A. Pendahuluan
Warisan budaya takbenda menjadi suatu potensi kekayaan warisan bangsa
Indonesia yang memiliki nilai penting dalam kehidupan masyarakat. Mengingat
pentingnya warisan budaya takbenda dalam pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, budaya masyarakat, maka perlu untuk dipikirkan upaya-upaya
pelestarian yang terinventarisasi dengan baik. Pemerintah daerah memiliki
peranan yang signifikan dalam upaya perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan dengan turut mencatat sebagai kekayaan dari suatu daerah.
Kesadaran ini penting sebagai upaya untuk menggali nilai-nilai luhur yang perlu
untuk dilestarikan. Berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2014 tentang Pedoman
Pelestarian Tradisi bahwa pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan pelestarian tradisi di wilayahnya masing-masing.
Hal ini berarti bahwa upaya pelestarian telah menjadi upaya bersama oleh
Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk melakukan pendataan pada warisan
budaya takbenda di daerahnya dengan kesadaran untuk mencatat, menghimpun,
mengelola, dan menata secara maksimal.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia disebutkan
bahwa warisan budaya takbenda Indonesia adalah berbagai hasil praktek,
perwujudan, ekspresi pengetahuan dan keterampilan, yang terkait dengan lingkup
budaya, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara terus menerus melalui
pelestarian dan/atau penciptaan kembali serta merupakan hasil kebudayaan yang
berwujud budaya takbenda setelah melalui proses penetapan Budaya Takbenda.
Dalam kaitan tersebut, peran serta dari pemerintah Kabupaten Purbalingga adalah
dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi pada warisan budaya takbenda
yang ada di daerahnya sebagai potensi dan kekayaan yang mimiliki nilai luhur.
Identifikasi dan inventarisasi dilakukan pada ikon-ikon yang telah menjadi ciri
khas dari kota Purbalingga dari berbeberapa generasi.
Beragam jenis makanan dan minuman yang dimiliki Kabupaten
Purbalingga pun tak luput mengambil peran dalam memberikan corak khas
budaya dan telah menjelma sebagai primadona di dunia kuliner. Hal itu menjadi
warisan budaya masyarakat yang perlu mendapatkan sentuhan untuk dilestarikan
bersama. Sebuah kota tanpa hasil budaya akan dikelilingi dengan kehampaan:
orang-orang hanya akan memburu mode, kehilangan identitas dan sejarah, dan
kesibukan-kesibukan dalam waktu yang padat tanpa nilai edukasi. Idealnya,
sebuah kota yang maju memiliki budaya yang luhur agar homogenisasi
masyarakat terbentuk berdasar pada nilai-nilai. Hal inilah yang dapat menjadi
daya tarik dan konstruktif bagi pewaris tradisi intelektual yang lama dan besar
untuk memahami setiap potensi yang ada di sekitar. Keberhasilan dan kesuksesan
sebuah kota tidak hanya dipandang dari pembangunan-pembangunan di setiap
penjuru, melainkan pada pola pikir masyarakat yang telah dibentuk dan
disadarkan untuk mencintai lingkungannya sendiri. Usaha untuk mengenalkan
budaya-budaya yang ada di Purbalingga pada generasi penerus sesuai dengan nilai
dan filosofi menjadi strategi kultural untuk membentuk cara pandang terhadap
Purbalingga di masa yang akan datang. Penafsiran itu bukan cara berpikir
futurulog, tepatnya lebih pada usaha untuk membentuk kesadaran mencintai
Purbalingga melalui kuliner tradisional pada generasi penerus karena mereka
harus sadar pada nilai intrinsik untuk pencerahan.
Berdasarkan pada identifikasi dan observasi1 pada Soto Kriyik Bu Karsini
di Purbalingga telah memenuhi kriteria sebagai warisan budaya takbenda
Indonesia. Soto Kriyik Bu Karsini yang beralamat di Jl. MT. Haryono Kelurahan
Karangsentul Purbalingga memiliki rasa khas pada kriyik. Dalam bahasa orang
Purbalingga, kata “kriyik” digunakan untuk mengibaratkan rasa gurih yang ada
dalam makanan. Rasa gurih itu muncul dari pecahan makanan saat tersentuh
dan/atau terpotong oleh gigi sehingga berbunyi “kriyik” karena renyah dan kering.
