Anda di halaman 1dari 59

LAKATAN

Dalam Tradisi
SELAMATAN

OLEH

Yuliani
Yusuf Hidayat
Syahlan Mattiro
Sambutan Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan
Provinsi Kalimantan Selatan
Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillah, puja dan puji bagi Allah SWT, karena berkat


rahmatnya jualah akhirnya penyusunan buku ini bisa selesai. Tidak
lupa shalawat serta salam bagi Nabi Muhammad SAW. Saya
menyambut baik pada penyusunan buku ini dengan judul Lakatan
Dalam Tradisi Selamatan.

Kita tahu, negeri tercinta kita Indonesia memiliki keberagaman


suku dengan aneka budaya yang khas. Dari para leluhur, budaya-
budaya tradisi itu diwariskan ke anak-cucu hingga sekarang ini, serta
terus hidup dan terjaga di lingkungan masyarakatnya, bahkan
dikenal luas hingga ke manca negara. Budaya-budaya tradisi ini tak
ternilai, karena mengandung kearifan-kearifan lokal yang khas, yang
hanya menjadi milik masyarakat setempat atau wilayah tertentu itu
saja.

Namun budaya itu bisa juga dirasakan atau disaksikan oleh


orang-orang lain diluar lingkungan masyarakat setempat, dan
mereka bisa menikmati betapa budaya itu memiliki keluhuran yang
tinggi sehingga bisa menggugah rasa dan perhatian. Tak terkecuali
Kalimantan Selatan, yang juga memiliki budaya-budaya tradisi
warisan leluhur yang tetap hidup dan bertahan hingga kini.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN i


Seperti pada buku ini, yang memuat tentang Lakatan Dalam
Tradisi Selamatan Pada Masyarakat Banjar Di Kelurahan Kuin Selatan
Kota Banjarmasin. Zaman yang terus berubah, dan kemajuan
teknologi begitu cepat, kiranya budaya-budaya tradisi harus tetap
dipertahankan. Sebab budaya tradisi merupakan sebuah identitas
yang selayaknya tidak boleh tergerus apalagi lenyap begitu saja
seiring waktu.

Sebab budaya tradisi itu lahir dari olah rasa dan olah karsa yang
memiliki nilai-nilai kearifan yang tinggi, dan mengandung
k e b i j a k s a n a a n d a r i p a r a l e l u h u r. S e b a b i t u , p r o s e s
pendokumentasian budaya-budaya tradisi dalam bentuk buku
menjadi sangat penting. Dan ini juga bagian dari budaya literasi kita
yang hingga kini terus diupayakan untuk terus ditingkatkan. Kita
tahu, negara-negara besar yang tingkat modernisasinya tinggi,
justru juga memiliki budaya literasi yang tinggi.

Dengan dibukukan khasanah-khasanah budaya lokal ini, maka


ia akan menjadi pengetahuan yang bisa terus dibaca hingga dalam
waktu yang panjang dan lama. Sebab ada sebuah ungkapan apa
yang tercatat (dibukukan) ia akan terus ada dan abadi, sedangkan
yang terucap akan hilang bersama angin.

Pendokumentasian dalam bentuk buku ini tentu saja hanyalah


salah satu cara atau upaya untuk terus menjaga dan melestarikan
budaya-budaya lokal. Lebih jauh, seluruh elemen masyarakat, juga
pemerintah tentunya, harus bersama-sama menjaga dan
memeliharanya agar terus lestari sebagai sebuah kekayaan
nusantara, negeri ini, yang menjadi kebanggaan kita bersama.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN ii


Akhirnya, selamat membaca dan menyimak. Semoga kita
semua mendapatkan pengetahuan dan manfaatnya. Banggalahh
kita menjadi orang Indonesia yang terus menjaga dan melestarikan
budaya-budaya tradisi para leluhur negeri ini. Wassalam,

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan


Provinsi Kalimantan Selatan,

Drs. H. Muhammad Yusuf Effendi, M.AP

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN iii


SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SOSIOLOGI FKIP ULM
Bismillahirrahmanirrahim.

Sebagian orang memahami karya tulis ilmiah berupa skripsi,


hanya berakhir di rak perpustakaan, atau menjadi koleksi penulisnya
yakni mahasiswa bersangkutan. Kalaupun digunakan, terbatas pada
referensi mahasiswa berikutnya yang mengerjakan skripsi.

Namun skripsi mahasiswa prodi Pendidikan Sosiologi ini


membuktikan, bahwa skripsi terus berlanjut menjadi sebuah karya
tulis yang dilakukan penyesuaian agar menjadi sebuah buku dan
yang terpenting adalah sebagai sebuah karya olah intelektual yang
membanggakan bagi penulis dan program studi.

Jika sebuah skripsi ketat dengan aturan dan petunjuk teknis


penulisan karya ilmiah, Ketika menjadi buku, aturan tersebut
disesuaikan agar menjadi lebih sederhana sebab buku ditujukan
untuk pembaca yang lebih luas.

Oleh karena itu, kami dari Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP
ULM, menyampaikan ucapakan terima kasih dan penghargaan yang
tak terhingga kepada Drs. H. Muhammad Yusuf Effendi selaku Kepala
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Selatan yang
memprakarsai pendokumentasian skripsi dalam bentuk buku ini.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN iv


Terutama 15 naskah skripsi telah dibukukan ke dalam 15 buah
buku. Semoga dengan adanya buku-buku ini menjadi kebanggaan
penulis buku yang menjadi alumni prodi Pendidikan Sosiologi dan
juga memicu mahasiswa untuk meningkatkan kualitas skripsi agar
dapat digunakan untuk berbagai hal bermanfaat bagi masyarakat
luas.

Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi


FKIP ULM,

Syahlan Mattiro, M.Si

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN v


DAFTAR ISI
Sambutan i
Daftar Isi iv
Pendahuluan 1
Bagian Pertama
Gambaran Umum Tentang Lakatan Dalam Tradisi Selamatan 6
A. Jenis Dan Bentuk Hidangandari Lakatan 7
B. Kegiatan Yang Menggunakan Lakatan 15
C. Sejarah Lakatan 23
Bagian Kedua
A. Alasan Masyarakat Menyajikan Lakatan Dalam Tradisi
Selamatan 25
a. Sebagai Makanan Sesajen 25
b. Menambah Daya Ingat 28
c. Kewajiban Berkala 30
B. Makna Lakatan Dalam Tradisi Selamatan 36
a. Lakatan Sebagai Bentuk Kerekatan 36
b. Makna Warna-warna Lakatan 39
Penutup 45
Bahan Bacaan 47
Biodata Penulis 50

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN vi


Pendahuluan
Setiap daerah tentu memiliki tradisi – tradisi sakral dengan ciri
khas nya masing – masing. Tradisi pada masyarakat sudah sejak turun
temurun dikenal dan berkembang di lingkungan dengan tata aturan
yang sudah dibudayakan secara bersama – sama.

Tradisi merupakan suatu tindakan yang di dasarkan pada


spiritual yang di dalamnya terdapat agama dan perasaaan sehingga
tradisi selalu di miliki tiap-tiap daerah. Dengan adanya tradisi
seseorang dapat melestarikan dan mengenang warisan dari leluhur
sehingga generasi berikutnya dapat meneruskan tradisi yang sudah
ada tersebut.

Kepercayaan masyarakat akan suatu tradisi yang dijalankan


muncul bukan karena unsur kesengajaan tapi memang dari hati
nurani mereka. Salah satunya menjadikan tradisi sebagai suatu
bentuk rasa syukur yang dipanjatkan kepada Tuhan atas segala
nikmat yang diperoleh. Berbicara tradisi berarti berbicara tentang
tatanan eksistensi manusia dan bagaimana masyarak at
mempresentasikannya di dalam kehidupan.

Maka dari itu masyarakat sangat menjunjung tinggi makna


dan tradisi-tradisi yang telah lama dipercayai mulai dari struktur
syarat-syaratnya, kelengkapan benda atau makanan di dalamnya,
waktu pelaksanaan dan tata cara berlangsungnya tradisi tersebut.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 1


Menurut Ideham dkk (2007:96) mengenai upacara religi pada
masyarakat Kalimantan selatan terlihat pada dua jenis kegiatan yang
disebut aruh dan selamatan. Aruh diadakan sebagai upacara yang
wajib dan mengikat. Sedangkan selamatan diadakan sesuai dengan
keperluan yang berlaku. Sehingga selamatan biasa juga disebut
dengan acara syukuran yang dilaksanakan karena mendapatkan
suatu nikmat yang berlimpah ataupun tradisi untuk memperingati
hari besar keagamaan yang dianggap sakral.

Khususnya pada masyarakat Banjar, menurut Daud (1997:13)


Masyarakat Banjar mengembangkan kegiatan berupacara hampir
dalam semua bidang kehidupan yang dilihat dari sifat aslinya
merupakan pelaksanaan belaka dari kewajiban–kewajiban (dan
anjuran–anjuran) yang diajarkan oleh agama islam. Hal ini terjadi
dalam rangka peralihan tahap–tahap hidup seorang individu yang
berulang tetap sesuai jalannya kalender dan yang terjadi sewaktu –
waktu dirasakan keperluan untuk itu.

K e gi a t a n - k e gi a t a n y a n g t u j u a n ny a m e l a k s a n a k a n
kewajiban–kewajiban islam dapat dijadikan ukuran ketaatan
seseorang atau suatu kelompok terhadap ajaran islam. Dalam tradisi
selamatan terdapat pula hidangan makanan yang secara turun-
temurun menjadi sajian dalam kegiatan.

Selain dilihat dari sakralnya tradisi atau upacara dilaksanakan,


namun juga dari peran sajian yang ada. Terutama sajian yang
memiliki makna dan arti dalam pemenuhan tujuan tradisi tersebut.
Menurut Ideham dkk (2007:297) Pada saat penyelenggaraan upacara
adat dihidangkan makanan tertentu yang masing-masing
mempunyai makna dan pengertian tersendiri.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 2


Bahan mentah yang dipakai mempunyai makna tertentu,
demikian pula warna dan bentuk mempunyai arti dan sesuai tujuan
terselenggarakannya upacara. Bahan mentah yang dimaksudkan
ialah : beras, ketan, gula, garam dan kelapa. Lakatan, yang biasanya
disebut oleh masyarakat Banjar ini merupakan perpaduan antara
beras ketan yang dimasak dan ditambahkan gula merah diatasnya
dan sudah dicampur terlebih dahulu dengan parutan kelapa.

Namun adapula sajian yang memang berbahan dasar beras


ketan atau Lakatan disajikan dengan bentuk, warna dan campuran
rasa yang berbeda-beda. Lakatan selalu menjadi sajian yang tidak
pernah ketinggalan baik dalam upacara perayaan, selamatan
maupun peringatan hari besar lainnya, lebih tepatnya dapat
dikatakan menjadi sajian utama dalam penyelenggaraan acara. Akan
tetapi dari banyaknya sajian lakatan yang paling biasa ditemui
diacara-acara selamatan atau perayaan ialah lakatan dengan inti
kelapa.

Lakatan termasuk dalam “Wadai 41” atau “Kue persembahan”


yang harus ada untuk dipersembahkan dalam banyak ritual adat
masyarakat Banjar seperti pengobatan, perkawinan, selamatan dan
sebagainya. Kebanyakan kue persembahan tradisional ini terbuat
dari bahan dasar beras ketan.

Adapun olahan dari ketan diantaranya seperti : lupis, lemper,


lamang, pare, lapat, wajik, sarimuka lakatan, lapis ketan sarikaya,
gegatas, tape ketan dan yang paling sering ada yaitu lakatan inti
kelapa biasanya juga dilengkapi dengan telur asin disekelilingya.
Selain Lakatan ataupun olahan yang berbahan dasar beras ketan
adapula makanan lainnya yang menjadi pelengkap dalam wadai
banjar 41.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 3


Seperti cucur, bibingkaan, cincin, putu, kokoleh, apam, pais
pisang, pais waluh, pupudak baras, pupudak sagu, surabi, kakicak,
cingkaruk, ipau, ular-ular, tapai gumbili, roti baras putih, roti baras
habang, dan lain-lain. Menariknya, Lakatan dijadikan sebagai bahan
dasar ataupun sajian yang lebih sering disajikan dalam segi ritual
yang diadakan dengan tujuan tertentu.

Melalui Lakatan tentu terdapat makna dan nilai-nilai yang


terkandung sehingga membuatnya menjadi sajian utama selama
turun-temurun, dari generasi ke generasi dalam keluarga Kerajaan
Banjar bahkan hingga sekarang masih melekat di masyarakatnya.
Setiap pelaksanaan tradisi selamatan ataupun upacara adat lainnya
lakatan termasuk dalam bahan dasar yang disajikan untuk
pemenuhan kelangsungan tradisi tersebut.

Di Kalimantan Selatan, khususnya masyarakat Banjar, masih


melaksanak an tradisi selamatan yang diharusk an untuk
menghidangkan lakatan sebagai salah satu hidangan selamatan, tak
terkecuali dengan masyarakat Banjar yang berada di kampung Kuin,
Banjarmasin. Kampung Kuin merupakan kampung tua di kota
Banjarmasin yang erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Banjar, di
Kampung ini terdapat 2 warisan kerajaan Banjar yaitu Masjid Sultan
Suriansyah dan Makam Pangeran Antasari.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 4


Sehingga tidak heran jika pengaruh kerajaan cukup berperan
penting terhadap tradisi-tradisi masyarakat Kampung Kuin. Adapun
Kuin terbagi menjadi tiga cakupan wilayah yaitu: Kuin Utara, Kuin
Selatan dan Kuin Cerucuk meskipun pada awalnya Kuin hanyalah
berupa satu kampung yang tidak terbagi. Kebanyakan masyarakat
yang menempati wilayah Kuin ini merupakan masyarakat asli yang
memang telah lama bermukim ketimbang masyarakat pendatang.
Kampung Kuin dan Lakatan memiliki hubungan yang erat dalam
tradisi banjar yang lahir sejak masa-masa kerajaan banjar.

Masyarakat Banjar tentunya tidak asing lagi dengan lakatan


yang merupakan salah satu panganan tradisional yang sudah ada
sejak turun-temurun. Terutama Masyarakat Banjar yang bermukim di
Ku i n , b i a s a nya m e n g a d a k a n t ra d i s i s e l a m at a n d e n g a n
menghidangkan lakatan sebagai kue yang manis namun terkesan
sakral.

Kuin Selatan Banjarmasin, merupakan salah satu daerah yang


tentunya masuk dalam wilayah kampung tua atau kampung Kuin
Banjarmasin yang hingga saat ini masyarakat Banjar yang tinggal
disana masih melakukan tradisi selamatan. Dalam penelitian ini,
peneliti memilih Daerah Kuin Selatan Banjarmasin sebagai tempat
penelitian, dikarenakan pada wilayah ini masyarakatnya masih
menekankan tradisi selamatan maupun aruh dengan melibatkan
lakatan sebagai sajiannya sesuai dengan kepercayaan yang sudah
turun-temurun diwariskan.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 5


Kemudian, menurut informasi dari Ibu Fatimah (tokoh
masyarakat kelurahan Kuin Selatan) setiap masyarakat yang ingin
melaksanakan acara selamatan baik selamatan kehamilan, kelahiran,
menjelang pernikahan, bamandi-mandi pangantin, batamat qur'an
maka sajian yang diharuskan ada adalah lakatan sebagai syaratnya.
Hal ini sudah sejak lama dipertahankan dan diturunkan dari generasi
ke generasi meskipun pada era modern sekarang ini, masyarakat
sudah mulai beralih dengan kue-kue yang lebih mudah didapat di
pasaran.

Adapun penelitian ini berfokus pada pemaknaan dari lakatan


itu sendiri menurut kepercayaan masyarakat. Mulai dari alasan
dibalik masyarakat yang masih menjadikan lakatan sebagai sajian
utama, pemaknaan yang terkandung mulai dari warna, bentuk,
bahan, bahkan tambahan gula merah yang ada pada lakatan
tersebut.

Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengangkat Lakatan


dalam penulisan ini dengan judul “Lakatan dalam Tradisi Selamatan
Masyarakat Banjar di Kelurahan Kuin Selatan Kecamatan
Banjarmasin Barat”.

Dengan adanya penelitian mengenai lakatan ini, dapat


memberikan pemahaman yang sebenarnya tentang pemaknaan
lakatan yang terkandung pada lakatan sehingga masyarakat dapat
mengetahui dan memahami secara jelas alasan adanya lakatan
tersebut pada tradisi selamatan masyarakat Banjar.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 6


Bagian Pertama
Gambaran Umum Tentang Lakatan Dalam Tradisi
Selamatan
Dalam melakukan tradisi selamatan, biasanya masyarakat
Banjar akan ada hidangan yang disediakan, yaitu berupa makanan
yang terdiri dari kue, makanan besar maupun buah-buahan serta
tidak ketinggalan minuman. Kue dalam bahasa Banjar dikenal
dengan sebuatan wadai ada yang dianggap sakral untuk diletakkan
pada acara selamatan adapula yang hanya sebagai wadai tambahan
sebagai pelengkap.

Masyarakat Banjarpun mengenal ada 41 macam Wadai Banjar


yang biasanya ada dalam tradisi selamatan. Namun dari semuanya
ada salah satu wadai yang selalu ada dan tidak ketinggalan disetiap
tradisi yang dilaksanakan masyarakat, yaitu lakatan.

Lakatan merupakan
bagian dari sajian yang
dihidangkan dalam
acara selamatan,
adapun berbagai
hidangan lakatan
biasanya tidak hanya
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019) sekedar dijadikan
sebagai hidangan pemanis saja, melainkan sebagai bagian dari
keharusan dalam acara selamatan tersebut karena dianggap
memiliki pengaruh dan makna dalam penyajiannya.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 6


A. Jenis dan Bentuk Hidangan Dari Lakatan
Lakatan tidak hanya memiliki satu jenis olahan saja, melainkan
memiliki berbagai macam olahan mulai dari bentuk, warna serta
penamaannya yang menggambarkan makna dari olahan lakatan
tersebut. Berikut merupakan berbagai macam olahan lakatan yang
biasanya ada dalam acara selamatan menurut penuturan dari Mama
Erna (66 tahun) yang merupakan pembuat kue tradisional di
Kelurahan Kuin Selatan.

Lakatan Bahinti adalah lakatan dengan warna dasar dari beras


ketan, yaitu putih dan tidak lupa diberi pemanis dengan diletakkan
inti kelapa gula merah. Lakatan ini merupakan hidangan yang paling
sering ditemui pada acara selamatan bagi masyarakat Banjar.

Cara pembuatannya pun cukup


mudah, setelah beras ketan dicuci
bersih, masak beras ketan seperti
memasak nasi biasa, namun
setelah setengah matang
ditambahkan santan, beri sedikit
garam dan diaduk rata hingga
matang. Setelah itu lakatan yang
sudah matang, diangkat dan
ditempa dengan kedua tangan
untuk mendapatkan bentuk
gunungan.
Lakatan Bahinti
Sajian Untuk
Selamatan
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 7


Lakatan kuning putih merupakan lakatan yang dibuat guna
keperluan sesajen. Lakatan ini tidak diperuntukkan untuk dimakan,
melainkan untuk diberikan kepada makhluk halus yang sudah
disepakati untuk diberikan makan. Warna kuning yang didapat tentu
berasal dari warna kunyit yang dicampur dengan lakatan.

Lakatan Kuning Putih Untuk Dilabuh


(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

Lamang merupakan salah satu olahan lakatan yang dimasak


dengan menggunakan bumbung atau biasa disebut bambu yang
panjangnya 10-15 cm, bagian bawahnya ditutup dan bagian atas
dibiarkan terbuka. Cara memasaknya dengan cara disandarkan
secara miring pada tiang penyangga dan di bawahnya bara api.

Lamang Pasar Tradisional


(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 8


Lupis merupakan salah satu olahan lakatan yang paling sering
dijumpai baik diacara selamatan maupun di pasar-pasar tradisional.
Rasanya yang manis dan gurih dengan taburan kelapa parut
menjadikan sajian ini sebagai salah satu kue tradisional yang disukai
oleh berbagai kalangan.

Lupis Dengan Air Gula Merah


Dan Parutan Kelapa
(Dokumentasi Kompasiana.com, 2021)

Lupis biasanya dalam acara selamatan dapat dijumpai di acara


resepsi perkawinan, tentunya dengan menghidangkan lupis
merupakan simbol agar perkawinan tersebut tidak hanya manis
diawal tetapi terus harmonis hingga akhir hayat sebagaimana
penampakan lupis yang manis dan rekat.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 9


Tapai Lakatan tapai lakatan yang bersanding dengan tapai
gumbili yang sering dijumpai dalam acara selamatan. Warnanya
memang khas sekali, tapai lakatan ini memang tidak menggunakan
daun pandan agar wangi asli dari pembuatan tapai tidak hilang atau
berubah sehingga pewarnaannya menggunaan daun katu.

Tapai Lakatan
(Dokumentasi Resepbunda.com, 2021)

Pare merupakan sajian yang berbahan dasar lakatan,


dinamakan pare karena bentuknya yang menyerupai sayuran papari
yang pahit hanya saja kue ini berbentuk lebih kecil dan isinya adalah
inti kelapa yang dimasak dengan gula merah sehingga
menjadikannya manis legit.

PareYang Disesuaikan
Dengan Sayuran Papari
(Dokumentasi resepdapoerenak.blogspot.com, 2020)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 10


Gagatas atau Gegatas adalah
sajian yang terbuat dari beras ketan
dan banyak juga dijual di pasar-pasar
tradisional. Gegatas memiliki dua
warna yaitu warna merah kecoklatan
merupakan gegatas gula habang dan
warna putih gegatas yang dibalur gula
halus putih.

Gagatas Pasar
Tradisional
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

Hintalu karuang sering dijumpai di hari biasa, maupun di bulan


ramadhan. Sajian ini juga merupakan salah satu olahan dari lakatan
yang disukai oleh banyak kalangan mulai dari anak-anak hingga
dewasa. Rasanya yang manis dengan gurihnya santan menjadikan
olahan bubur ini sangat cocok untuk dijadikan takjil dan lainnya.

Hintalu
Karuang
(Dokumentasi idntime.com, 2021)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 11


Babalungan Hayam adalah olahan dari ketan lainnya yang
tentunya juga merupakan salah satu wadai Banjar yang termuat
dalam wadai 41 berasal dari beras ketan. Olahan ini merupakan salah
satu olahan yang unik karena dianggap mirip dengan jengger ayam.

Babalungan Hayam Yang


Menyerupai Jengger Ayam
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2020)

Cingkaruk juga menjadi salah satu sajian yang terbuat dari


lakatan. Cingkaruk terbagi menjadi dua, yaitu cingkaruk habang dan
cingkaruk putih, perbedaan dari dua versi ini hanyalah perbedaan
dari warnanya saja.

Cingkaruk Gula Merah


(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2020)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 12


Kakicak atau Kikicak merupakan olahan lakatan lainnya yang
juga ada dalam hidangan sajian adat. Kakicak terbagi menjadi 3 jenis,
yaitu kakicak hijau bahinti, kakicak putih dan kakicak gumbili.
Kakicak yang terbuat dari beras ketan yaitu yang berwarna hijau dan
juga putih, dengan balutan hinti kelapa, terkadang warna Kakicak
dibuat gradiasi dua warna sekaligus yaitu putih dan hijau.

Babalungan Hayam
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

Kelapon merupakan perpaduan beras ketan dengan gula


merah dan kelapa parut sebagaimana kue lakatan lainnya. Bedanya
klepon ini dibuat dengan bentuk bola-bola yang lebih besar dari
hintalu karuang dan diberi isi gula merah serta ditaburi kelapa parut
yang membuatnya terasa nikmat lagi lembut.

Cingkaruk
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 13


Wajik merupakan hidangan yang juga terbuat dari lakatan,
kelapa dan gula merah. Wajik merupakan makanan yang
digolongkan tua bagi masyarakat Banjar dan termasuk dalam sajian
acara adat. Biasanya wajik ini dihidangkan dalam acara selamatan
yang mengusung wadai 41 sebagai hidangannya. Selain itu, wajik ini
juga bisa dikonsumsi seperti kue-kue pada umumnya yang dijual di
pasaran.

Wajik Bapotong
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 14


B. Kegiatan Yang Menggunakan Lakatan
Ketika akan terjadi masa-masa peralihan dalam tahap hidup
seseorang, maka akan diadakan suatu tradisi selamatan sebagai
ucapan syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa. Tradisi selamatan ini
dimaksudkan sebagai bagian dari tercapainya suatu keinginan, atau
permulaan yang hendak dilewati seseorang dalam fase hidupnya.

Begitupun dengan masyarakat Banjar yang menetap di Kuin


Selatan Banjarmasin juga tidak lepas dengan adanya tradisi
selamatan. Selamatan yang dikenal mulai dari tahap peralihan
seseorang menuju dewasa, sebelum menikah, saat menikah,
sesudah menikah, kehamilan, sesudah melahirkan, berkehidupan,
bahkan kematian.

Uniknya setiap melaksanakan selamatan yang berhubungan


dengan tahap peralihan, masyarakat tidak lupa untuk menyajikan
lakatan sebagai sajian utamanya. Meskipun masyarakat Banjar
dikenal dengan berbagai jenis dan macam wadai Banjar, namun
untuk lakatan ini memiliki keistimewaan tersendiri dalam
penggunaannya disetiap selamatan yang berlangsung.

Sebagaimana yang dikatakan oleh ideham, dkk (2007:302-


303), macam-macam upacara adat yang tidak ditentukan hidangan
atau masakan tertentu tetapi sebagai hidangan utama disiapkan nasi
ketan putih dengan inti. Upacara yang dimaksud ialah upacara adat
daur hidup yaitu bamandi-mandi, bapalas bidan, batasmiah
(memberi nama), baakikah, basunat, baayun ataupun saat
mendirikan rumah dan pindah rumah.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 15


Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di
kelurahan Kuin Selatan ada beberapa kegiatan yang
menghidangkan lakatan sebagai sajiannya, begitupula saat peneliti
melakukan observasi langsung ketika menghadiri acara yang sedang
dilaksanakan oleh Ibu Ade (28 tahun) pada acara selamatan rumah
baru dan Ibu Fatimah (39 tahun) pada acara tasmiyah anak beliau.
Berikut merupakan kegiatan yang dimaksud yaitu bamandi-mandi.

Bamandi-mandi dalam tradisi Banjar dapat terbagi menjadi


tiga, yaitu mandi-mandi hamil, mandi-mandi pada saat menikah dan
mandi-mandi untuk menghilangkan bala atau penyakit kiriman.
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Endang (24 tahun), beliau
pernah melaksanakan acara bamandi-mandi hamil atau yang biasa
disebut dengan mandi tian mandaring ketika menginjak usia
kehamilan tujuh bulan. prosesi bamandi-mandi oleh perempuan.

Bamandi-Mandi
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 16


Biasanya Duduk ditempat
yang disediakan dan
dikelilingi oleh gantungan
wadai-wadai Banjar yang
n a n t i n y a a k a n
diperebutkan oleh
masyarakat. Biasanya
adapula perempuan yang
hendak dimandi-mandi
akan mengenakan rompi
dari anyaman bunga melati,
serta bando dari bunga
melati pula. Sedangkan
untuk upacara mandi
pengantin disebut dengan
Badudus yang merupakan
ritual untuk mensucikan
Bamandi-Mandi
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019) diri, ritual ini biasanya
dilaksanakan saat
pernikahan maupun saat penobatan seseorang.

Secara umum makna ritual ini adalah untuk pembersihan diri


baik lahir maupun batin. Pada ritual inilah dihidangkan kue-kue khas
Banjar tanpa terkecuali dengan lakatan. Setelah itu prosesi lanjutan
dari dilaksanakannya bamandi-mandi tidak lupa terdapat hidangan
41 macam jenis kue khas Banjar dan juga lakatan bahinti.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 17


Batasmiyah merupakan
upacara pemberian nama
terhadap bayi, yang dimulai
dengan pembacaan ayat suci Al-
qur'an, didahului dengan
pembacaan surah al-Fatihah,
surah al-Ikhlas, surah al-Falaq
dan an-Nas, barulah kemudian
Selamatan Tasmiyah dibacakan ayat kursi dan surah
(Pemberian Nama Bayi) yasin.
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2018)

Kemudian dilanjutkan
dengan pembacaan
sholawat-sholawat dan
doa. kemudian seorang
pemuka agama atau
k a m p u n g a k a n
meresmikan nama bayi
disertai dengan
pemotongan sedikit Pembacaan Doa & Shalawat
rambut bayi sambil saling Dalam Acara Tasmiyah
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2018)
ditapung tawari.

Setelahnya diikuti dengan upacara selamatan dengan


hidangan-hidangan dan makan bersama. Dalam acara batasmiyah
ini, akan dihidangkan lakatan bahinti yang diletakkan secara utuh
pada saat pembacaan ayat-ayat Al-quran dan doa. Sedangkan
lakatan untuk hidangan para tamu dipotong-potong dan
dihidangkan dengan kue lainnya.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 18


Basunat merupakan upacara yang harus dilakukan, terutama
bagi yang beragama Islam. Basunat diperuntukkan untuk anak laki-
laki maupun perempaun dengan rentan usia yang teah ditentukan
yaitu untuk anak laki-laki kisaran usia 6–12 tahun sedangkan
perempuan lebih muda bahkan biasanya ketika masih bayi.

Basunat merupakan hal yang penting, bahkan keislaman


seseorang belum dianggap sempurna apabila orang tersebut belum
basunat. Dalam prakteknya, basunat dilakukan untuk laki-laki dan
peremouan dengan sangat berbeda. Basunat pada laki-laki ialah
membuang kulit kemaluan yang menutupi kepala kemaluan laki-
laki, sedangkan untuk perempuan sunat merupakan pemotongan
jaringan klitoris.

Setelah basunat selesai biasanya orang tua si anak akan


mengadakan acara selamatan dirumah dan menghidangkan lakatan
bahinti serta hidangan lainnya untuk para tamu undangan yang
berhadir.

Basunat Massal
(Dokumentasi Kompasiana.com, 2021)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 19


Batamat Qur'an merupakan upacara yang dilaksanakan saat
seseorang telah menyelesaikan membaca keseluruhan Al-qur'an,
baik anak-anak maupun seseorang yang hendak menikah. Upacara
batamat biasanya dilaksanakan secara meriah dengan hidangan
lakatan bahinti dengan tambahan telur ayam kampung yang beri
hiasan.

Upacara batamat tidak selalu dilaksanakan sebagai kegiatan


yang berdiri sendiri, adakalanya digabungkan dengan perayaan lain
seperti seorang perempuan yang hendak menikah, maka acara
batamat dilaksanakan setelah atau sebelum akad nikah, adapula
dilaksanakan ketika ada acara peringatan hari besar Islam maupun
kelulusan sekolah.

Dalam acara batamat,


b i a s a nya p a k a i a n ya n g
gunakan oleh anak laki-laki
adalah pakaian gamis
lengkap dengan kopiah dan
sorban, sedangkan
perempuan memakai baju
Batamat Qur’an sejenis jubah dengan renda
(Dokumentasi Redaksi8.com, 2019)

dan bulang haji dikepala. Pakaian ini biasanya dipakai oleh jemaah
haji ketika pulang ke kampung halaman setelah menunaikan ibadah
haji.

Selain kostum, tentunya disiapkan pula payung kembang


dengan hiasan warna-warni, ditempatkan pula lakatan bahinti
dnegan telur ayam kampung dan terkadang adapula bendera dari
kertas dan gantungan uang untuk menambah semarak acara.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 20


Mendirikan atau pindah rumah dalam acara selamatan yang
dilaksanakan untuk mendirikan rumah baru biasanya dihidangkan
lakatan sebagai sesajian yang diperuntukkan untuk hal-hal gaib.
Dalam pemilihan lokasi masyarakat akan memastikan apakah lokasi
rumah tersebut merupakan jalan atau tempat tinggal orang gaib
dengan bantuan dari seorang ulama maupun tokoh masyarakat
yang dapat memeriksakan.

Jika diharuskan lokasi tersebut yang menjadi pilihan dengan


konsekuensi terdapat jalan atau tempat tinggal makhluk gaib, maka
tentu saja akan dimintai syarat-syarat tertentu seeprti sesajen agar
proses pembangunan tetap lancar dan nantinya tidak akan ada
gangguan yang dapat merugikan masyarakat saat tinggal dilokasi
tersebut.

Berbeda dengan seseorang yang pindah rumah, atau ketika


hendak menempati rumah yang baru, pelaksanaan selamatan
rumah baru terkesan lebih sederhana. Selamatan yang dilakukan
untuk rumah yang baru tentu saja dengan menghidangkan
makanan untuk para tamu undangan, tidak lupa pula adanya
lakatan sebagai sajian dan air doa yang berisi bunga untuk
'menampung tawari' setiap sudut rumah.

Persiapan Untuk
Tampung Tawar
Rumah Baru
(Dokumentasi Penelitian oleh pribadi, 2019)

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 21


Dalam berbagai upacara yang dilaksanakan di atas,
lakatan yang digunakan secara umum adalah lakatan dengan inti
kelapa dan gula merah, biasanya juga ditambahkan dengan telur
ayam kampung sebagai pelengkap apabila lakatan tersebut
diperuntukkan sebagai sesajen. Kebanyakan untuk lakatan yang
diperuntukkan sebagai sesajen tidak akan dikonsumsi melainkan
hanya akan dibiarkan saja atau diletakkan di tempat-tempat
tertentu.

Berbeda dengan lakatan yang diminta secara langsung oleh


makhluk halus melalui seseorang yang diganggunya maka ia akan
merasuki tubuh orang tersebut untuk memakan lakatan yang
diminta. Biasanya lakatan yang diperuntukkan untuk sesajen ialah
lakatan bahinti, lakatan dengan warna dasar putih tanpa dicampur
dengan warna lain.

Adapula lakatan putih kuning yang bersanding, biasanya


diperuntukkan untuk sesajen yang khusus dan dibuat hanya untuk
makhluk gaib yang sudah memiliki perjanjian.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 22


C. Sejarah Lakatan
Masyarakat Banjar mengenal berbagai macam bahan dasar
pembuatan kue, seperti tepung beras, gandum maupun lakatan.
Berbeda dengan bahan dasar yang lain, lakatan justru merupakan
beras yang dinilai disukai oleh makhluk halus karena teksturnya yang
lengket.

Sebenarnya hal ini dapat dikatakan sebagai pengaruh zaman


hindu pada masa silam, seperti yang diketahui sebelum masa
kesultanan Banjar memeluk agama Islam, kerajaan dan
masyarakatnya masih menganut kepercayaan Hindu yang sangat
kental, terutama pada kepercayaan animisme dan dinamisme yang
kaya akan syarat terhadap alam-alam ghaib.

Kepercayaan ini menjadikan segala bentuk pemujaan, seserahan dan


upacara-upacara adat menjadi kebiasaan yang dilaksanakan oleh
masyarakat dengan dihidangkannya berbagai macam jenis kue.

Sedangkan menurut Bardjie (18:2018) dalam kepercayaan


masyarakat Banjar, dipercaya bahwa Puteri junjung buih
memerintahkan untuk minta dibuatkan berbagai jenis kue dari
berbagai jenis bahan dasar seperti beras biasa dan juga beras ketan.
Maka terlahirlah wadai 41 yang menjadi wadai tradisi masyarakat
Banjar.

Wadai-wadai tradisi baik yang merupakan sebagai sesaji


maupun hidangan diperkenalkan oleh puteri junjung buih sehingga
dianggap sebagai kue yang sakral dan harus ada dalam setiap acara
selamatan. masyarakat menilai bahwa pembuatan kue-kue ini tidak
hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan, melainkan memiliki
makna di balik terciptanya kue tersebut.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 23


Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat menganut
kepercayaan animisme, percaya dengan adanya makhluk-makhluk
halus yang kadang bisa menganggu kehidupan manusia. Mereka
percaya bahwa makhluk tersebut juga perlu makan dan sangat
menyukai makanan yang bahannya ada unsur santan, gula merah,
ketan, telur, dan buah kelapa.

Sehubungan dengan itu maka masyarakat membuat wadai-


wadai dari campuran bahan-bahan tersebut, dengan berbagai
bentuk rupa dan jenisnya yang penuh dengan perlambangan.
Biasanya apabila dijadikan piduduk maka ditambahkan dengan kopi
pahit dan kopi manis.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 24


Bagian Kedua
A. Alasan Masyarakat Menyajikan Hidangan Lakatan
Dalam Tradisi Selamatan
Alasan merupakan bagian dari tujuan masyarakat dalam
penyajian hidangan lakatan di setiap tradisi selamatan. Maksud atau
tujuan ini dijadikan pegangan dalam berupacara agar tidak terlewat
ataupun terlupakan dari apa yang sudah dipercayai.

Meskipun sajian terkesan sederhana, namun masyarakat


memiliki alasan-alasan tertentu dalam penyajiannya, baik itu yang
pernah dialami sendiri maupun dari orang lain. Adapun hasil temuan
mengenai alasan penyajian lakatan dalam tradisi selamatan pada
masyarakat Banjar sebagai berikut

a. Sebagai Makanan Sesajen


Secara umum lakatan dihidangkan oleh masyarakat Banjar
pada acara selamatan yang dianggap sakral meskipun adapula
selamatan sederhana yang menghidangkan lakatan sebagai sajian
pemanisnya atau pengganti kue untuk hidangan pada umumnya.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Mama Erna (66 tahun)


yaitu: “Biasanya lakatan nih ada haja pang diselamatan-selamatan
apa ja, tagantung yang handak menyajikan. Tapi mun dari datu nini
bahari tu yang iyanya di acara bamandi-mandi, mandi batianan kah
atawa pangantin, batamat, sunatan, tasmiyah, batajak rumah lawan
yang gasan urang-urang baobat dari penyakit kiriman, istilahnya
gasan syaratnya atau makanan makhluk halusnya.”

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 25


Artinya: “Biasanya lakatan ini ada saja diselamatan-selamatan
apa saja, tergantung yang mau menyajikan. Tapi kalau dari datu
nenek zaman dulu yang benarnya di acara bamandi-mandi, mandi
hamil atau mandi pengantin, batamat, sunatan, tasmiyah,
membangun rumah dan untuk orang-orang yang berobat dari
penyakit kiriman, ibaratnya sebagai syaratnya atau makanan
makhluk halusnya.”

Dari penuturan informan di atas menyatakan bahwa beberapa


selamatan sakral yang dianggap paling sering dihidangkan lakatan
adalah selamatan bamandi-mandi, sunatan, tasmiyah, batamat
qur'an, membangun rumah serta untuk orang-orang yang hendak
berobat dari penyakit kiriman.

Penyajian ini memang dianggap berhubungan dengan hal-hal


mistis, karena masyarakat masih mempercayai bahwa para makhluk
halus menyukai makanan yang manis dan lengket. Tentunya apabila
kehadiran mereka mulai menganggu maka perlu diberi sajen atau
makanan sebagai hadiah untuk mereka agar segera pergi.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Mama Erna (66 tahun) :


“Rancak bila ada yang kesurupan, pas ditambai pasti mintanya
lakatan.” Artinya: “Biasanya jika ada yang kesurupan, apabila diobati
tentu mintanya lakatan.”

Seperti yang disebutkan di atas, kebiasaan masyarakat yang


apabila mengalami kesurupan, tentu yang merasuki itu akan
meminta Lakatan lebih-lebih ia akan minta disandingkan dengan
kopi hitam pekat yang panas. Namun hal ini terkadang hanya berlaku
pada gampiran (kembaran gaib) maupun ketika masyarakat
melakukan hal yang tidak disukai ditempat yang dikeramatkan atau
sakral

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 26


Hal ini sependapat dengan Ibu Endang (24 tahun) sebagai
berikut: “Julak ulun tukang urut kalo sekalian bisa manambai urang
kaitu, jadi julak ulun ni rancak tatamui urang yang kerasukan karna
kada ingat mamakani gampiran ujung-ujungnya minta lakatan, kopi
pahit, kopi manis yang hirang lawan panas banar”

Artinya: “Paman saya tukang urut sekaligus bisa mengobati,


jadi paman saya biasa bertemu orang yang kerasukan karna lupa
memberi makan kembaran gaibnya, ujung-ujungnya ia minta
lakatan, kopi pahit, kopi manis yang hitam dan panas sekali.”

Berdasarkan hasil wawancara yang disampaikan oleh Ibu


Endang tersebut, bahwa masyarakat yang dianggap mempunyai
gampiran atau kembaran gaib itu akan meminta hal-hal yang aneh,
seperti kopi yang sangat panas dan lakatan yang tentu saja tidak
mungkin membuatnya dalam waktu singkat kecuali membeli
dipasaran.

Itulah mengapa jika ada yang kesurupaan dan ingin lekas


disembuhkan, masyarakat memilih untuk membeli olahan lakatan
sejenis yang mudah didapatkan namun tetap sesuai dengan kaidah
wadai Banjar untuk upacara atau selamatan.

Setelah orang yang kerasukan tersebut menyantap sedikit


demi sedikit, perlahan orang yang mengobati akan meminta agar
makhluk halus yang ada di tubuh orang tersebut pergi dan berhenti
menganggu sebagaimana yang diungkapkan oleh Mama Erna (66
tahun) berikut: “Hakun ja pang bejauh imbah dimakani, Cuma pasti
ada perjanjian lagi.” Artinya: “Mau saja pergi setelah diberi makan,
Cuma pasti ada perjanjian lagi.”

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 27


Mama Erna mengungkapkan bahwa setiap kali orang yang
kerasukan dan diberi makan tersebut tentu akan ada yang berhasil
dan juga tidak tergantung perjanjian yang dibuat.

Biasanya orang yang mengobati tersebut akan berusaha untuk


membujuk makhluk halus tersebut untuk keluar. Bujukan dilakukan
agar tidak terjadi hal yang menyakitkkan bagi tubuh yang dirasuki
tersebut. Bukan tidak mungkin, tubuh orang yang dirasuki bisa
dikendalikan dengan mudah bahkan bisa menyakiti dirinya sendiri,
kejadian seperti ini akan berdampak membuat orang yang dirasuki
menjadi terluka, lebam, sakit yang tidak tertahan, tubuh lemah
bahkan bisa sakit berhari-hari setelah sadar.

Apabila makhluk halus tersebut berhasil keluar, maka akan


dilakukan selamatan sederhana. Selamatan ini dimaksudkan sebagai
bentuk syukur atas izin Tuhan makhluk halus tersebut dapat pergi
selain itu juga ditujukan sebagai pengharapan agar mendapat
keselamatan kedepannya dan perindungan oleh Tuhan.

b. Menambah Daya Ingat


Lakatan disajikan dalam berbagai acara selamatan tergantung
dari keinginan penyelenggara. Uniknya untuk selamatan batamat
qur'an, hidangan lakatan dihadirkan sebagai bentuk doa dari
orangtua dan guru-guru mengaji agar si anak yang sedang
mengkhatamkan Al-qur'an bisa mengingat dan apa yang dibacanya
menjadi lengket di kepala untuk selanjutnya bisa menghafal bacaan
tersebut.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 28


Sebagaimana yang dikatakan oleh Mama Erna (66 tahun)
berikut ini: “Amun urang bahari maniatakan lakatan nih kan sudah
dibaca-bacai lawan ayat Al-qur'an oleh si anak tadi, mudahan dengan
memakan lakatan ini tadi bacaan Al-qur'an tadi bisa rikit dikepalanya,
ingat sampai katuha, hafal apa yang diajarakan selama ini,
kelakuannya baik sesuai lawan apa yang tetulis di Al-qur'an. Amun
hintalu ni gasan penerang hatinya, sempurna, khatam sudah bacaan
Al-qur'an yang dibaca lawan dipelajari.”

Artinya: “Kalau orang zaman dulu meniatkan sajian lakatan ini


yang sudah didoakan dengan bacaan Al-qur'an oleh si anak tadi,
semoga dengan memakan lakatan ini, bacaan Al-qur'an tadi bisa
lengket dikepalanya, ingat sampai tua, hafal apa yang diajarkan
selama ini, kelakuannya baik sesuai dengan apa yang terrtulis di Al-
qur'an. Kalau telur ini untuk penerang hatinya, sempurna, khatam
sudah bacaan Al-qur'an yang dibaca dan dipelajari.”

Menurut Informan di atas, lakatan yang dihidangkan dalam


acara selamatan batamat qur'an atau khataman Al-qur'an
merupakan lakatan yang diniatkan oleh orangtua ataupun
penyelenggara agar apa yang dibaca oleh si anak yang sedang
mengkhatamkan Al-qur'an tersebut tidak akan dilupakan dan terus
diingat di kepalanya dengan apa yang dibaca serta dipelajarinya.
Harapan ini tertuang melalui hidangan lakatan yang bertekstur
lengket dan telah dipenuhi oleh bacaan Al-qur'an serta doa-doa
selama acara selamatan berlangsung.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 29


Hubungan antara tekstur lakatan yang lengket dengan
daya ingat anak adalah hal ini merupakan persamaan antara lakatan
dengan lem, yang mana lem merupakan suatu benda yang
bermanfaat untuk merekatkan benda lain begitupula dengan
lak atan, diharapk an dengan memak annya si anak ak an
mendapatkan ingatan yang kuat dan lengket mengenai bacaan yang
telah ia baca dan pelajari. Bukan hanya untuk si anak, hidangan
lakatan juga dibagikan kepada para tamu undangan agar apa yang
diharapk an juga dapat ter tular kepada undangan yang
memakannya.

Selepas akad nikah beliau melaksanakan acara batamat qur'an


sebagaimana yang biasa dilakukan dikeluarga beliau dan kebetulan
pada saat sebelum akad nikah beliau memang sudah
mengkhatamkan Al-qur'an. Tidak meninggalkan beberapa
perlengkapan yang diharuskan ada seperti payung kembang dan
berpakaian seeprti orang haji yaitu menggunakan bulang haji yang
menjadi ciri khas masyarakat Banjar ketika seseorang tersebut sudah
berhaji, bedanya bulang haji disini digunakan untuk seseorang yang
sedang mengkhatamkan Al-qur'an.

c. Kewajiban Berkala
Berhubungan dengan makhluk halus memang tidak ada
habisnya, terutama dengan kepercayaan terhadap animisme yang
masih mendarah daging pada masyarakat. Hal ini terbukti dalam segi
ritual adat maupun selamatan yang masih dilestarikan hingga kini.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 30


Meskipun ada pergeseran zaman, namun ritual-ritual tertentu
masih dipercayai bahkan ada yang mewajibkan khususnya apabila ia
dianggap sebagai keturunan pagustian atau bagian dari kerajaan
bahkan tidak jarang seseorang yang dianggap keturunan gaib pun
akan melakukan ritual selamatan tertentu.

Kegiatan berkala ini biasanya disebut dengan Atur Dahar atau


memberi makan makhluk gaib, ini dilakukan dan disajikan dalam
kurun waktu setahun sekali. Bagi mereka, atur dahar tersebut,
dipercayai mendatangkan ketenangan dalam hidup.

Bahkan, mereka juga meyakini dengan cara begitu mereka


tidak akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib tersebut. Sejak
lama lakatan memang disandingkan sebagai hidangan sajen atau
sesaji yang tentu saja ditujukan untuk makhluk tak kasat mata.
Hidangan ini dapat diletakkan secara utuh, persatuan, maupun
gabungan dengan kue lainnya hingga tercipta kue 41 atau biasa
disebut wadai 41.

Selain untuk makhluk tak kasat mata, sajen juga dapat


ditujukan untuk para tamu undangan yang hadir, seperti wadai 41
yang tentu saja tidak mungkin seluruhnya dihidangkan hanya untuk
makhluk halus, tapi juga diberikan kepada para tamu undangan
yang hadir.

Selain untuk makhluk tak kasat mata, sajen juga dapat


ditujukan untuk para tamu undangan yang hadir, seperti wadai 41
yang tentu saja tidak mungkin seluruhnya dihidangkan hanya untuk
makhluk halus, tapi juga diberikan kepada para tamu undangan
yang hadir.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 31


M e m b a n g u n r u m a h d a n d a l a m p ro s e s a w a l m u l a
pembangunan beliau mengadakan suatu acara adat yang mana
dalam acara tersebut disajikan wadai 41 dengan berbagai macam
jenis kue, khususnya yang terbuat dari lakatan. Selain itu adapula
orang sekitar yang ingin melakukan ritual malabuh atau bisa
dikatakan sebagai ritual dilarutkannya seserahan di sungai sebagai
tanda pemberian makan terhadap keturunan yang dipercayai
seperti buaya gaib.

Berbeda dengan alasan yang digunakan sebagai pereda


kesurupan, point ini lebih mengutamakan suatu kewajiban berkala
dari keturunan yang sudah jelas dianggap memiliki hubungan
dengan darah bangsawan ataupun gaib. Sama kasusnya dengan
orang kesurupan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, namun
adapula yang berpendapat bahwa jika semakin dipercayai maka
makhluk halus akan senang dan akan sering menunjukkan
kehadirannya, sebab ia merasa selalu diberikan apa yang mereka
minta.

Ibu Endang (24 tahun) menuturkan jika yang beliau sajikan


hanya sebagai bentuk penyajian biasa bukan untuk ditujukan pada
hal mistis yang takutnya akan mengarah kepada kesyirikan.
Meskipun pada ritual-ritual adat yang diselenggarakan memang
kebanyakan alasan penyajian adalah sebagai bentuk kepercayaan
terhadap hal gaib.

Beliau juga menambahkan perihal pelaksanaan acara


yang sebenarnya jatuhnya tidak wajib dilakukan, sebagai berikut
“Padahal kada beacaraan gin ya kadapapa jua, tapi ngarannya urang
tuha ni lah, adat yang dari bahari harus dilaksanakana. Lakatan tu
gasan wadai banarai, dibacakan doa selamat”

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 32


Artinya: “Padahal jika tidak dilaksanakan ya tidak mengapa
juga, tapi namanya orangtua, adat yang dari dulu harus
dilaksanakan, Lakatan hanya sebagai kue saja, terus dibacakan doa
selamat.”

Pergeseran zaman menjadikan masyarakat yang jauh lebih


muda seperti Ibu Endang (24 tahun) mulai tidak terlalu memikirkan
hal-hal mistis yang sebagaimana dipercayai oleh orang tua zaman
dulu. Apalagi, beliau meyakini jika dalam agama Islam tidak diajarkan
untuk melakukan kegiatan ritual yang tujuannya malah mengarah
kepada hal syirik.

Lakatan tetap dihidangkan sebagai sajian untuk makanan


para tamu yang hadir, sehingga tidak ada sajian yang khusus untuk
diberikan kepada makhluk halus, apabila sajian tersebut ditujukan
untuk makhluk halus maka tidak akan ada yang boleh untuk
memakannya.

Warga yang masih mempercayai akan lakatan yang ditujukan


sebagai hidangan makhluk halus memang tergolong warga yang
masih sangat kental akan tradisi. Begitu pula yang disebutkan oleh
Mama Erna, apalagi jika keturunan tersebut masih melestarikan adat-
istiadat sampai ke anak-cucunya.

Berhubung beliau adalah pembuat kue tradisional jadi beliau


biasa bertemu dengan orang-orang yang sering meminta beliau
untuk membuatkan hidangan lakatan yang khusus untuk diserahkan
kepada makhluk halus dan khusus untuk dimakan oleh para tamu
undangan. Bahkan apabila ada upacara adat yang menggunakan
wadai 41 macam sebagai sajiannya, maka disusun sedemikian rupa
dengan bentukkan kerucut menjulang.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 33


Begitupun dengan lakatan yang biasanya hadir dalam acara
selamatan-selamatan. Seperti yang biasa terlihat dalam acara
selamatan, lakatan ada yang dibuat khusus untuk acara dan ada yang
hidangkan untuk para tamu undangan. Lakatan yang dibuat khusus
diusahakan sampai acara selesai tidak akan dipotong, dan tetap
berbentuk utuh.

Biasanya lakatan dibentuk bundar, dengan ditaruh gula merah


di atasnya menyerupai kerucut. Untuk adat yang benar-benar sesuai
dengan tradisi selamatan urang Banjar diatas lakatan ditaruh telur
ayam kampung, namun karena di tengah-tengah perkotaan yang
sulit untuk menemukan telur ayam kampung maka masyarakat
menggantinya dengan telur itik, karena dianggap kualitasnya sama
baik.

Lakatan yang disajikan khusus akan dihidangkan dari awal


acara hingga selesai dalam bentuk utuh, hal ini dilakukan agar
selama proses acara selamatan doa-doa yang dihaturkan dianggap
tertanam dalam lakatan sehingga lakatan tersebut menjadi suci dan
penuh doa-doa kebaikan.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 34


Mama Aziz mengatakan bahwa lakatan juga beliau hidangkan
dalam acara tersebut, sebagai sajian yang dibacakan doa-doa arwah
dan kemudian dimakan bersama. Dalam acara yang beliau
laksanakan, sesajen yang digunakan lebih kepada nasi dan lauk
itupun diberikan untuk arwah bapak beliau yang dipercayai masih
ada dirumah sebelum seratus hari meninggalnya.

Berbeda dengan acara haul yang dilaksanakannya setiap


tahun setelah acara maarwah ini selesai. berikut penuturannya Kalau
mahaul ini setahun sekali, setelah acara manyaratus selesai, setahun
sekali saja lagi mengerjakannya. Kalau haul ini tidak lagi memberi
makan arwah Bapak nasi dan lauk, tapi cukup dengan doa-doa saja.
Kuenya tentu ada lakatan juga, lakatan bahinti. Cuma tetap untuk
dihidangkan ketamu undangan ser ta dimakan bersama.
Harapannya supaya doa-doa untuk beliau Kabul dan sampai.

Sebagaimana penuturan di atas, bahwa acara mahaul adalah


acara yang dilaksanakan rutin setahun sekali untuk memperingati
hari kematian seseorang dengan menghidangkan makanan tertentu
dan tidak ketinggalan pula lakatan bahinti. Perbedaan dengan acara
maarwah sebelumnya adalah adanya sesajen yang diberikan untuk si
arwah sedangkan dalam acara haul hanya berupa doa-doa saja
dengan hidangan yang disajikan untuk dimakan bersama tamu
undangan.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 35


B. Makna Lakatan Dalam Tradisi Selamatan
Lakatan adalah hidangan yang disediakan oleh masyarakat
untuk memenuhi acara selamatan yang dilaksanakan. Adanya
kebiasaan yang secara turun-temurun untuk menghidangkan
lakatan menjadi suatu keharusan yang dilaksanakan terutama bagi
masyarakat Banjar di Kelurahan Kuin Selatan Kecamatan
Banjarmasin Barat.

Sejarah lakatan muncul pada zaman masa kerajaan Banjar,


yang mana pada masa tersebut bermunculan berbagai adat istiadat
yang menandai masa peralihan seseorang mulai dari dari dalam
kandungan hingga seseorang itu meninggal dunia.

Adapun temuan penelitian ini akan membahas tentang makna


lakatan dalam tradisi selamatan masyarakat Banjar, sebagai berikut:

a. Lakatan Sebagai Bentuk Kerekatan


Lakatan apabila dimaknai secara tutur bahasa merupakan
sajian yang berhubungan dengan suatu keterikatan antar
masyarakat baik secara suku, golongan atau kelompok tertentu yang
berkehidupan berdampingan. Lakatan biasanya hadir dalam prosesi
adat istiadat khususnya suku Banjar yang mengadakan selamatan
tersebut.

Sebenarnya lakatan ini sama saja dengan kue-kue lain pada


umumnya, hanya saja adanya kebiasaan yang menyebut bahwa
lakatan bermakna akan kerekatan yang dalam bahasa Banjar
memiliki arti akrab atau akur. sebagaimana tekstur saat lakatan
disajikan yang lengket atau dalam bahasa banjar disebut barikit,

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 36


hal ini digambarkan sebagai suatu hubungan silaturahmi antar
masyarakat sehingga lakatan dijadikan simbol bahwa dengan
dihidangkannya lakatan merupakan adanya hubungan saling damai,
tentram, akur dan harmonis dalam bertetangga sehingga kerekatan
yang dimaksud di sini adalah sebagai harapan untuk hidup
bermasyarakat yang tentram dan dalam hubungan rumah tangga
tidak ada perselisihan yang menjadikan rumah tangga tidak nyaman.

Seperti yang diketahui, beras ketan yang jika dimasak akan


memiliki tekstur lengket menjadi satu dan terkesan mudah dibentuk,
sehingga dari sinilah juga istilah nama lakatan yang bermakna rakat
yang dimaksudkan adanya hubungan silaturahmi yang baik antar
masyarakat, keluarga maupun suami istri karena saling mengingat
dan terikat sebab itulah lakatan sering dijadikan hidangan untuk
upacara terutama selamatan yang mengundang banyak orang.

Di Kelurahan Kuin Selatan, selamatan sendiri lebih banyak


menggunakan lakatan putih dengan inti kelapa yang ditambah
dengan telur itik rebus. Sebagaimana yang dituturkan oleh Ibu
Fatimah yang menganggap jika lakatan yang sudah temurun ia
hidangkan sesuai dengan kebiasaan keluarga beliau merupakan
bagian dari penyimbolan akan hubungan antar tetangga dan
masyarakat yang erat atau dalam bahasa Banjar di sebut “rakat”.

Mama Erna menjelaskan bahwa asal mula penamaan lakatan


adalah dari berasnya yang bertekstur lengket ketika telah masak,
sehingga pemaknaan dari kue-kue yang terbuat dari beras ketan
dianggap sebagai bentuk kerekatan, baik dalam lingkungan
keluarga maupun dalam lingkungan bermasyarakat. Selain dapat
dibuat dalam berbagai olahan, sajian lakatan juga sering hadir dalam
acara-acara selamatan.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 37


Dari hasil wawancara dengan Ibu Ade tersebut, beliau
mengadakan acara selamatan dengan petunjuk dari orangtuanya
yang sudah berpengalaman, apalagi sudah turun temurun dilakukan
oleh keluarga beliau apabila setiap kali mengadakan acara
selamatan selalu menghidangkan lakatan.

Pada acara yang beliau laksanakan lakatan hanya disajikan


sebagai sajian kue yang sudah dipotong kecil-kecil, dihidangkan
bersama kue agar-agar dan makanan besar berupa nasi dan ayam
masak asam. Hal ini diperuntukkan untuk menyambut para
undangan yang berhadir diacaranya, baik itu dari tetangga, keluarga
maupun kerabat jauh.

Disinilah letak kerekatan yang dimaksud, yang mana


semuanya berkumpul dan saling sapa meksipun sebelumnya tidak
saling mengenal. Silaturahmi yang terjalin disimbolkan dalam
hidangan lakatan yang terkenal lengket namun berasa manis karena
dibalur dengan inti kelapa.

Seperti yang dilihat pada gambar di atas, merupakan


penampakan lakatan yang dihidangkan oleh Ibu Ade yang sudah
dipotong-potong sedemikian rupa untuk dihidangkan kepada para
undangan untuk disantap. Lakatan tidak dihidangkan utuh, untuk
mempermudah para undangannya mengambilnya dan tidak repot-
repot untuk memotongnya lagi.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 38


Lakatan dalam acara selamatan rumah hanyar yang diadakan
oleh Ibu Ade ini hanya diperuntukkan bagi para undangan, untuk
itulah maksud dari kerekatan yang disimbolkan oleh lakatan menjadi
cikal-bakal hubungan kekerabatan bertetangga. Selain itu adapula
acara selamatan seperti tasmiyah, bamandi-mandi,batamat,
maupun selamatan adat lainnya lakatan disediakan menjadi dua
macam, yaitu dalam bentuk utuh dan lakatan yang sudah siap
dihidangkan ke tamu undangan.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 39


b. Makna Warna-Warna Lakatan
Dalam pembuatan jenis kue masyarakat biasanya memiliki
selera warna yang menjadikan adonan kue yang dibuat menjadi
cantik dan menarik mata. Selain dari bahan alami, warna-warna kue
pun bisa didapatkan dari pewarna instan yang sudah banyak
tersebar dipasar maupun toko kue.

Namun hal ini tidak berlaku untuk kue tradisional, pada


umumnya hanya memiliki warna-warna tertentu bahkan sudah
memiliki sejarahnya sendiri, bahkan dalam pemilihan warnapun
mempunyai arti dan perlambangan akan kelangsungan hidup
manusia. Masing-masing warna memiliki maknanya sendiri dan
berasal dari bahan-bahan pewarna alami, berikut merupakan
penjelasannya.

Kuning Diketahui jika masyarakat Banjar memiliki warna yang


dianggap keramat, yaitu Kuning. Kuningnya pun tidak seperti warna
kuning biasanya, kuning masyarakat Banjar lebih terlihat seperti
warna kuning cerah sedikit jingga sehingga memang terlihat sekali
sakralnya warna ini. Pemilihan warna kuning keramat ini
mengandung arti dari keagungan dan kewibawaan.

Warna kuning ini biasanya didapat dari hasil perasan kunyit


yang kemudian dicampur kedalam bahan dasar pembuatan kue
sehingga menjadikannya warna kuning. Warna kuning ini dimaknai
sebagai perlambangan keagungan dan kewibawaan seseorang,
maka dari itu banyak digunakan sebagai warna dari kerajaan Banjar.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 40


Hijau Adapula hijau yang dominan dari warna daun pandan
sebagai bahan pewarna wadai-wadai Banjar. Selain warna hijau yang
menyegarkan, aroma dari daun pandanpun dapat membuat kue
yang dibuat mempunyai wangi khas yang juga menggugah selera.
Selain itu warna hijau juga dapat diperoleh dari daun katu seperti
untuk pembuatan tapai baras, bisa pula dari daun pandan yang
harum baunya. Warna hijau ini menjadi pilihan karena memiliki
perlambangan sebagai kesuburan dan kemakmuran.

Putih merupakan perlambangan dari sumsum tulang dan


mempunyai makna kesucian batin. Warna putih biasanya didapat
dari bahan-bahan dasar pembuatan kue tradisional seperti tepung
beras, ketan, maupun kelapa.

Merah merupakan warna yang juga tidak ketinggalan dalam


empat warna yang selalu ditampilkan dalam sajian upacara adat.
Merah merupakan perwujudan dari perumpamaan tersedianya
darah yang mengalir dalam tubuh. Biasanya warna merah ini
didapatkan dari gula merah yang dicampur kedalam bahan kue
sehingga menghasilkan warna merah yang khas. Keempat warna
yang disebutkan diatas merupakan perwujudan dari sajian-sajian
yang ada dalam upacara adat Banjar atau selamatan yang
dituangkan kepembuatan wadai.

Sebelum datangnya islam dikerajaan Banjar, awalnya


masyarakat menggunakan tujuh warna yang disesuaikan dengan
warna pelangi ditambah dengan warna hitam hal ini dianggap
sebagai perlambangan dari tujuh lapisan langit dan bumi menuju
kealam atas atau syurga.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 41


Adapun lakatan dalam acara selamatan juga dipengaruhi oleh
keempat warna diatas, dengan sajian diantaranya : lakatan putih
tanpa diberi warna dianggap sebagai perwujudan warna putih, gula
merah yang dipadukan dengan kelapa parut merupakan
perwujudan dari warna merah, telur itik yang menghiasi sisi lakatan
merupakan perwujudan dari warna hijau, kadang-kadang dalam
acara selamatan tertentu seperti bamandi-mandi pengantin, tujuh
bulanan atau batamat qur'an lakatan diberi warna kuning.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mama Erna : “Lakatan nih


sebujurannya yang paling dikenal lawan rancak ada tu lakatan
kuning lawan lakatan putih. Tagal, urang-urang wahini jarang
memakai lakatan kuning lagi. Padahal biasanya lakatan kuning tu
dipakai gasan bamandi-mandi atawa batamat qur'an. Tapi mun
urang yang dasar kuat banar lawan adat kada mungkin memakai
lakatan warna lain selain warna yang sesuai adat urang bahari.
Apalagi yang lakatan putih nih, dasar ada tarus diacaraan urang
basalamatan”.

Artinya: “lakatan ini sebenarnya yang paling dikenal dan biasa


ada adalah lakatan warna kuning dan warna putih. Tetapi, orang-
orang zaman sekarang sudah jarang menggunakan lakatan kuning.
Padahal, biasanya lakatan kuning ini dihidangkan pada saat acara
bemandi-mandi atau mengkhatamkan Al-Qur'an. Tapi apabila orang
yang memang kuat memegang adat maka tidak akan menggunakan
lakatan warna lain yang tidak sesuai dengan adat zaman dulu atau
nenek moyang. Apalagi untuk lakatan warna putih ini, memang
selalu ada diacara selamatan .”

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 42


Meskipun pada dasarnya, keempat warna tersebut merupakan
pewarnaan dalam proses pembuatan kue khas Banjar, namun tidak
diragukan lagi bahwa hidangan lakatan yangs sering dilihat dan
dijumpai pada acara selamatan-selamatan masyarakat Banjar sudah
mengandung unsur warna tersebut.

Baik itu putih dari lakatan putih, kuning bagi yang


menghidangkan lakatan kuning dalam selamatan tertentu, merah
yang dihidangkan melalui inti kelapa yang diberi gula merah dan
hijau kebiru-biruan yang berasal dari telur itik rebus. Melalui warna-
warna demikian masyarakat menggambarkan harapan melalui
warna khas tersebut. Jenis olahan lakatan dengan bentuk dan jenis
yang berbeda-beda, semua jenis tersebut memiliki makna masing-
masing tergantung dari bentuk dan warna yang mempengaruhinya.

Seperti Hintalu karuang yang di bentuk sebagaimana telur


burung yang kecil-kecil sebagai perumpaan kehidupan baru,
sehingga kebanyakan disajikan saat acara tasmiyah anak maupun
resepsi pernikahan. Hal ini dimaksudkan karena tradisi yang
dilaksanakan bersifat ritual seperti bamandi-mandi yang
mengharuskan hadirnya seluruh olahan lakatan tersebut sehingga
tergabung dalam wadai 41.

Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Banjar secara


turun-temurun, meskipun terkadang ada masyarakat yang juga
menyajikan beberapa hidangan tersebut dalam acara selamatannya,
karena dianggap sebagai hidangan cuci mulut bagi tamu undangan,
namun tidak lepas juga dari makna-maknanya sendiri.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 43


Sebagaimana pendapat dari Suriansyah Ideham, dkk
(2007:302-303), macam-macam upacara adat yang tidak ditentukan
hidangan atau masakan tertentu tetapi sebagai hidangan utama
disiapkan nasi ketan putih dengan inti. Upacara yang dimaksud ialah
upacara adat daur hidup yaitu bamandi-mandi, bapalas bidan,
batasmiah (memberi nama), baakikah, basunat, baayun ataupun
saat mendirikan rumah dan pindah rumah.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 44


Penutup
Alasan masyarakat menyajikan lakatan pada tradisi selamatan
di Kuin Selatan Banjarmasin. Berkaitan dengan hidangan di acara
selamatan tersebut, ternyata ada semacam kepercayaan mengenai
hidangan lakatan sehingga keberadaan lakatan dalam suatu acara
selamatan merupakan kewajiban dan sudah dilaksanakan secara
turun-temurun.

Lakatan dianggap sebagai hidangan yang mengandung doa-


doa yang ditujukan kepada penyelenggara dan para tamu undangan
dalam suatu acara, selain itu adapula lakatan yang disajikan sebagai
bentuk sesajen untuk makhluk halus yang sudah terikat janji dengan
manusia maupun dipercaya sebagai syarat untuk makhluk halus agar
tidak merusak ataupun membuat celaka penyelenggara dan tamu.

Sehingga dalam hal ini disebutkan bahwa alasan masyarakat


menyajikan lakatan dalam tradisi selamatan adalah sebagai
makanan sesajen, menambah daya ingat, kewajiban berkala dan
wujud keharmonisan. Makna lakatan dalam tradisi selamatan pada
masyarakat Banjar di Kelurahan Kuin Selatan Banjarmasin.

Makna lakatan dalam tradisi selamatan dapat dilihat dari


berbagai sudut, mulai dari makna berdasarkan bahasa dan tekstur,
dalam hal ini lakatan yang memiliki tekstur yang lengket dianggap
sebagai pemaknaan dari kerekatan dalam suatu hubungan. Selain itu
nama lakatan pun juga diambil dari tekstur dan cara pengucapan
masyarakat Banjar mengenai “kerakatan, kerekatan dan rikit atau
barikit”.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 45


Selanjutnya makna berdasarkan warna, yaitu warna kuning
dianggap sebagai warna keramat yang bermakna keagungan dan
kewibawaan, warna hijau bermakna kemakmuran, warna putih
bermak na kesucian batin dan warna merah merupak an
perumpamaan dari tersedianya dalam dalam tubuh. Makna ketiga
adalah makna berdasarkan jenis dan bentuk sajian.

Sajian ini termasuk dalam sajian 41 wadai Banjar yang


dianggap sebagai sajian ritual, diantaranya yaitu lakatan bahinti
(bentuk keesan Tuhan), lamang (pencipta alam semesta), lupis
(persatuan dalam masyarakat), tapai lakatan (kesuburan), pare (rasa
syukur dalam kehidupan), gagatas (kecantikan), hintalu karuang
(kehidupan baru), babalungan hayam (persembahan wujud ayam),
cingkaruk (persembahan), kakicak (kekuatan dalam menjalani
hidup), kelapon (kesederhanaan, kelembutan dan ketelitian) dan
wajik (doa/harapan yang tinggi.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 46


Bahan Bacaan
Agus, Bustanuddin, 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia:
Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Raja Gra ndo Persada.

Barjie, Ahmad, 2018. Kerajaan Banjar dalam Bingkai Nusantara


(Deskripsi dan Analisis Sejarah). Banjarmasin: CV. Rahmat Ha z
Al-Mubaraq.

Danandjaja, James, 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan


Lain-lain. Jakarta:Gra ti.

Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: PT. Raja
Gra ndo.

Endraswan, Suwardi, 2013. Foklor Nusantara: Hakikat, Bentuk dan


Fungsi.Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Faisal, Sana ah, 1990. Penelitian Kualitatif (Dasar-dasar dan aplikasi).


Malang: YA3 Malang.

Geertz, Clifford, 1983. The Religion of Java. Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya.

Ideham, M. Suriansyah dkk, 2007. Urang Banjar dan Kebudayaannya.


Banjarmasin: Pustaka Banua.

Inani, Muchlis dkk, 2003. Upacara Adat di Kabupaten Banjar.


Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Banjar.

Kamisa, 2013. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Kartika.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 47


Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan,
Jakarta: Gramedia.

Maloeng, 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bansung: PT. Remaja


Rosda Karya.

Marsha , Saad. 1996. Khitan.Jakarta: Gema Insani Press.

Montana, Suwendi, dkk 1977. Adat Banjar. Banjarmasin : Proyek


Rehabilitas dan Perluasan Museum Kalimantan Selatan 1976-
1977.

Syam, Nur, 2007. Madzab-madzab Antropologi. Yogyakarta: LKIS.

Poerwadarminta, 1986. Agama dan Tradisi. Jakarta: Rajawali.

Rahmawati, Neni Puji Nur dkk, 2014. Makna Simbolik dan Nilai Budaya
Kuliner Wadai 41 Macam pada Mayarakat Banjar Kalsel.
Yogyakarta: Kepel Press.

Setiadi, Elly M dkk, 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:
Prenada Media Group.

Soekanto, Soerjono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja


Gra ndo Persada.

Solikhin, Muhammad, 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta:


Narasi.

Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.


Bandung: Alfabeta.

Sumerta, I Made, dkk, 2013. Fungsi dan Makna Upacara Ngusabe Gede
Lanang Kapat. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 48


Syarifuddin, dkk, 1992. Makanan : Wujud, Variasi dan Fungsinya Serta
Cara Penyajiannya Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sztompka, Piotr, 2007. Sosiologi Perubahan. Diterjemahkan dari


bahasa Inggris Oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media Group.

Yunus, Ahmad dkk, 1985. Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan


Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Kalimantan Selatan.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 49


Riwayat Hidup
Yuliani lahir di Banjarmasin 13
Januari 1997. Merupakan anak
keempat dari pasangan Bapak
Bahrul I lmi (alm) dan I bu
Juhriah. Tinggal di Jalan
Kelayan A Gg. Rahmat Rt 07,
Kelurahan Murung raya,
Kecamatan Banjarmasin
Selatan, Kota Banjarmasin. Awal
mengeyam pendidikan pada
tahun 2002 di Madrasah
Ibtidayah Ash-Shabirin dan
lulus pada tahun 2008.
Kemudian melanjutkan ke
jenjang Mts di Madrasah Tsanawiyah Negeri Banjar Selatan 2 lulus
pada tahun 2011. Setelah lulus penulis melanjutkan pendidikan di
Madrasah Aliyah Negeri 1 Banjarmasin dan lulus pada tahun 2014.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan lagi ke Perguruan Tinggi
Negeri di Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat dari tahun 2014 sampai sekarang. Pada semasa
perkuliahan penulis mengikuti organisasi diantaranya Teater
Himasindo dan Himpunan Mahasiswa yang keduanya memberikan
pengalaman yang sangat luar biasa dalam berorganisasi. Yusuf
Hidayat dan Syahlan Mattiro adalah dosen Prodi Pendidikan
Sosiologi FKIP ULM

LAKATAN DALAM TRADISI SELAMATAN 50

Anda mungkin juga menyukai