Anda di halaman 1dari 6

Manusia mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan dan dapat dikatakan sebagai

makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan
nilai-nilai luhur sebagai hasil dari kehidupan manusia. Begitu eratnya hubungan manusia
dengan simbol-simbol, ia dapat dikatakan sebagai makhluk yang bersimbol. Manusia
berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis
inilah yang menggambarkan kehidupan, tingkah laku, perjalanan hidup, dan nilai-nilai
budaya yang dimiliki suatu masyarakat.

Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung. Mereka selalu
mendekati alam (dan isinya) melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol, makna dan
nilai.1. Seperti dikatakan Ernst Cassirer bahwa:

“Manusia dapat disebut sebagai hewan yang bersimbol (Animal Simbolicum). Manusia tidak
pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai
simbol”.2.
Masyarakat Dayak mengenal alam nyata dan hubungan dengan alam gaib melalui simbol-
simbol. Simbol tersebut merupakan ide-ide yang melambangkan maksud tertentu.3. Dalam
kehidupan masyarakat Dayak, simbol-simbol yang dikomunikasikan merupakan konsep
hubungan relegius antara manusi dengan Tuhan, manusia dengan alam gaib, manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam nyata (lingkungannya) yang kemudian ditranspormasikan
ke dalam musik yang mereka miliki. Apa yang digambarkan dapat dimengerti lewat musik
tersebut, sehingga musik itu dapat dipastikan mengandung simbol-simbol sebagai
pengejawantahan persepsi masyarakat tentang kehidupannya.

Musik dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa simbolik. Musik merupakan sebuah bentuk
yang bermakna (significant form). Makna tersebut adalah sesuatu yang diungkapkan melalui
simbol. Musik merupakan objek rasa dengan melalui kecemerlangan struktur dinamikanya
dapat mengungkapkan bentuk-bentuk pengalaman penting yang tidak dapat diungkapkan
oleh bahasa.4. Dengan demikian tidak dapat diragukan lagi, bahwa musik bersifat simbolik.5.
Melalui musik pula masyarakat Dayak memberikan pemaknaan tentang kebudayaannya yang
terangkum dalam ide musikal mengenai alam pikiran, alam budi, tata susila, termasuk pula
karya manusia.

Kebanyakan nilai kehidupan masyarakat Dayak dilambangkan dalam bentuk simbol,


sehingga apa yang diungkapkan melalui simbol dapat ditangkap oleh manusia lainnya,
kemudian dipelajari, dihayati maknanya, dan diterapkan dalam kehidupan. Contohnya seperti
simbol-simbol pada Pantak, tari, upacara, dan musik Dayak. Pantak dianggap sebagai
lambang penghormatan kepada nenek moyong yang telah berjasa dalam kehidupan. Musik
dianggap sebagai bahasa komunikasi simbol, sedangkan upacara dianggap sebagai wadah
sakral yang dapat menghubungkan dunia gaib dan hubungan manusia dengan Jubata. Oleh
karena itu musik dapat dianggap sebagai refleksi kehidupan sosial yang dijalani masyarakat
Dayak. Ia juga dianggap sebagai transpormasi nilai-nilai kehidupan yang tersimpul dalam
adat dan tradisi, lambang penghormatan kepada pada leluhur, dan hubungan manusia dengan
Sang Maha Pencipta.

Simbol-simbol dalam budaya masyarakat Dayak secara menyeluruh dapat dilihat dalam
setiap upacara ritual. Simbol itu dapat dibagi menjadi dua bagian: Simbol Material, yaitu
simbol-simbol yang melekat pada medium benda yang sifatnya yang dapat dilihat dan diraba
(peralatan atau alat peraga upacara), seperti sesaji dan perangkat upacara lainnya. Simbol
nonmaterial, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium yang tidak dapat dilihat dan
diraba, seperti musik.

Antara sesaji dan musik merupakan sesuatu yang harus ada dalam setiap upacara ritual.
Kedua medium ini tidak dapat dipisahkan, karena simbol material mengandung makna
penghormatan dan pengagungan, sedangkan simbol nonmaterial mengandung makna
komunikasi terhadap roh halus, roh para leluhur, dan Jubata. Seperti kata pepatah Nana’
musik Jubata bera, nana pajaji antu bera, artinya tidak ada musik (dalam upacara) Jubata
marah, tidak ada sesaji (dalam upacara) makhluk halus (hantu) marah.6. Hal ini berhubungan
dengan pernyataan Noerid Haloei Radam yang mengatakan bahwa:

“Upacara dan perlengkapan atau peralatan adalah dua unsur religi yang tidak bisa
dipisahkan. Keduanya amat berkaitan erat dalam pengertian yang satu memerlukan yang
lain. Dalam religi masyarakat bersahaja, suatu upacara tidak atau belum boleh
dilaksanakan bila peralatan yang harus menyertainya tidak atau belum lengkap.”.7.

Sifat-sifat religi masyarakat yang dapat digolongkan bersahaja sering dikatakan sintetik dan
relativistik. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman dualisme dan pluralisme yang
merupakan keutuhan, kebulatan, dan totalitas tunggal.8. Sistem kepercayaan seperti ini masih
terdapat pada mitos yang dianggap sebagai kitab suci orang Dayak, karena masyarakat
percaya bahwa mitos sebagai sumber lahirnya adat dan norma sosial. Mitos dikatakan sebagai
simbol yang mengandung penggambaran kehidupan nenek moyang yang diturunkan secara
turun-temurun dari generasi kegenerasi, oleh karena itu musik Dayak mempunyai kebulatan
makna menyeluruh dari adat istiadat dan hubungan religius dalam kehidupan yang dijalani
masyarakatnya. Keterkaitan kedua simbol material dan non material ini tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya merupakan kebulatan yang saling melengkapi dan memberikan
arti antara satu dengan lainnya.
Mengamati musik Dayak yang digunakan dalam upacara dan beberapa ritual, dapat
dikemukakan beberapa simbol. Simbol ini dapat terkait dengan penamaan beberapa jenis
irama musik yang dapat dilihat pada irama musik Dayak Kanayatn, seperti Bagu, Bawakng,
Jubata, dan lain-lain. Adapun simbol-simbol tersebut adalah sebagai berikut. (sebagai contoh
diambil irama musik Dayak Kanayatn, Kalimantan Barat)

1. Simbol Penyucian
Pembersihan diri biasanya dilakukan sebelum upacara maupun saat upacara berjalan.
Lambang penyucian ini terdapat dalam irama musik Bagu. Musik ini menggambarkan
penyucian manusia dengan air yang mengalir di sungai Bagu sebelum pamaliatn melakukan
perjalanan religius ke gunung Bawakng. Sesuatu yang disucikan adalah badan kasar dan
badan halus manusia, sesaji, tempat upacara, dan perlengkapan upacara. Kelima media yang
disucikan itu dianggap sebagai wilayah sakral pada alam manusia dan merupakan gerbang
untuk berhubungan dengan dunia gaib.

Pandangan masyarakat Dayak menyatakan bahwa sesuatu yang bukan dunia manusia belum
merupakan sebuah dunia. Sesuatu wilayah dapat dijadikan milik manusia hanya dengan
membuatnya baru kembali, yaitu dengan mentahbiskan atau mensucikannya.9. Melalui irama
musik Bagu sebagai lambang kesucian, mereka mentahbiskan wilayah sakral tersebut.

Secara harafiah air dianggap sebagai lambang kehidupan manusia yang dapat mensucikan.
Sama halnya dengan air yang digunakan untuk bersuci sebelum sholat oleh umat Islam, ia
merupakan simbol penyucian badan halus dan badan kasar sebelum menghadap kepada
Tuhan. Air juga merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar, baik
untuk dikonsumsi maupun untuk kepentingan lainnya. Oleh karena itu irama musik Bagu
diibaratkan sebagai air sungai yang dapat membersihkan dan sebagai sumber kehidupan baru
bagi orang yang diobati. Jika di India ada sungai Gangga, maka di masyarakat Dayak
Kanayatn ada sungai Bagu.

2. Simbol Perjalanan Religius


Perjalanan religius yang dimaksud adalah perjalanan menuju gunung Bawakng yang
merupakan suatu tempat asal mula nenek moyang suku Dayak Kanayatn. Tempat ini
dianggap keramat, karena dipercaya sebagai tempat Ne’ Baruakng Kulub turun ke bumi dan
menurunkan padi kepada manusia. Selanjutnya beliau mengajarkan Adat Nang Lima (adat
lima) kepada keturunannya. Daerah ini dipercaya pula sebagai tempat asal mula Baliatn
Tujuh.10. Simbol ini terdapat dalam irama musik Bawakng dan bila irama musik tersebut
mau ditabuh Pamaliatn (dukun) mengucap Ka’ Bawakng yang artinya menuju gunung
Bawakng.11.
3. Simbol Hubungan Religius (Komunikasi)
Religi dalam masyarakat Dayak mencakup pula tentang simbol-simbol yang menyatakan
hubungan mereka dengan Tuhan. Simbol-simbol itu berfungsi sebagai rujukan untuk
menjelaskan dan menata hubungan dengan dunia gaib yang sangat abstrak untuk dimengerti,
tentang ilah-ilah atau segala sesuatu yang dipandang tidak dapat dilukiskan. Oleh karena itu
mereka mengungkapkannya melalui benda-benda upacara, seperti sesaji, perlengkapan
upacara, dan musik yang dianggap sakral dan dapat menghubungkan para pemakainya
dengan kekuatan gaib yang samar tersebut. Melalui simbol-simbol itu manusia (orang Dayak)
dapat memanfaatkannya untuk mencapai tujuan hidup atau melindungi diri dari kekuatan
gaib tertentu yang dapat berpengaruh buruk dalam hidupnya. Seperti dikatakan J. Van Baal
bahwa:

“Religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sasaran tersebut manusia berkomunikasi
dengan jagad rayanya. Simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang
menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan dan
penguasaan diri. Bila tujuan (yakni objek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu
yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu digunakan
sebagai perisai yang melindungi”.12.

Umumnya benda-benda yang dipakai dalam upacara hanya memiliki makna khusus ketika
upacara itu berlangsung. Di luar peristiwa itu ia akan menjadi sesuatu hal yang biasa dan
kembali kepada maknanya yang intrinsik. Contohnya seperti ayam hitam dalam upacara
ritual. Ia dianggap sebagai makanan kesukaan roh-roh halus yang diundang, tetapi di luar
konteks itu ia hanya sebagai binatang piaraan. Begitu juga dengan musik dalam upacara
ritual, ia dianggap sakral dan mengandung kekuatan gaib. Bila musik itu dimainkan di luar
upacara atau dalam kesenian Jonggan, ia hanya sebagai sarana penghibur yang tidak
mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan gaib itulah yang mendorong manusia dapat
berkomunikasi dengan makhluk halus. Hubungan religius ini yang diaplikasikan pada irama
musik Dayak Kanayatn dalam bentuk simbol. Di situlah masyarakat menyampaikan segala
hajat melalui upacara, karena upacara merupakan kesatuan rangkaian berbagai bentuk dan
unsur komunikasi dengan ilah-ilah Hyang, roh alam, atau roh nenek moyang.13. Oleh karena
itu upacara dan musik merupakan simbol kesatuan dan kesucian yang diungkapkan melalui
berbagai bentuk komunikasi terhadap ilah-ilah tersebut.

4. Simbol Keagungan
Masyarakat Dayak menganggap Jubata mempunyai sifat Agung. Ia harus dipanggil atau
didatangkan dengan menggunakan irama musik yang indah untuk memujiNYA. Irama yang
menggabarkan tabuhan ini (dalam Tradisi Musik Dayak Kanayatn), seperti Jubata Manta
(sesaji dibersihkan dan didandani sebelum dipotong), Jubata Masak (sesaji dibersihkan
setelah dipotong), Jubata Babulakng (musik dan tarian untuk Jubata), dan Jubata Pulakng
(mengantar Jubata pulang dengan musik). Melalui beberapa irama musik tersebut, Tuhan
diagungkan dengan pemberian sesaji. Melalui musik itu pula Jubata sebagai penguasa
tertinggi dijunjung dangan segala kemegahan upacara untuk memohon segala restu dan
berkah dalam kehidupan.

5. Simbol Perjalanan ke Alam Gaib


Simbol ini mengandung makna perjalanan badan halus Pemaliatn ke alam gaib untuk
mengadakan hubungan dengan makhluk halus yang mengganggu manusia dan mengembara
mencari semangat orang yang diobati. Pengembaraan pencarian semangat ini dinamakan
Ngaranto’. Di sini tergambar adanya dua dunia sebagai wujud kesatuan, yaitu hadirnya dunia
gaib pada dunia manusia. Kehadiran itu melalui suatu jembatan yang dilambangkan dengan
irama musik Ngaranto.

Daya-daya magi yang terkandung dalam tari dan syair-syair lagu merupakan perwujudan
ruang dan waktu yang bersifat magis. Di situ digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan
sebagai kesatuan lingkaran, dimana dalam ritual yang dianggap sakral, pemimpin upacara
dipercaya dapat menyatu dengan kekuatan magis tersebut. Pada tahapan ini totalitas dunia
atas dan dunia manusia senantiasa diperlukan. Dunia atas adalah substansi tak berwujud,
abstrak dan tidak terindera, namun terasa kehadirannya. Epistemologi dunia atas bukan
empirik dan rasional, tetapi mistik dan berhubungan dengan batin. Ia ada di dunia manusia
tetapi tidak dikenal secara empirik keseharian dan di luar nalar akal manusia. Oleh karena itu,
pertanda kehadiran dunia atas di dunia manusia harus dikenal lewat simbol-simbol. Seperti
halnya dalam irama musik Dayak Kanayatn, dimana Dunia Atas dilambangkan dengan
Agukng. Dunia Tengah atau dunia manusia dilambangkan dengan Dau. Perpaduan keduanya
dilambangkan dengan “bunyi” sebagai simbol hubungan transenden dua dunia tersebut.

6. Simbol Penghormatan
Simbol penghormatan terdapat dalam irama musik Totokng yang dibawakan dalam upacara
Totokng, yaitu upacara pemberian makan (prosesi Ngantukng) Kepala Kayauan (kepala
manusia yang didapat dengan Mangayau).14. Di sini yang dihormati bukan orang yang
mengayau, tetapi roh orang yang kepalanya dikayau. Tujuannya adalah untuk Muakng
Sangar (membuang dosa) atau menghindari kutuk dari orang yang dikayau.

Musik dan semua tingkah laku dalam upacara Totokng merupakan simbol penghormatan
untuk roh orang yang diKayau. Hal ini karena segala sesuatu yang diekspresikan dalam
upacara bertujuan untuk penghormatan, sekaligus memohon keselamatan dan keberhasilan
hidup yang akan datang. Upacara ini merupakan refleksi pernyataan ketundukan manusia
kepada Tuhan yang menguasai kehidupan dan jagad raya, sehingga dalam upacara tersebut
terdapat dua tujuan, yaitu penghormatan kepada roh halus dan kepada Jubata yang
merupakan lambang kesatuan antara Dunia Atas (kepada Jubata), Dunia Bawah (kepada roh
kepala Kayauan), dan Dunia Tengah (manusia sebagai pelakunya).

7. Simbol Perdamaian
Arti perdamaian yang dikandung irama musik Dayak Kanayatn adalah lambang perdamaian
dengan makhluk halus, dimana makhluk tersebut sengaja didatangkan untuk dimintai
perdamaian agar tidak mengganggu manusia lagi. Perbedaan pendapat atau perselisihan dapat
saja terjadi tanpa disengaja. Apalagi terhadap makhluk halus yang tidak terlihat mata
telanjang. Masyarakat setempat percaya terkadang manusia mempunyai kesalahan karena
kelalaiannya sendiri, seperti jalan sembarangan tanpa permisi, sehingga merusak tempat atau
mainan makhluk halus dan kencing sembarangan yang dapat mengenai makhluk halus atau
rumah mereka. Inilah yang menjadi penyebab makhluk halus itu marah dan membuat
manusia sakit (balas dendam), sehingga kalau diobati makhluk halus tersebut harus dipanggil
dan diadakan perdamaian dengan cara memberi sesaji dan memainkan irama musik Dayak
Kanayatn.

Konon kabarnya jaman dahulu bila ada perdamaian antara dua suku yang bertikai, maka
harus diadakan upacara adat yang diiringi musik sambil dilakukan pembayaran denda adat.
Bila pertikaian kembali terjadi pada kedua suku yang bertikai tadi, maka musik ditabuh
kembali untuk mengingatkan perdamaian yang pernah dilakukan kedua suku tersebut.

8. Simbol Persatuan
Musik dapat dijadikan lambang persatuan masyarakat. Melalui musik orang dapat mengenali
tradisinya, karena ia mempunyai ciri-ciri sesuai dengan budaya yang melingkupinya. Begitu
pula musik Dayak, ia merupakan perwujudan budaya dan mengandung ciri budaya
masyarakat pemiliknya. Musik dianggap sebagai gambaran ruang dan wadah kreatifitas
masyarakat, serta gambaran ikatan kekeluargaan. Musik mengajarkan kepada mereka tentang
nenek moyang yang sama dan menganjurkan mereka bersatu dalam ikatan kekeluargaan.
Bukan saja pada manusia, melainkan juga dengan makhluk halus yang ada di dunia ini,
karena mereka mempunyai satu nenek moyang sama, hanya keturunannya saja yang berbeda.
Oleh karena itu setiap upacara, makhluk halus yang jahat pun mereka undang dan mereka
hormati, sebagaimana layaknya manusia. Sebagai contoh ketika irama musik Dayak
Kanayatn dimainkan, masyarakat akan merasa dalam suatu ikatan kekeluargaan. Rasa
kebersamaan ini berimbas pula pada pergaulan di luar masyarakat Dayak. Mereka
menganggap setiap orang harus dihormati, sampai kepada tradisi penyambutan tamu, dimana
setiap orang datang selalu di beri makan. Seperti kata pepatah “jangankan talino, asu atakng
kame mere’ makan” artinya “jangankan manusia, anjing datang kami beri makan”. Inilah
yang dilambangkan dalam irama musik Dayak Kanayatn.

Simbol persatuan itu sama halnya dengan bendera. Ia hanya kain berwarna merah dan putih,
namun ia mengandung simbol persatuan rakyat Indonesia. Seandainya kain merah dan putih
itu belum dirangkai menjadi satu, maka kain itu bukan sebagai simbol persatuan, melainkan
hanya kain biasa. Ketika dirangkai dan ditampilkan dalam bentuk bendera negara, barulah ia
diakui sebagai lambang persatuan. Begitu pula dengan instrumen, hanya merupakan benda
budaya biasa. Ketika instrumen itu dimainkan menjadi sebuah musik, barulah ia menjadi
sebuah musik yang mengandung simbol dan diakui sebagai milik bersama. Hal demikian
membuktikan bahwa musik tersebut merupakan sebuah simbol dan setelah ia diakui sebagai
milik bersama, secara otomatis ia menjadi sebuah lambang persatuan masyarakat pemilik
kesenian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai