nilainya sendiri, dan dia belajar hidup dengan tata nilai tersebut, ia juga mempunyai kebebasan
untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakatnya itu.

Sejauh mana sebuah karya seni mencerminkankan masyarakatnya harus dicermati dari asal usul sosial
senimannya, pendidikan seni yang diperolehnya, dan untuk kelompol mana ia menciptakan karyanya. Dengan
meneliti itu semua akan segera terlihat anasir mana dalam karyanya yang membawa dasar ideology sosial
tertentu yang pernah dikenal dan dialaminya. Selain itu, masih juga harus diingat juga sikap seniman terhadap
rangsangan yang menjadi objek seninya.

3. Seni Sebagai Produk Masyarakat

Kita memang menyadari betul bahwa setiap karya seni adalah ciptaan seorang individu yang kita sebut seniman.
Setiap individu memainkan peran individualitasnya dalam masyarakat. Dia seorang yang bebas
mengembangkan nilai-nilainya sendiri. Seorang seniman, seperti halnya kaum intelektual pada umumnya, dapat
belajar nilai-nilai diluar konteks masyarakat dan bangsanya. Sebaliknya, masyarakat umumnya belum tentu mau
belajar nilai-nilai dari luar konteksnya sendiri. Seniman bebas mengembangkan nilai hidupnya sendiri.

Nilai seni, nilai estetik, seperti halnya nilai agama, etika, sosial dan lain-lain, diperoleh seorang anggota
masyarakat dari lingkungan hidupnya, dari masyarakatnya. Seorang anggota masyarakat yang ingin menjadi
pelukis atau sastrawan mula-mula belajar apa yang disebut lukisan dan kesusastraan dari masyarakatnya. Dia
menyaksikan pameran lukisan, melihat tetangganya pelukis sedang melukis, melihat reproduksi lukisanm di
buku-buku, membaca ulasan seni lukis, menyaksikan teman-teman sekolahnya mulai belajar melukis. Semua
nilai estetik tentang apa yang seharusnya disebut lukisan, dipelajarinya dari masyarakat sekitarnya. Begitu pula
dia belajar nilai agama, nilai moral, nilai adat, dan nilai sosial dari masyarakatnya pula.
4. Masyarakat Sebagai Produk Seni

Pandangan disinterestedness dalam seni pada dasarnya hanya merupakan gagasan, sedangkan dalam praktik
atau sejarah seni, jarang muncul seni yang hanya mementingkan aspek bentuk keindahan demi keindahan itu
sendiri. Hampir setiap karya seni merupakan ekspresi isi, baik berupa pemikiran,perasaan atau nilai-nilai
kehidupan. Justru hadirnya seni memperkuat makna bentuknya. Jadi pada dasarnya, sejak asal mula munculnya
karya seni dalam sejarah manusia, benda seni itu selalu mempunyai isi, bukan sekedar bentuk tanpa isi. Makna
bentuk itu ditentukan oleh kandungan bobot isinya. Setiap karya seni besar selalu mengandung aspek isi dalam
bentuk yang memang estetis.

Seni selalu mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, bukan semata-matagungsi kenikmatan, keindahan
bentuknya, melainkan juga keindahan isinya. Keindahan murni bentuk hanya terdapat dalam alam.
Pemandangan laut atau pegunungan, dalam alam nyata, menampilkan kemurnian bentuk alam itu sendiri. Ini
berbeda dengan lukisan. Dalam karya seni lukis pemandangan alam, selalu terselip pesan yang
hendakdisampaikan si pelukis dalam lukisannya. Bahkan dalam seni music yang sama sekali tidak mengambil
objek nyata kehidupan pun masih dapat dikenali isi pesannya, entah itu emosi kesedihan, kemuliaan, atau
kemarahan.

5. Seni Dalam Konteks Moral

Pembicaraan seni dan moral biasanya mengacu kepada dua kutub pandangan.Pandangan pertama menyatakan
bahwa seni itu harus bersendi kepada moral, sementara pandangan yang lain berpendapat bahwa seni dan
moral itu dua tugas yang berbeda sehingga seni iut tidak harus berlandaskan moral. Golongan terakhir terknal
dengan semboyan ‘seni untuk seni’. Seni itu mengabdi kepada keindahan, sedangkan moral itu kebaikan. Seni
yang sejati sudah barang tentu bermoral, moralnya adalah keindahan itu sendiri, sebab keindahan adalah
sebuah kebaikan dan kebenaran.

Satu satunya moralitas yang dapat dituntuk dari seniman adalah kejujurannya. Seorang yang melakukan
penipuan dalam karyaseninya jelas akan runtuh namanya sebagai seorang seniman. Kalau seorang seniman
mencuri ide orang lain, atau menjiplak ide seniman lain, dalam karya yang diakuinya sebagai miliknya yang
otentik, maka seniman yang demikian dicoret dari dunia seni. Seniman demikian itulah yang tidak mempunyai
etika seni. Bisa jadi moralitasnya seorang seniman benar-benar amburadul, tetapi selama berkarya dia jujur
pada dirinya, dia otentik, asli, maka itulah moralitasnya.

