Dosen Pengampu:
Oleh :
KELAS A
2020
LATAR BELAKANG
Patung Garuda Wisnu yang merupakan salah satu patung terbesar di dunia
menjadi salah satu patung yang paling iconic di pulau yang mendapat julukan
“Pulau Seribu Pura”, yaitu Pulau Bali. Patung yang memiliki tinggi lebih dari 120
meter ini menggambarkan Dewa Wisnu yang sedang mengendarai Garuda,
dimana dalam mitologi Hindu, Dewa Wisnu dipandang sebagai pelindung alam
semesta. Sedangkan Garuda yang berwujud elang perkasa melambangkan
kesetiaan dan pengabdian yang tanpa pamrih. Kencana artinya emas dan keduanya
dihiasi oleh mahkota mozaik emas. Garuda juga merupakan lambang nasional
Indonesia dan melambangkan kemerdekaan.
Patung ini berada dalam area Taman Wisata Garuda Wisnu Kencana yang
berlokasi di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
Patung ini juga menjadi fitur sentral GWK yang menakjubkan, sehingga taman
budaya seluas 60 hektar ini dapat menarik wisatawan, mulai dari wisatawan lokal
sampai wisatawan dari seluruh belahan dunia lainnya. Taman Budaya Garuda
Wisnu Kencana memberikan gambaran yang sangat menarik mengenai warisan-
warisan budaya Bali melalui pertunjukan budaya, cerita rakyat legendaris, patung
besar, dan presentasi sinematik yang dramatis.
Setelah pembangunan patung ini selesai, diharapkan monumen raksasa ini
akan ikut bergabung dalam jajaran landmark pulau itu. Terlebih lagi, Pulau Bali
juga menjadi salah satu destinasi wisata impian bagi para wisatawan dunia.
Nyoman Nuarta memaparkan pernyataannya kepada Australian Broadcasting
Corporation bahwa Pulau Bali merupakan pulau yang tumbuh subur dari
pariwisata dan budayanya, sehingga mereka memiliki tiga tanggung jawab yaitu
melestarikan budaya, mengembangkannya, dan menemukan budaya alternatif
baru.
RUMUSAN MASALAH
TINJAUAN PUSTAKA
KAJIAN TEORITIK
Institute of Tourism (yang kemudian menjadi Tourism Society)
menyatakan bahwa pariwisata adalah perpindahan sementara orang dalam
jangka pendek ke tujuan di luar tempat mereka biasanya tinggal dan
bekerja. Oleh karena itu, pariwisata mencakup pergerakan orang untuk
semua tujuan, termasuk kunjungan harian atau tamasya (Cooper, 2008;
Holloway & Taylor, 2006). Pada tahun 1991, Organisasi Pariwisata Dunia
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa "Pariwisata terdiri dari
aktivitas orang-orang yang bepergian ke dan tinggal di tempat-tempat di
luar lingkungan biasanya selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turut
untuk liburan, bisnis, atau tujuan lain".
Dampak sosiokultural mengacu pada cara di mana pariwisata
mengubah nilai komunitas dan individu, perilaku, struktur komunitas,
gaya hidup dan kualitas hidup secara keseluruhan; dalam kaitannya dengan
tujuan dan pengunjung (Hall, 2007; Murphy, 1985, sebagaimana dikutip
dalam Brunt & Courtney, 1999). Dampak sosiokultural pariwisata telah
didefinisikan oleh Pizam dan Milman (1986, h. 29) sebagai “cara di mana
pariwisata berkontribusi pada perubahan dalam sistem nilai, perilaku
individu, hubungan keluarga, gaya hidup kolektif, perilaku moral, ekspresi
kreatif , upacara adat dan organisasi masyarakat".
Sebagaimana dikemukakan di atas, pariwisata merupakan
hubungan sementara antara penduduk lokal dan wisatawan. Oleh karena
itu, selama tinggal, beberapa dampak sosial budaya terungkap sebagai
hasil dari interaksi ini di masyarakat tuan rumah, termasuk perubahan
sistem nilai, perilaku individu, hubungan keluarga, gaya hidup kolektif,
upacara adat atau organisasi kemasyarakatan (Milman & Pizam, 1988).
Studi yang dilakukan tentang dampak sosial budaya pariwisata secara
bertahap meningkat. Ini dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok
utama: interaksi dan hubungan tuan rumah-tamu, dampak sosiokultural
pariwisata secara umum, dampak sosiokultural seperti yang dirasakan oleh
penduduk lokal, dan tanggapan terhadap dampak pariwisata dan strategi
penyesuaian (Gjerald, 2005).
Pada kawasan wisata yang padat dan masyarakatnya berhubungan
secara intensif dengan pariwisata (wisatawan), akan terjadi gejala
touristifikasi, dimana pariwisata bukan lagi merupakan sesuatu yang ada di
luar sana, melainkan sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat (Picard 1996; Pitana 1999). Kalangan yang
pisimistis menyatakan bahwa pariwisata (touristifikasi) menyebabkan
adanya proses disorganisasi sosial, baik di tingkat keluarga maupun
komunitas, yang pada gilirannya akan mengubah inti kebudayaan lokal
(Bagus 1975). Menurut Naaya Sujana (1990) kebudayaan lokal akan
berangsur-angsur menjadi cair dan kemudian hanyut ke lautan budaya
dunia yang semakin kuat dalam lalu lintas pariwisata. Kebudayaan Bali
telah mengalami erosi yang ditandai dengan : 1) munculnya efek
demonstrasi yang meliputi kecenderungan penduduk lokal untuk meniru
gaya hidup wisatawan, semakin tingginya tingkat toleransi masyarakat
terhadap perilaku menyimpang; 2) terjadinya komuditasi terhadap
kebudayaan 3) terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian 4) terjadinya
profanisasi kesenian sakral, kegiatan ritual dan tempat suci dan 5) semakin
kecilnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap identitas kebaliannya
( Picard 1990, Wood 1979).
Sejumlah kekhawatiran seperti yang terurai di atas memang cukup
beralasan. Namun bukti-bukti empiris juga menunjukkan hal yang
sebaliknya. Philip McKean (1973) menemukan bahwa pariwisata tidak
merusak kebudayaan (kesenian), melainkan justru memperkuat.
Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi,
reformasi dan penciptaan kembali berbagai tradisi dan kesenian yang
disebut sebagai cultural involution. Interaksi orang Bali dengan wisatawan
digambarkan sebagai hubungan yang saling mengharapkan dan
menguntungkan tanpa merusak struktur masyarakat setempat. Hal yang
serupa juga dikemukakan oleh Mantra (1991), Mabbett (1987), bahwa
perubahan sosial budaya yang terjadi di daerah pariwisata di Bali hanya
terjadi pada lapisan luar yang terkait dengan peningkatan status ekonomi.
Sedangkan pada lapisan dalam seperti dalam aktivitas ritual dan upacara
keagamaan, gotong royong suka-duka dan solidaritas masyarakat masih
tetap lestari. Pitana (1995,1999) juga mengemukakan bahwa kebudayaan
Bali hingga kini masih melekat kuat pada identitas orang Bali, dan
kekhawatiran akan tercerai-berainya simpul-simpul kebudayaan Bali tidak
terbukti.
KAJIAN EMPIRIK
Menurut Lankford, mengidentifikasi dan menilai dampak negatif
dan positif adalah alasan utama berkembangnya minat dalam bidang studi
ini. Namun, literatur tersebut penuh dengan studi yang menyelidiki
dukungan untuk pengembangan pariwisata dari sudut pandang ekonomi
dan beberapa percaya bahwa mempertimbangkan manfaat ekonomi dari
pariwisata untuk penduduk tuan rumah telah menyebabkan pengabaian
dampak lain, seperti dampak sosial dan budaya. Davis dkk. menyelidiki
peran pengetahuan penduduk setempat tentang pariwisata dalam
mendukung pengembangan pariwisata. Choi & Murray, berkonsentrasi
pada keberlanjutan dan dukungan untuk pengembangan pariwisata,
sementara Farahani & Musa, berkonsentrasi pada efek religiusitas pada
dampak yang dirasakan. Long menyelidiki faktor sosial-budaya dan
ekonomi dalam model gabungan. Terakhir, Mbaiwa mengeksplorasi
dampak negatif sosial budaya pariwisata dan dukungan lokal untuk
pengembangan pariwisata. Ia menggunakan pariwisata daerah kantong,
rasisme, relokasi komunitas tradisional, putusnya struktur keluarga
tradisional, peningkatan kejahatan, dan prostitusi sebagai faktor utama
yang mempengaruhi dukungan untuk pengembangan pariwisata. Selain
itu, Sood et al. membahas pentingnya partisipasi masyarakat dan
dukungan untuk pengembangan pariwisata. Mereka juga membahas efek
sosial-budaya utama dari pengembangan pariwisata di komunitas adat di
India.
Dyer et al. mengungkapkan perkembangan pariwisata dengan lima
dampak persepsi negatif dan positif utama. Hasil mereka menunjukkan
bahwa pengaruh budaya positif dari pengembangan pariwisata memainkan
peran penting dalam komunitas tuan rumah untuk mendukung
pengembangan pariwisata. Di sisi lain, Andereck et al. telah membahas
dampak positif pariwisata terhadap ekonomi dan lingkungan masyarakat
tuan rumah dan dampak negatif pada interaksi sosial dan budaya mereka.
Selain itu, Yoon et al. mendemonstrasikan persepsi tentang dampak
lingkungan dan sosial yang negatif dan dampak positif pada budaya dan
ekonomi penduduk tuan rumah.
Secara teoritis, diyakini bahwa pembangunan yang lebih rendah
dalam ekonomi masyarakat tuan rumah akan menyebabkan penerimaan
pariwisata yang lebih baik oleh penduduk setempat. Teori pertukaran
sosial menunjukkan bahwa penduduk cenderung mendukung
pembangunan selama mereka percaya bahwa manfaat yang diharapkan
melebihi biayanya. Kayat menyebutkan beberapa aspek utama dari faktor
motivasi intrinsik untuk mendukung pengembangan pariwisata, seperti
kesempatan menjadi tuan rumah bagi tamu, kesempatan untuk menjalin
hubungan, untuk berperan, perasaan dibutuhkan, untuk bekerja sama.
sebagai komunitas dan mendapatkan harga diri. Namun, Kayat hanya
menyebutkan kemungkinan faktor-faktor tersebut dalam pendekatan
kualitatif, dan metode statistik lebih lanjut diperlukan untuk memperluas
pemahaman kita tentang faktor motivasi intrinsik.
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
SARAN
GWK. 2017. “Garuda Wisnu Kencana is Set to be One of the Largest in the
World”. https://www.gwkbali.com
Teguh, Irfan. 2018. “Garuda Wisnu Kencana: Antara I Nyoman Nuarta dan Duit
Alam Sutera”. https://tirto.id
Wikipedia. 2018. “Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana”.
https://id.wikipedia.org
LAMPIRAN