PEMBAHASAN
Menurut Prof.K. Krapt dan Prof. Hunziker dalam Oka A.Yoeti (1996:112), pariwisata
adalah keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan dari perjalanan dan pendiaman
orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan orang asing itu tidak
tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara.
Jadi pada intinya, pariwisata adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk
mencari kebahagiaan di dunia melalui suatu perjalanan sementara waktu ke suatu tempat
yang diharapkan dapat memenuhi keinginannya dalam hal liburan.2
Sebagai suatu aktivitas yang mempunyai peran dan pengaruh besar terhadap
kehidupan manusia, pariwisata telah menarik minat banyak akademisi dari berbagai disiplin
1
UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
2
unknown, "Definisi Pariwisata lengkap menurut para ahli" (http://23tourism.blogspot.com/2015/01/definisi-
pariwisata.html, iakses pada 4 Desember 2019)
ilmu untuk mengkajinya, serta mengusulkan pengembangan ilmu pariwisata yang sejajar
dengan ilmu-ilmu lain.3
Pada tahun 1997, industri pariwisata Indonesia diperkirakan menghasilkan pajak tidak
langsung sejumlah 8,7% dari keseluruhan nilai pajak tidak langsung. Tahun 2007 meningkat
sebesar 9,6% dari total keseluruhan.4 Data tersebut menunjukan bahwa industri pariwisata
Indonesia memberikan kontribusi yang besar di bidang perpajakan. Pajak tersebut nantinya
diharapkan mampu membangun dan memberikan pembangunan kepariwisataan di seluruh
daerah di Indonesia.
Selanjutnya adalah kebudayaan atau sering pula disebut budaya. Banyak sekali
definisi-definisi yang lahir dari buah pikiran para ilmuwan yang memiliki pandangannya
masing-masing mengenai arti kebudayaan tersebut. Namun dari segala definisi tersebut, ada
satu kesepahaman bahwa kebudayaan diakui sebagai khas insani yang hanya melekat pada
manusia dan tidak dilakukan oleh hewan maupun olah alam transenden.5
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil
karya masyarakat.6 Senada dengan pendapat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi yang
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.7
3
I Gede Pitana & I Ketut Surya Diarta, Pengantar Ilmu Pariwisata (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2009) hal. 2
4
I Ketut Suwena & I Gusti Ngurah Widyatmaja, Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata (Denpasar: Pustaka
Larasan, 2017) hal. 17
5
I Ketut Artadi, Kebudayaan Spiritualitas (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2009) hal. 2
6
UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
7
Zakky, “Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli dan Secara Umum”
(https://www.zonareferensi.com/pengertian-kebudayaan/, diakses pada 4 Desember 2019)
Dasar dari definisi ini adalah argumentasi gramatikal, yaitu : kebudayaan berasal dari
kata “budhi” yakni bahasa sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi budhi (tunggal)
atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran atau
akal manusia.8
Kebudayaan memiliki 7 unsur, diantaranya : (1) Sistem religi; (2) Sistem organisasi
kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) Sistem mata pencaharian; (5) Sistem teknologi;
(6) Sistem bahasa; dan (7) Sistem kesenian. Kebudayaan memang sejatinya cukup luas dan
tidak hanya menjadi sesuatu hal yang dapat dilihat, namun juga abstrak.
Hasil-hasil kebudayaan yang ada dan dapat dilihat di Bali lahir dari perbuatan
manusia yang berkaitan erat dengan rasa spiritualitasnya, misalnya seni tari (sakral, non
sakral), seni pahat, dan karya-karya berupa norma-norma untuk melayani kebutuhan batin
menghormati rasa spiritualitas, Kebudayaan inilah yang dapat diistilahkan sebagai
kebudayaan spiritualitas. Disebut spiritualitas karena pertama, terdapat roh-roh yang
mendorong inspirasi. Spiritualitas bukan agama, tetapi nuansa alam transenden yang meliputi
rasa manusia sehingga karya yang lahir padanya diwarnai oleh getaran-getaran batin, dan
tidak semata-mata fisik.
Selanjutnya, kebudayaan spiritualitas di Bali inilah yang dirasa unik dan menjadi daya
Tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bali sehingga pariwisata Bali sangat terkemuka di
dunia. Contoh kebudayaan spiritualitas di Bali seperti yang telah disebutkan sebelumnya
adalah seni tari yang nantinya akan dipaparkan lebih lanjut.