Bunyi “kriyik” ini tetap ada dalam Soto Kriyik Bu Karsini sekalipun sudah basah
oleh kuah. Keistimewaan inilah yang menjadi ciri khas Soto Kriyik Bu Karsini
sehingga sampai sekarang tetap digemari oleh para pengunjung.
Saat ini, Soto Kriyik Bu Karsini dikelola oleh Julastri sebagai generasi
penerusnya yang masih setia dengan cara masak tradisional, yakni dengan bara
api dari arang, masih tetap menggunakan perkakas dari leluhur, dan tidak
mengubah resep apapun dari leluhurnya. Bahkan, untuk menjaga originalitas rasa
dan masakan sengaja tidak membuka cabang. Dengan rasa yang khas tersebut,
Soto Kriyik Bu Karsini telah menjadi ikon Kota Purbalingga bagi para
wisatawan/pengunjung yang ingin merasakan makanan khas. Rasanya tidak
lengkap apabila datang ke Purbalingga tidak menyatap Soto Kriyik Bu Karsini.
Soto Kriyik Bu Karsini sebenarnya pertamakali dibuat oleh orangtua Bu Karsini.
Mulanya, mereka berjualan soto dengan berkeliling karena Purbalingga belum
ramai.2 Namun, sekarang sudah menetap semenjak dikelola oleh Ibu Julastri.
Di tengah budaya masyarakat yang kian konsumtif dan beraneka ragamnya
cita rasa produk impor, maka eksistensi Soto Kriyik Bu Karsini perlu
mendapatkan perhatian. Masyarakat di era milenial yang mengalami
perkembangan dari pengaruh globalisasi bisa saja membuat kuliner tradisional
terpinggirkan kalau tidak mendapatkan promosi atau kurang ada kepedulian.
Padahal, kuliner tradisional seperti Soto Kriyik Bu Karsini inilah yang mampu
1
Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga.
2
Sampai sekarang pikulan untuk berdagang keliling masih melekat erat dan menjadi
tempat untuk menaruh telur yang telah direbus. Pikulan itu terbuat dari bambu yang dibelah.
Bambu yang dipilih adalah bambu bagian pangkal, yang memiliki ketebalan yang cukup kuat dan
kekar.
menjadi identitas suatu kota dan bangsa (Purbalingga dan Indonesia). Dalam
perkembangan sekarang ini, masyarakat berada dalam pengaruh konsumsi tanpa
batas, tanpa mengetahui sejarah dan nilai-nilai luhur yang terkendung di
dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk mencatat dan menetapkan Soto Kriyik
Bu Karsini sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.
3
Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hal. 56-57.
Kajian pada warisan budaya masyarakat dilakukan dengan masuk pada sejarah, masyarakat, dan
pengetahuan-pengetahuan yang terhimpun. Ini dapat dilakukan dengan keterlibatan dan
mengngkap tata hidup.
4
Mudji Sutrisno, Ranah-ranah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 25.
5
Slamet Subiantoro, Antropologi Seni Rupa: Teori, Metode & Contoh Telaah Analitis,
(Surakarta: UNS Press, 2010), hal. 39.
6
Miracle Eliade, Mitos Gerakan Kembali Yang Abadi: Kosmos dan Sejarah (The Myth of
the Eternal or Cosmos and History) diterj. oleh Cuk Ananta (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002),
hal. 5. Buku ini mengungkap tentang mitos yang ada di dalam masyarakat akan selalu
dimunculkan lagi pada generasi penerus. Mitos dalam sejarah yang panjang memiliki
keterhubungan dengan kehidupan, yang memiliki penjelasan mistis dan rasional. Setiap orang
yang percaya kepada agama dan mistis akan mampu mengungkap mitos yang ada karena adanya
penghataan pada dimensi kehidupan.
Claude Lévi-Strauss7 memahami warisan budaya masyarakat sebagai bentuk
pengetahuan dalam suatu masyarakat yang diwujudkan dalam kebiasaan untuk
memecahkan persoalan tertentu ataupun untuk merayakan hal tertentu.
Pengetahuan ini biasanya memiliki dasar kebenaran, baik secara mistis maupun
rasional dengan mampu menjawab persoalan yang dihadapi. Warisan budaya
masayrakat, dalam hal ini, terkait juga dengan interpretasi sebuah masyarakat
dalam melihat realitas untuk disikapi dengan keyakinan dan kepercayaan. Dengan
kata lain, warisan budaya masyarakat juga merepresentasikan pengetahuan
masyarakat atas keyakinan-keyakinan yang dimiliki secara sadar.
Peran seorang tokoh menjadi sangat penting dalam menjalankan warisan
budaya masyarakat. Ia bisa menjadi orang yang paling mengerti, memahami, dan
mengetahui pola kegiatan hidup yang menjadi warisan tersebut, baik dari sisi
sejarah, makna, dan tata cara pelaksanaan. Tokoh tersebut kalau zaman dulu
dijadikan pemimpin, namun tidak menutup kemungkinan bahwa tokoh tersebut
orang biasa tapi dalam realitasnya cukup dihormati. Menurut Kontjaraningrat 8
menyebutkan bahwa tokoh yang memahami warisan budaya masyarakat biasanya
cukup disegani karena pengetahuan dan wawasan untuk menjelaskan berbagai
macam permasalahan secara jelas. Selain itu, ia biasanya memiliki kebijaksanaan
atas yang berlaku di masyarakat dan diartikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami suatu warisan budaya masyarakat harus dilakukan dengan
menkaji sampai detail makna-makna yang ada. Clifford Geertz 9 memandang
bahwa kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna yang ditetapkan secara
sosial yang berasal dari pikiran, kepribadian, struktur kognitif orang atau apa saja.
Apa yang dilakukan oleh manusia selalu memiliki makna karena tindakan-
tindakan memiliki efek bagi orang lain. Dalam konteks tersebut, perlu untuk
memandang bahwa perlu untuk meneliti dan membaca kebudayaan dengan rajutan
makna sehari-hari untuk dihayati sehingga manusia mencapai pemahaman yang
rasional.10 Masyarakat terdahulu selalu memberikan ajaran-ajaran kepada orang
yang baru lahir secara tidak lengkap. Karenanya, tugas manusia di masa
mendatang adalah menelusuri dan mengkaji secara kompelek pada latar belakang
budaya sampai para proses perubahan sosial karena apa yang mereka wariskan
lama kelamaan akan hilang. Beragam wujud warisan budaya memberikan
kesampatan kepada manusia di masa mendatang untuk mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi di masa mendatang. 11 Warisan budaya masyarakat
terbentuk dengan sistem pengetahuan yang luhur sehingga pantas untuk jaga.
7
Claude Lévi-Strauss, Antropologi Struktural (Anthropologie Structurale) diterj. oleh
Ninik Rochani Sjams (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 30-32. Konsep dari Lévi-Strauss
menekankan pada tanda-tanda dalam kebudayaan sebagai bahasa. Ia, melalui bahasa, mengungkap
mitos yang ada dalam suku-suku sehingga mampu memahami struktur kehidupan yang mereka
jalani. Tradisi yang ada di suatu masyarakat harus diteliti karena di dalamnya terdapat nilai.
Melalui fenomena statis dan dinamis, keanekaragaman sejarah dapat terungkap dengan tradisi
yang memiliki akar pengetahuan.
8
Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Yogyakarta: Dian Rakyat, 1977),
hal. 191-192.
9
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal 16.
10
Mudji Sutrisno, Ranah-ranah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 50.
11
Burhanuddin Arafah, "Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya" diakses dari
https://www.yayasankertagama.org/article/article4.pdf pada 4 Nopember 2019.
Indonesia sendiri telah menyusun beberapa aturan tentang wariasan budaya
masyarakat seperti dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78
Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of the
Intangible Cultural Heritage UNESCO Tahun 2003 (Konvensi untuk
Perlindungan Warisan Budaya Takbenda), Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan. Ini artinya bahwa Indonesia telah memandang warisan
budaya masyarakat sebagai hal yang penting untuk diaktualisasikan bagi
kehidupan sehari-hari.
Dalam Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106
Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia disebutkan bahwa
objek pelestarian tradisi meliputi upacara tradisional, cerita rakyat, permainan
rakyat, ungkapan tradisional, pengobatan tradisional, makanan dan minuman
tradisional, arsitektur tradisional, pakaian tradisional, kain tradisional, peralatan
hidup, senjata tradisional, dan organisasi sosial tradisional. Kriteria tersebut
memberikan arahan bagi masyarakat Indonesia untuk mengkaji nilai-nilai luhur
yang ada di dalamnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan disebutkan bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia adalah
keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-Kebudayaan yang hidup dan
berkembang di Indonesia. Perkembangan tersebut bersifat dinamis, yang ditandai
oleh adanya interaksi antar-Kebudayaan baik di dalam negeri maupun dengan
budaya lain dari luar Indonesia dalam proses dinamika perubahan dunia. Dalam
konteks tersebut, bangsa Indonesia menghadapi berbagai masalah, tantangan, dan
peluang dalam memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia. Adapun tujuannya
adalah untuk mengembangkan nilai-nilai Iuhur budaya bangsa, memperkaya
keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan
kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa,
mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan
peradaban dunia sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
12
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Julastri (generasi ke-3), ia tidak tahu nama
kakeknya yang merupakan pencetus pertama soto kriyik ini. Wawancara dilakukan pada 4
Nopember 2019 di Purbalingga.
13
Data diperoleh dari menu dan rincian harga Soto Kriyik Bu Karsini saat observasi. Menu
akan diberikan kepada pengunjung/pelanggan saat memasuki kios dan disapa dengan ramah. Tidak
lupa pula ditawarkan beberapa minuman seperti teh anget, es teh, jeruk anget, atau es jeruk.
Sedangkan air putih telah tersedia di tiap meja. Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT.
Haryono Kelurahan Karangsentul Purbalingga.
Sebenarnya, bahan Soto Kriyik Bu Karsini hampir sama dengan soto khas
Banyumasan pada umumnya. Di dalam Soto Kriyik Bu Karsini ada irisan ketupat,
kecambah kacang ijo, daun bawang, remasan kerupuk dan juga sambal kacang.
Adapun keistimewaan Soto Kriyik Bu Karsini terletak pada perkedel goreng
kering yang menjadi taburan di atas soto siap saji yang gurih dan nikmat. Selain
itu, bumbu pada kuah santannya memang lezat dan mantap untuk dinikmati.14
Pembeli dan pelanggan Soto Kriyik Bu Karsini dari Purbalingga dan kota
sekitarnya. Mereka telah mengenal Soto Kriyik Bu Karsini dengan baik. Namun,
tak jarang pula, pengunjung berasal dari kota jauh yang sudah lama mendengar
nikmatnya salah satu soto khas Purbalingga itu atau juga yang penasaran dari
promosi di internet yang telah ditulis oleh orang maupun dalam konten
youtube.com. Selain itu, sebagian pelanggan soto resep turun-temurun ini, warga
keturunan Tionghoa karena daging dan jeroan yang dicampurkan dalam soto
berasal dari ayam kampung dengan kenikmatan gurih yang berbeda.
Soto Kriyik Bu Karsini dari Purbalingga telah tercatat dalam Bekraf 15 dalam
buku berjudul Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep yang merupakan
kerjasama Bekraf dengan Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Di dalam buku
tersebut, tertuliskan bahwa:
1. Bahan-bahan dari kuah bening
a. 1 ekor daging ayam
b. 3.000 ml air
c. 50 gram gula merah
d. 1/2 sendok teh merica halus
e. garam secukpnya.
2. Bahan-bahan kuah santan:
a. 500 ml santan dari sebutir kelapa.
b. 1 ruas jari kunyi.
c. 1/2 sdt ketumbar.
d. 5 siung bawang putih.
e. 1 sdt jinten.
f. 3 butir kemiri.
g. garam secukupnya.
3. Bahan-bahan bumbu sambal:
a. 50 gram kacang tanah goreng.
b. 1 butir kemiri.
c. 1 siung bawang putih.
d. 15 buah cabai merah.
e. 10 buah cabai rawit.
f. Gula merah secukupnya.
4. Bahan-bahan untuk kriyik:
a. 200 gram kentang direbus, dihaluskan.
b. Merica halus & garam.
14
Sumber diakses https://www.purbalinggakab.go.id/v1/soto-kriyik-bu-karsini-yang-
ngangeni/ pada 20 Oktober 2019.
15
Bekraf, Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep (Jakarta: Bekraf bekerjasama dengan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2018), hal. 40.
c. 2 sdm tepung tapioka.
5. Cara membuat:
a. Pertama, rebus ayam dan semua bumbu dengan 3.000 ml air, masak
hingga tersisa 2.000 ml air. angkat ayam, goreng dan disuwir-suwir.
b. Rebus santan dan semua bumbu hingga mendidih dan kental, lalu angkat,
sisihkan.
c. Campurkan semua bahan kriyik hingga rata, kemudian digoreng.
6. Cara penyajian:
Tata bahan pelengkap dan ayam suwir dalam mangkok, siram dengan kuah
dan areh, lalu tambahkan krupuk dan sambal. siap dihidangkan.
16
Baca Amir Fadhilah, Kearifan Lokal dalam Membentuk Budaya Pangan Lokal
Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo dalam Jurnal Al-Tur Vol. XIX No. 1 Januari 2013.
yang jarang memasak atau baru mencoba-coba. Pengetahuan seperti itu telah
Julastri dapatkan dari Ibu Karsinah, bahkan dari leluhurnya.
Filosofi yang terdapat dalam “kriyik” adalah kebaruan makanan yang
terjaga. Orang Purbalingga menyebut makanan lama dengan sebutan “mlempem”
dan apabila dimakan sudah tidak gurih lagi. Dulu, leluhurnya berpikir keras untuk
membuat soto selalu enak dan berkesan bagi pelanggan. Mereka menggoreng
perkedel yang dihangatkan sampai kering, kemudian dicampurkan ke dalam soto,
ternyata enak. Banyak orang yang suka, sekaligus memperlihatkan bahwa soto
masih baru. Buktinya, adalah gorengan perkedel yang belum “mlempem” setelah
terkena kuah soto.
Tekstur yang renyah pada perkedel dan mampu bertahan pada air ini
membuat orang mudah menikmatinya. Apabila selama ini sroto Sokaraja hanya
menggunakan krupuk saja, yang dalam sesaat dapat menyatu dengan kuah, namun
berbeda dengan perkedel yang bertahan lama. Kebertahanan ini membuat orang
tak berhenti untuk melahapnya. Hal ini membuat orang merasa ketagihan terus
untuk menggoyangkan lidah. Perpaduan antara aroma bawang dan kuah sroto
membuat keseimbangan rasa dapat terbentuk.
Dalam beberapa paparan, dapat disimpulkan bahwa filosofi dalam perkedel
pada Soto Kriyik Bu Karsini adalah agar kita selalu bisa memberikan jamuan
dalam keadaan yang baru, hangat, dan menyenangkan orang lain. Dalam jamuan
itu, orang merasa nikmat dalam keakraban. Adapun filosofi campur-baur dalam
sroto adalah tidak adanya hierarki atau stratifikasi sosial. Soto Kriyik Bu Karsini
dapat dinikmati oleh siapa saja, yang menyatu dalam bumbu kebersamaan yang
hangat.
Perasaan mendalam oleh Julastri kepada kota Purbalingga dan leluhurnya
membuat ia tetap memilih berdagang di Purbalingga saja. Ia tidak berambisi pergi
ke luar kota dan tidak meninggalkan Soto Kriyik sebagai warisan leluhur. Ada
keinginan besar dari Julastri kepada anaknya untuk bisa meneruskan usaha Soto
Kriyik sebagai penghidupan. Hal itu bertujuan agar nilai-nilai yang terkandung
dalam Soto Kriyik Bu Karsini terus dipertahankan sampai generasi mendatang.
17
Baca Burhanuddin Arafah, "Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya" diakses
dari https://www.yayasankertagama.org/article/article4.pdf pada 4 Nopember 2019.
Berkaca dari fenomena tersebut, Ibu Julastri sebagai pemilik Soto Kriyik Bu
Karsini juga sering diundang dalam berbagai acara, seperti dalam acara hajatan, 18
pameran, dan acara-acara yang dilaksanakan oleh Pemda. Soto Kriyik Bu Karsini
ini memiliki keunikan yang berbeda dengan daerah lainnya yang posisinya sulit
tergantikan dengan beragam dan keberlimpahruahan variasi kuliner di era
milenial. Cita rasa yang khas membuat orang enggan berpaling untuk terus
menikmati hidangan Soto Kriyik dalam menghadrikan pada moment spesial. Ibu
Julastri juga kadang sering diundang untuk memberikan pelatihan kepada ibu-ibu
PKK tentang cara membuat soto kriyik yang enak. Kehadriannya sebagai mentor
atau tutor memang sangat penting, tetapi tidak semua peserta kemudian dapat
menekuni kemampuan seperti Ibu Julastri. Dia membagikan ilmu tentang
memasak yang sangat langka di tengah minimnya jurusan tata boga di
Purbalingga dan sekitarnya sehingga kajian tentang Soto Kriyik Bu Karsini masih
minim.
Daftar Pustaka
Arafah, Burhanuddin. 2018. "Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya"
diakses dari https://www.yayasankertagama.org/article/article4.pdf pada 4
Nopember 2019.
Bekraf. 2018. Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep. Jakarta: Bekraf
bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Eliade, Miracle. 2002. Mitos Gerakan Kembali Yang Abadi: Kosmos dan Sejarah
(The Myth of the Eternal or Cosmos and History) diterj. oleh Cuk Ananta.
Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Fadhilah, Amir. 2013. “Kearifan Lokal dalam Membentuk Budaya Pangan Lokal
Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo dalam Jurnal Al-Tur Vol. XIX
No. 1 Januari 2013.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Jenks, Chris. 1993. Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kontjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Yogyakarta: Dian
Rakyat.
Lévi-Strauss, Claude. 2005. Antropologi Struktural (Anthropologie Structurale)
diterj. oleh Ninik Rochani Sjams. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural
Heritage UNESCO Tahun 2003 (Konvensi untuk Perlindungan Warisan
Budaya Takbenda).
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang
Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan.
18
Untuk acara hajatan, saat wawancara pada 4 Nopember 2019 di Purbalingga, Julastri
menyampaikan sudah jarang karena repot. Ia harus membawa grobogan dan berbagai
perlengkapan. Belum lagi, alat-alat yang rusak. Apabila menimbang resiko tersebut, Julasti
memilih untuk berjualan di rumah saja.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya.
Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga.
Sutrisno, Mudji. 2009. Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Subiantoro, Slamet. 2010. Antropologi Seni Rupa: Teori, Metode & Contoh
Telaah Analitis, (Surakarta: UNS Press, 2010), hal. 39.
Wawancara dengan Ibu Julastri (generasi ke-3), ia tidak tahu nama kakeknya yang
merupakan pencetus pertama soto kriyik ini. Wawancara dilakukan pada 4
Nopember 2019 di Purbalingga.
Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga.
https://www.purbalinggakab.go.id/v1/soto-kriyik-bu-karsini-yang-ngangeni/ pada
20 Oktober 2019.