6. Seni dan Ilmu Pengetahuan

Perbedaan antara seni dan ilmu dapat bermacam ragam. Seni menyangkut penghayatan dalam sebuah struktur
pengalaman estetis, sedangkan ilmu menyangkut pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu. Seni
menyangkut masalah penciptaan, sedangkan ilmu menyangkut masalah penemuan. Seni menghasilkan sesuatu
yang belum ada menjadi ada. Ilmu selalu berdasarkan atas apa yang sudah ada. Pendekatan ilmu
menggunakan perangkat intelegensia, analisis, dan pengamatan terhadap dunia material. Pendekatan seni
mengarahkan pandangannya ke lubuk batin manusia, di sudut-sudutnya yang tersembunyi dan rahasia. Seni
menghadirkan kualitas pengalaman yang unik dan spesifik, seperti soal kesepian, penderitaan, keagungan dan
kemuliaan, keperkasaan, kesedihan, yang tak jelas dapat dirumuskan dalam bidang keilmuan. Dalam ilmu
segalanya kuantitatif, terukur dalam parameter tertentu.

7. Seni dan Politik

Seni adalah suatu kualitas transdental, dalam arti seni yang sejati. Sebuah karya seni merupakan ungkapan nilai
seorang seniman setelah dia merenungkan suatu objek. Nilai itu amat subjektif sifatnya. Tetapi, karena renungan
seniman yang sungguh-sungguh jujur dan mendalam terhadap suatu objek itu dilakukan untuk menemukan
kebenaran universal, hasilnya akan diterima secara objektif oleh penangggap karya seninya.

Setiap seniman adalah seorang pencari dan pencipta. Yang dicari adalah nilai kualitas, nilai esensi, nilai emosi
yang baru dan segar atas objek yang sama yang mungkin telah berkali-kali direnungkan oleh seniman lainnya.
Yang diciptakan adalah hasil temuan tadi dalam wujud intrinsic benda itu sendiri. Ilayah pencarian dan
penemuan seniman adalah wilayah diluar objeknya itu, namun sebenarnya muncul dari objek tersebut. Inilah
wilayah diluar objek-tampak, suatu wilayah transenden. Suatu wilayah diluar kenyataan material duniawi,
wilayah luas yang tak terbatas bagi pengembaraan rohani manusia.

8. Pernak Pernik Sejarah Seni


Adanya masa kini disebabkan oleh adanya masa lampau. Semua nilai yang hidup dalam masyarakat sekarang,
baik yang terealisasi dalam kenyataan maupun yang hanya merupakan idaman tertinggi, adalah kumpulan
warisan nilai-nilai masyarakat tersebut dimasa lampau. Memang tidak semua nilai masa lampau (moral, religi,
sosial, seni, politik, ekonomi, dan lain-lain) diterima, disetujui, dan dilaksanakan pada masa kini, tetapi sudah
melalui seleksi yang memang cocok utnuk masyarakatnya yang sekarang. Mengapa demikian? Ini karena apa
yang dinamakan masyarakat, kelompok manusia yang tertentu itu juga berubah oleh berbagai sebab.
Masyarakat bisa berubah karena faktor pendidikanekonomi, teknologi, geografi, politik, agama dan lain-lain.

9. Seni dan Jarak Ideologi

Pada akhirnya seni adalah sebuah pemikiran. Meskipun yang telah diekspresikan seniman adalah perasaannya,
intuisinya, alam bawah sadarnya, semua itu dikendalikan oleh nalar atau rasionya, yakni ungkapan perasaan
yang terstruktur. Struktur adalah cara menyusun unsur-unsur wujud dan non-wujudnya dalam bentuk keutuhan
tertentu, dengan tujuan (pemikiran) tertentu pula. Inilah sebabnya setiap karya seni selalu punya tujuan afektif,
yaitu tujuan untuk mempengaruhi sikap penanggapnya, baik secara inderawi, emosi, maupun rasional. Seni
adalah suatu kosmos,suatu keteraturan dalam sistem dirinya, bukan suau chaos atau ketidakberaturan.
Kesulitan utama parapenanggap seni modern adalah kebingungan dalam membentuk struktur keutuhan seninya.
Akibatnya, bukan keteraturan yang diterima, melainkan suatu chaos. Dan sebagai chaos tentu saja tak punya
makna, tak punya arah, tak punya tujuan. Dengan kata lain, seni modern tidak berbicara pada penanggap yang
kurang terlatih.

Seni sebagai karya pemikiran adalah juga karya penilaian. Menilai adalah kerja berpikir berdasarkan konsep
tertentu. Objek yang dinilai dalam seni tak terbatas. Seni dapat berbicara tentang apa saja, tapi semua itu
bertolak dari konteks sosio-budaya seniman penciptanya. Kontes yang berupa kenyataan konkret empiric itu
merupakan rangsangan, tantangan, stimulus bagi seniman untuk ditanggapi, dijawab dan direnspon. Dan
konteks sosio-budaya seniman menawarkan berbagai stimulus yang sesuai dengan minatnya msing-masing.

Anda mungkin juga menyukai