8
Artadi, Op.cit., hal. 3
9
Kandi Wijaya, “Journal of Research in Economics and Management”, Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen
vol.15 No.1, Semester 1 2015, hal 121-122
Dari data kunjungan wisatawan data ke Bali menunjukan peningkatan setelah terjadi
Bom Bali 1 tahun 2002, dan bom Bali 2 pada tahun 2005 yang membawa konsekuensi
buruk bagi kunjungan wisatawan ke Bali, bahkan menunjukan minus, walaupun sifatnya
sementara. Dalam 5 tahun terakhir, dari tahun 2008-2013, sampai awal tahun 2014
menunjukan bahwa kunjungan wisatawan ke Bali cukup baik mengalami peningkatan.
Selama kwartal I 2014, sektor pariwisata Bali tumbuh diatas rata rata nasional, dengan
tingkat pertumbuhan 6,86 persen lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,21
persen. 10
Hal ini disebabkan oleh makin menguatnya sektor pariwisata Bali, dengan kunjungan
bulan Januari-april mencapai 2.947.684 atau tumbuh 10,64 persen pada periode yang sama
tahun 2013 sebesar 2.664.176 wisatawan. Diprediksi target 9,3 hingga 9,5 juta bisa
tercapai dengan target pertumbuhan 6-8 persen dapat tercapai, dengan pasar utama
Singapura (463.924), Malaysia (413.504) dan RRC (324.344) Australia (316.122), demikian
dikatakan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Pangestu. (Balipost 6 Juni 2014:21)
Gambar 1
10
Ibid., hal 123
(sumber : databoks.co.id)
Gambar 2
(sumber : lokadata.co.id)
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari ribuan pulau dan beraneka ragam suku
dan budaya, keindahan alam dan keberagaman budayanya membuat indonesia menjadi
tempat wisata yang wajib dikunjungi turis asing ketika berlibur. Indonesia sendiri memiliki
hampir semua jenis wisata yang ada, salah satu yang menjadi daya tarik wisata di Indonesia
adalah wisata budaya. Beragamanya budaya yang dimiliki indonesia bisa menjadi aset yang
tak ternilai harganya sebab dengan memiliki kebudayaan yang beragam mengakibatkan
adanya daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia, dengan demikian devisa
dari negara kita bisa bertambah dan bisa membantu memajukan perekonomian masyarakat.
Daerah Bali sebagai daerah wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan,
baik lokal maupun internasional telah menerapkan konsep pariwisata budaya dengan
berpegang pada komponen-komponen di atas. Melalui Perda No.3/1991 sebagai
penyempurnaan Perda No. 1/1974 sebagai bingkai visi pembangunan Bali, yakni Bali Dwipa
Jaya berlandaskan Tri Hita Karana. Intinya bahwa pembangunan Bali selalu mengedepankan
keseimbangan antara manusia, lingkungan alam semesta, dan Sang Pencipta. Pembangunan
tidak hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi, apalagi kepentingan sesaat. Melalui
konsepsi pariwisata budaya diharapkan adanya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
antara penyelenggaraan pariwisata dan kebudayaan Bali (Sumardi,2010).
Mengkhusus pada wisata budaya, daerah yang terkenal dengan wisata budayanya di
Indonesia adalah Bali. Di Bali ada beraneka ragam budaya yang sangat di senangi turis asing.
Menurut badan pusat stastik provinsi Bali sendiri jumlah kunjungan wisatawan asing yang
berkunjung ke Bali maupun Indonesia pada 2018 mencapai 6.070.473 orang, angka ini
mengalami peningkatan sebanyak 6,54% dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah
5.697.739 orang.11
Alasan dari ramainya wisatawan yang berkunjung ke Bali tentu karena Bali yang
memiliki keragaman dan keunikan budayanya. Di Bali pariwisata merupakan salah satu
penunjang perekonomian masyarakat, dimana dengan adanya pariwisata dapat membantu
mengurangi angka pengangguran yang ada di Bali. Selain itu pariwisata juga berperan dalam
perkembangan budaya yang ada di Bali dimana pariwisata sendiri merupakan suatu fenomena
yang terdiri dari berbagai aspek dan kebudayaan merupakan salah satu dari aspek tersebut.
