Anda di halaman 1dari 14

TUGAS 2

SIKAP WARGA TERHADAP PEMBANGUNAN PARIWISATA


DALAM PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL: TAMAN BUDAYA
GARUDA WISNU KENCANA (GWK)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Pariwisata

Dosen Pengampu:

Dr. Eny Endah Pujiastuti, M.Si

Oleh :

Lintang Ayu Sekar Langit (152190042)

KELAS A

ILMU ADMINISTRASI BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”


YOGYAKARTA

2020
LATAR BELAKANG

Patung Garuda Wisnu yang merupakan salah satu patung terbesar di dunia
menjadi salah satu patung yang paling iconic di pulau yang mendapat julukan
“Pulau Seribu Pura”, yaitu Pulau Bali. Patung yang memiliki tinggi lebih dari 120
meter ini menggambarkan Dewa Wisnu yang sedang mengendarai Garuda,
dimana dalam mitologi Hindu, Dewa Wisnu dipandang sebagai pelindung alam
semesta. Sedangkan Garuda yang berwujud elang perkasa melambangkan
kesetiaan dan pengabdian yang tanpa pamrih. Kencana artinya emas dan keduanya
dihiasi oleh mahkota mozaik emas. Garuda juga merupakan lambang nasional
Indonesia dan melambangkan kemerdekaan.

Sebelumnya, pembangunan patung ini sempat terhenti karena adanya


kesulitan dalam anggaran. Kemudian, pembangunan patung ini dilanjutkan pada
tahun 2013 setelah 16 tahun berhenti dan saat itu direncanakan selesai pada tahun
2018. Patung Garuda Wisnu Kencana atau yang disingkat GWK dirancang oleh
seniman Bali terkenal yaitu Nyoman Nuarta. Patung yang baru selesai sebagian
ini telah menjadi sorotan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana seluas 240
hektar di pantai selatan pulau. Tubuh bagian atas Wisnu yang besar, serta kepala
dan cakar Garuda telah menarik banyak pengunjung lokal dan asing ke taman ini
selama beberapa tahun. Sementara monumen terakhir akan dibuat dari lebih dari
4000 ton tembaga, kuningan dan baja, bagian-bagiannya saat ini sedang dibuat
oleh Nuarta di bengkelnya di Bandung sebelum diangkut lebih dari 1000 km
dengan truk untuk dipasang.

Patung ini berada dalam area Taman Wisata Garuda Wisnu Kencana yang
berlokasi di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
Patung ini juga menjadi fitur sentral GWK yang menakjubkan, sehingga taman
budaya seluas 60 hektar ini dapat menarik wisatawan, mulai dari wisatawan lokal
sampai wisatawan dari seluruh belahan dunia lainnya. Taman Budaya Garuda
Wisnu Kencana memberikan gambaran yang sangat menarik mengenai warisan-
warisan budaya Bali melalui pertunjukan budaya, cerita rakyat legendaris, patung
besar, dan presentasi sinematik yang dramatis.
Setelah pembangunan patung ini selesai, diharapkan monumen raksasa ini
akan ikut bergabung dalam jajaran landmark pulau itu. Terlebih lagi, Pulau Bali
juga menjadi salah satu destinasi wisata impian bagi para wisatawan dunia.
Nyoman Nuarta memaparkan pernyataannya kepada Australian Broadcasting
Corporation bahwa Pulau Bali merupakan pulau yang tumbuh subur dari
pariwisata dan budayanya, sehingga mereka memiliki tiga tanggung jawab yaitu
melestarikan budaya, mengembangkannya, dan menemukan budaya alternatif
baru.

Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas di atas, alasan penulis memilih


topik ini untuk dibahas lebih lanjut adalah untuk mengetahui bagaimana sikap dan
respon warga setempat mengenai pembangunan Taman Wisata Garuda Wisnu
Kencana. Sikap warga yang ingin diketahui lebih lanjut ini khususnya dalam
pandangan sosio-budaya. Apakah dengan pembangunan taman wisata ini akan
melunturkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat atau sebaliknya,
makin mempererat hubungan sosial dan budaya masyarakat Bali.

RUMUSAN MASALAH

Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana menjadi destinasi wisata favorit


para wisatawan lokal maupun asing di Bali. Patungnya yang berdiri megah dan
indah dengan memasukkan unsur-unsur budaya khas Bali sangat menarik
perhatian wisatawan. Dalam pembangunan destinasi wisata ini, tentunya
mendapatkan respon yang mungkin berbeda-beda dari penduduk Bali maupun
warga setempat di Desa Ungasan tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut dan
latar belakang masalah mengenai destinasi wisata Taman Budaya Garuda Wisnu
Kencana, maka rumusan masalahnya adalah; “bagaimana sikap warga terhadap
pembangunan pariwisata Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana dalam perspektif
sosio-kultural?”

TINJAUAN PUSTAKA
 KAJIAN TEORITIK
Institute of Tourism (yang kemudian menjadi Tourism Society)
menyatakan bahwa pariwisata adalah perpindahan sementara orang dalam
jangka pendek ke tujuan di luar tempat mereka biasanya tinggal dan
bekerja. Oleh karena itu, pariwisata mencakup pergerakan orang untuk
semua tujuan, termasuk kunjungan harian atau tamasya (Cooper, 2008;
Holloway & Taylor, 2006). Pada tahun 1991, Organisasi Pariwisata Dunia
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa "Pariwisata terdiri dari
aktivitas orang-orang yang bepergian ke dan tinggal di tempat-tempat di
luar lingkungan biasanya selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turut
untuk liburan, bisnis, atau tujuan lain".
Dampak sosiokultural mengacu pada cara di mana pariwisata
mengubah nilai komunitas dan individu, perilaku, struktur komunitas,
gaya hidup dan kualitas hidup secara keseluruhan; dalam kaitannya dengan
tujuan dan pengunjung (Hall, 2007; Murphy, 1985, sebagaimana dikutip
dalam Brunt & Courtney, 1999). Dampak sosiokultural pariwisata telah
didefinisikan oleh Pizam dan Milman (1986, h. 29) sebagai “cara di mana
pariwisata berkontribusi pada perubahan dalam sistem nilai, perilaku
individu, hubungan keluarga, gaya hidup kolektif, perilaku moral, ekspresi
kreatif , upacara adat dan organisasi masyarakat".
Sebagaimana dikemukakan di atas, pariwisata merupakan
hubungan sementara antara penduduk lokal dan wisatawan. Oleh karena
itu, selama tinggal, beberapa dampak sosial budaya terungkap sebagai
hasil dari interaksi ini di masyarakat tuan rumah, termasuk perubahan
sistem nilai, perilaku individu, hubungan keluarga, gaya hidup kolektif,
upacara adat atau organisasi kemasyarakatan (Milman & Pizam, 1988).
Studi yang dilakukan tentang dampak sosial budaya pariwisata secara
bertahap meningkat. Ini dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok
utama: interaksi dan hubungan tuan rumah-tamu, dampak sosiokultural
pariwisata secara umum, dampak sosiokultural seperti yang dirasakan oleh
penduduk lokal, dan tanggapan terhadap dampak pariwisata dan strategi
penyesuaian (Gjerald, 2005).
Pada kawasan wisata yang padat dan masyarakatnya berhubungan
secara intensif dengan pariwisata (wisatawan), akan terjadi gejala
touristifikasi, dimana pariwisata bukan lagi merupakan sesuatu yang ada di
luar sana, melainkan sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat (Picard 1996; Pitana 1999). Kalangan yang
pisimistis menyatakan bahwa pariwisata (touristifikasi) menyebabkan
adanya proses disorganisasi sosial, baik di tingkat keluarga maupun
komunitas, yang pada gilirannya akan mengubah inti kebudayaan lokal
(Bagus 1975). Menurut Naaya Sujana (1990) kebudayaan lokal akan
berangsur-angsur menjadi cair dan kemudian hanyut ke lautan budaya
dunia yang semakin kuat dalam lalu lintas pariwisata. Kebudayaan Bali
telah mengalami erosi yang ditandai dengan : 1) munculnya efek
demonstrasi yang meliputi kecenderungan penduduk lokal untuk meniru
gaya hidup wisatawan, semakin tingginya tingkat toleransi masyarakat
terhadap perilaku menyimpang; 2) terjadinya komuditasi terhadap
kebudayaan 3) terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian 4) terjadinya
profanisasi kesenian sakral, kegiatan ritual dan tempat suci dan 5) semakin
kecilnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap identitas kebaliannya
( Picard 1990, Wood 1979).
Sejumlah kekhawatiran seperti yang terurai di atas memang cukup
beralasan. Namun bukti-bukti empiris juga menunjukkan hal yang
sebaliknya. Philip McKean (1973) menemukan bahwa pariwisata tidak
merusak kebudayaan (kesenian), melainkan justru memperkuat.
Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses konservasi,
reformasi dan penciptaan kembali berbagai tradisi dan kesenian yang
disebut sebagai cultural involution. Interaksi orang Bali dengan wisatawan
digambarkan sebagai hubungan yang saling mengharapkan dan
menguntungkan tanpa merusak struktur masyarakat setempat. Hal yang
serupa juga dikemukakan oleh Mantra (1991), Mabbett (1987), bahwa
perubahan sosial budaya yang terjadi di daerah pariwisata di Bali hanya
terjadi pada lapisan luar yang terkait dengan peningkatan status ekonomi.
Sedangkan pada lapisan dalam seperti dalam aktivitas ritual dan upacara
keagamaan, gotong royong suka-duka dan solidaritas masyarakat masih
tetap lestari. Pitana (1995,1999) juga mengemukakan bahwa kebudayaan
Bali hingga kini masih melekat kuat pada identitas orang Bali, dan
kekhawatiran akan tercerai-berainya simpul-simpul kebudayaan Bali tidak
terbukti.

 KAJIAN EMPIRIK
Menurut Lankford, mengidentifikasi dan menilai dampak negatif
dan positif adalah alasan utama berkembangnya minat dalam bidang studi
ini. Namun, literatur tersebut penuh dengan studi yang menyelidiki
dukungan untuk pengembangan pariwisata dari sudut pandang ekonomi
dan beberapa percaya bahwa mempertimbangkan manfaat ekonomi dari
pariwisata untuk penduduk tuan rumah telah menyebabkan pengabaian
dampak lain, seperti dampak sosial dan budaya. Davis dkk. menyelidiki
peran pengetahuan penduduk setempat tentang pariwisata dalam
mendukung pengembangan pariwisata. Choi & Murray, berkonsentrasi
pada keberlanjutan dan dukungan untuk pengembangan pariwisata,
sementara Farahani & Musa, berkonsentrasi pada efek religiusitas pada
dampak yang dirasakan. Long menyelidiki faktor sosial-budaya dan
ekonomi dalam model gabungan. Terakhir, Mbaiwa mengeksplorasi
dampak negatif sosial budaya pariwisata dan dukungan lokal untuk
pengembangan pariwisata. Ia menggunakan pariwisata daerah kantong,
rasisme, relokasi komunitas tradisional, putusnya struktur keluarga
tradisional, peningkatan kejahatan, dan prostitusi sebagai faktor utama
yang mempengaruhi dukungan untuk pengembangan pariwisata. Selain
itu, Sood et al. membahas pentingnya partisipasi masyarakat dan
dukungan untuk pengembangan pariwisata. Mereka juga membahas efek
sosial-budaya utama dari pengembangan pariwisata di komunitas adat di
India.
Dyer et al. mengungkapkan perkembangan pariwisata dengan lima
dampak persepsi negatif dan positif utama. Hasil mereka menunjukkan
bahwa pengaruh budaya positif dari pengembangan pariwisata memainkan
peran penting dalam komunitas tuan rumah untuk mendukung
pengembangan pariwisata. Di sisi lain, Andereck et al. telah membahas
dampak positif pariwisata terhadap ekonomi dan lingkungan masyarakat
tuan rumah dan dampak negatif pada interaksi sosial dan budaya mereka.
Selain itu, Yoon et al. mendemonstrasikan persepsi tentang dampak
lingkungan dan sosial yang negatif dan dampak positif pada budaya dan
ekonomi penduduk tuan rumah.
Secara teoritis, diyakini bahwa pembangunan yang lebih rendah
dalam ekonomi masyarakat tuan rumah akan menyebabkan penerimaan
pariwisata yang lebih baik oleh penduduk setempat. Teori pertukaran
sosial menunjukkan bahwa penduduk cenderung mendukung
pembangunan selama mereka percaya bahwa manfaat yang diharapkan
melebihi biayanya. Kayat menyebutkan beberapa aspek utama dari faktor
motivasi intrinsik untuk mendukung pengembangan pariwisata, seperti
kesempatan menjadi tuan rumah bagi tamu, kesempatan untuk menjalin
hubungan, untuk berperan, perasaan dibutuhkan, untuk bekerja sama.
sebagai komunitas dan mendapatkan harga diri. Namun, Kayat hanya
menyebutkan kemungkinan faktor-faktor tersebut dalam pendekatan
kualitatif, dan metode statistik lebih lanjut diperlukan untuk memperluas
pemahaman kita tentang faktor motivasi intrinsik.

PEMBAHASAN

Pulau Dewata dikenal karena memiliki potensi pariwisata dengan


kebudayaannya yang unik. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, diketahui para
wisatawan tertarik mengunjungi Bali sebagai detinasi wisata karena
kebudayaannya, kedua karena alam fauna-flora, dan sisanya karena motivasi lain-
lain. Hal tersebut menjadi dasar pada penentuan tipe pariwisata yang akan
dikembangkan di Bali. Dengan demikian cultural capital dijadikan sebagai modal
utama dan memegang peranan dominan dalam pembangunan kepariwisataan di
Bali (Pitana,1999). Tanpa kebudayaan, tidak mungkin pariwisata Bali dapat
bertahan secara berkelanjutan.

Salah satunya adalah Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana menjadi


destinasi wisata budaya yang paling diminati wisatawan lokal maupun asing.
Pembangunan taman wisata budaya ini tentunya mendapat dukungan dari
pemerintah Bali dan masyarakat Bali sendiri. Walaupun pembangunannya sempat
terhenti selama beberapa tahun karena masalah bahan baku dan adanya krisis
ekonomi pada tahun 1998, namun patung Garuda Wisnu saat ini telah berdiri
megah dan destinasi wisata ini ramai dikunjungi pelanggan.

Pada awalnya, pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana ini sempat


mengalami kontroversial karena pemegang otoritas keagamaan di Bali mengeluh
akibat ukuran patung yang sangat besar nantinya akan mengganggu keseimbangan
spiritual di Bali karena tinggi patung yang melebihi tinggi salah satu tempat suci
(Pura Dang Kahyangan) yang disucikan umat Hindu. Selain itu, pokok pikiran
lain juga disampaikan oleh delegasi Senat Mahasiswa Universitas Udayana yang
dilihat dari perspektif agama. Mereka khawatir patung tersebut akan berdampak
negatif bagi umat Hindu Bali yang rata-rata pendidikannya masih rendah.
Dikhawatirkan akan ada kalangan yang mendewakannya karena patung tersebut
juga menjadi simbol dalam peribadatan Hindu.

Pada akhirnya, Nyoman Nuarta, sebagai seniman perancang patung ini


menyampaikan bahwa masalah pro dan kontra di dalam masyarakat adalah hal
yang lumrah. Melihat pentingnya keberadaan “landmark” ini bagi Pariwisata Bali
dan Indonesia, yang kontra makin lama makin mereda. Dari segi religi Hindu Bali
masalah ini juga sudah terjawab dengan baik. Sebagai orang Bali, Nyoman Nuarta
menyampaikan bahwa proyek ini penting bagi Pulau Bali. Pulau Bali dapat
tumbuh subur dengan adanya pariwisata dan budayanya. Jika masyarakat tidak
mengembangkan budaya mereka, maka akan lenyap suatu hari nanti. Oleh karena
itu, melestarikan budaya, mengembangkannya, dan menemukan budaya alternatif
baru menjadi tanggung jawab bagi mereka.

Sikap masyarakat Jimbaran juga mendukung adanya pembangunan Taman


Budaya Garuda Wisnu Kencana. Kondisi kebersamaan ini juga tercipta karena
adanya bantuan dan dukungan dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat
untuk ikut mendukung penyelesaian pembangunan GWK. Masyarakat setempat
saling bekerja sama dan bergotong royong untuk menjaga lingkungan sekitar
taman wisata tetap nyaman. Kebersihan dan keasrian lingkungan selalu dijaga dan
dipelihara untuk tetap menarik minat wisatawan berkunjung. Masyarakat juga
saling membantu dalam berjualan makanan ringan atau oleh-oleh khas Bali di
sekitar Taman Wisata Garuda Wisnu Kencana.

Pembangunan taman budaya ini memang rawan melunturkan budaya asli


Bali karena seringnya terjadi interaksi antara budaya lain bahkan budaya asing
yang berkunjung ke tempat ini. Namun saat ini kebudayaan Bali dinilai masih
melekat kuat pada identitas masyarakat Bali. Dengan adanya pembangunan taman
wisata ini, masyarakat setempat maupun masyarakat Bali di daerah lainnya
mendapat lebih banyak kekuatan untuk bersatu menjaga dan melestarikan budaya
Bali. Misalnya, adanya pertunjukan tari-tarian khas Bali, seperti Tari Barong
Keris, Tari Legong, dan Tari Kecak yang mulai ditampilkan sekitar pukul 11 pagi
di Amphiteater.

Kemudian terdapat juga Parahyangan Somaka Giri yang ditempatkan di


sebelah patung Wisnu. Ini adalah tempat air berada, yang secara historis telah
dipercaya oleh rakyat di daerah tersebut sebagai berkat dengan kekuatan magis
yang kuat untuk menyembuhkan penyakit dan meminta para dewa hujan selama
musim kemarau. Karena lokasinya di tanah tinggi (di atas bukit), fenomena alam
ini dianggap orang suci dan lokal diyakini itu menjadi air suci.

Selain itu, di bagian Plaza Wisnu pengunjung harus menggunakan sarung


bagi pengunjung yang menggunakan celana pendek dan harus menggunakan
selendang yang telah disediakan karena bagian ini merupakan tempat suci. Hal-hal
tersebut membuktikan bahwa masyarakat setempat sangat memperhatikan,
menjaga, dan melestarikan budaya Bali melalui pembangunan Taman Budaya
Garuda Wisnu Kencana. Masyarakat ingin lebih memperkenalkan budaya Bali
yang unik kepada wisatawan yang mengunjungi destinasi wisata ini.

KESIMPULAN

Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana telah menjadi sorotan bagi


wisatawan domestik maupun mancanegara karena pembangunannya yang telah
diselesaikan pada bulan Agustus 2018 lalu. Patung Wisnu yang sedang
mengendarai Garuda berdiri megah dan dapat terlihat melalui bandara I Gusti
Ngurah Rai dan wilayah sekitar Jimbaran. Walaupun sempat menuai beberapa
kontroversi dari pemuka agama dan masyarakat lainnya, wisata budaya ini pada
akhirnya tetap mendapat dukungan dari seluruh masyarakat Bali. Bali yang
terkenal dengan keunikan budayanya akan terus berkembang dan maju di bidang
pariwisata karena hal ini menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan. Respon
positif yang dilihat dari segi sosio-budaya juga didapat dari masyarakat setempat
mengenai pembangunan Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana ini. Masyarakat
tetap bekerja sama dan saling tolong menolong dalam hal apapun dan tetap
mencintai, mejaga, dan meletarikan budaya asli Bali mereka.

SARAN

Pariwisata budaya adalah hal yang baik untuk dikembangkan mengingat


Indonesia memiliki keberagaman ras, suku, adat, budaya, dan agama. Dengan
keberagaman ini, diharapkan dapat menjadi daya tarik masing-masih daerah untuk
mengembangkan pariwisatanya. Salah satunya, Taman Budaya Garuda Wisnu
Kencana yang sebaiknya harus tetap dijaga dan dilestarikan sajian kesenian khas
budaya Balinya supaya tetap menarik minat wisatawan di seluruh dunia untuk
berkunjung. Masyarakat setempat juga harus memiliki komitmen dan kerja sama
yang baik dalam mendukung jalannya pariwisata budaya ini.
DAFTAR PUSTAKA

Akova, Orhan and Ozan Atsiz. 2019. “Sociocultural impacts of tourism


development on heritage sites”. https://www.researchgate.net

Camilleri, Mark Anthony. 2017. “The Tourism Industry: An Overview”.


https://www.researchgate.net

Coleman, Ele. 2012. “An Introduction Tourism: Sociocultural Impacts”.


https://anintroductiontotourism.weebly.com

GWK. 2017. “Garuda Wisnu Kencana is Set to be One of the Largest in the
World”. https://www.gwkbali.com

Hazliansyah. 2014. “Pengelola GWK Akhirnya Sepakat dengan Warga Jimbaran”.


https://republika.co.id

Kumbara, A.A. Ngurah Anom. “Pembangunan Pariwisata Indonesia Berdimensi


Kerakyatan dan Berwawasan Eko-Budaya: Belajar dari Kasus Pariwisata”.
https://simposiumjai.ui.ac.id

Meimand, Sajad Ebrahimi, et al. 2017. “Residents’ Attitude toward Tourism


Development: A Sociocultural Perspective”.

Mulya, Fajar Dharma. 2018. “Pengaruh Pembangunan Wisata Garuda Wisnu


Kencana Terhadap Ekonomi di Indonesia”. https://www.academia.edu

Mulyono, Siswanto Danu. 2010. “Wawancara dengan Nyoman Nuarta Seputar


Garuda Wisnu Kencana Bali”. https://www.kompasiana.com

Sihombing, Frengki. 2015. “Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali”.


https://ronarata.wordpress.com

Teguh, Irfan. 2018. “Garuda Wisnu Kencana: Antara I Nyoman Nuarta dan Duit
Alam Sutera”. https://tirto.id
Wikipedia. 2018. “Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana”.
https://id.wikipedia.org
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai