Anda di halaman 1dari 15

NASKAH AKADEMIK

USULAN PENETAPAN SOTO KRIYIK BU KARSINI


SEBAGAI WARISAN BUDAYA TAK BENDA

Dr. Teguh Trianton


Arif Hidayat M.Hum

A. Pendahuluan
Warisan budaya takbenda menjadi suatu potensi kekayaan warisan bangsa
Indonesia yang memiliki nilai penting dalam kehidupan masyarakat. Mengingat
pentingnya warisan budaya takbenda dalam pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan, budaya masyarakat, maka perlu untuk dipikirkan upaya-upaya
pelestarian yang terinventarisasi dengan baik. Pemerintah daerah memiliki
peranan yang signifikan dalam upaya perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan dengan turut mencatat sebagai kekayaan dari suatu daerah.
Kesadaran ini penting sebagai upaya untuk menggali nilai-nilai luhur yang perlu
untuk dilestarikan. Berdasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2014 tentang Pedoman
Pelestarian Tradisi bahwa pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan pelestarian tradisi di wilayahnya masing-masing.
Hal ini berarti bahwa upaya pelestarian telah menjadi upaya bersama oleh
Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk melakukan pendataan pada warisan
budaya takbenda di daerahnya dengan kesadaran untuk mencatat, menghimpun,
mengelola, dan menata secara maksimal.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia disebutkan
bahwa warisan budaya takbenda Indonesia adalah berbagai hasil praktek,
perwujudan, ekspresi pengetahuan dan keterampilan, yang terkait dengan lingkup
budaya, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara terus menerus melalui
pelestarian dan/atau penciptaan kembali serta merupakan hasil kebudayaan yang
berwujud budaya takbenda setelah melalui proses penetapan Budaya Takbenda.
Dalam kaitan tersebut, peran serta dari pemerintah Kabupaten Purbalingga adalah
dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi pada warisan budaya takbenda
yang ada di daerahnya sebagai potensi dan kekayaan yang mimiliki nilai luhur.
Identifikasi dan inventarisasi dilakukan pada ikon-ikon yang telah menjadi ciri
khas dari kota Purbalingga dari berbeberapa generasi.
Beragam jenis makanan dan minuman yang dimiliki Kabupaten
Purbalingga pun tak luput mengambil peran dalam memberikan corak khas
budaya dan telah menjelma sebagai primadona di dunia kuliner. Hal itu menjadi
warisan budaya masyarakat yang perlu mendapatkan sentuhan untuk dilestarikan
bersama. Sebuah kota tanpa hasil budaya akan dikelilingi dengan kehampaan:
orang-orang hanya akan memburu mode, kehilangan identitas dan sejarah, dan
kesibukan-kesibukan dalam waktu yang padat tanpa nilai edukasi. Idealnya,
sebuah kota yang maju memiliki budaya yang luhur agar homogenisasi
masyarakat terbentuk berdasar pada nilai-nilai. Hal inilah yang dapat menjadi
daya tarik dan konstruktif bagi pewaris tradisi intelektual yang lama dan besar
untuk memahami setiap potensi yang ada di sekitar. Keberhasilan dan kesuksesan
sebuah kota tidak hanya dipandang dari pembangunan-pembangunan di setiap
penjuru, melainkan pada pola pikir masyarakat yang telah dibentuk dan
disadarkan untuk mencintai lingkungannya sendiri. Usaha untuk mengenalkan
budaya-budaya yang ada di Purbalingga pada generasi penerus sesuai dengan nilai
dan filosofi menjadi strategi kultural untuk membentuk cara pandang terhadap
Purbalingga di masa yang akan datang. Penafsiran itu bukan cara berpikir
futurulog, tepatnya lebih pada usaha untuk membentuk kesadaran mencintai
Purbalingga melalui kuliner tradisional pada generasi penerus karena mereka
harus sadar pada nilai intrinsik untuk pencerahan.
Berdasarkan pada identifikasi dan observasi1 pada Soto Kriyik Bu Karsini
di Purbalingga telah memenuhi kriteria sebagai warisan budaya takbenda
Indonesia. Soto Kriyik Bu Karsini yang beralamat di Jl. MT. Haryono Kelurahan
Karangsentul Purbalingga memiliki rasa khas pada kriyik. Dalam bahasa orang
Purbalingga, kata “kriyik” digunakan untuk mengibaratkan rasa gurih yang ada
dalam makanan. Rasa gurih itu muncul dari pecahan makanan saat tersentuh
dan/atau terpotong oleh gigi sehingga berbunyi “kriyik” karena renyah dan kering.
Bunyi “kriyik” ini tetap ada dalam Soto Kriyik Bu Karsini sekalipun sudah basah
oleh kuah. Keistimewaan inilah yang menjadi ciri khas Soto Kriyik Bu Karsini
sehingga sampai sekarang tetap digemari oleh para pengunjung.
Saat ini, Soto Kriyik Bu Karsini dikelola oleh Julastri sebagai generasi
penerusnya yang masih setia dengan cara masak tradisional, yakni dengan bara
api dari arang, masih tetap menggunakan perkakas dari leluhur, dan tidak
mengubah resep apapun dari leluhurnya. Bahkan, untuk menjaga originalitas rasa
dan masakan sengaja tidak membuka cabang. Dengan rasa yang khas tersebut,
Soto Kriyik Bu Karsini telah menjadi ikon Kota Purbalingga bagi para
wisatawan/pengunjung yang ingin merasakan makanan khas. Rasanya tidak
lengkap apabila datang ke Purbalingga tidak menyatap Soto Kriyik Bu Karsini.
Soto Kriyik Bu Karsini sebenarnya pertamakali dibuat oleh orangtua Bu Karsini.
Mulanya, mereka berjualan soto dengan berkeliling karena Purbalingga belum
ramai.2 Namun, sekarang sudah menetap semenjak dikelola oleh Ibu Julastri.
Di tengah budaya masyarakat yang kian konsumtif dan beraneka ragamnya
cita rasa produk impor, maka eksistensi Soto Kriyik Bu Karsini perlu
mendapatkan perhatian. Masyarakat di era milenial yang mengalami
perkembangan dari pengaruh globalisasi bisa saja membuat kuliner tradisional
terpinggirkan kalau tidak mendapatkan promosi atau kurang ada kepedulian.
Padahal, kuliner tradisional seperti Soto Kriyik Bu Karsini inilah yang mampu
1
Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga.
2
Sampai sekarang pikulan untuk berdagang keliling masih melekat erat dan menjadi
tempat untuk menaruh telur yang telah direbus. Pikulan itu terbuat dari bambu yang dibelah.
Bambu yang dipilih adalah bambu bagian pangkal, yang memiliki ketebalan yang cukup kuat dan
kekar.
menjadi identitas suatu kota dan bangsa (Purbalingga dan Indonesia). Dalam
perkembangan sekarang ini, masyarakat berada dalam pengaruh konsumsi tanpa
batas, tanpa mengetahui sejarah dan nilai-nilai luhur yang terkendung di
dalamnya. Oleh karena itu, penting untuk mencatat dan menetapkan Soto Kriyik
Bu Karsini sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.

B. Warisan Budaya Masyarakat


Warisan budaya masyarakat masuk dalam kategori budaya. Seperti yang
disampaikan oleh Chris Jenkes3 bahwa kebudayaan sebagai “warisan soaial” dan
mengembangkan fungsi-fungsi kehidupan berdasarkan pada emosi dan
intelektualitas. Hal itu juga diperkuat dengan pandangan Mudji Sutrisno 4 bahwa
budaya mengacu pada realitas masyarakat berdasarkan pada nilai, mentalitas, dan
tata kehidupan. Warisan budaya masyarakat terbentuk dari pola hidup suatu
masyarakat yang terus dilestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pemahaman masyarakat merasa perlu meniru dan meneruskan ajaran dari
leluhurnya karena adanya nilai-nilai dan kebaikan sebagai dengan kebutuhan
hidup.
Dalam hidup ini, hampir di seluruh masyarakat memiliki warisan budaya
tersendiri yang dipercaya memiliki nilai luhur. Warisan tersebut dianggap sebagai
pola tata hidup dari suatu masyarakat atas kegiatan tertentu yang diyakini
memiliki kekuatan dan pengaruh nyata bagi kehidupan sehingga selalu dilakukan
dari waktu ke waktu. Itulah alasan warisan budaya dilakukan dari nenek moyang
yang terus diturunkan dan selalu mengalami pengulangan sejarah.
Ruang lingkup warisan budaya tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai
manusia dalam prilakunya di masyarakat.5 Masyarakat membentuk kompleksitas
dalam pola hidup yang dijalankan dari zaman dulu hingga sekarang. Mircea
Eliade,6 memahami warisan budaya sebagai pengulangan sadar atas sikap
pradigmatik tertentu untuk mengungkapkan ontologi manusia, baik pada alam
semesta maupun Tuhan. Pengulangan tersebut dilakukan atas dasar aspek
kebermanfaatan, kebermaknaan, dan keyakinan dalam ideologi suatu masyarakat.
Pengulangan bukan hanya sebatas pengulangan, melainkan juga terkait dengan
aspek ruang kesadaran yang telah terbentuk dalam sistem nilai dan tertanam
dengan baik sebagai bentuk keyakinan.

3
Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hal. 56-57.
Kajian pada warisan budaya masyarakat dilakukan dengan masuk pada sejarah, masyarakat, dan
pengetahuan-pengetahuan yang terhimpun. Ini dapat dilakukan dengan keterlibatan dan
mengngkap tata hidup.
4
Mudji Sutrisno, Ranah-ranah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 25.
5
Slamet Subiantoro, Antropologi Seni Rupa: Teori, Metode & Contoh Telaah Analitis,
(Surakarta: UNS Press, 2010), hal. 39.
6
Miracle Eliade, Mitos Gerakan Kembali Yang Abadi: Kosmos dan Sejarah (The Myth of
the Eternal or Cosmos and History) diterj. oleh Cuk Ananta (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002),
hal. 5. Buku ini mengungkap tentang mitos yang ada di dalam masyarakat akan selalu
dimunculkan lagi pada generasi penerus. Mitos dalam sejarah yang panjang memiliki
keterhubungan dengan kehidupan, yang memiliki penjelasan mistis dan rasional. Setiap orang
yang percaya kepada agama dan mistis akan mampu mengungkap mitos yang ada karena adanya
penghataan pada dimensi kehidupan.
Claude Lévi-Strauss7 memahami warisan budaya masyarakat sebagai bentuk
pengetahuan dalam suatu masyarakat yang diwujudkan dalam kebiasaan untuk
memecahkan persoalan tertentu ataupun untuk merayakan hal tertentu.
Pengetahuan ini biasanya memiliki dasar kebenaran, baik secara mistis maupun
rasional dengan mampu menjawab persoalan yang dihadapi. Warisan budaya
masayrakat, dalam hal ini, terkait juga dengan interpretasi sebuah masyarakat
dalam melihat realitas untuk disikapi dengan keyakinan dan kepercayaan. Dengan
kata lain, warisan budaya masyarakat juga merepresentasikan pengetahuan
masyarakat atas keyakinan-keyakinan yang dimiliki secara sadar.
Peran seorang tokoh menjadi sangat penting dalam menjalankan warisan
budaya masyarakat. Ia bisa menjadi orang yang paling mengerti, memahami, dan
mengetahui pola kegiatan hidup yang menjadi warisan tersebut, baik dari sisi
sejarah, makna, dan tata cara pelaksanaan. Tokoh tersebut kalau zaman dulu
dijadikan pemimpin, namun tidak menutup kemungkinan bahwa tokoh tersebut
orang biasa tapi dalam realitasnya cukup dihormati. Menurut Kontjaraningrat 8
menyebutkan bahwa tokoh yang memahami warisan budaya masyarakat biasanya
cukup disegani karena pengetahuan dan wawasan untuk menjelaskan berbagai
macam permasalahan secara jelas. Selain itu, ia biasanya memiliki kebijaksanaan
atas yang berlaku di masyarakat dan diartikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami suatu warisan budaya masyarakat harus dilakukan dengan
menkaji sampai detail makna-makna yang ada. Clifford Geertz 9 memandang
bahwa kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna yang ditetapkan secara
sosial yang berasal dari pikiran, kepribadian, struktur kognitif orang atau apa saja.
Apa yang dilakukan oleh manusia selalu memiliki makna karena tindakan-
tindakan memiliki efek bagi orang lain. Dalam konteks tersebut, perlu untuk
memandang bahwa perlu untuk meneliti dan membaca kebudayaan dengan rajutan
makna sehari-hari untuk dihayati sehingga manusia mencapai pemahaman yang
rasional.10 Masyarakat terdahulu selalu memberikan ajaran-ajaran kepada orang
yang baru lahir secara tidak lengkap. Karenanya, tugas manusia di masa
mendatang adalah menelusuri dan mengkaji secara kompelek pada latar belakang
budaya sampai para proses perubahan sosial karena apa yang mereka wariskan
lama kelamaan akan hilang. Beragam wujud warisan budaya memberikan
kesampatan kepada manusia di masa mendatang untuk mengatasi masalah-
masalah yang dihadapi di masa mendatang. 11 Warisan budaya masyarakat
terbentuk dengan sistem pengetahuan yang luhur sehingga pantas untuk jaga.
7
Claude Lévi-Strauss, Antropologi Struktural (Anthropologie Structurale) diterj. oleh
Ninik Rochani Sjams (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 30-32. Konsep dari Lévi-Strauss
menekankan pada tanda-tanda dalam kebudayaan sebagai bahasa. Ia, melalui bahasa, mengungkap
mitos yang ada dalam suku-suku sehingga mampu memahami struktur kehidupan yang mereka
jalani. Tradisi yang ada di suatu masyarakat harus diteliti karena di dalamnya terdapat nilai.
Melalui fenomena statis dan dinamis, keanekaragaman sejarah dapat terungkap dengan tradisi
yang memiliki akar pengetahuan.
8
Kontjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Yogyakarta: Dian Rakyat, 1977),
hal. 191-192.
9
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal 16.
10
Mudji Sutrisno, Ranah-ranah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 50.
11
Burhanuddin Arafah, "Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya" diakses dari
https://www.yayasankertagama.org/article/article4.pdf pada 4 Nopember 2019.
Indonesia sendiri telah menyusun beberapa aturan tentang wariasan budaya
masyarakat seperti dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78
Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of the
Intangible Cultural Heritage UNESCO Tahun 2003 (Konvensi untuk
Perlindungan Warisan Budaya Takbenda), Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan. Ini artinya bahwa Indonesia telah memandang warisan
budaya masyarakat sebagai hal yang penting untuk diaktualisasikan bagi
kehidupan sehari-hari.
Dalam Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106
Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia disebutkan bahwa
objek pelestarian tradisi meliputi upacara tradisional, cerita rakyat, permainan
rakyat, ungkapan tradisional, pengobatan tradisional, makanan dan minuman
tradisional, arsitektur tradisional, pakaian tradisional, kain tradisional, peralatan
hidup, senjata tradisional, dan organisasi sosial tradisional. Kriteria tersebut
memberikan arahan bagi masyarakat Indonesia untuk mengkaji nilai-nilai luhur
yang ada di dalamnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan disebutkan bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia adalah
keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-Kebudayaan yang hidup dan
berkembang di Indonesia. Perkembangan tersebut bersifat dinamis, yang ditandai
oleh adanya interaksi antar-Kebudayaan baik di dalam negeri maupun dengan
budaya lain dari luar Indonesia dalam proses dinamika perubahan dunia. Dalam
konteks tersebut, bangsa Indonesia menghadapi berbagai masalah, tantangan, dan
peluang dalam memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia. Adapun tujuannya
adalah untuk mengembangkan nilai-nilai Iuhur budaya bangsa, memperkaya
keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan
kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa,
mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat,
melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan
peradaban dunia sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.

C. Deskripsi Soto Kriyik Bu Karsini


Soto dalam istilah Banyumasan adalah sroto karena memang ada perbedaan
dengan soto di kota-kota lain di Indonesia. Sroto di wilaya Banyumas Raya,
termasuk di Purbalingga, menggunakan ketupat, bukan nasi dan dengan bumbu
kacang yang khas dan gurih. Sementara kuahnya, ada yang menggunakan kuah
dari santan dan ada yang menggunakan kuah bening. Perbedaan dua kuah ini
karena ada yang suka dengan santan dan ada yang tidak. Kekhasan lain terlihat
pada remasan krupuk yang pada akhirnya menyatu dengan kuah yang turut
menambah kenikmatan.
Dinamakan Soto Kriyik Bu Karsini ini karena ada bunyi “kriyik” ketika
menikmati soto ini. Bunyi kriyik itu saat menyantap “bergedel” yang digoreng
sampai kering, dan menyantap kerongongan dan/atau kepala ayam yang juga
digoreng sampai kering. Taburan perkedel yang digoreng kering sehingga bila
disantap berbunyi kriyik-kriyik. Selain itu, yang membedakan soto ini dengan
soto lainnya ada tambahan telor rebus dan jeroan ayam yang digoreng.
Sedangkan nama “Bu Karsini” diambil dari generasi ke-2 pewaris soto ini.
Popularitas Soto Kriyik Bu Karsini mulai terkenal di kalangan luas saat dikelola
oleh Bu Karsini. Sebelumnya, Soto Kriyik Bu Karsini ini dikelola oleh
orangtuanya.12 Masyarakat Purbalingga mulai mengenal luas dan terkenal saat Bu
Karsini berdagang dan memiliki pangkalan di pasar Purbalingga. Boleh dikatakan
bahwa Bu Karsini ini telah menjadi kekhasan tersendiri bargi para pelanggan.
Oleh karena itu, Soto Kriyik ini dinamakan Soto Kriyik Bu Karsini yang memang
punya rasa yang khas dan berbeda dengan soto di kota-kota lain.
Soto Kriyik Bu Karsini terletak di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga. Dari Alun-alun Purbalingga lurus terus ke arah barat atau arah
Padamara, seteleah melewati SMA N 1 Purbalingga lurus terus 300 meter. Jarak
dari Alun-alun Purbalingga sekitar 1 KM. Lokasi yang berada di perkotaan
membuat orang yang mencari mudah untuk menemukan. Posisinya yang berada di
tepi jalan dan memiliki spanduk yang besar membuat orang langsung bisa melihat
dari jarak jauh.
Ketika memasuki kios Soto Kriyik Bu Karsini ini akan terasa nuansa
tradisional pada perkakas yang digunakan. Soto dimasak menggunakan arang,
bukan gas LPG maupun minyak tanak. Cara masak akan sangat berpengaruh pada
rasa. Bara api yang ada dalam arang membuat kuah soto akan tetap hangat, bukan
panas. Kehangatan soto itulah yang dijaga. Apabila terlalu panas, justru bumbu
dalam soto menguap sehingga rasa pun berkurang. Pola masak seperti ini sudah
dilakukan sejak zaman leluhur, yang dulunya menggunakan kayu bakar. Mereka
tidak beralih menggunakan kompor ataupun kompor gas karena rasa tetaplah
menjadi hal yang utama dalam masakan. Dalam filosofinya, bahwa mereka tidak
mau membohongi lidah yang dapat menyebabkan pelanggan berkurang atau
bahkan hilang.
Sekarang ini, Soto Kriyik Bu Karsini dikelola oleh Ibu Julastri (54 tahun),
yang merupakan bungsu anak ke II almarhum Ibu Karsini. Soto Kriyik ibu dua
putra ini buka dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00 atau lebih. Di hari-hari biasa,
Julastri mampu menjual sekitar 80 mangkok soto dan di hari minggu atau libur
bisa lebih dari 100 mangkok. Soto Kriyik milik Julastri menawarkan berbagai
varian, yaitu soto komplit, soto telur usus, soto jeroan, soto telor, soto biasa
dengan harga yang berbeda-beda, namun terjangkau antara Rp. 15.000.00 hingga
Rp. 21.000.00. Bagi penyuka kepala dan kerongkongan ayam, juga disediakan
dengan harga tambahan, yakni Rp. 7.000.00.13

12
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Julastri (generasi ke-3), ia tidak tahu nama
kakeknya yang merupakan pencetus pertama soto kriyik ini. Wawancara dilakukan pada 4
Nopember 2019 di Purbalingga.
13
Data diperoleh dari menu dan rincian harga Soto Kriyik Bu Karsini saat observasi. Menu
akan diberikan kepada pengunjung/pelanggan saat memasuki kios dan disapa dengan ramah. Tidak
lupa pula ditawarkan beberapa minuman seperti teh anget, es teh, jeruk anget, atau es jeruk.
Sedangkan air putih telah tersedia di tiap meja. Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT.
Haryono Kelurahan Karangsentul Purbalingga.
Sebenarnya, bahan Soto Kriyik Bu Karsini hampir sama dengan soto khas
Banyumasan pada umumnya. Di dalam Soto Kriyik Bu Karsini ada irisan ketupat,
kecambah kacang ijo, daun bawang, remasan kerupuk dan juga sambal kacang.
Adapun keistimewaan Soto Kriyik Bu Karsini terletak pada perkedel goreng
kering yang menjadi taburan di atas soto siap saji yang gurih dan nikmat. Selain
itu, bumbu pada kuah santannya memang lezat dan mantap untuk dinikmati.14
Pembeli dan pelanggan Soto Kriyik Bu Karsini dari Purbalingga dan kota
sekitarnya. Mereka telah mengenal Soto Kriyik Bu Karsini dengan baik. Namun,
tak jarang pula, pengunjung berasal dari kota jauh yang sudah lama mendengar
nikmatnya salah satu soto khas Purbalingga itu atau juga yang penasaran dari
promosi di internet yang telah ditulis oleh orang maupun dalam konten
youtube.com. Selain itu, sebagian pelanggan soto resep turun-temurun ini, warga
keturunan Tionghoa karena daging dan jeroan yang dicampurkan dalam soto
berasal dari ayam kampung dengan kenikmatan gurih yang berbeda.
Soto Kriyik Bu Karsini dari Purbalingga telah tercatat dalam Bekraf 15 dalam
buku berjudul Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep yang merupakan
kerjasama Bekraf dengan Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Di dalam buku
tersebut, tertuliskan bahwa:
1. Bahan-bahan dari kuah bening
a. 1 ekor daging ayam
b. 3.000 ml air
c. 50 gram gula merah
d. 1/2 sendok teh merica halus
e. garam secukpnya.
2. Bahan-bahan kuah santan:
a. 500 ml santan dari sebutir kelapa.
b. 1 ruas jari kunyi.
c. 1/2 sdt ketumbar.
d. 5 siung bawang putih.
e. 1 sdt jinten.
f. 3 butir kemiri.
g. garam secukupnya.
3. Bahan-bahan bumbu sambal:
a. 50 gram kacang tanah goreng.
b. 1 butir kemiri.
c. 1 siung bawang putih.
d. 15 buah cabai merah.
e. 10 buah cabai rawit.
f. Gula merah secukupnya.
4. Bahan-bahan untuk kriyik:
a. 200 gram kentang direbus, dihaluskan.
b. Merica halus & garam.

14
Sumber diakses https://www.purbalinggakab.go.id/v1/soto-kriyik-bu-karsini-yang-
ngangeni/ pada 20 Oktober 2019.
15
Bekraf, Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep (Jakarta: Bekraf bekerjasama dengan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2018), hal. 40.
c. 2 sdm tepung tapioka.
5. Cara membuat:
a. Pertama, rebus ayam dan semua bumbu dengan 3.000 ml air, masak
hingga tersisa 2.000 ml air. angkat ayam, goreng dan disuwir-suwir.
b. Rebus santan dan semua bumbu hingga mendidih dan kental, lalu angkat,
sisihkan.
c. Campurkan semua bahan kriyik hingga rata, kemudian digoreng.
6. Cara penyajian:
Tata bahan pelengkap dan ayam suwir dalam mangkok, siram dengan kuah
dan areh, lalu tambahkan krupuk dan sambal. siap dihidangkan.

D. Sejarah Soto Kriyik Bu Karsini


Orangtua dari Bu Karsini mulanya adalah jualan ayam mentah dengan
berkeliling. Mereka measa lelah karena ayam mentah itu tidak bisa laku banyak
setiap hari. Keuntungan yang diperoleh dari berjualan ayam mentah juga tidak
seberapa, bahkan kalau tidak laku menjadi kerugian. Karena sering tidak laku,
mereka bosan harus makan ayam goreng setiap hari di sisi lain modal jadi
berkurang. Ketika bosan dalam berjualan ayam mentah itulah, mereka berinovasi
jualan Soto.
Almarhum Ibu Karsini juga meneruskan usaha Soto Kriyik dari orang
tuanya, nenek dari Julastri. Namun, saat itu belum dikenal luas. Baru setelah
dipegang oleh Ibu Karsini sekitar 1960, sebelum Julastri lahir, Soto Kriyik mulai
dikenal. Ibu Karsini dengan suami menjual Soto Kriyik dengan berkeliling,
namun setelah mendapat pelanggan yang banyak mereka menetap. Awalnya,
hanya warung menggunakan ayaman bambu (gedeg) di pinggir jalan, kemudian
pindah ke pasar lama di tahun 1990. Mereka kemudian memiliki pangkalan di
depan toko.
Pada tahun 1993, Bu Karsini (orangtua Julastri) sakit-sakitan dan
membutuhkan uang yang banyak dalam setiap minggunya. Untuk biaya berobat
mahal. Orangtuanya menganjurkan agar Soto Kriyik dilanjutkan ke Julastri
supaya berbakti. Julastri mulai meneruskan berjualan Soto Kriyik pada tahun
1994. Ada sebelas bersaudara, tetapi Ibu Karsini lebih memilih Julastri sebagai
penerusnya. Julastri (54 tahun), bungsu anak ke II almarhum Ibu Karsini. Julastri
sebagai genarasi ke-3. Awalnya, dia malu. Julastri sendiri awalnya enggan
meneruskan bisnis keluarga membuat dan berjualan Soto Kriyik. Perempuan
lulusan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, Purwokerto ini sebenarnya
bercita-cita menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ada daya, jodoh pekerjaannya
meneruskan usaha turun temurun keluarga. Ia mangkal di emper toko, di Komplek
Dokar Pasar Lama.
Hanya saja, karena ada pembunuhan di dalam toko, mereka pindah ke kios
pasar. Efek dari pembunuhan itu menyebabkan orang takut untuk mendekati area
tersebut. Imbasnya, Soto Kriyik Bu Karsini menjadi sepi. Di kios pasar, Soto
Kriyik Bu Karsini justru mendapatkan pelanggan yang banyak. Namanya,
kembali populer di kalangan masyarakat Purbalingga. Pada tahun 1995, dia bisa
beli rumah yang berada di Karangsentul. Ia merasa bahwa berjualan Soto Kriyik
cukup menguntungkan. Dalam begitu, ia makin mencintai Soto Kriyik, sekaligus
berusaha untuk mengemban amanat dari orangtuanya.
Ibu Karsini meninggal pada tahun 1996, dua tahun setelah menyerahkan
warisan bisnisnya kepada Julastri. Ibu Karsini telah berjualan Soto Kriyik sangat
lama, ketika meninggal dunia usianya sekitar 70 tahunan.
Pada tahun 2004, cabang Soto Kriyik Bu Karsini yang dipegang Julastri
sudah buka di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul Purbalingga hingga saat
ini. Dia merasa bahwa rumahnya potensial untuk berjualan karena berada di tepi
jalan. Selain itu, juga tidak repot karena bisa dilakukan di rumah. Pada tahun 2004
ini, ada dua Soto Kriyik yakni di Pasar Purbalingga dan di Jl. MT. Haryono
Kelurahan Karangsentul Purbalingga.
Pada tahun 2009, pasar lama dibongkar kemudian dibangun Pasar Segamas
di selatan terminal Purbalingga, kios Soto Kriyik pun turut berpindah. Di Pasar
Segamas Soto Kriyik kurang laku sehingga pindah ke Karangsentul.
Soto Kriyik Bu Karsini pernah membuka cabang di beberapa tempat, yaitu
pada tahun 1996 membuka di Purwokerto tepatnya di Mangun Jaya dan tutup
pada tahun 2009 dikarenakan suami Ibu Julastri meninggal.
Selanjutnya, ia membuka di Pasar Segamas pada tahun 2009, dan bertahan
selam satu tahun. Pada tahun 2010 memutuskan untuk menutup usaha tersebut.
Setelah itu, pada tahun 2011 Ibu Julastri membuka di Purbalingga yang
bertahan sampai sekarang. Selain Ibu Julastri, saudaranya juga ada yang menjaul
soto kriyik, di Berkoh (yakni Keponakannya), tetapi sekarang juga sudah tutup. Di
Karangsari ada, yakni kakaknya yang menjual soto kriyik juga, tetapi juga sudah
tutup. Dengan demikian, untuk saat ini—tahun 2019—Soto Kriyik Bu Karsini
hanya ada di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul Purbalingga. Dengan kata
lain, tidak ada cabang dari Soto Kriyik Bu Karsini.

E. Karakteristik Soto Kriyik Bu Karsini


Nama Bu Karsini yang melekat pada Soto Kriyik menjadi karakter
tersendiri. Hanya ahli waris saja yang memiliki hak untuk menggunakan nama
“Bu Karsini”. Orang di Purbalingga dan sekitarnya telah mengenal sosok Bu
Karsini dengan masakan yang tidak akan berubah rasanya, walau dalam keadaan
apapun. Soto Kriyik Bu Karsini telah melekap pada hati pera pelanggang.
Adapun yang menjadi ciri khasnya, yaitu kriyiknya, yang berasal dari
perkedel di dalam sotonya. Pembuatan perkedel ini juga sama dengan pembuatan
perkedel pada umumnya, yaitu berasal dari kentang dicampur dengan pati kanji
dan dibuat kering. Perbandingannya 5 : ½ dengan bumbu yang sama seperti
perkedel lain. Namun, pengolahan yang berbeda membuat tingkat kematangan
dan keringnya perkedel berbeda dengan perkedel yang ada di Purbalingga pada
umumnya. Secara umum, bergedel di Purbalingga digoreng tidak kering dan tetap
basah. Perkedel pada Soto Kriyik Bu Karsini digoreng kering dan tidak gosong.
Soto Kriyik Bu Karsini menawarkan kriyik dari kerongkongan dan kepala
ayam yang gurih. Dulu, Bu Karsini selalu mencari ayam yang masih muda—
orang Purbalingga menyebut pitik (sebagai anak ayam) yang berusia 25-40 hari.
Kerongkongan dan kepala pada ayam kampung yang masih muda tersebut masih
renyah apabila digoreng sampai kering. Maka itulah, ketika dimakan akan juga
terdengan bunyi “kriyik”.
Ciri khas lain pada Soto Kriyik Bu Karsini terlihat pada pemakaian santan
yang menjadikan kuah terlihat kuning kental. Hal ini dirasakan oleh pelanggan
mampu membuat soto kriyik lebih gurih. Kuah santan tersebut sebenarnya kuah
untuk opor ayam, namun pengloahan masak yang sabat dari 3.000 lt menjadi
2.000 lt membuat bumbu melekat. Dalam memasak bukan sembarang panas,
tetapi panas yang sedang saja agar aroma bumbu dan campuran tidak menguap.
Soto Kriyik Bu Karsini masih mempertahankan gerobak khasnya sejak
pertama kali muncul. Dahulu, awalnya, penjualan Soto Kriyik dilakukan dengan
dipikul secara berkeliling mengitari Purbalingga. Akan tetapi, sekarang sudah
menetap di kios atau warung, namun tetap mempertahankan gerobak khasnya
dengan model yang sama seperti gerobak yang lama. Pada gerobak tersebut masih
ada pikulan yang terbuat dari bambu. Pikulan yang digunakan untuk membawa
gerobak tersebut sampai saat ini masih dibiarkan melekat. Pikuran sekarang
menjadi tempat untuk menaruh telor rebus yang menjadi bagian dari Soto Kriyik
ini.

F. Nilai Kearifan Lokal Soto Kriyik Bu Karsini


Kearifan lokal muncul sebagai suatu pengetahuan luhur dari leluhur
(generasi terdahulu) dalam suatu masyarakat setempat yang diwariskan ke
generasi berikutnya. Kearifan lokal dalam Soto Kriyik Bu Karsini muncul dari
resep yang sama seperti yang diturunkan oleh ibunya, juga kakeknya dalam
membuat makanan. Resep masakan Soto Kriyik Bu Karsini secara umum telah
dapat dilihat di internet maupun pada kumpulan resep bakeraf. Namun, strategi
pengolahan dan proses saat masak itulah yang tak dapat dimiliki oleh siapapun.
Proses pengeolahan adalah pengetahuan yang hanya didapatkan dari proses
perjalanan panjang dari sebuah pengalaman dan pengamalan melalui uji coba
sekian kali.
Pemahaman orang Purbalingga pada cuaca dan kebiasaan masyarakat sangat
berpengaruh pada makanan. Dalam daerah di Purbalingga yang memiliki curah
hujan tinggi membuat masakan lebih enak dinikmati dalam keadaan hangat.
Usaha untuk mempertahankan makanan dalam hangat ini tidak mudah karena
jangan sampai menghilangkan rasa awal. Kehangatan yang nikmat menjadi modal
sosial yang penting dalam suatu masyarakat. Kehangatan dalam kebersamaan
akan menjadi kenangan dan sejarah yang berkesan.
Dalam hal ini, Purbalingga memiliki karakteristik khas berdasarkan pada
konteks dan corak wilayah beserta tata hidup masyarakatnya. Karakteristik
Purbalingga dekat dengan makanan angat dan masyarakat yang guyub dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka lahir dari berbagai unsur yang secara genuin
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Purbalingga dan penghuninya dalam
iklim tropis. Sejarah Purbalingga memberi corak yang kental dalam
perkembangan wilayah dan masyarakat yang umumnya tidak terlalu jauh berbeda
dengan konstruk sebelumnya. Hal ini karena sejarah Purbalingga besifat berubah
dan berkembang paralel dengan kondisi awal baik dalam perubahan evolutif
ataupun revolutif. Kondisi tersebut sangat berpngaruh pada pola masyarakat
Purbalingga dalam memilih menu makanan.
Pola makanan pada dasarnya adalah konsep budaya yang bertalian dengan
unsur sosial budaya yang berlaku pada masyarakat tersebut seperti nilai sosial,
norma sosial dan budaya, serta pandangan baik dan buruk makanan tersebut oleh
masyarakat.16 Makanan tidak semata-mata produk untuk mengenyangkan perut
saja. Makanan berkaitan pada keyakinan masayarakat Purbalingga untuk boleh
disantap atau tidak berdasarkan adat atau kebiasaan. Kerterikatan masyarakat
Purbalingga pada suatu makanan mampu menandai pola tata hidup dan pergaulan
dengan orang lain.
Soto Kriyik Bu Karsini mengajarkan kebersamaan dalam kehangatan. Soto
memang paling enak ketika dinikmati dengan teman secara bersama-sama. Soto
yang dimakan dalam kuah hangat akan semakin nikmat dengan keakraban senda
gurau bersama teman atau keluarga. Hal ini karena di Purbalingga tidak mengenal
hierarki atau stratifikasi sosial seperti di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Hal
itu tercermin dalam soto yang merupakan campuran dari berbagai macam, bahkan
kuahnya juga dari bermacam bumbu. Semuanya menjadi satu kesatuan, yakni
dalam satu mangkok (sebagai wadah). Dalam hal ini, wadahnya adalah
Purbalingga sebagai tempat. Orang boleh berbeda-beda, tetapi menyatu dalam
wadah Purbalingga.
Oleh karena itulah, Soto Kriyik Bu Karsini selalu terbuka oleh siapa saja
dalam keadaan yang hangat. Ruang yang terbuka memungkinkan siapa saja untuk
bisa bertegur sapa dan bercampur. Keterbukaan Soto Kriyik Bu Karsini diawali
dari makanan keliling yang dapat dinikmati oleh siapa saja. Walaupun dijual
keliling, namuan konsistensi rasa tetap terjaga. Soto Kriyik Bu Karsini mulanya
adalah menyapa rumah-rumah menjadi hangat dalam kebersamaan. Cuaca
mendung atau hujan menjadi tambah nikmat untuk menyantap Soto Kriyik Bu
Karsini. Usaha untuk mempertahankan kehangatan itu, tidak hanya pada suasana,
tetapi cara memasak yang membuat kuah tetap hangat melalui bara api pada
arang. Bara api dipelihara untuk tetap merah, tetapi api tidak menyala. Yang ada
adalah panas untuk menghangatkan saja. Bukan panas yang membakar.
Cara memasak dengan menggunakan arang terus dipertahankan sampai
sekarang untuk membuat rasa tetap terjaga. Dalam hal ini, Ibu Julastri sebagai
generasi penerus tidak mau mengecewakan para pelanggan dengan membohongi
lidah. Baginya, salah satu bentuk dan usaha menjaga kualitas soto kriyik adalah
dengan tetap mempertahankan cara memasak sesuai dengan leluhurnya. Ia tidak
mau mengubah memasak menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah
atau kompor gas berbahan bakar gas LPG. Setelah kuah matang, ia hanya menjaga
panas untuk tetap hangat. Apabila menggunakan kompor berbahan bakar minyak
tanah maka dapat menyebabkan api terus menyala, akibatnya “sangit” dan bau
minyak tanah. Apabila menggunakan kompor gas berbahan bakar gas LPG maka
panas yang dihasilkan adalah panas yang berlebihan, akibatnya aroma kuah dan
bumbu ikut menguap. Pengetahuan seperti itu sering tidak disadari oleh orang

16
Baca Amir Fadhilah, Kearifan Lokal dalam Membentuk Budaya Pangan Lokal
Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo dalam Jurnal Al-Tur Vol. XIX No. 1 Januari 2013.
yang jarang memasak atau baru mencoba-coba. Pengetahuan seperti itu telah
Julastri dapatkan dari Ibu Karsinah, bahkan dari leluhurnya.
Filosofi yang terdapat dalam “kriyik” adalah kebaruan makanan yang
terjaga. Orang Purbalingga menyebut makanan lama dengan sebutan “mlempem”
dan apabila dimakan sudah tidak gurih lagi. Dulu, leluhurnya berpikir keras untuk
membuat soto selalu enak dan berkesan bagi pelanggan. Mereka menggoreng
perkedel yang dihangatkan sampai kering, kemudian dicampurkan ke dalam soto,
ternyata enak. Banyak orang yang suka, sekaligus memperlihatkan bahwa soto
masih baru. Buktinya, adalah gorengan perkedel yang belum “mlempem” setelah
terkena kuah soto.
Tekstur yang renyah pada perkedel dan mampu bertahan pada air ini
membuat orang mudah menikmatinya. Apabila selama ini sroto Sokaraja hanya
menggunakan krupuk saja, yang dalam sesaat dapat menyatu dengan kuah, namun
berbeda dengan perkedel yang bertahan lama. Kebertahanan ini membuat orang
tak berhenti untuk melahapnya. Hal ini membuat orang merasa ketagihan terus
untuk menggoyangkan lidah. Perpaduan antara aroma bawang dan kuah sroto
membuat keseimbangan rasa dapat terbentuk.
Dalam beberapa paparan, dapat disimpulkan bahwa filosofi dalam perkedel
pada Soto Kriyik Bu Karsini adalah agar kita selalu bisa memberikan jamuan
dalam keadaan yang baru, hangat, dan menyenangkan orang lain. Dalam jamuan
itu, orang merasa nikmat dalam keakraban. Adapun filosofi campur-baur dalam
sroto adalah tidak adanya hierarki atau stratifikasi sosial. Soto Kriyik Bu Karsini
dapat dinikmati oleh siapa saja, yang menyatu dalam bumbu kebersamaan yang
hangat.
Perasaan mendalam oleh Julastri kepada kota Purbalingga dan leluhurnya
membuat ia tetap memilih berdagang di Purbalingga saja. Ia tidak berambisi pergi
ke luar kota dan tidak meninggalkan Soto Kriyik sebagai warisan leluhur. Ada
keinginan besar dari Julastri kepada anaknya untuk bisa meneruskan usaha Soto
Kriyik sebagai penghidupan. Hal itu bertujuan agar nilai-nilai yang terkandung
dalam Soto Kriyik Bu Karsini terus dipertahankan sampai generasi mendatang.

G. Urgensi Pelestarian Soto Kriyik Bu Karsini


Nilai kearifan lokal dalam Soto Kriyik Bu Karsini seringkali diabaikan,
dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan.
Selain itu, banyak masyarakat di Purbalingga sendiri yang tidak mengetahui nilai
kearifan lokal Soto Kriyik Bu Karsini. Oleh karena itu, upaya memelihara Soto
Kriyik Bu Karsini dalam waktu yang sangat lama, perlu dikembangkan
pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable), bukan pelestarian
yang hanya mode atau kepentingan sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan
elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian Soto Kriyik Bu Karsini
tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat
luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan. Pelestarian Soto Kriyik Bu
Karsini tidak hanya dalam buku tebal resep kuliner Nusantara, tidak hanya
diperbincangkan dalam seminar para intelektual di hotel mewah, apalagi hanya
menjadi hobi makan para orang kaya.
Sesuai dengan hakikat dan budaya sebagai milik bersama masyarakat, maka
unsur-unsur kebudayaan itu memasyarakat dalam individu-individu warga
masyarakat dengan jalan diwariskan atau dibudayakan melalui proses belajar
budaya, terutama melalui keluarga.17 Upaya pelestarian yang dilakukan oleh Ibu
Julastri adalah memberikan resep kepada anak-anaknya (sebagai generasi
penerus). Mereka dilatih untuk mencintai Soto Kriyik Bu Karsini dengan
memahami setiap proses memasak, tanpa menghilangkan kekhasannya. Ibu
Julastri dahulu sering membantu ibunya ketika membuat soto kriyik ini, sama
halnya dengan kedua anak perempuannya yang sudah mengetahui bahan dan
bumbu-bumbu untuk membuat soto kriyik ini, mereka sering membantu dalam
pembuatan soto kriyik. Apabila sedang libur sekolah (hari minggu dan tanggal
merah), mereka juga ikut membantu dalam penjualan. Mereka diajari memasak
dan menyapa tamu dengan ramah dan baik. Pendidikan karakter seperti ini sangat
penting bagi anak-anak Ibu Julastri karena tidak diperoleh dari sekolah, melainkan
belajar langsung dari kehidupan nyata.
Melalui proses pewarisan seperti ini akan terbentuk generasi penerus yang
baik. Hanya dengan belajar dan membentuk kepribadian inilah cara pelestarian
yang paling memungkinkan dilakukan secara individual. Dalam hal itu, Ibu
Julastri juga memberikan penjelasan bahwa uang yang selama ini diperoleh untuk
biaya hidup berasal dari Soto Kriyik. Keuntungan secara ekonomis adalah bukti
konkret yang dapat dirasakan untuk bertahan hidup di era milenial.
Kabupaten Purbalingga jika hanya mengandalkan kemajuan pada mode dan
gelamor, sudah dengan sendirinya terbentuk mengikuti arus zaman. Justru kepada
Soto Kriyik Bu Karsini ini turut mengembangkan dan membentuk nilai khas
kuliner tradisional Purbalingga. Potensi orang dari daerah lain untuk berkunjung
ke Purbalingga sangat besar. Karena itulah, regenerasi yang baik akan melekatkan
pada budaya Purbalingga yang tidak luntur di tengah perkembangan informasi
global untuk merespon keberagaman dalam perubahan tanpa henti. Pada arena itu,
Soto Kriyik Bu Karsini yang telah mampu menjadi ikon budaya Kota Perwira,
sekaligus sebagai identitas. Hal ini sangat berdampak bagi pariwisata (wisata
kuliner) di Purbalingga karena menarik bagi orang dari luar untuk mencoba yang
khas dan berbeda.
Soto Kriyik Bu Karsini memiliki manfaat yang sangat penting dalam ilmu
pengetahuan. Ilmu tentang memasak yang sabar dengan cita rasa yang terjaga sulit
diperoleh pada masyarakat di era milenial yang hidup serba instan. Perkembangan
modernisasi era milenial telah memunculkan elemen masyarakat menjadi
konsumen dalam budaya praktis. Kehadiran budaya online telah memainkan
evolusi konsumsi dengan memainkan formasi hegemonik yang terus
memodifikasi diri. Dalam kondisi seperti itu, ilmu memasak Soto Kriyik Bu
Karsini sulit untuk diperoleh dan sudah sangat jarang yang memahami bahwa
memasak bukan semata-mata matang dan enak di lidah. Memasak adalah proses
pemerolehan pengetahuan.

17
Baca Burhanuddin Arafah, "Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya" diakses
dari https://www.yayasankertagama.org/article/article4.pdf pada 4 Nopember 2019.
Berkaca dari fenomena tersebut, Ibu Julastri sebagai pemilik Soto Kriyik Bu
Karsini juga sering diundang dalam berbagai acara, seperti dalam acara hajatan, 18
pameran, dan acara-acara yang dilaksanakan oleh Pemda. Soto Kriyik Bu Karsini
ini memiliki keunikan yang berbeda dengan daerah lainnya yang posisinya sulit
tergantikan dengan beragam dan keberlimpahruahan variasi kuliner di era
milenial. Cita rasa yang khas membuat orang enggan berpaling untuk terus
menikmati hidangan Soto Kriyik dalam menghadrikan pada moment spesial. Ibu
Julastri juga kadang sering diundang untuk memberikan pelatihan kepada ibu-ibu
PKK tentang cara membuat soto kriyik yang enak. Kehadriannya sebagai mentor
atau tutor memang sangat penting, tetapi tidak semua peserta kemudian dapat
menekuni kemampuan seperti Ibu Julastri. Dia membagikan ilmu tentang
memasak yang sangat langka di tengah minimnya jurusan tata boga di
Purbalingga dan sekitarnya sehingga kajian tentang Soto Kriyik Bu Karsini masih
minim.

Daftar Pustaka
Arafah, Burhanuddin. 2018. "Warisan Budaya, Pelestarian dan Pemanfaatannya"
diakses dari https://www.yayasankertagama.org/article/article4.pdf pada 4
Nopember 2019.
Bekraf. 2018. Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep. Jakarta: Bekraf
bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Eliade, Miracle. 2002. Mitos Gerakan Kembali Yang Abadi: Kosmos dan Sejarah
(The Myth of the Eternal or Cosmos and History) diterj. oleh Cuk Ananta.
Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Fadhilah, Amir. 2013. “Kearifan Lokal dalam Membentuk Budaya Pangan Lokal
Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo dalam Jurnal Al-Tur Vol. XIX
No. 1 Januari 2013.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Jenks, Chris. 1993. Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kontjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Yogyakarta: Dian
Rakyat.
Lévi-Strauss, Claude. 2005. Antropologi Struktural (Anthropologie Structurale)
diterj. oleh Ninik Rochani Sjams. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural
Heritage UNESCO Tahun 2003 (Konvensi untuk Perlindungan Warisan
Budaya Takbenda).
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang
Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan.

18
Untuk acara hajatan, saat wawancara pada 4 Nopember 2019 di Purbalingga, Julastri
menyampaikan sudah jarang karena repot. Ia harus membawa grobogan dan berbagai
perlengkapan. Belum lagi, alat-alat yang rusak. Apabila menimbang resiko tersebut, Julasti
memilih untuk berjualan di rumah saja.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya.
Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga.
Sutrisno, Mudji. 2009. Ranah-ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Subiantoro, Slamet. 2010. Antropologi Seni Rupa: Teori, Metode & Contoh
Telaah Analitis, (Surakarta: UNS Press, 2010), hal. 39.
Wawancara dengan Ibu Julastri (generasi ke-3), ia tidak tahu nama kakeknya yang
merupakan pencetus pertama soto kriyik ini. Wawancara dilakukan pada 4
Nopember 2019 di Purbalingga.
Observasi pada 4 Nopember 2019 di Jl. MT. Haryono Kelurahan Karangsentul
Purbalingga.
https://www.purbalinggakab.go.id/v1/soto-kriyik-bu-karsini-yang-ngangeni/ pada
20 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai