Anda di halaman 1dari 12

Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.

28 Oktober 2017

WAWASAN BUDAYA ISLAM KUTAI


(Budaya Islam dalam Adat, Seni dan Sastra Masyarakat Kutai
dalam Tinjauan Etnografi-Deskriptif)

Oleh: Mubarak
Dosen Tetap Pada Fakultas Agama Islam UNIKARTA Tenggarong, Kalimantan Timur

Abstrak

Budaya Islam sebagai istilah yang banyak digunakan dalam akademi sekuler untuk
mendeskripsikan praktik budaya orang-orang Islam atau kaum Muslimin karena agama Islam yang
muncul pada abad ke-6 di Arab adalah bentuk awal dari budaya kaum Muslimin yang tidak lain
merupakan budaya Arab. Sedangkan dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam maka terjadi
interaksi yang intens antara kaum Muslimin dengan lingkungan masyarakatnya di mana kaum
Muslimin itu menetap. Suku Kutai sebagai sub kultur masyarakat di Indonesia, memiliki saluran-
saluran budaya berupa adat-istiadat, seni dan sastra. Jika saluran-saluran budaya lokal ini dikaji
melalui pendekatan budaya Islam maka akan melahirkan wajah budaya Islam lokal yaitu „Budaya
Islam Kutai‟. Oleh karenanya tulisan ini berupaya mengurai pandangan terkait Budaya Islam Kutai
sebagai wawasan khazanah Islam Nusantara. Kajian ini dapat dikategorikan sebagai kajian
etnografi-deskriptif dalam sudut pandang antropologi guna mendeskripsikan dan menganalisis
kebudayaan masyarakat yang diamati. Penelusuran terhadap saluran-saluran budaya lokal dalam
tulisan ini dimaksudkan untuk menemukan sudut pandang yang benar terkait Islam di dalam
interaksi budaya dan masyarakat setempat.

Kata Kunci: Islam, Wawasan Budaya, Budaya Islam Kutai

A. Pendahuluan Budaya Islam sebagai istilah yang


banyak digunakan dalam akademi sekuler
Islam adalah seperangkat ajaran yang
untuk mendeskripsikan praktik budaya orang-
bersumber dari Allah dan disampaikan oleh
Rasulullah kepada umatnya. Ajaran Islam orang Islam atau kaum Muslimin karena
disebarkan oleh penyeru agama Islam (baca: agama Islam yang muncul pada abad ke-6 di
da’i) ke berbagai penjuru dunia, ke berbagai Arab adalah bentuk awal dari budaya kaum
daerah, termasuk ke pelosok-pelosok Nusantara. Muslimin yang tidak lain merupakan budaya
Sebelum Islam datang, di masing-masing Arab. Sedangkan dengan berkembangnya
wilayah Nusantara telah berkembang budaya- kerajaan-kerajaan Islam maka terjadi interaksi
budaya lokal dengan beragam coraknya, dan yang intens antara kaum Muslimin dengan
setelah Islam datang, ajaran Islam banyak sekali lingkungan masyarakatnya di mana kaum
bersentuhan dengan budaya-budaya lokal Muslimin itu menetap. Sehingga muncullah
tersebut sehingga melahirkan wajah Islam lokal, istilah Budaya Islam Persia, Budaya Islam
yang jika didefinisikan maka akan melahirkan Turki, Budaya Islam Melayu, dan lain-lain.
seperangkat teks tertulis, maupun tradisi spiritual Lokalitas Islam seperti inilah yang dalam
yang tidak didapati di tanah kelahiran Islam itu konteks kebudayaan suatu masyarakat pada
sendiri (yakni: Jazirah Arabia). suatu wilayah, pada gilirannya akan

86
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

melahirkan suatu tradisi sosial yang mengakar atau dalil, sehingga hal inilah yang
secara turun temurun dari satu generasi kepada membuatnya dapat memprakirakan atau
generasi berikutnya, sebagaimana yang memprediksi dan menjelaskan. Oleh karena
nampak dalam tradisi Islam nusantara yang itu, para positivis menyatakan ilmu
telah dipraktikkan dan berkembang dalam pengetahuan itu harus bersifat empiris, yaitu
masyarakat Indonesia. dapat ditangkap oleh panca indera manusia,
(https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Islam) sehingga yang ada hanyalah regularity, karena
Suku Kutai sebagai sub kultur di balik itu adalah metafisika.
masyarakat di Indonesia, tentunya memiliki Adanya prediksi positif sebagai bagian
saluran-saluran budaya berupa adat-istiadat, dari keajegan merupakan bukti empiris. Jadi,
seni dan sastra. Jika saluran-saluran budaya ciri pokok dalam positivisme adalah: (1)
lokal ini dikaji melalui pendekatan budaya Gejala-gejala sosial-budaya tidak berbeda
Islam maka akan melahirkan wajah budaya dengan gejala alam; (2) Prosedur dalam ilmu
Islam lokal yaitu Budaya Islam Kutai. Oleh pengetahuan alam dapat ditiru atau diadopsi
karenanya maka tulisan ini berupaya mengurai untuk menjelaskan gejala-gejala sosial-
pandangan terkait Budaya Islam Kutai sebagai budaya; dan (3) Berusaha merumuskan
wawasan dan salah satu khazanah Islam lukisan-lukisan (law like generalization,
Nusantara. Hal ini dapat dipahami karena predictive explanatory) tentang gejala-gejala
Budaya Islam Kutai merupakan entitas khusus sosial-budaya, karena dalam gejala alam ada
dari Budaya Islam secara general, yang regularity. (http://nurcahyo-t-a-fisip.web.
menjadi ragam parsial sebagai hasil interaksi unair.ac.id/Kajian_Etnografi).
antara Islam dan lokalitasnya dalam tata Adapun dalam upaya untuk
berkehidupan di masyarakat Kutai. Di samping mengumpulkan data digunakan pendekatan
itu, penelusuran terhadap saluran-saluran heuristik yaitu metode pencarian sumber
budaya lokal dalam tulisan ini juga sejarah melalui pustaka sejarah atau data
dimaksudkan untuk menemukan sudut lapangan. Akan tetapi, disebabkan
pandang yang benar terkait Islam di dalam keterbatasan yang dimiliki maka pilihan
interaksi budaya dan masyarakat setempat. sumber sejarah yang digunakan hanya terbatas
Kajian yang dilakukan ini merupakan pada kepustakaan, dengan tetap
etnografi-deskriptif dalam sudut pandang merelevansikannya kepada aspek empirik
antropologi guna mendeskripsikan dan kebudayaan yang berkembang pada
menganalisis kebudayaan masyarakat yang masyarakat Kutai. Hal ini diharapkan mampu
diamati. Etnografi deskriptif adalah etnografi menemukan sudut pandang yang benar terkait
positivistik yang melandaskan ilmu Islam di dalam interaksi budaya dan
pengetahuan sebagai upaya memahami teori masyarakat setempat.
yang bersifat prediktif (diperkirakan) atau
eksplanatori (untuk memperoleh keterangan, B. Pengertian Wawasan dan Budaya
informasi, maupun data terhadap hal-hal yang
Istilah „wawasan‟ dapat didefinisikan
belum diketahui). Terkait hal ini para penganut
sebagai „cara pandangan; kemampuan daya
positivistik (positivis) membangun dan
berpikir‟ (Partanto dan Al Barry, 1994: 783).
menyusun teorinya dari pernyataan mengenai
Wawasan juga diartikan sebagai „hasil
hubungan-hubungan yang reguler (atau,
mewawas; tinjauan; pandangan; konsepsi; cara
keajegan; berulang kembali), yang ada dalam
pandang (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dunia eksternal, yang disebut dengan hukum

87
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

2016). Sedangkan istilah „budaya‟ secara pendayagunaan nalar dan kaitannya dalam
ringkas didefinisikan sebagai „segala sesuatu obyek ruang dan waktu sehingga menjadi
yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan dinamis karena mengakumulasi sepanjang
oleh manusia dalam masyarakat, serta waktu. Wawasan dan budaya juga berkaitan
termasuk pengakumulasian sejarah dari objek- satu dengan yang lainnya sebagai hasil
objek atau perbuatan yang dilakukan pemikiran berupa pengetahuan, kepercayaan,
sepanjang waktu‟ (Manahan P. Tampubolon, kesenian, nilai-nilai, dan moral yang kemudian
2004:184). Selain itu, budaya juga merupakan dilakukan dalam kehidupan, baik sebagai
manifestasi dari cara berpikir, sehingga pola individu maupun sebagai bagian dari
kebudayaan itu sangat luas, sebab mencakup masyarakat, di mana segala hasil pemikiran
semua tingkah laku dan perbuatan, serta tersebut didapatkan melalui interaksi manusia
tercakup pula di dalamnya perasaan, karena dengan manusia yang lain di dalam kehidupan
perasaan juga merupakan maksud dari pikiran bermasyarakat maupun interaksi manusia
(W. Supartono, 2004: 31). dengan alam.
Alquran memandang budaya sebagai
„al ‘urf‟ atau tradisi yang baik, sebagaimana C. Kebudayaan dan Lokalitas Islam

ۡ ۡ ََ ۡ ۡ َُۡ َ َۡۡ
Surat Al-A‟raf (7) ayat 199:
َ ۡ ُ ُ Kebudayaan adalah sebuah sistem nilai
‫خ ِذ ٱلعفو وأمر بِٱلعر ِف وأع ِرض ع ِن‬ yang dinamik dari elemen-elemen

َ َٰ َ ۡ pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan,


١٩٩ ‫ٱلج ِهلِني‬ keyakinan dan aturan-aturan
memperbolehkan anggota kelompok untuk
yang

Artinya: berhubungan dengan yang lain. Dalam tataran


“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang pemikiran evolusionistik kebudayaan
mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dimaknai dengan hasil olah akal, budi, cipta,
dari pada orang-orang yang bodoh”. rasa, karsa dan karya manusia yang tidak lepas
dari nilai-nilai ketuhanan. (Abd. Rahman
Pengertian „al ‘urf‟ sebagaimana Assegaf, 2005: 230).
dimaksud dalam Surat Al A‟raf (7) ayat 199, Kebudayaan mengandung tiga hal
dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islami (Wahbah utama: (1) Kebudayaan sebagai sistem budaya

َ‫اد بالْ ُع ْر ِف ِف اْآل َيَةِ ُهو‬ َ َ ُ ْ َّ َ ُ َ ْ َ


Mustafa al Zuhaili, 1986: 836) dikatakan: yang berisi gagasan, pikiran, konsep, nilai-

ِ ِ ‫والواق ِع أن المر‬
nilai, norma, pandangan, undang-undang dan

ْ ‫الل َغو ُّي َو ُه َو اْألَ ْم ُر ال ْ ُم ْس َت‬


sebagainya yang berbentuk abstrak, yang
ُ‫ح َسن‬ ُّ
‫َن‬َ ‫ال ْ َم ْع‬ dimiliki oleh pemangku ide; (2) Kebudayaan
ِ sebagai aktivitas para pelaku budaya seperti
ُ ْ
‫ال َم ْع ُر ْوف‬
tingkah laku berpola, upacara-upacara yang
wujudnya kongkrit dan dapat diamati yang
disebut sebagai sistem yang berwujud
Artinya: „kelakuan‟; serta, (3) Kebudayaan yang
“Yang realistis, maksud dari „urf dalam ayat di berwujud benda-benda, baik hasil karya
atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi manusia atau hasil tingkah lakunya yang
baik yang telah dikenal masyarakat”. berupa benda atau disebut „hasil karya
kelakuan‟. (Nur Syam, 2005: 14).
Menurut persepsi penulis wawasan dan
budaya memiliki keterkaitan dalam hal

88
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

Menurut Levi-Strauss (M. Munandar Terkait lokalitas Islam dalam budaya,


Soelaeman, 2008: 76) kebudayaan itu dapat diamati dalam sejarah di masa Nabi
terstruktur dalam pikiran manusia, sedangkan Muhammad SAW., di mana terdapat budaya
kesenian, ritual dan pola kehidupan sehari-hari yang ada di masa pra-Islam namun diadopsi
hanyalah lambang dari struktur proses dan dipraktikkan sendiri oleh Nabi
kognitifnya. Apa yang nampak hanyalah Muhammad SAW. Hal ini mengindikasikan
pernyataan dari keharusan yang ada di bahwa Islam lahir tidak dalam rangka
belakangnya, sebab yang menentukan adalah menghilangkan seluruh kebudayaan yang
keteraturan, dan yang menjadi soal ialah berkembang dan dijalankan oleh masyarakat
mengenali keteraturan itu. Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak
Kebudayaan merupakan fenomena menciptakan aturan-aturan yang melegalkan
yang berkembang. Hal ini berarti bahwa hukum adat masyarakat Arab sehingga
perkembangan kebudayaan dalam suatu memberi tempat bagi praktik hukum Adat di
masyarakat terjadi karena perkenalannya dalam sistem hukum Islam. Sebagai bukti dari
dengan kebudayaan lain atau akulturasi hal tersebut adalah adanya konsep “sunnah
kebudayaan. Proses-proses pergeseran budaya taqririyyah” Nabi Muhammad. Hal ini
terjadi melalui model: (1) Ethnocentric atau mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan
sikap eksklusif. Ini terjadi bilamana gesekan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum
budaya tersebut menimbulkan sikap curiga dan yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang
bahkan penolakan atas masuknya budaya asing hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
yang dianggap akan merusak atau ajaran fundamental Islam.
menghilangkan makna budaya setempat. Sikap Berkait pula dengan hal tersebut,
menutup diri ini bisa terjadi secara terus- kedatangan Islam di Nusantara dengan ajaran-
menerus sehingga dapat menimbulkan ajaran yang ada di dalamnya, dihadapkan pada
kurangnya respek terhadap budaya, ras, suku, realitas yang telah terbentuk bahkan mengakar
daerah, adat bahkan agama lain, karena secara kuat dalam sendi kehidupan
tumbuhnya sikap truth claim atas budayanya masyarakat, sehingga perlu adanya kearifan
sendiri seraya menolak budaya asing; (2) pemahaman yang bertumpu pada local wisdom
Melting-pot yakni peleburan budaya. Proses dengan cara menginterelasikan nilai-nilai
ini jelas menghilangkan budaya lokal maupun ajaran agama ke dalam budaya yang sudah
asing. Karena pertemuan antara keduanya berkembang. Sebab, menolak semua tradisi
membentuk kebudayaan baru yang berbeda yang sudah berlaku pada masyarakat pra Islam
dengan sebelumnya. Pergeseran budaya dalam di Nusantara ini adalah suatu kemustahilan.
bentuknya yang ekstrim ini terjadi disebabkan Begitupun sebaliknya, menerima semua tradisi
karena derasnya arus global yang didukung yang sudah berlaku dalam masyarakat tanpa
oleh media massa dan teknologi modern. seleksi adalah sebuah kesalahan. Islam lokal
Biasanya proses melting-pot ini sering kita mempunyai corak yang ditentukan oleh
saksikan dalam seni dan tradisi lokal; serta, (3) kondisi dan situasi tempat yang bersangkutan.
Pluralisme, yakni sikap kemajemukan atau Dengan demikian, dapat dijumpai Islam yang
menerima perbedaan budaya tanpa diwarnai oleh tradisi lokal, sehingga dapat
menghilangkan unsur khas dalam budaya dijumpai Islam yang bercorak Persia, Islam
asalnya. Jadi, agree in disagreement atau sikap yang bercorak India, Islam yang bercorak
saling menghargai budaya masing-masing. Amerika, bahkan dapat pula dijumpai Islam
(Khadduri Majid, 2002: 19).

89
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

yang bercorak Indonesia dan lain sebagainya. nampaknya masih berjalan lambat. Hal ini
(M. Darori Amin dkk, 2000: 110) terbukti dengan perubahan corak
pemerintahannya, dari era Kerajaan menuju
D. Sejarah Singkat Masuknya Islam di era Kesultanan, yang baru terjadi pada abad
Kutai ke-18. Sejak abad ke-18 inilah diyakini
kebudayaan Islam mulai melembaga secara
Secara ringkas dapat diceritakan bahwa struktural dan fungsional dalam Kerajaan
Islam masuk di Kerajaan Kutai Kartanegara Kutai Kartanegara (Syaukani HR, 2001:74-
sekitar Abad ke-16, meskipun kerajaan ini 76).
telah berdiri sejak abad ke-13 di daerah Jaitan Pelembagaan Islam secara struktural
Layar, atau saat ini wilayah Desa Kutai Lama dan fungsional ini tergambar dari aspek hukum
Kecamatan Anggana (Syaukani HR, 2001: 57 Kesultanan Kutai Kertanegara, yakni dengan
– 59). Eksistensi agama Islam di Kerajaan diterbitkannya Undang-Undang (UU) Panji
Kutai Kartanegara dimulai sejak kedatangan Selaten yang berlaku sebagai konstitusi
dua orang ulama asal Minangkabau, yaitu Kesultanan Kutai Kartanegara, yang terdiri
Datuk Ri Bandang dan Tuanku Tunggang dari 39 pasal, serta Beraja Nanti atau Beraja
Parangan pada akhir abad ke-16 dan Niti dengan jumlah pasal sebanyak 14 pasal.
mengislamkan Raja Mahkota (1545 – 1610 ), Kedua UU ini diterbitkan semasa
yaitu Raja ke-6 Kerajaan Kutai Kartanegara pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji
(Syaukani HR, 2001:66; Fred Wetik, 2004: Mandapa ing Martapura (1635-1650), dengan
30). Epik yang menceritakan kesaktian Raja menggunakan aksara Arab Melayu. Landasan
Mahkota hingga berkesadaran untuk memeluk penerapan kedua UU di atas diyakini karena
agama Islam diceritakan dalam Salasilah pengaruh ajaran Islam yang secara prinsip
Kutai karya D Adham atau nama lain dari Drs menganggap politik pemerintahan adalah
H Achmad Dahlan (1999: 26 – 34). bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Penyebaran agama Islam secara persoalan agama, karena dalam Pasal 1 UU
perlahan dilakukan oleh Raja Mahkota Panji Selaten disebutkan frasa mengenai
bersama anaknya yaitu Aji Dilanggar (1610 – sistem politik dan hukum kesultanan yang
1623) hingga meluas ke wilayah-wilayah “Bershara’ Islam dengan Alim Ulamanya”.
pedalaman pada awal abad ke-17 seiring Dengan demikian maka struktur kekuasaan
ditaklukkannya Kerajaan Kutai Martapura di Kesultanan Kutai Kartanegara saat itu pada
Muara Kaman yang beragama Hindu oleh Raja prinsipnya telah terbangun sistem tata
ke-8 Pangeran Sinum Panji Mendapa ing pemerintahan yang terstruktur sesuai dengan
Martapura (1635 – 1650) (Poesponegoro dan kebutuhan zamannya (Makmun Syar‟i, 2010:
Notosusanto, 1984: 25). Kondisi ini sekaligus 143).
menandai dimulainya fase baru Meskipun demikian, sejak era
penyebarluasan agama Islam di wilayah- kesultanan ini pula lambat laun penggunaan
wilayah pedalaman yang menjadi protektorat kata „Ing Martapura, yang tercantum pada
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martapura nama kerajaan maupun nama-nama para raja
(Achmad Dahlan, 1999:13 dan 247). Sejak itu, yang berkuasa di Kesultanan Kutai
upaya penyebarluasan agama Islam telah Kartanegara tidak berlaku lagi secara efektif
berkembang dengan pesat di wilayah-wilayah (Achmad Dahlan, 1999: 14).Raja Kutai
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martapura, Kartanegara terakhir yang menggunakan gelar
meskipun proses akulturasi kebudayaan Islam „ing Martapura‟ adalah Raja Kutai

90
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

Kartanegara ke-13 yaitu Aji Pangeran Anum Suku ini mempunyai bahasa daerah sendiri
Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732), yaitu bahasa Kutai. Suku Kutai ini umumnya
sedangkan Raja berikutnya yang pertama kali memeluk agama Islam. Mereka sangat patuh
bergelar Sultan adalah Raja Kutai ke-14 yaitu dan fanatik dengan ajaran-ajaran agama.
Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1778). Terhadap orang yang ingkar ajaran serta
(Achmad Dahlan, 1999:247) hukum-hukum agama Islam besar
kemungkinan akan dipencilkan dari pergaulan,
E. Budaya Islam dalam Adat, Seni dan dan tidak membenarkan salah seorang
Sastra Masyarakat Kutai keluarganya keluar dari penganut agama Islam
(Zailani Idris, 1999: 38, 39, 44). Adapun Suku
Masyarakat Kutai itu terbagi ke dalam Kutai Keraton yaitu kalangan bangsawan
tiga sub kultur, yakni: Dayak, Kutai Pesisir Kutai Kartanegara. Adat istiadat Kutai Keraton
dan Kutai Keraton (Zailani Idris, 1999:8). ini awalnya adalah kebiasaan yang kemudian
Budaya Islam dalam masyarakat Kutai menjadi tradisi dan melembaga di kalangan
diidentifikasi berlaku setelah Islam menjadi bangsawan Kutai Kartanegara. Orang-orang
agama di masyarakat Kutai. Manifestasi Islam Kutai Keraton Kartanegara semuanya
dalam budaya Kutai merupakan obyek yang memeluk agama Islam. (Zailani Idris,
dapat diamati dan dilacak. Budaya Islam 1999:45-47 dan 50)
dalam masyarakat Kutai diidentifikasi berlaku Adat istiadat yang dilakukan oleh Suku
setelah Islam menjadi agama masyarakat Suku Kutai Pesisir dan Suku Kutai Keraton Kutai di
Kutai. Dalam referensi Zailani Idris (199:38- antaranya pada adat perkawinan, upacara
45) terkait Suku Kutai beragama Islam ini melahirkan, dan upacara kematian. Pada adat
diketahui bahwa masyarakat Kutai yang istiadat Suku Kutai Pesisir sangat lekat dengan
beragama Islam didominasi oleh masyarakat unsur Islam sehingga terjadi akulturasi budaya
Kutai dari Suku Pesisir dan Suku Kutai dalam ritual keagamaan. Zailani Idris (1999:
Keraton. Identifikasi antara Suku Pesisir dan 40 – 41) mengidentifikasi berbagai budaya
Suku Kutai Keraton di Kabupaten Kutai ini Islami dalam upacara Suku Kutai, yaitu dalam
untuk membedakan penggolongan dan tata adat perkawinan dikenal istilah bedatang,
cara kehidupan sosial budayanya serta bentuk sorong tanda, sumahan, behatam atau
keseniannya. betemat. Untuk kesenian yang mengiringi
Suku Kutai Pesisir adalah penduduk pelaksanaan adat perkawinan adalah kesenian
yang mendiami sepanjang pantai dan sungai hadrah/rebana yang berisikan pujian kepada
Mahakam di daerah Kabupaten Kutai, Rasulullah disertai dengan tepuk reban, gerak
umumnya pendatang baru dari berbagai daerah tari melambai-lambaikan bendera kecil
di luar pulau Kalimantan untuk mencari beraneka warna. Selain itu, malam harinya
kehidupan baru. Suku Pesisir yang ada digelar kembali kesenian tingkilan, tarian
sekarang sebagai satu himpunan suku yang jepen, besyaer dan lain sebagianya. Dalam
baru tetapi merupakan suku-suku yang upacara kelahiran dilaksanakan upacara naik
mendiami daerah Kutai. Selain suku ayun yang diiringi pembacaan Diba’ atau
pendatang, Suku Kutai Pesisir juga terdapat Berjanji yang menceritakan tentang kelahiran
suku Kutai asli yang diduga keturunan Melayu Nabi Muhammad dalam Bahasa Arab, serta
(Sumatera Timur) yang kemudian menetap tepong tawar dengan memercikan air
dan berketurunan dengan penduduk asli kembang. Sedangkan dalam upacara kematian
Kalimantan di bagian Timur (daerah Kutai). dilakukan upacara 3 hari, 7 hari, 25 hari, 40

91
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

hari dan 100 hari dengan melakukan diketengahkan ialah upacara adat dan ritual
pembacaan do‟a di rumah orang yang keagamaan Islam yang dilakukan oleh Suku
mengalami kematian. Kutai Pesisir dan Suku Kutai Keraton di
Selain aspek budaya di atas Zailani antaranya pada adat perkawinan, upacara
Idris (1999: 51 – 56) mengidentifikasi aspek melahirkan, dan upacara kematian.
kesenian dalam budaya masyarakat Kutai Budaya Islam dalam upacara Suku
antara lain seni rupa, seni tari dan teater, serta Kutai Pesisir dan Suku Kutai Keraton
seni musik berdasarkan klasifikasi masyarakat Kartanegara menurut Zailani Idris (1999: 40 -
suku-suku pedalaman, suku-suku pesisir dan 41), antara lain:
Kutai Keraton Kartanegara. Namun dalam
pendekatan budaya Islam masyarakat Kutai ini a. Adat perkawinan.
aspek kesenian perlu disaring ke dalam wujud
Di dalam adat perkawinan ini dikenal
kesenian Islam yang berkembang di
beberapa istilah bedatang, sorong tanda,
masyarakat Kutai. Berikutnya akan dipaparkan
sumahan, betimung,behatam atau betemat
beberapa gambaran mengenai saluran-saluran
serta naik mentuha. Bedatang ialah acara
budaya Kutai yang lekat dengan corak Islam,
pemberian tanda ikatan pihak keluarga
baik dari aspek adat-istiadat, seni dan sastra, di
pemuda kepada pihak keluarga gadis untuk
mana antara satu dengan yang lain memiliki
melamar si gadis. Sorong Tanda ialah waktu
kaitan sebagai sebuah kesatuan budaya Kutai.
yang ditentukan oleh kedua belah pihak yang
akan melakukan perkawinan untuk mengantar
1. Aspek Adat (Upacara dan Ritual
atau menyerahkan tanda ikatan atas
Keagamaan)
persetujuan pernikahan berupa kelengkapan
Aspek adat istiadat (berupa upacara peralatan pernikahan bagi si gadis. Biasanya
dan ritual keagamaan) yang berkembang dalam acara sorong tanda ini ditetapkan
dalam masyarakat Kutai jika dihubungkan sumahan. Sumahan ialah waktu penyerahan
dengan Islam tentunya hanya terbatas pada mas kawin kepada pihak si gadis dan
upacara adat dan ritual keagamaan yang besarannya untuk membantu biaya resepsi
bernuansa Islami. Meskipun upacara adat dan pernikahan yang biasanya dipusatkan di rumah
kegiatan keagamaan masyarakat Kutai sangat si gadis.
beragam namun diakui memiliki nuansa Hindu Sebelum pernikahan dilangsungkan
serta Animisme dan Dinamisme. pada masyarakat Kutai dikenal istilah
Upacara adat dan ritual keagamaan betimung. Betimung ialah mandi uap dengan
bernuansa Hindu serta Animisme dan wangi-wangian dari daun Serai, Pandan, Jahe,
Dinamisme itu terdapat pada sebagian upacara Bunga Melur, Mawar, Sedap Malam dan lain-
adat Suku Kutai Keraton namun pada aspek lain yang wangi baunya dengan maksud ketika
keagamaannya terdapat ritual yang bernuansa bersanding tidak banyak mengeluarkan
Islam, sedangkan pada masyarakat Kutai Suku keringat yang mengakibatkan kelelahan.
Pedalaman, antara lain: Kenyah, Bahau, Pada ritual Islamnya dalam adat
Modang, Benua‟, dan Tunjung, pada upacara perkawinan masyarakat Kutai dilaksanakan
adat dan ritual keagamaannya yang cenderung acara behatam atau betemat. Acara Behatam
ke arah Anismisme dan Dinamisme. Oleh atau Betemat ini dilakukan dengan membaca
karenanya maka budaya Islam dalam adat Kitab Suci Alqur‟an oleh 4 atau 5 orang
istiadat masyarakat Kutai yang perlu sekaligus bagi undangan atau pihak keluarga

92
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

mempelai yang sudah pernah menamatkan bayi yang dilakukan pada beberapa tempat si
bacaan Alqur‟annya. Sedangkan upacara naik bayi, biasanya di ubun-ubun kepalanya, serta
mentuha dilakukan oleh kedua mempelai pada ke dua belah tangan dan kakinya.
hari ketiga setelah perkawinan dengan Selain upacara tersebut dalam upacara
mengunjungi orangtua kedua mempelai dan kelahiran, masyarakat Kutai juga melakukan
bersujud, karena pada tiga hari setelah acara Mandi-mandi dan Tijak tanah. Acara
perkawinan tersebut kedua mempelai betuhing mandi-mandi dilakukan sebelum kelahiran
dan dilarang menginjakkan kaki di tanah. pada saat usia tujuh bulan usia kehamilan si
Untuk kesenian yang mengiringi ibu. Mandi-mandi dilakukan pada pagi atau
pelaksanaan adat perkawinan adalah kesenian sore dengan menghadap ke arah matahari
hadrah/rebana, tingkilan, tarian jepen, besyaer terbit dan diringi dengan do‟a-do‟a, kemudian
dan lain sebagianya, yang akan dijelaskan disiram dengan air bunga-bunga yang wangi.
pada aspek Seni masyarakat Kutai. Sedangkan acara tijak tanah bagi suku Kutai
Keraton, atau turun tanah oleh suku Kutai
b. Upacara kelahiran. Pesisir, dilakukan dengan mendirikan bayi di
tanah seraya menginjakkan kakinya sebanyak
Dalam upacara kelahiran dilaksanakan
tiga kali diatas tanah. Bagi suku Kutai Keraton
upacara naik ayun yang diiringi pembacaan
upacara tijak tanah dilakukan di atas kepala
Diba’ atau Berjanji serta tepong tawar.
orang hidup atau kepala kerbau hidup atau
Upacara naik ayun ialah upacara yang
yang sudah mati berdasarkan legenda Kutai.
dilakukan pada bayi yang telah berusia 9
bulan, yang dilakukan untuk memotong
c. Upacara kematian.
rambut bayi, dan jika bayi tersebut perempuan
sekaligus untuk melobangi daun telinga bayi. Dalam upacara kematian pada
Upacara ini biasanya dirangkai dengan masyarakat Kutai dikenal upacara 3 hari, 7
memberi nama atau Tasmiyah dalam ajaran hari, 25 hari, 40 hari dan 100 hari, dengan
Islam. Pelaksanaan upacara naik ayun ini melakukan pembacaan do‟a di rumah orang
dapat malam atau siang hari dengan yang mengalami kematian. Upacara tersebut
mengundang sanak-family dan orang-orang oleh masyarakat Kutai disebut dengan istilah
kampung, dengan memasukkan si bayi ke meniga hari, menujuh hari, menyelawi,
dalam ayunan yang tersedia. meempatpuluh hari dan nyeratus hari.
Disaat yang sama dilakukan Pada saat kematian ini, masyarakat
pembacaan Diba’ atau Barjanji berupa cerita Kutai bergotong-royong membantu pihak
tentang kelahiran Rasulullah SAW dalam keluarga yang mengalami kematian. Bagi
bahasa Arab. Si bayi diangkat dan diletakkan kaum muda dengan menggali lubang kubur,
berulang kali di ayunan (yang telah dirangkai membuat batur atau nisan, mengusung mayat
dengan buku Yasin atau Alqur‟an kecil di tali ke pemakaman, sedangkan orang-orang tua
ayunan, serta di bawahnya terdapat benda besi hanya membantu membersihkan si mayyit,
berupa gunting, pisau atau sejenisnya) oleh mengafani dan menyembahyangkan.
orang-orang tua dari orang tua si bayi, sesepuh Selanjutnya, budaya Suku Kutai
kampung atau ulama, tidak ketinggalan Keraton Kartanegara pada ragam upacara dan
dilakukan tepong tawar. Tepong tawar sebagai ritual keagamaan masyarakat Kutai sebagai
bagian dari upacara naik ayun dilakukan cagar budaya meskipun terdapat corak yang
dengan memercikan air kembang kepada si berbeda dalam perspektif budaya Islam,

93
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

namun patut diperhatikan kelestariannya Melayu/Islam dan sangat populer di kalangan


dengan mengetengahkan tema tersendiri, di rakyat yang menetap di pesisir sepanjang
luar dari bahan ini. Sungai Mahakam. Tari Jepen memiliki
persamaan dengan Japin dari Kalimantan
2. Aspek Seni (Tarian dan Musik) Selatan atau Zapen dari Riau atau Sumatera
Timur. Tari Jepen diiringi musik Tingkilan
Seni berupa tari-tarian, musik, seni
sehingga membuat orang menjadi asyik.
rupa dan ornamen-ornamen pada benda pada
Penampilan tari Jepen biasanya dijumpai pada
masyarakat Kutai banyak sekali ragamnya.
acara pesta, perkawinan, khitanan, upacara
Akan tetapi, untuk menyaring aspek seni ke
kelahiran atau peringatan hari-hari besar. Tari
dalam wujud kesenian Islam maka dibutuhkan
Jepen ini biasa dilakukan berpasangan atau
pengecualian terhadap aspek seni masyarakat
sendirian. Gerak terpenting pada Jepen adalah
Kutai yang beragam coraknya tersebut.
pada step kaki dalam semua variasi geraknya.
Zailani Idris (1999: 54 – 56) mengiden-
(Zailani Idris, 1999:93-94)
tifikasi corak budaya Islam pada aspek
Mengiringi tarian Jepen, musik
kesenian masyarakat Kutai hanya terdapat
Tingkilan sangat digemari masyarakat Kutai.
pada suku Kutai Pesisir, meskipun suku Kutai
Musik Tingkilan ini diiringi dengan nyanyian
Keraton Kartenagara turut melaksanakannya,
yang disebut betingkilan. Arti tingkilan di sini
disebabkan agama Islam yang dianut.
disebut dengan tingkah. Betingkilan berarti
Beberapa kesenian bercorak Islam tersebut
bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan.
sangat populer di kalangan rakyat awam,
Penyanyi Tingkilan biasanya dua orang yaitu
seperti kesenian Hadrah, tari Jepen, serta
pria dan wanita. Isinya berupa pantun nasehat-
musik Tingkilan.
nasehat, percintaan, sindiran-sindiran humoris,
Hadrah bagi masyarakat Kutai Pesisir
atau saling memuji. Instrumen musik
adalah kesenian yang paling populer biasanya
Tingkilan berasal dari bunyi alat musik
mengiringi pembacaan Maulid Nabi
gambus (gitar berdawai enam), ketipung
Muhammad SAW dengan Kitab Barjanji.
(semacam gendang kecil yang tertutup kulit
Kesenian Hadrah dilaksanakan pada acara
salah satu penampangnya), dan kadang kala
perkawinan, kelahiran dan khitanan. Musik
ditambah alat musik biola. (Zailani Idris, 1999:
Hadrah menggunakan alat berupa rebana atau
93)
terbang. Kelompok kesenian Hadrah ini dibagi
ke dalam dua kelompok, kelompok penabuh
3. Aspek Sastra (Karya Sastra Bernilai
terbang dan kelompok pengiring yang
Sejarah)
melantunkan syair Barjanji. Kelompok
pengiring ini biasanya mengibas-ngibaskan Aspek Sastra berupa ragam hasil karya
bendera kecil berbentuk persegi tiga ketika sastra dan peninggalan benda bernilai sejarah
melantunkan syair ke arah samping kiri ke dalam masyarakat Kutai secara umum dapat
kanan, ke muka dan ke belakang. Biasanya dilihat di Museum Negeri Provinsi Kalimantan
satu group Hadrah ini sampai berjumlah 50 Timur “Mulawarman” yang beralamat di Jalan
orang. (Zailani Idris, 1999: 95). Diponegoro Nomor 26 Tenggarong Kabupaten
Selain Hadrah, tarian Jepen merupakan Kutai Kartanegara. Di museum ini banyak
kesenian yang berkembang pada masyarakat sekali peninggalan bersejarah Kerajaan Kutai
Kutai. Jepen merupakan komposisi tari yang Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara.
banyak mendapat pengaruh kebudayaan

94
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

Menurut sejarahnya, untuk memelihara menghapal, maka mereka menggunakan


dan melestarikan benda peninggalan Kerajaan bentuk tertulis (naskah). Dengan demikian
Kutai Kartanegara maka Istana Kutai maka pada masa sekarang ini orang yang
Kartanegara dioveralihkan kepada Pemerintah beterasul diistilahkan dengan membaca terasul
Daerah Tingkat II Kutai saat itu, tepatnya pada atau pembacaan terasul. Contoh Tarsulan
tanggal 25 November 1971. Diresmikan pula Berkhatam/Betamat. Alquran. (http://senibuda
Taman Puskora (Pusat Kesenian dan yakutai.blogspot.co.id/2011_11_01_archive.ht
Olahraga) sebagai salah satu obyek wisata ml), yaitu:
yang berkedudukan di Tenggarong.
Penyerahan Istana Kutai Kartanegara dan Assalamu’alaikum saya ucapkan
peresmian Taman Puskora ini disaksikan oleh Kepada hadirin hadirat sekalian
Pangdam IX Mulawarman. Pada tanggal 18 Inilah tarsul saya bacakan
Februari 1976 Museum Kutai diserahkan Siapa sudi tulung dengarkan
kepada Depdikbud oleh Gubernur Kalimantan Ada suatu kayon namanya
Timur Brigjen Abd. Wahab Syahrani yang Di atas nasi ditajukannya
diterima oleh Dirjen Kebudayaan Prof. Ida Seekor burung dari puncaknya
Bagus Mantra. Menanggung tarsul dengan pantunnya
Pada 1979 Museum Kutai berganti Betamat Quran tamat bacaan
nama menjadi Museum Provinsi Kalimantan Dengan anugerah karunia Tuhan
Timur Mulawarman. Sejak itu menjadi Unit Ajaran agama jangan ditinggalkan
Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Di akhirat nanti kita dapatkan
Kebudayaan. Pada 2001 museum ini berada di Membaca Quran besar pahalanya
bawah Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Kepada pendengar rahmat baginya
Timur. Koleksi museum ini terdiri atas koleksi Jika mengaku akan hambanya
geologi, biologi, etnografi, arkeologi, filologi, Di sisi Tuhan akan tempatnya
keramik, seni rupa, dan teknologi. (Zailani
Idris, 1999: 60). Selain itu, dalam sastra masyarakat
Sastra pada masyarakat Kutai yang Kutai budaya Islam dalam bentuk dokumen
populer adalah kesenian Tarsul. Tarsul adalah perundang-undangan adalah Panji Selaten
salah satu kesenian yang populer di sebagai konstitusi Kerajaan Kutai, dan Beraja
masyarakat Kutai, yang merupakan seni Niti sebagai undang-undang terapan.
tuturan. Menurut sejarahnya, bersama Sedangkan dokumen Salasilah Kutai
masuknya agama Islam masuk pula seni menceritakan legenda masyarakat Kutai
sastranya yang di antaranya berbentuk syair. tentang Raja yang pertama dan beberapa
Dari bentuk syair inilah yang menimbulkan keturunan yang memerintah di Kerajaan Kutai
keinginan bangsawan Kutai untuk Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara.
menciptakan seni sastra yang dikaitkan dengan
adat budaya suku Kutai tersebut. Maka sesuai F. Penutup
nafas Islamnya lahirlah Tarsulan Bekhatam/
Budaya Islam sebagai salah satu ciri
Tarsulan Betamat Al Quran dan dilanjutkan
khas kebudayaan masyarakat Kutai yang
dengan Tarsulan Perkawinan. Dulunya
beragama Islam, harus tetap dilestarikan.
Tarsulan disampaikan oleh Penerasul dengan
Sebab, selain turut melestarikan budaya Islam
cara menghapal, tetapi dalam perkembangan-
Kutai di tengah-tengah masyarakat juga turut
nya karena Penerasul merasa sulit untuk

95
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

berkhidmat mempertahankan keberadaan DAFTAR PUSTAKA


agama Islam di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karenanya, seiring perkembangan umat
Islam yang dominan di Kabupaten Kutai Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam
Kartanegara sebagai salah satu wilayah dari Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media,
Kerajaan Kutai Kartanegara yang luas maka 2005.
mengetengahkan nilai-nilai kebudayaan Islam
di antara masyarakat Islam yang semakin Achmad Dahlan, Salasilah Kutai, Tenggarong:
majemuk tersebut dipandang perlu dan Bagian Humas Setwilda Tk. II Kutai,
penting. Perlu karena Islam telah mengakar 1999.
dalam sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara,
dan penting agar nilai-nilai Islam yang dinamis --------------, Pertumbuhan Kerajaan-Kerajaan
dalam perkembangan Kerajaan Kutai di Sepanjang Aliran Sungai Mahakam:
Kartanegara tidak surut seiring Gelora Mahakam dalam Cuplikan
delegitimasinya wewenang Kerajaan Kutai Tulisan. Tenggarong: Bagian Humas
Kartanegara oleh pemerintahan resmi negara. Setwilda Tk. II Kutai, 1999.

Blog Seni Budaya Kutai (http://senibudaya


kutai.blogspot.co.id/2011_11_01_
archive.html), 2011.

Khadduri Majid, Perang dan Damai dalam


Hukum Islam. Diterjemahkan oleh
Kuswanto. Yogyakarta: Tawang Press,
2002.

Makmun Syar‟I, Undang-Undang Panji


Selaten dan Beraja Niti tentang Hukum
Islam di Kesultanan Kutai Kertanegara,
dalam Jurnal Islamica Vol. 5, No. 1,
September, Surabaya: Pascasarjana UIN
Sunan Ampel, 2010.

Manahan P Tampubolon, Prilaku Keorganisa-


sian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho


Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia III, Cetakan kelima, Jakarta:
PN. Balai Pustaka, 1984.

M. DaroriAmin dkk., Islam dan Kebudayaan


Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2000.

96
Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan Volume 15 No.28 Oktober 2017

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar:


Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Cetakan
ketigabelas, Bandung: PT. Rafika
Aditama 2008.

Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS


Pelangi Aksara, 2005.

Syaukani HR, Membangun Kembali


Kebanggaan Budaya Keraton Kutai
Kartanegara, Cetakan pertama.
Tenggarong: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Kutai Kartanegara, 2001.

Fred Wetik, Menyibak Sejarah Bumi Kutai


Kalimantan Timur, Cetakan pertama.
Tenggarong: Kisik Art Studi Club dan
Yayasan Lanjong, 2004.

Wahbah Mustafa al Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-


Islami, Juz II. Lebanon: Dar al Fikr,
1986.

W. Supartono, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 2004.

Zailani Idris, Kutai: Obyek Perkembangan


Kesenian Tradisional di Kalimantan
Timur, Tenggarong: Bagian Humas
Setwilda Tk. II Kutai, 1999.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi V.


Aplikasi Android Versi 15 Beta, Jakarta:
Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 2016.

Web Dosen Unair (http://nurcahyo-t-a-fisip.


web.unair.ac.id/Kajian_Etnografi)

Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/
Budaya_Islam).

97

Anda mungkin juga menyukai