Pengantar.
Berangkat dari asumsi yang mendasarkan diri pada tulisan Jim Supangkat “Menyela
Arus Utama”, dalam Kalam, edisi 3, 1994, p. 106, yang menyatakan: "... istilah ini
(seni rupa kontemporer-pen.) muncul pada awal 1970-an sebagai reaksi terhadap
prinsip-prinsip seni rupa modern, ...", maka analisis kritis terhadap seni rupa
rupa kontemporer tidak layak untuk dianalisis dengan pendekatan kritik seni
modern? Apa dan bagaimana sesungguhnya seni rupa kontemporer itu?, serta,
proposal apa yang kiranya memadai untuk diajukan, guna menjawab pertanyaan
mendasar, pendekatan kritik apakah yang sesuai dengan gejala atau wacana
perupaan seni kontemporer itu. Meski tulisan ini diawali oleh serangkaian
pertanyaan, diskusi tidak berpretensi untuk merumuskan sebuah jawaban final atas
Dalam wacana seni rupa, sejarah mencatat berbagai gejala perupaan yang
yang memaksa para seniman dari belahan dunia mana pun dan dari masa kapan pun
konsepsi, terutama dicatat paling radikal terjadi pada apa yang kemudian disebut
Maka, begitulah, dalam arus besar seni rupa modern, sejarah kemudian
mencatat munculnya berbagai gaya, atau isme, yang bahkan dalam setiap gaya itu
sendiri menghadirkan keragaman gaya pribadi dari para senimannya. Bisa dilihat
perupaan pelukisan yang berbeda dengan Edgar Degas, atau Auguste Renoir. Dalam
aliran Cubisme, lukisan Piccaso sangat tidak sama dengan lukisan kubisme-nya
2
Marcel Duchamp. Demikian pula dalam ekspressionisme, Wasily Kandinsky mirip
(tempat lahir dan berkembangnya modernisme), dan sudah barang tentu juga diikuti
gagasan faktual yang terjadi dalam lingkup sosialnya. Lahirnya paham post-
jawaban atas situasi tersebut, seni rupa post-modern banyak mengangkat persoalan-
Non Blok: Mencari Perspektif Selatan?I dalam Jurnal Seni Rupa ITB, edisi II/1995,
p. 27), yang menjadi lahan pilihan bagi para penganut paham post-modernisme.
bentuk ekspresi perupaan yang dalam proses penciptaannya disemangati oleh paham
revolusi Perancis dan revolusi industri, pada awal abad sembilan belas. Munculnya
berbagai temuan di bidang mekanik dan mesin uap, telah memberi inspirasi bahwa
manusia, dalam hal ini adalah individu, merupakan pusat dari segala-galanya.
Dalam wacana seni, hakekat seni modern dipengaruhi oleh wataknya yang
3
Filosofi seni modern sampai pada tahapan menemukan dirinya sendiri, yang terlepas
Greenberg mengemukakan : "... seni adalah tujuan pada dirinya sendiri dan estetika
menjadi otonom yang terlepas dari agama, politik, bahkan moralitas." Konsekuen
kehakekatan kreasi (Jim Supangkat , 'Komeng Dalam Pasca Modern', dalam katalog
pameran patung Nyoman Nuarta, 1989) yang pada gilirannya melahirkan berbagai
gaya penciptaan, baik sebagai gaya yang menandai ciri jamannya, sehingga muncul
demikian pula berbagai gaya personal lahir sebagai akibat dari perburuan kebaruan
ciptaan. atau dalam kalimat lebih singkat, Harold Rosenberg, sebagaimana dikutip
Sifat otonom seni modern yang demikian canggih pada akhirnya berimplika-
si lahirnya estetika seni modern yang otonom pula, yang terbebas dari kaidah-kaidah
di luar dirinya. Meski Ignas Kleden menyatakan bahwa estetika secara etis dan
politis selalu bersifat netral (Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan,
dalam Prisma edisi 5 Mei 1987, p4) akan tetapi sejalan dengan sifat otonomnya, ia
(estetika) tidak mempunyai komitmen moral atau pun kuwajiban politik. Lebih jauh
Kleden menegaskan, adanya campur tangan agama, politik atau pendidikan dalam
4
estetika hanya akan menjauhkannya dari ujudnya, dan oleh sebab itu mengakibatkan
pertumbuhan seni yang counter productive. Pada titik inilah rupanya yang
Irving Sandler, sebagaimana dikutip Asmudjo Jono Irianto dalam Konflik Tradisi
barang tentu fenomena ini terbatas dalam lingkup perubahan yang terjadi dalam
wacana baik sosial, historis, maupun seni di Barat, dimana proses kelahiran dan
pluralitas menjadi idiom utama dalam penciptaan. Sejalan dengan sifatnya yang
pluraistis ini, dalam pemahaman reaktif terhadap seni modern, berbagai ungkapan
seni yang dalam masa modern ditolak dan dipinggirkan dengan sebutan tradisional,
5
lokal dan berbau etnik, justru mendapatkan tempatnya. Tema-tema sosial, politik,
bias jender, menjadi tema favorit bagi para perupanya, dan dengan memanfaatkan
berbagai benda dan produk jadi (ready made object) para seniman kontemporer
para seniman kontemporer sangat akrab dengan cara pengungkapan melalui karya-
karya instalasi, performence art (sering dilakukan dengan cara kolaborasi dengan
beberapa seniman dari disiplin seni lain) serta happening art, di samping ada pula
Indonesia? , dalam Outlet, 2000, Yayasan Seni Cemeti, p. 18). dan lebih jauh lagi
Konsep dan batasan seni kontemporer sendiri hingga saat ini agaknya masih
belum mampu dirumuskan secara eksplisit. Rupa-rupanya, dalam wacana seni rupa
menghasilkan karya, dibanding para kritikus yang berpikir merumuskan konsep dan
definisi. Dalam kumpulan penelitian peta seni rupa kontemporer Yogyakarta yang
dikemas dalam Outlet (Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2000) para peneliti tidak
kelompok Gerakan seni Rupa Baru (GSRB), dan kelompok Kepribadian Apa yang
6
dimanifestasikan pada era 70-an, menjadi catatan penting dalam historiografi seni
penting dalam aktivitas penggiatan seni rupa kontemporer dalam sepuluh tahun
terakhir ini.
kepada tuntutan estetika. Dikaitkan dengan seni rupa kontempore, yang paradigma
Pertanyaan ini wajar dan sah saja dikemukakan, mengingat pretensi penciptaan dan
seni (rupa)! Apakah estetika seni kontemporere juga merupakan suatu kristalisasi
bentuk ekspresi seni kontemporer yang hadir di jalanan, di tanah lapang, di pusat
keramaian, atau bahkan yang di gelar di galeri sekalipun (jangan lupa bahwa galeri
lahir sebagai konsekuensi logis dari pemikiran seni modern, sebagai bagian dari
estetisnya. Demikin pun bila dibandingkan dengan aktivitas demo politik (seperti
yang marak dalam lima tahun terakhir ini) yang sering dilengkapi dengan kegiatan
7
happening art, atau performance art. Dalam bahasa yang agak sinis, gagasan yang
ingin disampaikan oleh seniman kontemporer bisa kalah lugas bila dibanding
dengan apa yang dilakukan oleh para demonstran tersebut. Dalam bahasa Asmudjo
Nopember di Lembaga Indonesia Perancis. Tak cukup dengan karya etsa dan
Under Cover), serta pemutaran video untuk pamerannya di Rumah Seni Cemeti.
dua sisi dinding ruang pamer, serta 10 buah kolase pada sisi lainnya yang berukuran
sedikit lebih besar. Di antara lukisan-lukisan itu, sebuah karya instalasi digelar di
lantai di bawah judul Butuh Disuap? Terdiri dari selembar plastik biru berukuran
sekitar dua kali tiga meter, dengan empat buah baskom tersusun di tengah. Pada
masing-masing ujung plastik diletakkan sebuah dingklik dan sebuah cobek lengkap
8
dengan alat penggilasnya. Semula materi di atas adalah perangkat performance art
yang dipergelarkan pada saat pembukaan pameran. Dipergelarkan oleh dua orang
ruangan. Judulnya Saya Goreng Kamu 1(Gb. 1), dan Saya Goreng Kamu 2. Sebuah
instalasi lagi mengambil ruangan khusus, tersusun berbagai alat pemanas (mulai
dari keren yang dibuat dari tanah liat, kompor minyak hingga kompor gas),
pemanas tersebut. Pada setiap wajan (alat penggoreng) yanng berjumlah 10 buah
itu, terendam selembar foto bergambar situasi ruangan dapur, tempat di mana alat
Di antara semua itu, karya Saya Goreng Kamu 1 dan 2 agaknya yang paling
kulit binatang yang telah diawetkan sebagai idiom subjek metaforiknya dengan cara
apa Mella ingin menyampaikan pesannya. Karya pertama berupa samakan kulit
tupai yang dirangkai sedemikian rupa, hingga membentuk semacam tabung vertikal,
mengikuti bentuk rangka kawat setinggi satu setengah meter, dengan diameter
mana dua buah cetak foto seukuran kertas dobel kuarto ditempelkan vertikal
kepala seseorang yang dikerubuti kulit tupai, sehingga yang nampak tinggal bagian
9
matanya saja. Foto kedua yang ditempel tepat di atas garis lantai, mengambil
gambar bagian sepasang telapak kaki telanjang dengan beberapa helai kulit tupai
Karya instalasi ke dua, (Saya Goreng Kamu 2) disusun dengan cara sama,
hanya kali ini yang menjadi subject matter adalah lembaran-lembaran kulit ular,
lengkap dengan bagian kepala yang sengaja disisakan. Sebagaimana instalasi Saya
Goreng Kamu 1, Saya Goreng Kamu 2 juga dilengkapi dengan karya foto. Kali ini
sebanyak tiga buah, di mana satu diantaranya di pasang di bagian tengah di antara
karya instalasi ini, tak bisa dipisahkan kaitannya dengan judul karya, maupun judul
proyek pameran Mella kali ini. Bahkan lebih dari itu, dengan cara menyimak karya-
karya lain yang menjadi satu paket dalam keseluruhan sajian pameran ini, yaitu,
Saya Makan Kamu Makan Saya, maka akan teraba tema atau topik yang menjadi
perhatian Mella.
perenungan kita, ke arah rumusan tema pokok apa yang menjadi gagasan dasar
menunjuk ke berbagai arah dari karya-karya kolasenya, lalu materi instalasi berupa
kulit tupai dan kulit ular, kemudian judul karya, dan sudah barang tentu judul
pameran.
10
Melalui berbagai materi dan 'simbolisasi' itu, Mella agaknya tengah
memotret situasi aktual yang dihadapinya saat ini, yang telah menjadi bagian dari
politik yang marak dengan euforia reformasi, yang membuka jalan baru bagi
telunjuk, potret dapur, serta tupai dan ular, agaknya didasarkan pada kelekatan
asosiatif yang menempel pada ikon-ikon itu. Dengan mengamati Saya Goreng
Kamu 1 dan 2 yang mengangkat material kulit tupai dan ular, tanpa harus
akan tergiring kepada asosiasi, keduanya adalah musuh manusia yang harus
dibasmi.
Demikian halnya dengan idiom jari yang lekat dengan asosiasi alat
menunjuk. Baik dalam fungsi eksistensialnya ketika diarahkan kepada orang lain,
atau pihak lain, maupun saat berperan sebagai pengganti eksistensi si empunya jari
tersebut. Secara konotatif jari ini menjelaskan perbedaan polaritas dikotomis, siapa
aku-siapa kamu. Atau lebih ekstrim lagi, dalam konstelasi politisnya berarti kamu
11
Pada sisi yang lain, melalui karya My Kampung's Privat Place, Mella
beberapa waktu belakangan ini. Melalui penampilan potret situasi dapur dengan
lebih ia ingin mengatakan, keragaman itu adalah milik pribadi yang musti
pada saat ia dimunculkan ke permukaan, ketika kekurangan dan kelebihan isi dapur
(pluralitas) masing-masing sudah menjadi bahasa sehari-hari, hal itu menjadi saling
menuding dan mengabarkan perbedaan. Lebih dari itu, mungkin juga kesenjangan.
Mella Jaarsma telah menjadi 'juru bicara' yang sangat fasih dari sejumlah
serangkaian pameran seni, baik secara tunggal maupun kelompok di berbagai kota
dan negara, sudah barang tentu telah memberikan banyak referensi dan
12
Persoalannya adalah, kalau karya seni rupa kontemporer berpretensi
berbagai idiom yang bisa dipinjam dari benda-benda yang bisa ditemuinya,
politik yang sering dilengkapi dengan performance art? Sebagai catatan, bersamaan
digelar, dan performance art menjadi bagian tak terpisahkan dari aksi tersebut.
sebuah pameran seni rupa kontemporer masih sering memaksa penonton untuk
mengernyitkan dahi untuk mampu membaca pesan serta menangkap nilai yang ingin
disampaikan lewat berbagai model perupaan yang sering tak mampu menimbulkan
pertanyaan ini, Mella berdalih bahwa: " …estetika mereka (demonstran-pen.) sangat
"Saya mengekspresikan gagasan saya, dengan cara yang saya suka dan saya bisa,"
katanya menjelaskan.11
kedudukan kedua gejala di atas. Di lain pihak argumentasi lain juga mengemuka
berlatar belakang pendidikan seni sekali pun, mampu menangkap pesan nilai dan
makna karya seni kontemporer tanpa membaca pengantar dari senimannya?, ketika
13
kompor?, patung-patung jari-jemari yang ditempel di dinding, atau menyembul dari
Betulkah sajian rangkaian kulit ular dan tupai yang digantung akan serta-
merta diasosiasikan kepada konotasi musuh dan bukan kepada bahan pakaian atau
ikat pinggang?
dihadapkan pada sebuah sajian karya seni rupa (kontemporer) yang spirit
penciptaannya menolak kaidah estetika seni modern, yang dilandasi oleh semangat
kebaruan, serta bermain di wilayah artistik yang diperas kedalam wujudnya yang
simbolistis. Ketika karya seni rupa gagal menghadirkan dan meramu subject matter-
tanda-tanda (sign) saja. Sedang isinya (content) sekedar sejumlah petanda belaka.
Lalu, Saya Makan Kamu Makan Saya-nya Mella ini sebuah metafora cermin sosial,
Dalam contoh ini, selain karya Mella, simak juga karya Yustoni Volunteero
yang bertitel Open Your Freezer and Find New Cloths For The Fresh President,
1997 (Gb. 2), serta dalam bentuk happening art karya Harsono Korban I/Yang Mati
infrastruktur yang melengkapi, dan dengan demikian menjadi bagian dari kesatuan
14
seni, apresiasi seni serta galeri. Hal itu dimungkinkan kiranya oleh sifat
mencari hakekat kebaruan. Pada sisi lain, tradisi seni modern juga memungkinkan
tidak, dengan tetap setia mendasarkan diri pada pernyataan Jim Supangkat bahwa
seni kontemporer merupakan ekspresi reaksi penolakan terhadap seni dalam tradisi
Sudah barang tentu metode kritik yang selama ini berkembang tidak begitu
oleh sebab metoda kritik seni tersebut lahir sebagai bagian dari tradisi modernisme.
Dengan kata lain, adanya perbedaan paradigma penciptaan serta merta memerlukan
menjadi bagian dan warisan dari tradisi modernisme itu sendir? Atau, benarkah
dengan demikian memiliki otonomi estetikanya sendiri, yang sama sekali tidak
15
sekedar berlawanan, namun berbeda dengan seni modern? Bila demikian halnya,
lalu alat kritik yang bagaimanakah yang sesuai dan memadai secara konseptual
keragaman konsep, proses dan ekspresi penciptaanya? Kalau bukan dengan jargon-
modern, apakah analisis dengan pendekatan semiotik bisa menjadi alternatif alat
kritik guna melengkapi wacana estetika seni kontemporer. Atau seni kontemporer
5
Herberd Read, A Concise History of Modern Sculpture, Frederrick A. Praeger, New York,
Washington, 1964, p. 12.
10
Asmudjo J. Irianto, loc cit., p. 27.
11
Wawancara berlangsung di ruang pamer Rumah Seni Cemeti, 9 Nopember 2000.
Gb. 1 Gb. 2
16
Gb. 3
DAFTAR PUSTAKA
Asmudjo Jono Irianto, Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-Negara Non Blok:
Mencari Perspektif Selatan?, dalam Jurnal Seni Rupa ITB, edisi II/1995.
Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma edisi 5 Mei
1987
17