Hubungan antara pariwisata dengan kebudayaan sangatlah erat kaitannya jika kita telaah
lebih mendalam, sebab tanpa adanya kebudayaan fenomena pariwisata mungkin saja tidak
akan terjadi karena melalui pariwisata berkembang komunikasi lintas budaya yang
mengakibatkan terjadinya alkulturasi budaya atau bercampurnya kebudayaan yang satu
dengan yang lainnya.
Lalu dengan pergeseran kebudayaan dari yang memiliki nilai spiritual ke nilai
komersil menjadi sebuah ancaman bagaimana nantinya lama kelamaan kebudayaan
spiritualitas yang seharusnya suci malah menjadi ancaman bagi kehidupan religi di Bali.
Pariwisata yang semakin berkembang dikhawatirkan menjadi perusak kebudayaan di Bali
bukannya malah melestarikan. Maka untuk menjawab pertanyaan selanjutnya yang muncul
yaitu apakah memang kebudayaan ini bisa hilang begitu saja? Dapat kita kaitkan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan pergeseran budaya .
12
Suwardi Lubis, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebudayaan
dan Pergeseran Budaya” (https://suwardilubis.blogspot.com/2016/01/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi.html, diakses pada 5 Desember 2019)
Sedangkan Sumber-sumber yang berasal dari luar masyarakat, yaitu :
1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Lalu ancaman dari perkembangan pariwisata tentu dapat kita kaitkan dengan faktor
ekstern atau faktor yang berasal dari luar. Yakni pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Dari
antusiasme wisatawan ke Bali, masyarakat Bali menjadi terbawa arus dan melupakan seperti
apa sebenarnya kebudayaan-kebudayaan yang diwarisi tersebut harus senantiasa dilestarikan
dan dijaga kesuciannya, bukannya malah menjadikannya sebagai obyek jual beli atau
dikomersilkan.
Contoh nyata dari ancaman pariwisata terhadap kebudayaan di Bali, antara lain :
1. Seni Tari
Berbeda dengan tarian Jawa, yang memiliki penggemar Eropa sejak akhir
abad yang lalu, tarian Bali yang kini sangat tersohor di dunia Barat, baru
menampakkan reputasinya dan naik daun setelah dijadikan tontonan pariwisata.
Tarian-tarian Bali yang kini dijadikan primadona kesenian Bali, baru pada tahun
1930-an dianggap pantas buntuk diperkenalkan kepada wisatawan. Setelah
kemerdekaan, dan terutama setelah tegaknya Orde baru, seni Bali, dengan tarian di
garis depan, dijadikan sarana untuk mempromosikan baik pengenbangan pariwisata
internasional maupun pembinaan kebudayaan nasional Indonesia, dengan lain kata,
setelah dijadikan lambing Bali sebagai daerah tujuan wisata, tak terelakkan lagi tarian
dijadikan juga lambang jati diri orang Bali di gelanggang nasional Indonesia (Picard
1996).13
Dengan semakin banyak permintaan pertunjukan seni tari di Bali, maka ada
disorientasi yang terjadi. Dimana terdapat tari-tari sacral yang kehilangan
kesakralannya dikarenakan ditarikan tidak sesuai dengan aturannya. Tari-tari spiritual
tersebut juga mulai bergeser dari tujuan religious ke tujuan-tujuan komersil. Sehingga
dapat dikatakan ada yang salah dari penerapan kebudayaan di masyarakat Bali itu
sendiri.
Salah satunya adalah Tari Rejang yang merupakan tarian tradisional yang
dipercaya masyrakat Bali dalam menyambut kedatangan serta menghibur para dewa
yang datang dari Khayangan dan turun ke Bumi. Tarian rejang ini secara khusus
ditampilkan pada waktu berlangsungnya suatu upacara adat atau keagamaan
masyarakat Hindu di Bali. Selain sebagai salah satu warisan budaya, tarian ini juga
dipercaya memiliki nilai-nilai penting di dalamnya khususnya makna spiritual,
sehingga juga dipercaya sebagai tarian yang suci dan dilakukan dengan penuh rasa
pengabdian. Menurut beberapa sumber sejarah yang ada, Tari Rejang diperkirakan
sudah ada sejak zaman pra-Hindu. Tarian ini dipercaya dilakukan sebagai
persembahan suci untuk menyambut kedatangan para dewa yang turun ke Bumi.
Pementasan tari rejang yang tidak sesuai dengan aturan maka dapat membawa
malapetaka bagi masyarakat bali kedepannya.
Selain tari rejang adapula Tari Pendet, Tari Pendet pada awalnya dimaksudkan
untuk pementasan ritual dan ditarikan dalam Pura oleh penari perempuan,sambil
13
Michel Picard, Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hal.
207.
14
Ibid., hlm. 210.
mempersembahkan bunga, nasi, dan dupa kepada para Dewa yang bersemayam pada
salah satu altar. Pada tahun 1950-an, ketika Soekarno dan tamu Negara
memengunjungi Bali, muncul kebiasaan menyambut mereka di lapangan udara
dengan acara tarian Pendet besar-besaran. Pada waktu itu instansi-instansi agama
Hindu bereaksi keras, mereka memandang hal itu sebagai pencemaran, oleh karena
wisatawan-wisatawan nampak disetarakan dengan para Dewa. Sehingga, pada awal
tahun 1970-an, I Wayan Beratha, seorang koreografer dari Konservatori Karawitan ,
menciptakan atas permintaan instansi agama itu, suatu “kreasi baru“ yang diilhami
oleh Pendet, tetapi dalam gaya kebyar. Belakangan dikenal sebagai Panyembrama.
Tarian baru itu kini sudah menggantikan tarian ritual lama sebagai pembukaan
pertunjukan pariwisata.15
Keberadaan kegiatan pariwisata di Bali tidak bisa dihindari lagi, sebagai salah
satu komoditi penunjang perekonomian masyarakat sudah pasti pariwisata menjadi
pekerjaan pokok sebagian besar orang di Bali. Kegiatan pariwista sendiri bisa berupa
mengunjungi tempat ataupun menyaksikan pertunjukan-pertunjuakan yang disajikan.
15
Michel Picard, Bali : pariwisata budaya dan budaya pariwisata, (Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm.
207.
16
Puji Purdaningrum, “Pariwisata Penghancur atau Pelestari Kebudayaan”,
(https://pujipurda.wordpress.com/2017/05/11/pariwisata-penghancur-pelestari-kebudayaan/ ., diakses pada 5
Desember 2019)
pura ini, banyak tour guide dan agent-agent travel lokal ikut menawarkan perjalanan
mengunjungi pura-pura di Bali. Hal ini bisa menjadi faktor pendukung
berkembangnya pariwisata budaya di Bali sebab, tidak semua tempat di Indonesia
memiliki wisata budaya seperti di Bali. Wisata kepura-pura ini juga menjadi sarana
pengenalan budaya kita ke dunia, dimana dengan semakin dikenalnya budaya Bali di
dunia diharapkan makin banyaknya turis maupun wisatawan berkunjung ke Bali. Tapi
dalam hal ini masih ada pro dan kontra di dalamnya, dimana pura yang seharusnya
memiliki nilai kesakralan yang tinggi sebagai tempat beribadah umat beragama Hindu
malah dijadikan sebagai tempat wisata yang dikunjungi banyak orang, dengan adanya
kegiatan wisata ke pura-pura ini ditakutkan malah menurunkan nilai ke sakralan dari
pura itu sendiri.
Dalam aspek antropologi atau tingkah laku masyarakat dapat kita kaitkan
bahwasannya perkembangan pariwisata dapat membawa sebuah perubahan tatanan nilai
dalam masyarakat serta perubahan pola-pola tingkah laku masyarakat. Dimana dapat kita
lihat dalam fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu perubahan tatanan nilai yang
17
Tribun-Bali.com “Bule Naik Padmasana di Pura Gelap Besakih”,
https://bali.tribunnews.com/2019/08/13/tribun-wiki-3-kasus-bule-lecehkan-tempat-suci-di-bali-yang-viral-dua-
tahun-belakangan-ini?page=all, diakses 30 November 2019
terjadi ialah, dengan melihat perkembangan pariwisata di Bali menyebabkan banyak
berdirinya pusat-pusat akomodasi pariwisata seperti hotel. Villa dan lainnya, dari hal
tersebut menyerap banyak tenaga kerja khususnya dari masyarakat Bali yang bekerja
pada sektor pariwisata. Mengingat dalam bidang pariwisata bekerja 8 jam atau lebih
dalam sehari menyebabkan terbatasnya waktu yang dimiliki oleh masyarakat untuk
melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban dalam bermasyarakat atau lebih dikenal
dengan istilah “nagayah”, sehingga pada saat ini terjadi beberapa perubahan dalam nilai
budaya dan juga nilai norma yang ada di masyarakat yaitu kebijakan desa adat yang mulai
membuat sebuah kebijakan untuk mengganti tanggung jawab ngayah tersebut dengan
sejumlah uang, hal tersebut merupakan salah satu perubahan dalam bidang antropologi
atau timgkah laku masyarakat dengan adanya perkembangan pariwisata di Bali.
Bukan hanya perubahan itu, namun ada juga perubahan tatanan nilai lainnya yaitu
tingkah laku masyarakat yang mulai meniru gaya kebarat-baratan atau kita kenal dengan
budaya westernisasi, yang dimana masyarakat pribumi mulai meniru budaya luar dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam gaya bahasa, dalam gaya busana sampai dengan tingkah
polah kehidupan sehari-hari yang mulai terpengaruh budaya baraan.
Membahas pariwisata tentu sangat penting memahami salah satu dampak positif dari
pariwisata itu sendiri. Salah satunya adalah akulturasi, akulturasi berbeda dengan enkulturasi,
dimana akulturasi merupakan suatu proses yang dijalani individu sebagai respon terhadap
perubahan konteks budaya. Budaya menurut Melville J. Herskovids (2000) merupakan sikap,
perasaan, nilai, dan perilaku yang menjadi ciri dan menginformasikan masyarakat secara
keseluruhan atau kelompok sosial di dalamnya. 18 Adapun definisi akulturasi menurut para
ahli meliputi :
18
Diktat Akulturasi Budaya, Universitas Sumatra Utara
A. Akulturasi Redfield (1936) adalah suatu fenomena yang merupakan hasil ketika suatu
kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berdeda datang dan secara
berkesinambungan melakukan kontak dari perjumpaan pertama, yang kemudian
mengalami perubahan dalam pola budaya asli salah satu atau kedua kelompok
tersebut. Menurut Social Science Research Council (1954), akulturasi merupakan
perubahan budaya yang diawali dengan bergabunganya dua atau lebih budaya yang
berdiri sendiri. Perubahan akulturatif mungkin merupakan konsekuensi langsung dari
perubahan budaya; mungkin disebabkan oleh faktor non-budaya, seperti ekologi atau
modifikasi demografi yang disebabkan oleh budaya yang bertimpang tindih; mungkin
juga terhambat, seperti penyesuaian internal terhadap penerimaan sifat-sifat atau pola
asing; atau mungkin bentuk reaksi adaptasi dari model hidup secara tradisional.
B. Menurut Graves (1967), akulturasi merupakan suatu perubahan yang dialami oleh
individu sebagai hasil dari terjadinya kontak dengan budaya lain, dan sebagai hasil
dari keikutsertaan dalam proses akulturasi yang sedang dijalani oleh budaya atau
kelompok etnisnya. Perubahan yang terjadi pada tingkatan ini terlihat pada identitas,
nilai-nilai, dan perilaku. Akulturasi menurut Organization for Migration (2004)
merupakan adaptasi progresif seseorang, kelompok, atau kelas dari suatu budaya pada
elemen-elemen budaya asing (ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku).yang memiliki
makna sebuah perpaduan budaya satu dengan budaya yang lainnya tanpa
menghilangkan karakteristik asli dari budaya yang telah ada.
C. Akulturasi menurut Organization for Migration (2004) merupakan adaptasi progresif
seseorang, kelompok, atau kelas dari suatu budaya pada elemen-elemen budaya asing
(ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku).
Dari defenisi akulturasi diatas kita dapat mengidentifikasi beberapa elemen kunci
seperti:
1. Kontak; Kontak merupakan hal yang penting dalam akulturasi dimana kontak
merupakan “pertemuan” antara setidaknya dua kelompok budaya atau individu yang secara
bersama-sama melakukan kontak secara “berkesinambungan” dan “langsung”. Akulturasi
dapat dikatakan nyata apabila individu-individu atau kelompok melakukan “interaksi” pada
tempat dan waktu yang sama, bukan melalui pengalaman orang kedua (misalnya pengalaman
dari orang lain yang pernah mengalami kontak langsung dengan budaya lain) atau kontak
secara tidak langsung (misalnya melalui surat menyurat dengan orang lain yang berbeda
budaya).
