Anda di halaman 1dari 26

MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL SEKS

DALAM RITUS KESUBURAN MASA MAJAPAHIT

M. Dwi Cahyono

Abstrak. Simbol seks melintas ruang dan waktu. Tumbuh, berkembang, dan berkelanjutan di berbagai
belahan dunia. Tidak terkecuali di berbagai daerah di Nusantara semenjak masa Prasejarah, Hindu-
Buddha, dan awal perkembangan Islam, bahkan hingga kini tradisinya masih terus berlanjut di banyak
tempat. Sebagai suatu petanda budaya, baik berwujud ikonik ataupun simbolik, ia memiliki makna
terkait dengan kesuburan, yakni kesuburan manusia, binatang, maupun tanaman. Sebagai simbol/ikon
yang merepresentasikan makna kesuburan, baik dalam bentuk arca, relief candi ataupun ungkapan
tekstual, kehadirannya di dalam sosio-budaya Jawa masa lalu dimaksudkan untuk menopang fungsi
penyubur. Oleh karena itu, ia diposisikan sebagai sesuatu yang penting, terutama bagi para petani.
Kepentingan itulah yang melatari mengapa phallus, vulva, payudara dan sanggama dalam konteks
religius tertentu diyakini sebagai benda dan perbuatan suci, yang dipuja atau dilakukan dalam suatu
ritus, yakni ritus kesuburan.

Kata kunci: Nusantara, kesuburan, ritus kesuburan, simbol seks

Abstract. The Meaning and Functions of Sex Symbol of the Fertility Rite in Majapahit Era.
Sex symbol across space and time. Grow and sustained in different parts of the world. No exception
in many parts of the archipelago since prehistoric times, Hindu-Buddhist, and early development of
Islam, even today the tradition still continues in many places. As a sign of culture, whether iconic or
symbolic form, it has a meaning associated with fertility, the fertility of humans, animals, or plants.
As symbols/icons that represent the meaning of fertility, either in the form of statues, reliefs or textual
expression, the presence in the socio-cultural past of Java meant to sustain the function of fertilizer.
Therefore, it is positioned as something important, especially for farmers. Interests that underlie why
the phallus, vulva, breasts, and sexual intercourse in the context of a particular religious objects and
believed actions to be sacred, revered or done in a ritual, the rites of fertility.

Keywords: Nusantara, fertility, fertility rites, sex symbol

1. Pengantar menyilang semacam jarum dari emas, gading,


Kajian berkenaan dengan perangkat perak, tembaga, dan sebagainya. Kedua ujung
ritus berupa petanda seks antara lain dilakukan jarum itu dihiasi dengan permata berbentuk
oleh Friedriech Seltmann (1975). Ia menelaah bulat-bulat kecil, mutiara, emas atau tembaga
tradisi palang, yaitu kegunaan peniti-peniti penis tergantung pada kemampuan penggunanya.
(penis-pins) di Cina dan Asia Tenggara, serta Hasilnya berupa benjolan-benjolan kecil pada
jejaknya di Jawa dan Bali. Ritus palang adalah ujung penis. Tradisi ini pernah pula berkembang
semacam ritus inisiasi, yang dilakukan ketika pada masa Majapahit, khususnya pada kalangan
pemuda menjelang dewasa dan siap menikah, orang Kalang semasa pemerintahan Hayam
dengan memberikan hiasan pada penisnya. Wuruk, meski caranya sedikit berbeda, yaitu
Caranya dengan menusukkan ke penisnya secara dengan memasukkan dua atau empat buah

19
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

mutiara atau kelereng kecil ke dalam kulit petanda budaya. Selain itu ekspresi simbol seks
terluar penis guna meningkatkan kesuburan dan dalam data tekstual perlu diungkap pula makna
kenikmatan seks. dan fungsinya.
Adapun fokus telaah pada tulisan
ini adalah makna dan fungsi simbol seks 2. Tinjauan Kulturalisme dan Struk-
sebagaimana divisualisasikan secara simbolik turalisme terhadap Makna Simbolik
ataupun ikonik pada tinggalan budaya masa Kulturalisme atau strukturalisme sama-
lalu yang ditemukan di Jawa masa Majapahit sama menaruh perhatian kepada studi mengenai
(XIV-XVI Masehi). Tinggalan masa lampau makna. Perihal makna budaya, Raymond Williams
tersebut berupa arca dan relief serta goresan (1965) mengemukakan bahwa kebudayaan
di atas prasasti. Sebagai pelengkap telusur, terdiri dari dua aspek, yaitu makna dan tujuan
khususnya untuk dapat sampai pada akar yang telah diketahui. Menurut Williams, makna
tradisi “kultus phallisme1 dan vulvisme2”, akan budaya yang dihidupi harus dieksplorasikan
disajikan pula data Prasejarah yang berupa arca di dalam konteks syarat produksinya, sehingga
simbolik monumental dari tradisi megalitik menjadikan kebudayaan sebagai “keseluruhan
muda. Selain itu dikomparasikan dengan cara hidup”. Makna dibangun bukan secara
data prasasti dan susastra, baik yang sejaman individual, melainkan secara kolektif, sehingga
ataupun tidak sejaman, termasuk pula komparasi kebudayaan mengacu pada makna yang
dengan lakon wayang yang ditokohi oleh dimiliki bersama (Barker 2011:40,43). Konsep
Bhima. kebudayaan yang dikemukakan ini merupakan
Dalam kajian ini yang akan dibahas konsep “antropologis”, karena terpusat pada
adalah simbol/ikon seks sebagai petanda budaya. makna sehari-hari, nilai (gagasan abstrak),
Penelitian terdahulu terhadap artefak ikonografis norma (prinsip aturan terbatas), dan benda-benda
(arca dan relief) dalam bentuk petanda seks material/simbolis.
itu belum mencakup seluruh petanda seks Bersama dengan Richard Hoggart dan
yang ada. Selain itu tidak semuanya mengkaji Edward Thomson, Williams telah memberi
makna religisnya. Tulisan Rumbi Mulia (1964), pengaruh historis dan antropologis terhadap
Haris Sukendar (1980), dan Sumaryoto (1986) pemahaman kebudayaan di dalam konteks
misalnya, hanya bersifat deskriptif. Tulisan modern yang disebut “kulturalisme”. Kesamaan
mengenai latar dan makna religis dikerjakan pandang mereka adalah memberi tekanan pada
oleh Cahyono dan Suprapta (1998) dan Annisa kelaziman kebudayaan dan kemampuan aktif
Maulana G. (2005), walau sebatas pada tinggalan dan kreatif untuk mengkonstruksi praktik-praktik
arkeologi di lereng barat Lawu. Dapat dikatakan bermakna. Ada titik temu antara Thomson dan
bahwa riset komprehensif yang berfokus pada Williams dengan Marxisme, yakni pandangan
petanda seks di Jawa masa Hindu-Buddha bahwa manusia menciptakan sejarahnya sendiri,
sejauh ini belum tuntas. Atas pertimbangan itu, namun tidak melakukan hal itu dengan sesuka
tulisan ini memperluas areal terkaji dengan tidak hatinya. Mereka tidak menciptakan sejarah
terbatas pada areal Lawu, namun juga situs-situs berdasarkan kondisi yang bisa mereka pilih
lain dimana simbol dan ikon seks hadir sebagai sendiri, namun dengan kondisi yang secara
1 Phallisisme berkata dasar “phallus” (kelamin laki-laki), yang langsung dialami, diterima dan ditawarkan dari
dalam bahasa Jawa tengahan dan Jawa. Baru disebut “gathak”.
Phallisme adalah kultus religio-magis, yang mempergunakan masa lalu.
simbol/ikon berbentuk phallus manusia ataupun phallus bina-
tang sebagai media upacaranya.
Makna budaya juga menjadi pusat
2 Serupa arti dengan phallisisme adalah “vulvisme”, berkata dasar perhatian dari strukturalisme. Memahami
vulva (alat kelamin wanita). Vulvisme adalah pemujaan yang
menggunakan simbol/ikon vulva sebagai media upacaranya. kebudayaan menurut pandangan strukturalisme

20
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

berarti mengeksplorasi bagaimana makna kebudayaan material, sebagai cerminan realitas


dihasilkan secara simbolis melalui praktik- internal. Realitas ini (eksternal, berwujud
praktik signifikasi bahasa. Atau bagaimana tanda) oleh karenanya adalah representasi dari
makna kultural diproduksi, diyakini sebagai realitas lain (internal). Representasi berasumsi
“kaitan bahasa yang berstruktur”. Pemahaman bahwa sebagian dari realitas mewakili sebagian
strukturalis tentang kebudayaan berkenaan realitas lainnya, walau seringkali realitas yang
dengan “sistem relasi” dari struktur yang diwakilinya itu tidak tampak dan tidak bisa
membentuk tata bahasa, yang memungkinkan direpresentasikan oleh pancaindera.
munculnya makna. Hal ini menjadi domain Penjelasan mengenai “makna” realitas
semiotika, suatu studi tentang tanda yang eksternal tersebut dikemukakan oleh Ferdinand
dipelopori oleh Saussure. de Saussure (1988: 12-13) yang bertumpu
Menurut Saussure, sistem signifikasi pada “sistem dikotomi”. Representasi dan
dibentuk oleh serangkaian tanda yang dianalisis yang direpresentasikan oleh de Saussure
dari bagian-bagian konstituennya, yaitu penanda disebut “signifiant dan signifie”. Tanda (sign)
dan petanda. Penanda adalah bentuk atau media merupakan suatu signifiant yang memiliki kait
tanda, sementara petanda dipahami berdasarkan langsung dengan satuan lain sebagai unsur
konsep dan makna. Petanda tidak bersifat abadi signifie, Sistem dikotomi de Saussure dipecah
dan tetap, namun ditata secara arbitrer. Makna lagi oleh Charles Pierce menjadi “sistem
tersebut dihasilkan melalui proses seleksi dari trikotomi”, yang kemudian terkenal dengan
kombinasi tanda di sepanjang poros sintagmatis “segi tiga Pierce”. Dalam sistem ini, signifie de
dan paradigmatis. Poros sintagmatis dibentuk Saussure dihubungkan dengan hal ketiga yang
oleh kombinasi linier antar tanda, yang di dalam disebut “interpretant”. Interpretant adalah hasil
bahasa membentuk kalimat. Adapun poros pemecahan signifiant menjadi: interpretant dan
paradigmatis mengacu pada arena tanda, yang referent. Posisi interpretant dianggap sebagai
darinya segala tanda yang ada diseleksi. Makna pengamat, tepatnya pikiran manusia yang
diakumulasikan disepanjang poros sintagmatis, menghubungkan antara tanda dan hal yang
sementara seleksi dari arena paradigmatis ditandai (referent). Dengan pola demikian maka
mengubah makna pada poin tertentu dalam hubungan antara tanda (sign) dan referent (yang
kalimat. Karakter arbitrer tentang hubungan ditandai), antara tanda dan interpretant (peneliti,
penanda-petanda tersebut mengandung arti pengamat), antara referent dan interpretant
bahwa makna bersifat cair, spesifik secara dapat dikaji secara lebih leluasa dan khusus
historis maupun kultural, dan universal. Suatu (Masinambow 1991:7).
makna diatur berdasar kondisi sosio-historis Makna dari suatu tanda (realitas eksternal,
yang spesifik. kebudayaan material) dengan pola ini bisa diteliti
Kebudayaan sebagai dunia kehidupan berdasarkan pertalian antara tanda dan peneliti,
manusia oleh H.W. Godenaugh (1991: 50-51) maupun antara tanda dan yang ditandai. Menurut
dibedakan: (1) realitas internal, dan (2) realitas Spradley (1971:14-15) menyatakan paling tidak
eksternal. Realitas yang ada di luar diri manusia ada tiga jenis pertalian antara tanda (sign) dan
(eksternal) pada hakekatnya mencerminkan yang ditandai (referent): (1) ikon, bersifat formal,
realitas internal manusia. Kebudayaan material antara sign dan referent terdapat persamaan
merupakan suatu realitas eksternal dari bentuk, misalnya persamaan bentuk antara patung
kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan kuda dan kuda yang hidup, (2) indeks, bersifat
James P. Spradley (1972:6-7) bahwa realitas contagius, tanda merupakan perpanjangan atau
yang dieksternalisasikan termasuk dalam bagian dari referent-nya, misalnya asap merupakan

21
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

perpanjangan dari tanda api, (3) simbol, bersifat cukup dilakukan di dalam pikiran (manasa atau
arbitrer, antara tanda dan yang ditandai tidak ada antarpuja), tidak membutuhkan arca atau benda
kaitan sama sekali, misalnya warna putih dan sakral lainnya sebagai sarananya. Keberadaan
kesucian atau hitam dengan berkabung. arca di suatu situs dengan demikian bisa
digunakan sebagai alat bukti untuk menyingkap
3. Arca dan Relief sebagai Simbol Suci dan latar keagamaan dari situs bersangkutan.
Perangkat Upacara
3.1 Arca dan Relief sebagai Alat Upacara 3.2 Arca dan Relief sebagai Simbol Suci
Hampir semua tempat peribadatan di Arca dan relief adalah karya seni, yang
masa Hindu-Buddha memiliki arca dan relief, merupakan ekspresi simbolik ataupun ikonik.
atau salah satu dari keduanya, karena seperti Sebagai suatu simbol, arca dan relief adalah
diketahui bahwa arca dan relief merupakan bentuk konkrit dari penggambaran ide, yang lahir
sarana peribadatan. Berdasarkan bentuknya, ada karena adanya aktivitas jasmani manusia. Sebagai
arca yang dipahat dua dimensi, ada pula yang lambang kehidupan batin penciptanya, arca atau
tiga dimensi. Arca dua dimensi berupa relief, relief melambangkan visi yang dikehendakinya
kategori relief tebal (hout relief). Relief yang (Bruyne 1977:49-52, 190). Oleh karenanya, arca
berfungsi sebagai alat upacara, tidak hanya dan relief berkenaan dengan dunia transedental
relief dewa, namun juga relief-relief lain yang (supra sensual). Bagi manusia, simbol memiliki
disucikan serta difungsikan sebagai mediator arti penting. Manusia tidak mampu mendekati
antara manusia dan Tuhan-nya. Demikian pula ”Yang Kudus” secara langsung, dan untuk itu
arca mempunyai fungsi yang sama, yaitu sebagai diciptakanlah simbol (Susanto 1987: 61) untuk
media komunikasi manusia (pemuja, bhaktya) mendekati-Nya secara tidak langsung.
dan dewa, orang keramat atau hal lain yang Mircia Elliade (dalam Daeng 1991:16-7)
disucikan. menyatakan bahwa suatu simbol mengungkapkan
Apakah semua pemujaan menggunakan aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang
arca atau relief sebagai media upacara? Kendati tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain.
dalam agama Hindu ataupun Buddha arca Dengan kata lain, simbol adalah jendela-jendela
dan relief adalah media yang penting untuk yang membuka pandangan terhadap dunia
hubungan vertikal, namun bukan berarti setiap transendental menuju ke arah kekuasaan yang
ritus memakai arca. Hariani Santiko (1995:25) ada di atas, atau di luar diri manusia (Peursen
menyatakan bahwa arca hanya dipakai sebagai 1985:42). Kedudukan simbol dalam religi
perangkat pada puja luar (bhaktyapuja). Pada adalah sebagai media komunikasi religius lahir-
puja dalam (antarpuja) hal itu tidak diperlukan. batin (Bakker 1978:117). Upaya menghadirkan
Teks Bhuwanakosa menyatakan bahwa puja luar pengalaman religius dalam bentuk kultus adalah
dilakukan dengan menggunakan arca. Kegiatan tindakan simbolis, sebagai perwujudan makna
religi dengan menggunakan arca sebagai media religius sekaligus menjadi sarana pengungkapan
upacara dipandang sebagai perilaku keagamaan sikap-sikap religisnya. Dalam rangka membangun
yang paling rendah nilainya. Adapun urutannya relasi dengan Illahinya, manusia mengungkapkan
adalah arcana, mudra, mantra, kutamantra, lewat bentuk simbolis, yang diposisikan sebagai
dan pranawa. Pemujaan dengan menggunakan “perpanjangan penampakan Yang Illahi” (Eliade
arca termasuk dalam kategori “arcana”, artinya dalam Dhavamony 1995:167,174). Dengan
pemujaan arca atau simbol kedewaan (Goris demikian simbol mengungkapkan perilaku,
1974:13-4). Bagi yang telah tinggi tataran perasaan, dan membentuk disposisi pribadi
pengetahuan sucinya, seperti para ṛsi, pemujaan dari para pemujanya sesuai dengan modelnya

22
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

masing-masing. 4. Ritus Kesuburan


Dalam aktivitas religi terdapat “simbol 4.1 Konsepsi dan Tujuan Ritus Kesuburan
suci” yang mempunyai ciri sebagai berikut: (a) Antara konsepsi (sistem keyakinan) dan
muatannya penuh dengan sistem-sistem nilai baik tujuan pelaksanaan ritus memiliki keterkaitan.
bila dibanding dengan simbol biasa, (b) penuh Dalam hubungan dengan ritus kesuburan,
dengan muatan emosi dan perasaan, dan (c) ada keyakinan bahwa penyatuan antara unsur
berkenaan dengan masalah yang paling hakiki. maskulin dan feminin menghasilkan kekuatan
Arca dan relief sebagai perangkat religi termasuk yang tertinggi bagi penciptaan, baik penciptaan
dalam kategori simbol suci, yang dipakai untuk manusia, pertumbuhan tanaman, kelahiran hewan,
komunikasi simbolik dengan “Penghuni Dunia dsb. Hal ini menjadi dasar konsepsional dalam
Atas”. Dalam ritus, simbol suci dipakai untuk menjalankan ritus kesuburan untuk mencapai
komunikasi antar pelaku upacara, antara manusia tujuan tertentu. Sebagai aktivitas magis, tepatnya
dan benda, antara dunia nyata dan dunia gaib. magi produktif, ritus magi ini dimaksudkan
Lewat simbol suci ini, unsur-unsur gaib dari dunia untuk membuka jalan bagi pekerjaan yang
gaib tampak nyata di arena upacara (Suparlan positif, seperti kegiatan berburu, penyuburan
1981/82:12-3). Simbol suci menyuarakan pesan- tanah, menanam dan menuai padi, menangkap
pesan religis berkenaan dengan etos (pandangan ikan, pelayaran, perdagangan, dan percintaan
hidup) yang sesuai dengan keinginan pelaku. (Firth 1964:178-9). Dalam ritus magi manusia
Simbol suci adalah garis penghubung antara percaya bahwa ia mampu mempengaruhi/
fikiran manusia dan kenyataan yang berada di menguasai kekuatan alam (Fischer 1952:139)
luarnya (Geertz 1992:362). Oleh karena itu, untuk memenuhi keinginannya. Menurut
pemikiran manusia bisa dilihat sebagai lalu lintas Dhavamony (1995:53-54), keinginan itu
dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan, berkenaan dengan pencegahan kemandulan,
juga pada hubungan manusia dan Illahi. menjamin kesuburan ladang, memastikan hujan
Seni adalah bentuk simbolis perasaan turun dengan cukup, dsb. Sejalan dengan itu,
manusia (Susanne K. Langer dalam Pratedja, Ferm (1959:580) menyatakan bahwa ritus
1983:74). Karya seni merupakan tanda serupa kesuburan merupakan upaya untuk mendapatkan
(iconic sign) dari proses psikologis yang ber- keturunan atau kekuatan reproduktif dari alam,
langsung dalam diri manusia, khususnya tanda yang disimbolkan dalam bentuk organ seks.
perasaannya (Gie 1983:78). Arca dan relief Ritus kesuburan berkenaan pula dengan berburu
sebagai suatu karya seni merupakan bentuk dan pembiakan ternak.
simbolis dari lambang perasaan manusia dalam Latar munculnya ritus kesuburan bermula
hubungan dengan perasaan keagamaannya. di Eropa (Perancis, Italia Utara, Spanyol) yang
Sebagai simbol, karya seni keagamaan (religius berkembang pada tradisi Paleolitik Akhir (Late
art) adalah lambang penciptaan Dunia Illahi. Palaeolithicum) atau Masa Bercocok Tanam,
Karya seni simbolik adalah manifestasi langsung, dengan adanya perasaan heran, takjub dan
yang bertumpu pada penghayatan akan hakekat ketidakfahaman mengenai rahasia kelahiran
jiwa dan jasmani sebagai keseluruhan. Meskipun manusia dan semua makhluk hidup, serta sebab
demikian aspek-aspek simbolik tersebut tidak tumbuhnya tanaman. Pada tingkat ini, perempuan
dilahirkan secara spontan. Artinya, aspek yang dipandang sebagai sebab kehidupan di dunia,
satu kadang lebih ditonjolkan daripada aspek sehingga pemujaan pada Dewi Kesuburan atau
lainnya, tergantung pada jenis aspek, saat Dewi Ibu (Mother Gooddess) berkembang.
kehadiran, dan siapa penciptanya (Bruynne Media pemujaan berupa arca dari tanah liat,
1977:49-52). tulang, dan tanduk berbentuk wanita telanjang

23
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

atau berbusana semacam rok tanpa hiasan, dipandang relevan untuk digunakan sebagai
bertubuh gemuk (subur), payudara, dan pinggul media puja, baik berbentuk arca/relief phallus
besar (Santiko 1970: 50-57; 1971:3-4). Para ataupun vulva sebagai petanda ikonik ataupun
arkeolog menyebutnya “Venus”, Dewi Romawi simbolik. Menurut Ferm (dalam Goeltom
Kuna penguasa tanaman. Sebutan demikian 2005:13), ritus yang menggunakan simbol genital
cukup beralasan, sebab Dewi Kesuburan penting berkenaan dengan upaya memperoleh keturunan
dalam budaya agraris. Dewi Ibu dipandang ataupun kekuatan reproduktif dari alam, yang
sebagai personifikasi dari tanah, penyebab disimbolkan dalam bentuk organ seks. Jadi,
tumbuhnya tanaman yang dibutuhkan para senantiasa direlasikan dengan kesuburan. Pria
petani. Telaah historis membuktikan bahwa pada dan wanita diibaratkan dua kekuatan alam, yang
awal pertumbuhannya tujuan ritus kesuburan jika dipadu menghasilkan kehidupan baru, yakni
berkenanan dengan pertanian. menurunkan anak. Suatu konsepsi religis yang
Lebih awal dari kemunculan ritus bersifat binary opposition.
kesuburan adalah munculnya media ritus Secara struktural, simbol genital pria dan
berbentuk patung phallus. Hal ini telah ada wanita merupakan dua elemen dalam dualisme
dalam kesenian para pemburu pada masa kosmologis. Sebagai padanannya, elemen laki-
Paleolitik di Eropa, dengan tujuan agar hasil laki dipadankan dengan elemen langit atau Dewa
buruannya memenuhi kebutuhan mereka. langit, elemen wanita dipadankan dengan bumi
Sangat mungkin wujud phallic diniatkan untuk atau Dewi Bumi. Dewa Langit menyiramkan
membangkitkan kekuatan hebat agar persediaan air hujan ke pangkuan Dewi Bumi, yang
makanan melimpah. Selain dalam bentuk menjadi penyebab lahirnya kehidupan, termasuk
phallus dan vulva, terdapat gambar dan pahatan tumbuhnya tanaman. Adakalanya gambarannya
lainnya yang terkait erat dengan kesuburan, yaitu berupa Dewi Bumi terlentang di kolong Dewa
payudara. Pada masa berikutnya, yaitu pada masa Langit yang melengkungkan tubuhnya. Dalam
Yunani, banyak cerita mengenai phallus yang hal ini, wujud dari phallisisme adalah perlambang
diasosiasikan dengan Dewa Hermes, Piapus, dan dari prinsip “Ayah Surga” yang menurunkan
Dionysos. Di India simbol phallus dihubungkan hujan dan menyuburkan ke pangkuan “Ibu
dengan Dewa Śiwa, di Mesir dengan Dewa Min Bumi”, yang kemudian ditumbuhi oleh semua
dan Orisis, di Jepang dengan Dosojin. Sementara makhluk hidup. Pada perkembangannya,
pada masyarakat Aborigin ada keyakinan bahwa phallisisme diasosiasikan dengan bermacam-
nenek moyangnya (Djanggawul) memiliki macam dewa lain, khususnya yang memiliki
phallus yang amat panjang, sehingga harus kekuatan produktif (Amaricana dalam Goeltom
dipanggulnya (Eliade 1987:265). Penggambaran 2005:15).
phallus yang besar ditemukan juga di Jawa masa
Hindu-Buddha. 4.2 Perangkat Upacara dan Simbolisasi
Ritus kesuburan bertujuan untuk membuat pada Ritus Kesuburan
jalinan komunikasi terhadap makhluk spiritual Dalam hubungan dengan upaya
guna mendapatkan kesuburan, baik subur untuk mendapatkan keturunan, ritus kesuburan
mempunyai anak, kesuburan tanah, maupun menyinggung hal-hal yang berkenaan dengan
pembiakan hewan ternak. Jika pada mulanya seks maupun erotik. Simbol seks milik wanita
ritus kesuburan sangat terkait dengan pertanian, dan laki-laki sebagai pendamping wanita acap
maka dalam perkembangannya berkenaan dijadikan media ritus. Simbol seks kadang
pula dengan aspek reproduksi dan penciptaan diberi wujud sebagai simbol hubungan seksual
dari alam. Simbol-simbol yang berupa genital (coitus), bahkan dilakukan dengan persetubuhan

24
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

(promiscuity) yang sesungguhnya. Menurut memakai genital laki-laki dan wanita sebagai
G.A. Wilken (dalam Mahaviranata 1982:124), simbol (Bridgwater dalam Goeltom 2005: 16).
penampilan kelamin (genital) yang luar biasa Adapun dasar pemikirannya adalah phallus tidak
besar (tidak proporsional) dimaksudkan untuk akan dapat akitif tanpa pasangannya (vulva).
menjauhkan diri dari bahaya, kejahatan, atau Menurut Eliade (1987:265-268), simbol genital
menetralisir bahaya gaib. Penonjolan genital ini digunakan dalam banyak agama di dunia.
sebagai simbol kesuburan adalah tambahan Utamanya pada religi “primitif”, yang telah ada
kemudian, sebelumnya adalah sebagai pelindung sejak masa Prasejarah dan merupakan fenomena
atau penolak. Sementara, A.C. Kruyt (dalam yang universal.
Koentjaraningrat 1982: 62-3), menyatakan Phallisisme bukan berarti pemujaan
bahwa alat kelamin dipercayai mengandung terhadap phallus dalam arti dan fungsi
lebih banyak zielestof, zat halus yang memberi sebenarnya, namun mencakupi kepercayaan
kekuatan hidup dan gerak pada banyak hal di alam yang bersangkut dengan reproduksi dan
alam semesta, termasuk kekuatan penyubur. penciptaan apa saja di alam dengan memakai
Oleh karena itu, ada hubungan simbolik antara genital laki-laki dan wanita sebagai simbol
konsep kesuburan dan bagian tertentu dari tubuh, (Bridgwater dalam Goeltom 2005:16). Pemujaan
seperti phallus, vulva, pusar, payudara, mulut, terhadap phallus dan vulva dalam arti dan
dan sebagainya. fungsi yang sebenarnya disebut dengan istilah
Terdapat varian bentuk genital, dari yang lain ”Phallolatry dan Vulvolatry”, sedangkan
naturalis hingga simbolik. Acapkali dijumpai pemujaan terhadap genital disebut dengan
penggambaran genital laki-laki atau perempuan genitolatry (Gendler dalam Goeltom 2005: 16).
yang tidak proporsional, luar biasa besar, seolah Dalam agama Hindu, media upacara
tidak seimbang dengan ukuran tubuhnya (Eliade berbentuk phallus dihubungkan dengan “lingga-
1987: 263). Ada bagian genital arca digambarkan cara”, yaitu pemujaan terhadap phallus Śiwa
detail dan bagus, sementara organ tubuh lain (Atmodjo 1983). Di India pemujaan lingga-
sengaja tidak dipahat secara detail. Dalam bentuk yoni adalah hal yang biasa hingga kini, walau
simbolik, genital bisa hanya berwujud sebagai para pemujanya tidak selalu yakin bahwa ia
batu alam yang silindrik, yang banyak ditemukan berhadapan dengan gambaran organ seks, sebab
di sekitar sungai. kebanyakan lingga-yoni tidak digambarkan
Penggunaan simbol seks, baik laki-laki, secara natural sebagai organ seks. Namun bila
wanita atau kesatuan keduanya dalam studi religi ditelusuri hingga ke masa yang lebih awal, di
disebut “phallisisme” atau “phallisme”. Ada Lembah Indus, yang merupakan pusat peradaban
pula yang menyebut dengan “pemujaan phallus tertua di sub-kontinen India diperoleh replika
(phallus worship)”. Ketiganya tidak memiliki batu berbentuk phallus dan sebuah cap bergambar
perbedaan arti dan definisi. Istilah ini berasal laki-laki bertanduk dan berwajah aneh, duduk
dari bahasa Yunani “phallus”, yang berarti dengan posisi yoga dan dengan penis terbuka
genital laki-laki (Goeltom 2005:13) Walau serta tegak. Tokoh ini diinterpretasikan sebagai
kata “phallus” secara harafiah menunjuk pada Dewa Śiwa Pasupati, yakni Dewa Binatang
genital laki-laki, namun dalam pemakaiannya, (Bhattacharya dalam Goeltom 2005:72).
phallisisme dan phallisme mengalami perluasan Bangsa Arya penggeser kebudayaan Indus
arti dan meliputi pula genital wanita (vulva). pernah mengeluhkan adanya orang-orang yang
Phallisme mencakup pengertian tentang menjadikan phallus sebagai “Tuhan”nya. Akan
kepercayaan alam, yang menyangkut reproduksi tetapi, berabad kemudian justru mereka sendiri
dan menciptakan apa saja di alam, dengan menyembah Śiwa sebagai dewa utama dalam

25
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

bentuk lingga, yang di dalam bahasa Sanskerta laki-laki dan dolmen sebagai simbol perempuan
berarti phallus (Eliade 1987:254). (Wales dalam Goeltom 2005:17). Genital yang
Ikon untuk Dewi Ibu (Mother Goodess) digambarkan dalam proporsi menonjol pada
berupa arca wanita bertubuh subur, yang patung-patung nenek-moyang diyakini sebagai
dijadikan media pemujaan berkait dengan proses sumber kekuatan sakti, pelindung dan penetralisir
kelahiran. Di samping wujud ikoniknya yang bahaya. Ada pula anggapan bahwa penonjolan
demikian, terdapat wujud simbolik berupa vulva, genital tersebut melambangkan kesuburan.
kapak kembar, merpati, tanduk, gunung, pohon, Paparan di atas memberi gambaran bahwa
lembu, dan ular. Pemujaannya banyak terdapat pada masa yang lebih awal ada kecenderungan
di lingkungan masyarakat agraris, mulai dari untuk melakukan pemujaan terhadap unsur
Medeterania, Asia Barat hingga Lembah Indus. feminin, yang dipersonifikasikan sebagai
Dalam perkembangannya muncul kon- Dewi Ibu. Pada masa yang lebih kemudian
sepsi bahwa Dewa Laki-laki tidak terpisahkan muncullah pemujaan kepada Dewa Laki-laki,
dengan Dewi Ibu sebagai sakti (istri)-nya. atau penyatuan antara keduanya. Seakan terjadi
Dewi Ibu merupakan energi dari Dewa Laki- perebutan atau setidak-tidaknya pergeseran peran
laki. Apabila Dewa Laki-laki memiliki energi Dewa Ibu oleh Dewa Laki-laki, khususnya pada
aktif, maka saktinya mempunyai energi pasif. masyarakat penganut paham patrilineal. Apakah
Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan. Kendati gejala perebutan dominasi peran sebagaimana itu
merupakan dua hal yang berbeda, bahkan merupakan fenomena universal, termasuk juga
bertolak belakang (beroposisi), tetapi berada terjadi di Indonesia? Untuk menjawab itu, perlu
dalam suatu kesatuan (binary opposition). Dewi dilacak perkembangan religi di Indonesia mulai
Ibu tidak dapat memberi kehidupan baru tanpa dari masa Prasejarah hingga masa yang lebih
“Dewa Ayah” sebagai pemicunya, seperti tanah kemudian, yang dalam konteks studi ini dilacak
yang tidak akan menumbuhkan apapun jika tidak hingga masa Hindu Buddha.
ditanami bibit. Pada masa Prasejarah Indonesia,
Penyatuan keduanya menghasilan khususnya masa Bercocok Tanam dan Masa
kekuatan tertinggi, yang berperan besar dalam Perundagian, media ritus yang berupa ikon
pro-ses penciptaan, pemeliharaan dan sebaliknya atau simbol seks laki-laki (phallus) dan wanita
penghancuran alam semesta (kosmos) (James (vulva) tampil relatif bersamaan. Bukan satu
dalam Goeltom 2005:22). Secara simbolik, lebih awal dari yang lain seperti dijumpai di
penyatuan antara keduanya dalam agama Hindu Eropa, Asia Barat hingga Lembah Indus seperti
diwujudkan dalam bentuk lingga-yoni, yakni terpapar di atas. Artefak yang demikian ini
lambang dari Śiwa dan saktinya bernama Uma antara lain ditemukan di Situs Pugungraharjo
atau Parwati. Dalam hal ini, lingga adalah simbol dan Jabung (Lampung), serta Tundrombaho
phallus untuk Śiwa dan yoni adalah simbol (Nias), yang berupa menhir menyerupai bentuk
vulva bagi Uma. Masih menurut James, besar phallus. Menhir-menhir tersebut berfungsi
kemungkinan Śiwa adalah Dewa Kesuburan. sebagai sarana pemujaan kepada arwah nenek-
Indikatornya adalah wahana (kendaraan)nya yang moyang (ancestors worship). Selain itu, terdapat
berupa Nandi (lembu jantan), yang di penjuru arca menhir (menhir statue) yang dilengkapi
dunia sering direlasikan dengan ritus kesuburan. dengan phallus dan vulva, seperti terdapat
Pada sejumlah masyarakat etnik para pemangku di Lembah Bada, Padang Sepe, dan Padang
tradisi megalitik, phallus dan vulva banyak tampil Birantua (Sulawesi Tengah). Pada lingkungan
pada perangkat upacaranya. Pada suku Khasis di etnis seperti di Pulau Nias terdapat patung-
Kamboja misalnya, menhir dianggap lambang patung kayu, yang disertai dengan phallus, yaitu

26
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

di Situs Hili Simeasi dan Hili Simeitano. Jika atau reruntuhan candi masa Majapahit, yaitu
menilik jumlahnya, tampak bahwa menhir, arca di Candi Ceto, Situs Gaprang, Reco Warak,
menhir dan patung kayu masa Prasejarah maupun dan Patikreco, dan terbanyak di Candi Sukuh.
tradisinya banyak bentuknya yang menyerupai Penanda seks, baik berupa phallus ataupun
atau dilengkapi dengan phallus bila dibanding vulva digambarkan naturalis, bahkan ukurannya
dengan yang dilengkapi vulva. Arca Dewi Ibu acapkali tidak proporsional, jauh lebih besar dari
masa Prasejarah banyak didapatkan, diantaranya yang semestinya.
di Situs Pakauman, Bondowoso. Penanda seks yang berbentuk phallus
Pada masa Hindu-Buddha, khususnya didapati pada sejumlah arca Bhima, baik yang
di Jawa dan Bali, arca-arca yang ber-phallus kini masih in situ (Candi Penampihan, Sukuh,
dan ber-vulva ditemukan di banyak situs dalam Ceto, Punden Nglurah, Pari, dsb.), dan koleksi
beragam bentuk. Ada yang berupa lingga seperti di Pusat Informasi Majapahit, Museum
naturalis berbentuk phallus; cerat yoni berbentuk Tulungagung, dan Museum Nasional Jakarta.
vulva; tokoh Bhima, Bhairawa, raksasa, Penggambaran phallus pada relief biasanya
dwarapala, bahkan binatang ber-phallus dan ber- ditemukan pada cerita yang menampilkan
vulva juga tidak sedikit dijumpai. Jika dicermati, tokoh Bhima, seperti pada relief “Parthayajña”
variasi bentuk dan ukurannya memperlihatkan di Candi Jago; relief “Sudamala” di Candi
bahwa yang berasal dari masa Klasik Muda lebih Tegawangi dan Candi Sukuh.
banyak daripada Klasik Tua. Simbol seks lebih
banyak dihubungan dengan agama Hindu sekte 5.1.1 Seni Arca di Candi Sukuh dan Ceto
Śaiwa daripada sekte lain dalam agama Hindu Candi Sukuh adalah salah sebuah candi/
maupun Buddha. punden berundak yang ada di lereng hingga barat
Pada masa perkembangan Islam simbol Lawu (910 meter dpl). Berdasarkan sejumlah
seks masih banyak didapati, khususnya dalam kronogram, baik yang berbentuk candra
nisan. Pada makam Islam di Jeneponto (Sulawesi sangkala memet ataupun angka tahun, diketahui
Selatan), Bhima, Riau, Kalimantan Timur, bahwa candi ini dibangun dan difungsikan pada
dan Makam Tajug (Serpong) terdapat nisan masa Majapahit akhir, yaitu dari tahun 1341
berbentuk phallus sebagai penanda bahwa yang
dimakamkan berjenis kelamin pria. Sementara
itu, pada masyarakat etnik pemangku tradisi
megalitik yang berlanjut hingga kini (living
megalithic tradition), seperti di Nias Tengah
dan Selatan dan berbagai tempat di Kalimantan
masih banyak menhir dan arca-arca dari batu
atau kayu dengan genital yang besar. Menhir
demikian antara lain berfungsi sebagai lambang
kejantanan (Mulia 1980).

5. Visualisasi Petanda Seks pada Seni Arca


dan Relief
5.1 Visualisasi Petanda Seks pada Seni Arca
Visualisasi penanda seks pada seni arca
Foto 1. Lingga pokok Candi Sukuh, berbentuk
banyak dijumpai di daerah Jawa Timur, tersebar phallus naturalis, lengkap dengan glan
di berbagai candi. Sebagian besar adalah candi penis/penis bell-nya

27
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

Foto 2. Arca Bhima asal Candi Sukuh, kini di Museum Sriwedari Solo (kiri); Arca demon dengan phallus tidak
proporsional dan ereksi (tengah); Lingga Candi Ceto dalam bentuk phallus (kanan)

Śaka (1419 M.) sampai 1421 Śaka (1499 M.). proporsional. Tubuhnya yang kekar dengan
Menurut tradisi lokal Candi Sukuh dan Candi posisi samabhangga (tegak lurus), menyerupai
Ceto adalah petilasan raja Brawijaya terakhir tubuh tokoh demonis lain di Candi Sukuh. Kedua
yang menyingkir ke Lawu. Dalam serat “Centini” tanggannya memegangi batang phallus yang
dikisahkan bahwa Syeh Amongraga pada berada dalam posisi ereksi3. Di sekitar ujung penis
pengembaraannya ke Lawu sempat menziarahi terdapat empat buah bola kecil (gland penis, atau
bukit Sukuh, Tambak, dan Pringgondani. Warga penis bell). Apabila dibandingkan dengan ukuran
sekitar meyakini Bukit Sukuh sebagai bekas tubuhnya (tinggi tersisa = 75 cm), dapat dibilang
istana raja Brajadenta (Puspita 1977:1-24) dan bahwa phallus memiliki panjang hingga hampir
situs-situs di sekitar Sukuh sering dikaitkan mencapai dada. Selain itu, terdapat pula penanda
dengan keluarga Bhima. seks terkait dengan tokoh Bhima. Salah satu
Penanda seks pada seni arca di Candi diantaranya arca Bhima berukuran besar, yang
Sukuh tidak sebanyak yang terdapat pada kini ditempatkan di Taman Sri Wedari Solo.
relief candi. Salah satu diantaranya adalah Sebagaimana dengan Candi Sukuh,
lingga pokok, yang semula ditempatkan di Candi Ceto juga terletak di lereng sisi barat
permukakan atas candi induk dan kini menjadi Lawu, hanya lebih tinggi (1470 meter dpl) dari
koleksi Museum Nasional Jakarta. Lingga Candi Sukuh. Di Candi Ceto juga dijumpai,
pokok berbentuk phallus dengan empat bulatan penanda seks baik berbentuk relief ataupun arca,
mengelilingi kepala penis. Pada batang lingga walau tidak sebanyak di Candi Sukuh. Berdasar
yang berukuran lebih dari 2 meter ini terdapat kronogram yang ada (1472 dan 1475 M.),
prasasti berbunyi “goh wiku anahut buntut”, diketahui candi ini dibangun dan difungsikan
suatu candra sengkala memet bertarikh Śaka hampir semasa dengan Candi Sukuh, yaitu abad
1379 (1458 M). XV.
Arca lain yang menampilkan penanda Visualisasi penanda seks di Candi Ceto
seks adalah fragmen arca yang ada di samping berupa ikon yang berbentuk phallus naturalis.
kanan (selatan) pendapa teras atau di muka 3 Pada arca ataupun relief di sejumlah situs terdapat phallus
yang digambarkan dalam posisi ereksi, bahkan ada yang tengah
candi induk Candi Sukuh. Arca yang kepalanya memuncratkan air maninya. Posisi demikian menggambarkan
fungsi sesungguhnya dari phallus sebagai simbol kejantanan
terpenggal ini digambarkan dengan phallus tidak sekaligus kesuburan.

28
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

Benda ini sekarang ditempatkan di dalam sebuah sebagai mikro kosmos.


cungkup kecil tanpa pintu depan. Kurang jelas
dimana lokasi asalnya, benda ini telah berpindah 5.1.2 Seni Arca di Situs Gaprang, Reco Warak
tempat ketika Candi Ceto dipugar yang tidak dan Patikreco
mengindahkan kaidah restorasi arkeologi. Arca Situs Reco Gaprang terletak di Desa
phallus dibuat dari batu andesit (monolith) Gaprang, Kecamatan Kanigoro, Blitar, ± 25
berukuran: tinggi = 80 cm dan diameter = 25 meter di sebelah selatan Gapura “Gajah Agung”.
cm, lengkap dengan separuh kantung buah Masyarakat sekitarnya menamakan situs ini
zakar. Phallus dalam posisi ereksi dan di sekitar dengan “Punden Gaprang”. “Gaprang” adalah
ujung penis terdapat 4 buah bola (gland penis sebutan lokal bagi dua buah arca raksasa dengan
atau penis bell). Penanda seks juga ditemukan petanda seks yang mencolok, yang oleh mereka
pada sejumlah arca Bhima yang masih in situ di sering disebut “co gaprang = reco gaprang”.
halaman Candi Ceto. Situs ini merupakan reruntuhan candi Hindu-
Arca yang berupa phallus dan Śiwa. Terdapat dua tarikh, yaitu kronogram
pasangannya (vulva) dalam bentuk naturalis bertulisan Śaka 1055 (1133 M.) dan candra
juga dijumpai di Pura Pusering Jagat di Pejeng. sangkala memet berbunyi “mata roro hangguna
Tempat penyimpanannya juga diberi nama sesuai tunggal (dua mata untuk satu sasaran pandang)”,
dengan arcanya, yaitu “Gedong Purus”, istilah yang menurut Soekarto K. Atmodjo (1950)
“purusa” berarti alat kelamin laki-laki. Nama menunjuk pada tarikh Śaka 1322 (1400 M).
“pusering jagat (pusat jagat raya)” berpijak Dengan adanya duan tarikh ini, ada petunjuk
dari keberadaan phallus dan vulva sebagai “alat bahwa Situs Gaprang berasal dari masa Kadiri
vital (pusat)” dari kosmos, sedangkan manusia hingga Akhir Majapahit.

Foto 3. Arca raksasa dengan phallus sangat besar dan panjang dari Situs Gaprang (kiri); Arca raksasi dengan
vulva besar dan panjang di atas pusar dari Situs Gaprang di Blitar (kanan)

29
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

Penanda seks didapati pada sepasang arca


raksasa (co gaprang). Arca raksasa (laki-laki)
tingginya 120 cm dan lebar terlebar 85 cm. Ciri
demonis tampak jelas pada raut muka, utamanya
pada mata yang melotot, taring dan gigi-gigi
yang tajam, serta alis yang tebal. Berbeda dengan
kebanyakan arca raksasa lain, arca ini rambutnya
lurus, digerai ke arah belakang. Di ujung daun
telinga terdapat lubang tindikan yang lebar.
Aksesori yang dipahatkan hanya berupa tali kasta
(upawita). Posisi arca duduk bersimpuh dengan
tangan kiri memegangi batang phallus-nya yang
sedang ereksi dan tidak proporsional. Dikatakan
tidak proporsional, karena posisi ujung penis
hingga dada, bahkan mungkin semula lebih
panjang lagi. Ukurannya (terhitung dari ujung
yang patah) adalah 70 cm dan diameter 14 cm.
Phallus digambarkan lengkap dengan kantung
buah zakarnya. Foto 4. Arca Laksmi di patirthan Belahan (Sumber
Tetek), dari payudaranya terpancut air suci
Arca raksasi (perempuan) sedikit lebih
(tirtha)
kecil (tinggi = 105 cm, lebar terlebar = 105 cm).
Raut wajahnya demonis, rambutnya yang lurus Bagian punggung dan belalai berfungsi sebagai
disanggul dan sisa rambut digerai ke belakang. tempat mengalirkan air. Pada situs ini dijumpai
Ciri kewanitaannya tampak pada payudara beberapa balok batu andesit, yang mungkin
dengan putingnya yang menyerupai kelopak adalah komponen patirthan (kolam suci).
bunga dan pada vulva-nya. Sebagaimana ukuran Terdapat juga beberapa arca lain, salah satu
phallus pada arca raksasa di atas, vulva juga diantaranya adalah arca laki-laki yang semula
dibuat tidak proporsional. Belahan vulva hampir digunakan sebagai arca pancuran (jaladwara),
mencapai pusar. Sayang sekali, kondisi vulva-nya dalam posisi kangkang dan tanpa busana.
telah rompal karena dirusak orang. Posisi arca Semula lubang phallus-nya difungsikan
jongkok dengan kedua telapak tangan di lutut. sebagai tempat keluarnya air dari suatu saluran
Sepasang arca raksasa dengan genital menonjol air, seakan-akan air keluar dari phallus-nya.
di Situs Gaprang ini dapat dibandingkan dengan Sayang sekali bagian phallus-nya telah rompal
yang terdapat di Pura Dalem Celuk (Blah Batuh di dirusak orang. Namun demikian, masih jelas
Gianyar). Pada pura ini terdapat arca raksasa dan terlihat bila semula merupakan lubang pancuran.
raksasi, dengan phallus dan vulva digambarkan Kini arca ini berada di halaman Kantor BP3 Jawa
secara menonjol. Timur di Trowulan – sekitar tahun 2000 pernah
Situs Reco Warak berada Desa dicuri orang, tetapi berhasil ditemukan kembali.
Modangan, ± 1 km di utara – timur Candi Arca yang alat vital (vulva, phallus, payudara)
Penataran, Blitar. Kini lokasinya pada tepi sungai menjadi lubang pancuran dijumpai di sejumlah
kecil yang bermata air di sekitar situs. Boleh jadi tempat, diantaranya di patirthan Belahan (Sumber
fungsinya terkait dengan keberadaan mata air Tetek) pada lereng utara Penggungan, dimana air
itu. Nama “warak (badak)” adalah sebutan bagi pengisi kolam suci antara lain dialirkan melalui
sebuah arca, yang sebenarnya berbentuk gajah. payudara arca Dewi Sri dan Laksmi.

30
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

Unsur nama “reco” dari nama Kampung Bagian ujung penis juga rompal karena dirusak
Patikreco, Desa Patik, Kecamatan Kedungwaru, orang. Posisi arca duduk bersimpuh. Tangan kiri
Tulungagung diberikan, karena semula di dan kanan memegangi batang phallus. Apakah
lokasi ini ditemukan beberapa buah arca (reco). arca ini juga mempunyai raut muka demonis
Sekarang hanya 5 buah arca tersisa, yang seperti pada Situs Gaprang? Kemungkinan ke
ditempatkan di halaman Sekolah Dasar (SD) arah itu bisa saja, mengingat di dekatnya terdapat
Jatimulyo. Salah satu arcanya, yang kondisinya fragmen kepala arca dengan raut muka demonis.
aus, menyerupai arca Ganeśa. Apabila benar
bahwa arca itu adalah Ganeśa, maka situs ini 5.1.3 Ikonografi Bhima
berlatar belakang Hindu-Śiwa. Tidak diketahui Arca dan relief tokoh Bhima banyak
secara pasti usia situs. Namun, melihat fragmen ditemukan di Jawa dan Bali, khususnya pada
arca tanpa kepala dan fragmen arca kepala masa Majapahit, dan lebih khusus lagi pada
berwajah demonis – bisa jadi keduanya adalah situs-situs yang berada di lereng gunung yang
arca yang kepalanya telah dipenggal, berarti arca dianggap suci. Menurut Woro Aryandini
ini adalah raksasa ber-phallus. Arca seperti ini Sumaryoto dalam disertasinya (1988) mengenai
terdapat juga di Situs Gaprang, yang berasal dari “Citra Bima dalam Karya Sastra Jawa: Suatu
masa Akhir Majapahit. Tinjauan Sejarah Kebudayaan”, dari 22 arca
Penanda seks dijumpai pada arca tokoh Bhima yang mempunyai kronogram, 10 buah
laki-laki yang kepala terpenggal. Penanda diantaranya dengan phallus terbuka. Dari
maskulinnya amat jelas, yaitu memiliki phallus 19 arca yang tidak memiliki kronogram, 12
yang bukan saja besar, namun juga sangat diantaranya dengan phallus terbuka. Relief yang
panjang. Phallus digambarkan lengkap dengan menampilkan tokoh Bhima sebanyak 10 buah,
kantung buah zakar, dalam posisi setengah 6 buah dengan phallus terbuka. Dengan adanya
ereksi. Bentuknya dibuat berkelok ke kanan lalu arca dan relief semacam ini, pada abad XIII–XVI
ke kiri hingga hampir mencapai pundak kiri. M diperkirakan berkembang pemujaan terhadap
lingga. Terkait dengan kultus lingga, banyak
arca Bhima ditemukan di daerah terpencil.
Penelitian terhadap tokoh Bhima dimulai
oleh W.F. Stutterheim yang menulis “An Ancient
Javanese Bhima Cult” (1956). Menurutnya
banyak arca Bhima yang ditemukan di lereng-
lereng gunung, antara lain di Candi Sukuh dan
Ceta, punden Pagersari di lereng barat Gunung
Kawi, Candi Penampihan di lereng tenggara
Gunung Wilis, Wanaaseh di Banyuwangi, Candi
Papoh di Talun Blitar, dan Sukapura di Tengger.
Arca-arca itu kini menjadi benda menjadi
koleksi K.R.T. Hardjonegoro di Solo. Menurut
laporan dari Hoepermans (OD 1913: 281), arca
Bhima asal Candi Sukuh semula ditempatkan di
samping tangga naik candi Induk. Pada bagian
belakang arca terdapat angka tahun dalam bentuk
Foto 5. Arca demon dengan phallus besar dan sangat candra sengkala berbunyi “Bhima Gana Rama
panjang hingga pundak Ratu”, yang bertarikh 1365 Śaka (1443 M.).

31
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

Banyak arca Bhima yang kini menjadi anting (kundala)-nya berbentuk buah manggis;
benda koleksi museum, seperi terdapat di: (1) (e) kuku ibu jari panjang (pancanaka) dan
Museum Nasional Jakarta, yang berasal dari berfungsi sebagai senjata; (f) acapkali dilengkapi
berbagai tempat di Jawa Timur, (2) Museum senjata berupa gada (godo rujakpolo dalam
Mpu Tantular, arca Bhima berinskripsi dari istilah Pewayangan Jawa), yang ujungnya
Trenggalek, (3) Museum Trowulan, arca berbentuk wajra; (g) tubuh tegap dan kekar, mata
Bhima dari Kecamatan Tiris di lereng Gunung melotot, kumis melintang, dan rambut subur; (h)
Argopuro, (4) Museum Tulungagung, arca dari berdiri tegak (samabhangga) dengan kesan kaku
Punden Tanggung di Boyolangu, (5) Museum atau jongkok; (i) memakai kain (cawat) dengan
Adam Malik, arca Bhima dari Candi Gambar motif kotak poleng (jlamprang), seringkali
Wetan Blitar, (6) halaman pendopo Kabupaten kain cawatnya agak tersingkap karena besarnya
Tenggalek, dan (7) fragmen arca Bhima koleksi phallus, bahkan ada yang digambarkan tanpa
para kolektor di negara-negara Eropa. Selain itu, busana untuk menguatkan maskulinitasnya;
arca Bhima ditemukan di lereng Penanggungan, serta (j) berbahan batu andesit dalam wujud
di garbhagrha Candi Pari di Porong, serta arca arca penuh (fully in the round) atau berupa relief
Bhima sebagai temuan lepas di Selorejo dan di tinggi dengan bagian belakang datar.
Candi Spilar pada lereng utara Arjuna. Pada tahun Di lereng barat Gunung Lawu, arca
1997 ditemukan fragmen arca Bhima di Hutan Bhima terdapat di Candi Sukuh, Ceto, Punden
Dadapan pada lereng utara Wilis di Nganjuk. Plagatan, Punden Ngurah, dan arca Bhima yang
Selain di Jawa, arca Bhima pun terdapat di Bali, kini ditempatkan di gedung penyelamatan arca di
yaitu arca Bhima-Bhairawa di Pura Kebo Edan dekat Candi Sukuh. Di antara situs-situs tersebut,
dan arca-arca Chatuhkaya. Candi Ceto yang paling banyak mempunyai arca
Banyaknya temuan arca Bhima tersebut Bhima. Arca Bhima dari Candi Sukuh sudah
menjadi petunjuk bahwa Bhima adalah salah satu tidak in situ, dan kini berada di Taman Sriwedari
tokoh yang dipuja oleh masyarakat Jawa Kuna. Solo. Arca Bhima itu digambarkan dengan
Dalam kaitan dengan itu, Agus Aris Munandar phallus dalam balutan cawat kotak poleng.
(1990:180) sepakat dengan Stutterheim bahwa Kendati demikian, terkesan bahwa phallus-nya
kurang lebih awal abad XVI M. muncul kultus berukuran besar, menonjol, bahkan sebagian
Bhima di Jawa. Hal ini bukan hanya didukung kantung buah zakarnya menyembul keluar.
oleh data arca, melainkan juga dalam bentuk Hal ini berbeda dengan arca Bhima Bhairawa
relief cerita “Parthayajña” di Candi Jago, di Pura Kebo Edan Pejeng (Bali), phallus-nya
cerita “Sudamala” di Candi Tegawangi dan menyembul keluar dari cawatnya ke arah kiri
Candi Sukuh, cerita “Dewa Ruci” di Candi karena ayunan tarian yang kencang. Phallus
Sukuh dan di Pertapaan Kendalisodo (Gunung yang berukuran tidak proporsional ini dilengkapi
Penanggungan), cerita “Bimatattwa (Bhima dengan tiga buah bola kecil pada sekitar ujung
Swarga)” di dinding luar perapian Candi Sukuh, penis (mestinya berjumlah empat buah, yang
dan cerita “Mrĕgayawati” di patirthan Jalatunda sebuah tidak tampak karena dipahat dua dimensi).
(Gunung Penanggungan).
Ada beberapa ciri ikonografi Bhima: (a) 5.2 Visualisasi Penanda Seks pada Relief
rambut digelung supit urang; (b) upawita ular Candi
naga atau pilinan tali; (c) mengenakan kalung Penanda seks tidak hanya divisualisasikan
(hara), kelat bahu (keyura), gelang (kankana) dalam seni arca, tetapi juga pada relief candi.
dan gelang kaki besar, berbentuk silindris dan Tidak banyak relief candi yang menampilkan
dilengkapi deretan kelopak bunga; (d) anting- penanda seks. Sejauh diketahui baru ditemukan

32
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

dan rambut-rambut di sekitarnya, sedangkan


phallus dipahatkan dalam posisi ereksi lengkap
dengan bola-bola di ujung penis.
Penanda seks juga terdapat pada relief
lepas, yang kini diletakkan berjajar di halaman
III sisi utara, satu deret dengan relief cerita
“Sudamala”. Pada relief cerita “Bima Bungkus”,
Gajah Sena digambarkan dengan phallus tidak
proporsional tanpa bola-bola kecil diujungnya
dan dalam posisi ereksi. Penanda seks berbentuk
phallus juga dijumpai pada relief yang
menggambarkan binatang mitologis (kombinasi
gajah, lembu, dan babi hutan). Seperti pada relief
gajah, phallus dalam posisi ereksi dengan ukuran
cukup proporsional. Pada relief “Pandai Besi”,
simbol seks yang berupa phallus tampak pada
Foto 6. Relief yang menggambarkan adegan sanggama
Ganeśa bersorban, yang digambarkan dalam
pada gapura I Candi Sukuh
posisi bergerak ke muka, tanpa busana, karena
di Candi Surawana, Tegawangi, Kedaton, Sukuh, itu terlihat phallus-nya.
dan Ceto. Candi Sukuh adalah yang terbanyak Penanda seks di Candi Ceto hanya satu,
menampilkan penanda seks. Tidak hanya pada yaitu pada relief lantai (zodiak) berukuran besar,
tokoh manusia, tetapi juga pada raksasa dan berupa phallus dan vulva naturalis pada bagian
binatang. Acapkali penanda seks, terutama yang ujung, dan kura-kura di atas garuda terbang.
berupa phallus, digambarkan tidak proporsional. Phallus ditempatkan di muka vulva, digambarkan
Pada sejumlah bangunan yang tersebar dengan separuh kantung buah zakar hingga ujung
di halaman Candi Sukuh, terdapat relief yang penis. Phallus dalam posisi ereksi, dilengkapi
menggambarkan tokoh manusia atau demon, dengan 3 buah bola kecil di sekitar ujung penis.
bahkan binatang dengan petanda seks naturalis Pada batang phallus terdapat pahatan kadal
dan tidak proporsional, seperti dijumpai di dan ular saling berhadapan. Vulva yang berada
Gapura I, relief lepas di halaman utama (halaman di belakang berbentuk tumpal, dengan ujung
III), di sisi selatan halaman III dekat dengan terbelah yang menggambarkan belahan vulva.
relief Pandai Besi, dan relief Pandai Besi. Pada Kemungkinan menggambarkan sanggama yang
Gapura I dijumpai 5 buah relief tokoh demonis
dengan phallus yang tidak proporsional dan
posisi ereksi. Selain itu dilengkapi dengan empat
buah bola kecil di sekitar ujung penis.
Relief lainnya terdapat pada lantai lorong
Gapura I yang disebut juga dengan relief lantai.
Relief ini menggambarkan phallus dan vulva,
yang terletak dalam bingkai segi tiga tumpul yang
terbentuk dari rangkai tali-tali simpul. Phallus
maupun vulva digambarkan naturalis. Keduanya
berhadapan, seakan hendak bersanggama. Vulva
dipahat lengkap dengan belahan lubang vulva Foto 7. Relief Gajah Sena dengan phallus menonjol

33
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

jenis (lesbian). Pada sisi utara-barat terdapat


relief yang menggambarkan seorang wanita
dengan tangan kanan diarahkan ke alat vital
seorang wanita yang duduk dipegangi wanita
lain. Bisa jadi menggambarkan adegan aborsi.
Adegan sanggama juga ditemukan
di candi perwara Tegawangi. Pada dinding
sisi selatan digambarkan laki-perempuan
bersanggama tampak dari arah samping.
Keduanya dalam posisi berdiri. Kedua tangannya
erat merangkul, sehingga tubuh mereka merapat
kuat. Pada relief ini, penanda seks berupa
phallus ataupun vulva tidak digambarkan,
walau keduanya tanpa busana. Relief ini bisa
Foto 8. Relief lantai (zodiak) di Candi Ceto. Bagian dibandingkan dengan dua relief pada patirthan
ujung menggambarkan persanggamaan (vulva
mengejar phallus) Kalitelon, Boyolali - kini disimpan di BP3 Jawa
Tengah - yang diperkirakan berasal dari abad
sudah usai, atau setidaknya bermakna vulva IX, yang melukiskan laki-laki pada posisi di atas
mengejar phallus. dan wanita pada posisi di bawah. Pada relief
Selain pada kedua candi tersebut, lainnya digambarkan posisi sebaliknya (Atmodjo
petanda seks (phallus dan vulva) maupun 1983:11).
persenggamaan ditemukan di Candi Surawana,
Tegawangi, Kedaton, Penataran dsb. Di tubuh 5.3 Ungkapan Petanda Seks dalam Prasasti,
Candi Surawana terdapat relief sanggama dalam Teks, dan Tradisi Lisan
posisi berdiri, yaitu pada sebuah pilaster sisi 5.3.1. Ungkapan dalam Sumber Data
selatan-barat. Menggambarkan pria bertopi tekes Prasasti
(Panji?) menggendong wanita. Kaki wanita Hanya ada sebuah prasasti yang
dalam posisi mengangkang ke arah pria, dan memuat tentang penanda seks, yang secara jelas
vulva menempel pada bagian alat vital pria. menggambarkan phallus, yaitu prasasti Samirono
Sementara tubuhnya diputar ke arah depan. (1370 Śaka = (1448 M.):
Kedua tangan pria meremas payudara wanita. ri Śaka
Selain itu pada batur candi sisi belakang terdapat 1370
relief erotis, yang menggambarkan pria dalam nir wiku bakitri lmah
posisi berdiri dengan tangan terikat ke belakang Bagian atas dari prasasti ini terdapat
pada batang pohon. Sementara wanita berdiri pahatan yang berbentuk phallus (lingga), dalam
berhadapan sedang membuka kain panjangnya, posisi ereksi. Menurut Soekarto K. Atmodjo
sehingga bagian bawah tubuhnya telanjang. (1983:176) phallus dalam posisi berdiri tegak
Wanita dilukiskan agresif, sedangkan pria (erection) melambangkan urddhawareta. Kata
diposisikan sebagai obyek. Masih pada batur “urddhawa” artinya tegak, dan “reta” berarti
candi ini, yaitu di sisi utara timur, terdapat air mani. Posisi phallus ketika mengeluarkan air
relief yang menggambarkan seorang wanita mani, secara simbolik bermakna kesuburan.
bertelanjang dada menindih wanita lain. Kurang Prasasti lainnya adalah Palemaran, yang
terang maksud penggambarannya. Apakah bertarikh Śaka 1371 (1440 M). Terdiri atas 13
perkelahian antar wanita, atau sanggama sesama baris kalimat dengan menggunakan tipe aksara

34
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

peralihan, dari aksara Jawa Pertengahan ke Jawa menunjuk pada organ tubuh yang dirahasiakan
Baru. Menuliskan tentang sebuah patirthan keberadaannya dan esoteris sifatnya, yakni
di Palemaran, yang terletak di lereng gunung vulva. Istilah lain yang acapkali dipakai adalah
(wukir) hari Damalung. Kalimat awal berupa yoni, yang secara harafiah berarti rahim atau
penghormatan kepada Dewi Saraswati (Om Sri tempat lahir (Zoetmulder 1995: 1494). Istilah
Saraswati), dan pada bagian akhir baris ke-8 ini misalnya dipakai dalam teks Rukminitatwa,
terdapat gambar sebuah lingga, yang ditempatkan yang memuat wejangan tentang bermacam-
diantara kata “Śakawarsa” dan angka tahun 1371 macam obat-obatan yang terkait dengan masalah
(Djafar 1986:4). sanggama maupun penggunaan lelepan (boreh,
pupur) serta minyak untuk mempercantik diri,
5.3.2 Ungkapan dalam Teks antara lain dioleskan pada alat kelamin wanita
Kitab Pararaton menceritakan vulva (lelepana yoni, wedakna yoni, rarabakneng
Ken Dĕdĕs, yang disebut dengan istilah yoni). Dalam naskah ini, lubang vagina disebut
“rahsya”. Bagian yang mengisahkan kejadian ini dengan “leng ing yoni”, sedangkan alat kelamin
adalah adegan di Taman Baboji “…. Satěkanira pria (phallus) disebut “pashta” (Atmodjo 1985:7-
ring taman sira Ken Dĕdĕs tumurun saking 19). Secara harafiah, kata “pastha” berarti
padati, katuwon pagawening widhi, kengis alat kelamin. Oleh karenanya, “pasthendriya”
wětis-ira, kengkap těkan rahsyanira, něhěr berarti genital laki-laki (Zoetmulder 1995:789).
katon murub denira ken Angrok. ………(Ken Terdapat pula istilah lain yang menunjuk
Dĕdĕs turun dari kereta, kebetulan disebabkan arti demikian, yaitu “lingga” dan “purusa”
karena nasib, tersingkap [kainnya dan tampak] (Zoetmulder 1995:601, 887).
betisnya, kelihatan sampai rahsya-nya yang Dalam sejumlah teks Jawa Kuna maupun
bersinar oleh Ken Angrok)” (Padmapuspita Jawa Tengahan, perihal hubung kelamin
1966:18, 57). Kejadian ini, ditanyakan oleh (sanggama, alaki, makalaki) acap dimunculkan.
Ken Angrok kepada Dang Hyang Lohgawe dan Bukan saja untuk mekukiskan adegan percintaan,
ayah angkatnya (Bango Samparan) di Karuman. namun terkait pula dengan ajaran agama. Dalam
Keduanya memberi jawaban sama, bahwa aliran Tantra, sanggama bukan hanya untuk
wanita yang mempunyai ciri demikian itu adalah memenuhi kebutuhan biologis, namun lebih
wanita utama (strinareśwari). Bahkan Loh Gawe dari itu yaitu cara syah untuk mencapai Puncak
menyatakan bahwa barang siapa dapat menikah Bahagia (moksa, nirwana mahasukha) (Supomo
dengan wanita nariśwari, meski ia berasal dari 1985: 410). Menurut ajaran Tantra aliran kiri
golongan rendah sekalipun, niscaya di kemudian (niwrtti), untuk dapat segera mencapai moksa,
hari akan menjadi raja dunia (ratu anyakramurti). caranya adalah dengan sebanyak-banyaknya
Atmodjo (1983:25) dengan mengutip keterangan melakukan pancama: (1) matsya (ikan), (2)
singkat J.L. Brandes mengemukakan bahwa mamsa (daging), (3) mudra (sikap tangan),
tipe perempuan terbaik (adimuktyaning istri), (4) mada (minuman yang memabukkan), dan
yang disebut “strinariśwari”, adalah memiliki (5) maituna (cinta kasih, sanggama). Dengan
tanda-tanda “murup rahsyanipun” (menyala demikian, sanggama adalah suatu cara untuk
“rahasia”nya). mencapai moksa. Gambaran demikian bisa
Dalam teks Pararaton alat kelamin dijumpai dalam beberapa kakawin berikut.
wanita disebut dengan “rahsya”. Dalam konteks Dalam Kakawin Sumanasantaka
ini kata harafiah “rahsya” atau “rahasya” (87.3) terdapat kalimat “…….semoga tercapai
tentu bukan arti harafiah yang berarti rahasia, kesempurnaan tapaku di tempat tidur….”.
esoterik (Zoetmulder 1995: 902), melainkan Zoetmulder mengkaitkan penulisan kakawin

35
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

dengan praktek yoga, yang juga sering digunakan Bhima dihubungkan dengan kultus Dewa Śiwa,
para kawi dalam adegan sanggama (Supomo sebab Bhima adalah aspek Śiwa, atau salah
1985:412). Gambaran demikian dijumpai satu dari 8 nama Śiwa (astasajña), yaitu Rudra,
pula dalam Kakawin Arjunawiwaha (398.1), Bhawa, Sarwa, Isa, Pasupati, Bhima, Ugra, dan
yang mengisahkan Arjuna memusatkan diri Bhairawa. Petunjuk demikian antara lain pada
dalam yoga asmara (smaratantrayoga kinĕnĕp inskripsi Nglawang, yang dituliskan pada arca
nira) manakala bersanggama dengan Dewi Bhima, yang memuat kata “lingga”. Sementara,
Citrawati. Begitu pula dalam Kakawin Sutasoma di Bali pemujaan terhadap Bhima secara khusus
dikisahkan bahwa Sutasoma juga beryoga pada dihubungkan dengan Bhairawa. Atmodjo (1986:
waktu bersanggama (yogasmarana) dengan 21) menyatakan bahwa arca Śiwa Bhairawa
Candrawati. Pendek kata penggambaran (Bhima Bhairawa) di Pura Kebo Edan (Pejeng)
sanggama baik secara tekstual maupun visual dan arca Bhima dalam bentuk chatuhkaya yang
(berbentuk arca atau relief) terkandung pula juga berasal dari Pejeng menggambarkan raja
maksud-maksud religis, khususnya yoga. Bali yang memerintah sekitar 1337 – 1342 M.,
Dalam Kakawin Smaradahana dijumpai yakni Astasura Ratna Bhumi Banten, penganut
uraian tentang sepuluh sumber indra yang bisa aliran Bhairawa (Bhairawa marga).
membawa kesejahteraan. Salah satu diantaranya Prasasti lain yang berkenaan dengan
“upasthendriya”, yaitu penggerak kemaluan Bhima adalah prasasti Wukajana (885 M.), yang
atau keinginan untuk berkelamin. Perkataan ini menyebut sebagai pembunuh Kicaka. Dalam
merupakan bentukan dari dua kata, “upastha” kisah ini, Bhima hadir menjadi lakon dalam seni
dan “indriya”. Sebagaimana dikemukakan di atas, pertunjukan Jawa Kuna, yaitu “….......si galigi
kata “pastha” secara harafiah berarti alat kelamin. mawayang bwat macarita bhima ya kumara”
Kendati demikian, nafsu untuk bersanggama (Naerssen 1937:445-446) - cerita mengenai
perlu dikendalikan, sebab selain dapat membawa Bhima sewaktu muda. Selain itu, prasasti
kesejahteraan, sebaliknya bisa menjerumuskan Sukamerta yang dikeluarkan oleh Kṛtarajasa
manusia. Untuk itulah maka nafsu atau keinginan (1296 M.) menginformasikan ketangkasan
(kama) harus didasari dan dijiwai oleh dharma seorang pejabat, Rakryan Kanuruhan ing Daha
(kebenaran), karena kama yang tidak didasari bernama Pu Lwar. Kepandaian berperangnya
oleh dharma mengakibatkan penderitaan menggunakan senjata gada bagaikan kepandaian
(Manu 1985:190). Manusia yang tidak dapat Bhima (gada-dharabhimatulya-runati-sura).
mengendalikan nafsu diibiratkan sebagai aswa Informasi prasasti ini sejalan dengan gambaran
(kuda), tipe laki-laki terjelek, tingkah lakunya Bhima pada seni arca, dimana Bhima acapkali
kasar, dan kurang terkendali, termasuk perilaku diarcakan dengan senjata gada, yang dalam
seksualnya. Pewayangan Jawa dinamai “Godo Rujakpolo”.
Memang prasasti-prasasti ini tidak secara
5.3.3 Ikon “Maskulin” Bhima dalam Prasasti, langsung berkenaan dengan penanda seks.
Teks, dan Tradisi Lisan Namun tergambar bahwa ketika itu Bhima
Prasasti Jawa Kuna yang dituliskan di telah menjadi idola masyarakat, dan diberi citra
bagian belakang arca Bhima koleksi Museum sebagai pahlawan.
Mpu Tantular menggambarkan perwujudan Selain dalam prasasti, ketokohan Bhima
seseorang yang telah ditahbiskan menjadi dewa banyak dimuat dalam karya sastra, khusus-
(Munandar 1990:181). Berarti, konsep pemujaan nya pada bagian - bagian (parwa) wiracarita
terhadap arwah (ancestors worship) berlaku pula Mahabarata. Kisah Bhima Kumara yang disebut
pada pengarcaan Bhima. Pemujaan terhadap dalam prasasti Wukajana di atas adalah episode

36
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

”Wirataparwa”, yang disadur dari Mahabarata Cerita tentang Bima berkembang di


India atas perintah raja Dharmawangsa (991- Jawa Tengah, utamanya berkait dengan asal-
1016 M). Baik Adiparwa maupun Wirataparwa usul Sungai Serayu. Di Dataran Tinggi Dieng
mencitrakan Bhima sebagai pahlawan perang dan terdapat mata air “tuk Bimo Lukar”. Istilah
pelindung masyarakat. Relief tertua yang memuat “lukar” berarti terbuka, terlepas (Zoetmulder
kisah Bhima terdapat di patirthan Jalatunda, yang 1995:611). Istilah ini sering dihubungkan dengan
menggambarkan kisah Swayamwara Draupadi, busana, misalnya perkataan “lukar busana”
salah satu episode Adiparwa. Dalam cerita ini, (lepas baju). Dalam konteks mata air (tuk), kata
Bhima dicitrakan sebagai pahlawan perang. “Bimo Lukar” diartikan sebagai Bima yang
Citra Bhima sebagai pahlawan perang juga hadir telanjang, yang dari phallus-nya memancurkan
dalam Parthayajña, yang juga divisualkan di air, dan dipercayai sebagai mata air Kali Serayu.
Candi Jago. Dalam cerita ini, Bhima dicitrakan Asal-usul Kali Serayu dilegendakan oleh warga
sebagai pahlawan perang. Bhima, dan saudara- yang tinggal di DAS Serayu dibuat oleh Bhima
saudaranya mengadakan pemujaan pada yang perkasa, dengan menggunakan phallus-
Bhairawa. nya. Phallus Bhima dijadikan mata bajak (luku).
Kisah Bhima juga dijumpai dalam naskah Bukan hanya Kali Serayu yang dibuat dengan
susastra lain seperti kitab Nawaruci karya Mpu cara dibajak menggunakan phallus, namun juga
Sawamurti pada akhir Majapahit. Dalam kisah Kali Klewang, percabangan Kali Serayu yang
ini citra Bhima beda dengan yang dipaparkan dibajak dengan phallus Drona. Oleh karena
di atas, yaitu sebagai pencari air “untuk Drona sudah tua dan phallus-nya tidak sebesar
menyucikan diri” sekaligus peruwat. Dalam dan tidak sekokoh phallus Bhima, maka Kali
betuk relief, cerita “Bhima Suci” dipahatkan di Klewang lebih kecil ketimbang Kali Serayu dan
patapan Kendalisada Gunung Penanggungan berkelok-kelok. Di samping itu terdapat sungai di
dan di Candi Sukuh. Selain relief ini, di Candi dekat Kebumen, bernama Kali Lukulo. Menurut
Sukuh ada lakon Bhima lain Bhima Bungkus dan W.J. van der Meulen S.J. (1988:71 cat. 63), kata
Bhimastawa (Bhimaswarga) dan Bhima peruwat “Lukulo” mungkin berasal dari “(w)ukuloh”,
raksasa Kalantaka pada lakon Sudamala. Cerita artinya bajak subur (bhaghalina). Jika benar
ini juga didapati di Candi Tegawangi. Dalam demikian terbayang bahwa sungai ini dibuat
cerita Bhima Bungkus terdapat kisah mengenai dengan pisau bajak, serupa dengan Kali Serayu
cawat poleng, busana yang dalam ikonografi dan Klewang. Pisau bajak itu berupa phallus
selalu dikenakan oleh Bhima. Pada sejumlah dari tokoh legendaris tertentu. Kisah-kisah
lakon itu, Bhima tidak hanya tampil sebagai ini menggambarkan hubungan antara phallus
pahlawan dan pelindung, namun sekaligus dengan air, baik sumber air ataupun sungai.
sebagai peruwat. Cerita tutur tentang asal muasal Kali
Selain data artefaktual (arca, relief) Serayu juga tampil dalam lakon wayang kulit,
dan tekstual (prasasti, teks), tokoh Bhima juga berjudul “Lampahan Bimo ing Lepen Serayu”
dikisahkan dalam tradisi lisan, baik berupa lakon (Lor. 12.577 No. 23). Lakon ini adalah salah satu
wayang atau tutur. Diantara lakon dan cerita tutur dari banyak lakon wayang kulit yang pada tahun
itu, Bhima dikisahkan dalam kaitan dengan fungsi 1930-an dihimpun oleh J.L. Moens dari dalang-
luar biasa dari phallus-nya dan perannya dalam dalang desa di daerah Yogyakarta Selatan. Hasil
kehidupan agraris. Kendatipun cerita ini berasal dokumentasinya disimpan di Perpustakaan
dari masa yang lebih muda (pasca Majapahit), Universitas Leiden. Selain itu, kisah ini juga
namun perlu dipertimbangkan, karena terkait termuat dalam lakon wayang “Pendowo Tani”,
dengan konsep kesuburan tanah dan tanaman. yang kini masih sering dipentaskan pada

37
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

pertunjukan wayang kulit ketika berlangsung petanda seks, yakni ikon dan simbol. Keduanya
upacara bersih desa (sedekah bumi) di daerah sama-masa dipergunakan di dalam ritus sebagai
Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya. Tempat ikon ataupun simbol suci.
lain di DAS Serayu yang dilegendakan dalam Simbol suci mempunyai ciri-ciri khusus
hubungan dengan Bhima adalah gundukan sebagai berikut: (a) muatannya penuh dengan
batu di Kali Serayu, tidak jauh dari pertemuan sistem-sistem nilai baik apabila dibanding
(tempuran, sawangan) Kali Serayu dan Kali simbol biasa, (b) penuh dengan muatan emosi
Logawa, yang oleh warga setempat dinamai dan perasaan, (c) berkenaan dengan masalah
“Kepel Bima”. Obyek lain di Jawa yang dikaitkan paling hakiki. Arca dan relief yang berwujud
dengan Bhima adalah pahatan berbentuk telapak petanda seks memenuhi ciri-ciri simbol
kaki, yang disebut “Tapak Bima”. suci. Di dalamnya terkandung nilai religius.
Dalam lakon “Bimo tulak” (Lor. 12.577 Penggunaannya didorong oleh emosi keagaman
NO. 10) Bhima tampil sebagai pelindung bagi dan diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan
tanaman padi dari serangan wereng, sekaligus dasar manusia sebagai pelaku upacara. Penanda
pelindung para petani. Diceritakan bahwa seks ini digunakan dalam komunikasi antara
pada malam hari Bhima bertelanjang bulat pelaku upacara dan unsur gaib dari dunia gaib.
mengelilingi desa. Ujung phallus-nya menyala. Dengan menampilkan wujudnya secara naturalis,
Dengan kekuatan gaibnya, hama wereng disedot maka dunia gaib akan menjadi tampak nyata
oleh phallus-nya, sehingga persawahan desa di arena upacara. Simbol suci ini menyuarakan
terbebas dari bencana gagal panen oleh hama pesan-pesan keagamaan yang berkenaan dengan
wereng (Sumaryoto 1998:16). Dalam kisah ini, etos atau pandangan hidup sesuai dengan
Bhima, dan utamanya phallus-nya, memiliki keinginan para pelaku upacara, yaitu pesan
dikisahkan memiliki kekuatan magis, yang tentang kesuburan untuk memperoleh kesuburan
mampu menolak bahaya. Hal ini sejalan dengan tanah, tanaman atau keturunan.
fungsi Bhima sebagai sang peruwat.
6.2 Makna Simbolik Sanggama dalam Ritus
6. Makna Ritus Kesuburan bagi Petani Kesuburan
Jawa Masa Lampau Persetubuhan adalah penyatuan antara
6.1 Makna Simbolik Phallus dan Vulva unsur feminin dan maskulin. Dalam konsepsi
pada Ritus Kesuburan Hindu ataupun Buddha, sanggama merupakan
Penanda seks digambarkan sebagai genital proses berkumpulnya unsur purusa (laki-laki)
pria (phallus) ataupun wanita (vulva) atau kadang dan pradhana (perempuan), atau bertemunya
penyatuan keduanya dalam persetubuhan. Wujud zat kama putih (sukla) dan kama bang (wanita)
penggambarannya dikelompokkan menjadi dua: (Atmodjo 1983:11 cat. 30). Sebagaimana telah
(1) digambarkan secara naturalis, sesuai dengan dikemukakan, perilaku seks dalam konteks
bentuk riil phallus, vulva atau aktivitas coitus; ritual kadang disertai dengan ritus persetubuhan
(2) tidak naturalis, yakni tidak seperti bentuk dengan siapa saja (promiscuity). Oleh karenanya,
riilnya. Wujud pertama dikategorikan sebagai hubungan phallus-vulva dalam bentuk
ikon, yaitu adanya keserupaan antara tanda dan persetubuhan acap menjadi simbol/ikon suci
yang ditandai, atau berwujud sebagai petanda dalam ritus kesuburan. Sanggama ditampilkan
ikonik. Pada wujud kedua tidak dijumpai dalam arca, relief atau dalam perilaku yang
keserupaan antara tanda dan yang ditandai. Hal sebenarnya.
ini berarti merupakan petanda simbolik. Dengan Adegan persetubuhan dalam arca, secara
demikian, terdapat dua kategori mengenai wujud ikonik belum ditemukan, tetapi dalam wujud

38
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

simbolik, ditemukan dalam bentuk kesatuan sesungguhnya dihubungkan dengan kepercayaan


lingga (Śiwa) dan yoni (Uma/Parwati) atau terkait dengan unsur-unsur kesuburan, penolak
dalam arca Arddhanareśwari, yaitu arca yang bahaya, keselamatan, kelahiran kembali
separuh menggambarkan pria (Śiwa) dan separuh (rebirth), dsb. (Atmodjo 1983:13). Hal ini tidak
wanita (Uma/Parwati). Arddhanareśwari adalah hanya tergambar dalam sumber data artefaktual
Śiwa-Uma dalam satu tubuh. Arca ini ditemukan dan perilaku religis, namun juga dituliskan dalam
di Candi Tegawangi berupa Ardhanareśwari karya sastra.
mengendarai wahananya (Nandi). Semula ber-
jumlah sepasang, ditempatkan di ujung pipi 6.3 Maksud dan Tujuan Penggunaan
tangga. Salah satunya kini berada di Museum Petanda Seks
Erlangga Kediri. Penyatuan unsur maskulin Petanda seks (phallus dan vulva) ataupun
dan feminin menghasilkan kekuatan tertinggi. sanggama, baik yang berwujud arca atau relief
Pada agama Hindu, khususnya Hindu-Śiwa, adalah artefak masa lampau, yang dibuat untuk
Śiwa dikonsepsikan sebagai Dewa Pencipta. maksud dan tujuan tertentu. Ada kecenderungan
Penciptaan jagat raya dilakukan melalui bahwa arca dan relief yang berwujud penanda
“Tandhava”, yaitu stilisasi sanggama dalam seks itu berada di candi, punden berundak,
bentuk gerak tari. gua pertapaan, ataupun kolam suci (patirthan).
Wujud simbolik/ikonik coitus dijumpai Tidak diragukan bahwa maksud dan tujuan
pada sejumlah relief candi, yang menampilkan penggunaannya berkenaan dengan religi,
adegan seks. Dari cara penggambarannya, khususnya Hindu-Śiwa. Jika melihat lokasi serta
dibedakan menjadi dua: (a) penggambaran persebarannya di daerah-daerah terpencil, seperti
secara naturalis, berupa adegan persetubuhan di dalam hutan, lereng gunung, dan di pedesaan
antara pria dan wanita, seperti relief pada Candi dekat persawahan atau sumber air, maka selain
Kalitelon, Tegawangi, dan mungkin pada batur untuk pemujaan dewata (dewapuja), dapat juga
Candi Surawana; (b) penggambaran secara terkait pula dengan kepentingan agraris.
indeksial, yang berupa sepasang phallus dan Petanda seks dibuat untuk maksud
vulva, seperti terdapat di lorong Gapura I Candi yang berkenaan dengan ritus keagamaan, yaitu
Sukuh dan halaman Candi Ceto. Ritus kesuburan sebagai media atau perangkat ritus, khsususnya
bisa dilakukan dengan persetubuhan yang pada agama Hindu-Śiwa, dan lebih khusus lagi
sesungguhnya. Sanggama dalam rangka ritual ritus kesuburan. Pembuatannya dimaksudkan
antara lain ditemukan dalam Pancamakarapuja untuk memperoleh kesuburan tanah, tanaman,
pada Tantrayana kiri (niwrtti), antara lain dengan maupun binatang ternak sesuai percaharian
mengadakan maituna. Bagi manusia, khususnya pokoknya. Fungsinya yang demikian tidak
yang belum menikah, maituna sangat dilarang. melenceng dari fungsi umumnya, yaitu dibuat
Namun, dalam Tantrayana kiri (left-hand path), untuk dipuja atau dalam beberapa hal dikaitkan
apa yang terlarang itu justru merupakan ritus dengan pemujaan kepada dewa atau orang
tersuci. Tiada yang kotor bagi orang yang bersih. suci tertentu (Maulana 1984:1), atau sebagai
Pancama (lima Ma) yang dilakukan berlebihan representasi yang sesuai bagi dewa yang dipuja
justru merupakan aktivitas upacara keagamaan (Banerjea 1974:1). Benda suci itu adalah media
(Soekmono 1987:33-34). ritus pada komunikasi vertikal antara pemuja
Sebagaimana dipaparkan di atas, (bhakta) dan Dewa, orang keramat, atau hal lain
maituna adalah tindakan erotik yang berupa yang disucikan, dan khususnya pada puja luar
sanggama dalam upacara keagamaan. Dalam hal (Santiko 1995:25). Sebagai perangkat upacara,
ini, hal yang sekilas tampak porno atau erotik petanda seks yang berupa arca dan relief

39
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

merupakan komponen penting dalam sistem Majapahit, dimana penanda seks banyak
religi (Koentjaraningrat 1987:80; 1990:378), digambarkan secara naturalis dan tidak
yaitu sebagai perangkat upacara religi atau magi. proporsional. Kecenderungan ini bisa difahami,
Sebagai alat peribadatan, petanda seks dengan sebab agama yang dominan kala itu adalah
demikian dipandang sebagai benda keramat. Hindu-Śiwa, khususnya Śiwa-Śidhanta, yang
Hal ini dapat difahami, sebab phallus adalah menempatkan Śiwa sebagai iṣṭadewata. Lebih
bentuk naturalis dari petanda Śiwa, yang dalam khusus lagi ada indikasi menguatnya kembali
wujud simbolik berupa lingga. Demikian pula, kultus lingga (lingga cult) (Santiko 1993).
vulva adalah bentuk naturalis dari śakti (istri) Informasi demikian didapatkan pada prasasti
Śiwa, yang dalam wujud simbolik berupa Majapahit Akhir seperti Prasasti Nglawang,
yoni. Hubungan antara phallus dan lingga bisa Samirono (1370 Śaka), Palemaran (1371 Śaka),
dijelaskan sebagai berikut. Phallus adalah bentuk dan Tamiajeng (1380 Śaka).
naturalis dari salah satu bagian (bhaga) suatu
lingga, yaitu bagian yang berbentuk silindris dan 6.4 Fungsi Petanda Seks dalam Ritus
berada di posisi atas. Kesuburan
Phallus (petanda seks) – lingga – Dewa Śiwa. Sebagai simbol suci untuk ritus
Vulva (petanda seks) – yoni – śakti Śiwa keagamaan, relief dan arca yang menampilkan
(Uma, Parwati) phallus dan vulva memiliki fungsi spesifik, yakni
Kaitan antara penanda seks yang berupa sebagai media dalam ritus kesuburan. Artefak
phallus dan Śiwa, atau antara vulva dan Uma, yang demikian memiliki persebaran yang spesifik
memberi petunjuk bahwa dewa yang dipuja pula, yakni di tempat terpencil di lereng gunung,
adalah Śiwa. Pengguna utamanya adalah warga dalam hutan, dekat sumber air, atau di areal
luar keraton, khususnya petani di pedesaan, yang persawahan. Bila menilik keletakannya, bisa
tataran keimanannya belum cukup tinggi. Oleh dikatakan bahwa perangkat upacara itu berada
sebab itu sengaja dibuat naturalis agar mudah di masyarakat yang basis perekonomian agraris.
difahami oleh pemujanya. Revitalisasi kultus Bagi petani, hal penting untuk produktivitas hasil
lingga dan kultus Bhima pada masa Majapahit buminya adalah kesuburan, baik kesuburan tanah
didasari oleh kebutuhan pemujanya, antara lain ataupun kesuburan tanaman.
berkenaan dengan kesuburan tanah, tanaman atau Bagi masyarakat yang religiositasnya
keturunan (anak). Dengan demikian, terdapat tinggi, upaya memperoleh kesuburan antara lain
hubungan antara pembuatan media ritus dalam ditempuh lewat pendekatan religis, yakni lewat
bentuk tertentu ini dengan kebutuhan riil pelaku ritus untuk mendapatkan atau meningkatkan
upacara, tidak terkecuali kebutuhan ekonominya. kesuburan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya
Meskipun kurun waktu pembuatan perangkat upacara kesuburan (fertility cult) di
petanda seks berasal dari abad XIV-XV bahkan areal pertanian, yang berupa relief dan arca
hingga abad XVI M, berarti sejaman dengan yang berwujud petanda seks. Dengan demikian,
Majapahit, namun penanda seks telah ada sejak fungsi petanda seks bukan semata religis tetapi
masa kerajaan Matarām Kuna, terbukti oleh sekaligus ekonomis. Dalam hubungan itu
adanya relief coitus di Candi Kalitelon (abad muncul pertanyaan “mengapa penanda seks
IX). Selanjutnya pada masa Singhasāri, sejumlah (phallus, vulva, dan sanggama) dalam bentuk
arca Bhairawa dipahatkan telanjang hingga arca dan relief dijadikan media dalam ritus
terlihat phallus -nya. Namun, phallus itu dibuat kesuburan?” Jawaban terhadapnya dilakukan
proporsional. Hal ini berbeda dengan fenomena dengan merelasikan simbol/ikon phallus, vulva
ikonografis masa Majapahit, khususnya akhir dan sanggama di satu pihak dan aspek kesuburan

40
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

pada pihak lain sesuai dengan konsep religisnya. Pembukti bahwa ritus kesuburan
Ritus kesuburan adalah upacara ritual merupakan kegiatan religio-magis yang
yang ditandai oleh doa-doa, korban, arak- diposisikan penting adalah ditemukannya media/
arakan, atau media pemujaan guna mendapatkan perangkat upacara berbentuk petanda seks, baik
kesuburan. Aplikasinya acap bersifat religio- yang diekspresikan dalam bentuk arca dan relief,
magis, yang berwujud pesta dengan prosedur yang ternyata banyak ditemukan di sekitar areal
ritual dan magi, utamanya magi simpatetik. pertanian. Dengan demikian, secara kontekstual
Terkadang disertai dengan persetubuhan fungsinya berkenaan dengan pertanian, yaitu
terhadap siapa saja. Oleh karenanya, genital upaya untuk mendapatkan/meningkatkan
pria dan wanita atau hubungan antara keduanya kesuburan tanah dan tanaman, turunnya hujan,
dalam bentuk persetubuhan menjadi simbol dan agar terhindar dari serangan hama. Di
religi. Sesungguhnya kultus kesuburan sekitar areal persawahan terdapat bangunan
mempunyai perlambang yang lebih luas, yang suci kecil yang secara khusus digunakan dalam
mencakup simbol yang berhubungan dengan ritus kesuburan, yang didalamnya ditempatkan
elemen air, udara, dan tanah. Pada Candi Ceto, simbol lingga-yoni (bisa juga berwujud
unsur udara disimbolkan dengan garuda dan naturalis phallus-vulva), arca Bhima, simbol
matahari, di Candi Sukuh sebagai garuda dan persetubuhan, arca Dewi Sri, ataupun miniatur
Śiwaditya (pada obeliks halaman III). Unsur lumbung batu. Bangunan khusus yang demikian
bumi dilambangkan dengan kura-kura, ular dan bisa dibandingkan dengan pura melanting
binatang air (katak, mimi, mituna, yuyu, kadal). di Bali yang berada di areal persawahan dan
Ritus kesuburan dilaksanakan demi fungsinya terkait dengan ritus kesuburan. Bisa
menjalin komunikasi dengan makhluk spiritual juga perangkat upacara itu tidak ditempatkan
guna mendapatkan kesuburan, baik kesuburan dalam bangunan tersendiri, namun berada
anak, kesuburan tanah, maupun membiaknya bersama dengan perangkat upacara lain pada
hewan ternak. Pada mulanya ritus kesuburan suatu bangunan suci Hindu atau Buddha, dan
sangat terkait dengan pertanian. Namun, dalam khususnya pada candi Hindu sekte Śiwa.
perkembangannya berkenaan pula dengan aspek Tradisi yang berkenaan dengan ritus
reproduksi dan penciptaan alam, dimana simbol/ kesuburan masih didakukan hingga kini dalam
ikon genital dinilai relevan untuk dijadikan bentuk upacara lepas panen “Sri-Sedono”,
media pemujaan. upacara minta hujan (tiban, hujung, manten
kucing), dsb. Di Desa Tambak Watu, Kecamatan
6.5 Urgensi Ritus Kesuburan bagi Petani Purwosari, Pasuruan, di lereng utara-timur
Masa Lampau Arjuna, ritus minta hujan dilakukan dengan
Basis ekonomi Majapahit adalah memandikan arca Bhima di punden desa. Arca
pertanian. Bagi petani, unsur penting bagi ini berasal dari Candi Spilar. Ada hubungan
produktivitas pertaniannya adalah kesuburan antra Bhima dan air seperti tergambar dalam
tanah, pasokan air, dan bebas hama. Untuk kisah pembuatan Kali Serayu dengan phallus
memenuhinya dipilihlah lahan yang subur dan Bhima pada cerita “Tuk Bimo Lukar” maupun
memiliki pasokan air cukup, dan melakukan relief Bhima di situs patirthan, seperti relief
cara lain sesuai dengan alam fikirannya, yaitu “Sudamala” di Candi Sukuh dan “Mrĕgayawati”
cara religis, magis atau religio-magis. Ritus di Jalatunda.
pertanian adalah salah satu pendekatan ekonomi Apabila ritus kesuburan merupakan salah
pertanian, dengan memakai pendekatan “religio- satu pendekatan untuk mengoptimalkan produk
ekonomik”. ekonomi pertanian, berarti ada tiga pendekatan

41
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

ekonomi yang dikembangkan oleh masyarakat kawasan luar keraton. Hal ini dilatari oleh tiga
Jawa Kuna: (1) tekno-ekonomik, (2) sosio- hal: (1) wilayah penggunanya adalah desa-desa
ekonomik, dan (3) religio-ekonomik. Pendekatan pertanian (thani), (2) masa Majapahait ditandai
terakhir banyak dilakukan oleh masyarakat yang oleh menguatnya kultus terhadap lingga (dan
religiositasnya tinggi, seperti pada masyarakat yoni), atau kesatuan keduanya, (3) revivalisme
masa Majapahit. Cara ini diyakini dapat tradisi megalitik, diantaranya berbentuk kultus
menyelesaikan problem ekonomi petani masa kesuburan. Faktor-faktor itulah yang menjadi
lampau. Pendekatan religio-ekonomik lewat pemicu bagi tumbuh suburnya ritus kesuburan
kultus kesuburan banyak dilakukan pada masa pada masa Majajaphit, khususnya di daerah
Majapahit, khususnya masa akhir Majapahit pada pedesaan yang berbasis ekonomi pertanian.

42
M. Dwi Cahyono, Makna dan Fungsi Simbol Seks dalam Ritus Kesuburan Masa Majapahit

DAFTAR PUSTAKA

Atmodjo, M.M. Soekarto K. 1983, “Mengapa Phallus Arca Śiwa Bhairawa di Pura Kebo Edan
Menghadap ke Arah Kiri”, Berkala Arkeologi, Maret 1983. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta.
----------. 1983a. “Sekeping Batu Prasasti Gunung Waringin (Bali) dan Samirana (Jawa)”, Rapat
Evalusi Hasil Penelitian Arkeologi I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Depdikbud.
----------. 1983b. Catatan mengenai Ngelmu Katurangganan (Fisiogaami) dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: Proyek Javanologi.
----------. 1986, “Tokoh Bima dalam Arkeologi Klasik”, Berkala Arkeologi Th. VII (2): 14-26. Balai
Arkeologi Yogyakarta.
----------. 1989, Sekitar Hari Jadi Kabupaen Banyumas. Seminar Sehari tanggal 11 Nopember 1989
di Purwokerto.
Bakker S.J. J.W.M. 1978. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, BPK.
Gunung Mulia.
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Bantul: Kreasi Wacana.
Bruyne, Edgar. 1977. Filsafat Seni. Penterjemah: Soekadarman. Malang: Sub-Proyek Penulisan
Buku Pelajaran. P3T IKIP Malang.
Cahyono, M. Dwi dan Blasius Suprapta. 1998. “Kultus Kesuburan dalam Seni Bangun Keagamaan
pada Lereng Barat Gunung Lawu (Abad XIV - XV M): Kajian Makna Religius dengan
Model “Sitem Trikhotomi” terhadap Tanda Ikonografi dan Relief”, Laporan Penelitian.
Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Eliade, Mircea (ed.). 1987, The Encyclopedia of Religion, Vol II. New York: Mac-Millan Publishing
Company.
Ensiklopedia Nasional Indonesia (ENI), 1991.
Ferm, Virgilius. 1959. An Encycloipedia of Religion. Paterson, New Jersey: Littlefield, Adam & Co.
Firth, R (ed.). t.t. Tjiri-Tjiri Alam dan Alam Hidup Manusia. Suatu Pengantar Antropologi Budaya.
Bandung: Sumur Bandung.
Daeng, Hans. 1991. “Manusia, Mitos dan Simbol”, Majalah Basis, Januari No. 1 Tahun XL.
Fischer, Th. 1952. Pengantar Antropologi Kebudajaan Indonesia. Penterjemah: Anas Makruf.
Djakarta: PT. Pembangunan.
Geertz, Cliford. 1992. The Interpretation of Culture. New York: Basic.
Goeltom, Annisa Maulana. 2005. Gejala Phallisisme di Lereng Barat Gunung Lawu. Skripsi Sarjana
Universitas Indonesia.
Goris, R. 1974. Sekte-sekte di Bali. Penterjemah: P.S. Kusumo Sutojo. Jakarta: Bhratara.

43
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 1, Juni 2012

Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


Mahaviranata, Purusa.1982. “Arca Primitif di Situs Keramas Bali”, Pertemuan Ilmah Arkeologi III.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Depdikbud.
Masinambow, E.K.M. 1991. “Representasi dalam Kebudayaan: Beberapa Aspek Teori dan Metodologi
dalam Penelitian Sosial-Budaya”, Penataran Motode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Maulana, Ratnaesih. 1984. Ikonografi Hindu. Jakarta: FS-UI.
Mulia, Rumbi. 1964. “Beberapa Tjatatan tentang Artja jang disebut Type Polinesia,” Madjalah
Ilmu-ilmu Sastra, Djilid II (2).
Padmapuspita, Ki. J. 1966. Pararaton, Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta:
Taman Siswa.
Peursen, C.A. van. 1975. Strategi Kebuadayaan. Jakarta: Kanisius.
Santiko, Hariani. 1970. “Pemujaan Dewi Kesuburan (Mother Goddes)”, Mimbar Ilmu, Th. IV (7):
50-57.
----------. 1995. “Seni Bangun Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia (Abad VIII - XV Masehi):
Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik,” Naskah Pidato pada Upacara Pengukuhan
sebagai Guru Besar Madya Tetap pada Fakultas Sastra UI tanggal 9 Desember 1995.
Seltmann, Friederich. 1975. Palang and Puja:67-78. Stuttgerd: Staatkiches Museum fur Volkenkunde.
Spradly, James P. 1972. “Foundation of Cultural Knowledge”, Cultural and Cognition. San Francisco:
Chandler.
Stutterheim, W.F. 1956. “An Ancient Indonesia Bhima Cult”, in Studies in Indonesian Archaeology:
120-125. The Hague: Martinus Nijhoff.
Sukendar, Haris. 1980. “Mencari Peninggalan Nenek Moyang Pendukung Tradisi Megalitik di Tanah
Bada (Sulawesi Tengah)”, Kalpataru.
Sumaryoto, Woro Aryandini. 1998. “Citra Bima dalam Karya Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Sejarah
Kebudayaan”, Ringkasan Disertasi. Jakarta: UI.
Suparlan, Parsudi. 1980/81. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi, ”Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Jilid X No. 1.
----------. 1981/82. “Struktur Sosial, Agama dan Upacara: Geertz, Hertz, Cunningham, Tunner dan
Levi-Strauss”, Ilmu Sosial Dasar I. Jakarta: Konsorsium Antar Bidang, Depdikbud.
Supomo, S. 1985. “Kama di dalam Kekawin”, Bahasa - Sastra - Budaya. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Alide. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Frans Magnis. 1993. Etika Jawa. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wirjosoeparto, Soetjipto. Sedjarah Seni Artja India. Djakarta/Jogjakarta: Kalimasodo.
Zoetmulder, P.J. 1995. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

44

Anda mungkin juga menyukai