3. Perubahan; perubahan merupakan salah satu aspek penting dalam kontak yang
meliputi proses yang dinamis, dan hasil yang mungkin relatif stabil. Hal ini bermaksud
bahwa mempelajari akulturasi kita dapat melihat prose situ sendiri, seperti bagaimana
perubahan dapat terjadi (pertanyaan mengenai proses), apa yang berubah selama akukturasi
(pertanyaan mengenai hasil).
Akulturasi dapat dinilai dengan mengukur aspek-aspek akulturasi. Berry pada tahun
2006 menyatakan bahwa aspek-aspek akulturasi tersebut mencakup :
Dari pemaparan teori terkait dengan akulturasi di atas, dapat kita kaitkan dengan
fenomena akulturasi budaya yang terjadi saat ini di Pulau Bali yang merupakan pengaruh dari
perkembangan pariwisata yang begitu pesatnya. Dengan perkembangan pariwisata yang
begitu pesatnya terjadi banyak akultrasi budaya di Bali, seperti contohnya seni tari di Bali
saat ini sudah banyak mengalami akultrasi yaitu beberapa seni tari sudah mulai
dikolaborasikan dengan seni tari dari luar daerah tanpa menghilangkan karakteristik asli dari
seni tari Bali itu sendiri. Misalkan saja sebuah wujud seni tari baru yaitu seni tari
kontemporer yang merupakan gabungan dari beberapa seni tari yang di dalamnya terdapat
unsur seni tari Bali dan juga digabung dengan seni tari dari luar daerah dengan
mempertahankan karakteristiknya masing-masing. Selain seni tari banyak pula terdapat seni
yang mendapat akulturasi dari budaya-budaya luar seperti seni musik yang mulai dikemas
dengan gabungan antara musik khas Bali dengan musik modern seperti gitar dan lainnya.
Serta akulturasi budaya juga terlihat pada seni lukis, dimana pada zaman dahulu
sebelum berkembangnya teknologi dan IPTEK dengan baik para seniman membuat sebuah
karya lukisan pada media-media tertentu seperti batu, tanduk hewan atau bahkan pada sebuah
media yang sederhana seperti kulit kayu, namun dengan adanya sebuah akulturasi budaya
saat ini seni lukisan yang dikembangkan sudah banyak menggunakan media yang modern
seperti media kanvas, bukan hanya media saja yang berubah namun perubahan juga mengacu
pada tata nilai dari budaya itu sendiri yang juga mengalami sebuah perubahan, dimana pada
zaman dahulu lukisn oleh seniman Bali lebih banyak mengambil tema kegiatan masyarakat
serta alam dan juga sebuah tema yang menggambarkan spiritual bergeser menjadi sebuah seni
lukis yang mengambil tema kolaborasi antara semua tema yang ada, sehingga menghasilkan
beberapa karya lukisan yang temanya abstrak, serta tema lainnya yang bersifat modern.
Masih banyak lagi sebuah karya seni yang sudah mendapat pengaruh akulturasi dari budaya
luar, baik dari segi tatanan nilai sampai dengan wujud dari seni dan budaya Bali itu sendiri.
Dalam perkembangannya pariwisata tampak seperti dua mata pisau yang dimana
memiliki dampak sebagai ancaman serta dampak sebagai sebuah pemicu pelestarian. Jika
dilihat dari sudut pandang pariwisata sebagai sebuah pemicu pelestarian kebudayaan yang
ada di Bali maka dapat kita kaitkan dengan bagaimana keadaannya di masyarakat. Pariwisata
dikatakan sebagai sebuah pelestarian dapat kita lihat melalui pola pengembangannya, tata
nilainya sampai dengan bagaimana implementasinya di masyarakat. Berikut adalah contoh
bagaimana “Pariwisata” dikatakan sebagai faktor pelestari budaya yang ada di Bali
khususnya.
5. Pembangunan Museum
Museum dapat merepresentasikan suatu budaya daerah dengan memajang
benda- benda adat ataupun rekayasa suatu tempat. Sebagai contohnya Museum
Subak yang berada di Jalan Jend Gatot Subroto. Subak merupakan Warisan
Budaya Dunia oleh UNESCO pada bulan Mei 2012. Museum ini memamerkan
miniatur Subak sehingga wisatawan dapat mengetahui pertanian di Bali. Dengan
memberikan pengetahuan kepada wisatawan tentang budaya setempat dapat
melestarikan budaya tersebut.
6. Desa Edukasi Budaya
Desa Budaya Kertalanggu yang bertempat di Ngurah Rai Denpasar menjadi
salah satu tujuan wisatawan saat memiliki waktu ke Pulau Dewata. Anak- anak
dapat mendapatkan edukasi tentang budaya Bali dengan penyampaian yang
menarik sehingga para wisatawan dapat memahami budaya yang harus
dilestarikan di Bali. Dengan derasnya arus pariwisata, meningkatkan jumlah
pengunjung yang berarti bertambah juga orang yang mengerti akan budaya Bali.
Apabila merujuk pada teori konflik dari Dahrendorf dan Antony Gidden, mereka
menjelaskan mengenai penyelesaian masalah melalui pendekatan kajian budaya. Kata kunci
dari teori konflik adalah kepentingan. Kepentingan tampak berwujud dalam kerugian, baik
kerugian material maupun immaterial. Inti dari teori konflik adalah berbunyi “kepentingan
adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat”.
Kepentingan adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat dan kepentingan
itu tidak jarang bertentangan sehingga menimbulkan konflik.19 Dalam hal kebudayaan
spiritualitas Bali tentu kepentingan yang satu adalah bagaimana tari sakral harus dijaga
kesakralannya, dan kepentingan lainnya adalah bagaimana tari sakral menjadi nilai komersil
yang sangatmenjual dan dapat menarik semakin banyak wisatawan ke Bali.
19
I Ketut Artadi, Kebudayaan Spiritualitas (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2009) hal. 146
Teori konflik akhirnya akan mencari bentuk-bentuk kepentingan yang mungkin
terlibat dalam setiap konflik. Mengatasi konflik tersebut salah satu jalannya adalah mengatur
kepentingan tersebut dengan hukum (norma).
Dalam surat keputusan bersama tersebut juga disebutkan tari-tarian apa saja yang
dilarang untuk ditampilkan tidak sesuai aturannya.
6) Barong Asu
6. Tari Kincang-kincung
7. Tari Sraman
8. Tari Abuang/Mabuang
9. Tari Gayung
2. Pemahaman mengenai sanksi dan menerapan sanksi yang tegas juga perlu agar wisatawan
semakin berhati-hati ataupun merasakan efek jera.
3. Segala bentuk aturan yang lahir di Bali harus di hormati oleh siapapun yang ada di daerah
tersebut.
5. Kesenian juga perlu dilestarikan agar keasliannya tetal terjaga dan eksistensinya tidak
luntur.
6. Perlu ada nya pengawasan dari pengelola tempat objek wisata agar tidak terjadi hal yang
tidak di inginkan
Dengan demikian, datangnya wisatawan ke Bali jika mengetahui nilai-nilai yang ada
dan menghormati segala peraturan akan menimbulkan suatu efek positif.
BAB III
PENUTUP
3.2 Kesimpulan
Hubungan antara pariwisata dengan kebudayaan sangatlah erat kaitannya jika kita
telaah lebih mendalam, sebab tanpa adanya kebudayaan fenomena pariwisata mungkin
saja tidak akan terjadi karena melalui pariwisata berkembang komunikasi lintas budaya
yang mengakibatkan terjadinya alkulturasi budaya atau bercampurnya kebudayaan yang
satu dengan yang lainnya.
Pariwisata di bali berperan dalam melestarikan budaya namun juga dapat menjadi
bumerang yang menghambat atau melunturkan budaya yang terdapat di bali. Dengan
adanya parwisata perekonomian di bali menjadi maju karena terbukanya beberapa
lapangan pekerjaan serta menambah devisa bagi negara Indonesia, Indonesia juga
semakin dikenal keindahan alamnya lewat pariwisata yang ada di bali. Di satu sisi
pariwisata juga dapat menghambat serta melunturkan budaya yang ada dibali, salah
satunya seperti tarian adat yang tadinya sakral menjadi dikomersialkan atau
dipertontonkan untuk mendapatkan penghasilan selain itu masalah kemacetan,kebersihan
lingkungan dan kepadatan penduduk juga terjadi di bali karena banyaknya wisatawan
asing dan lokal yang datang untuk berwisata
3.2 Saran