Anda di halaman 1dari 25

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kaitan antara Pariwisata dan Budaya

2.1.1 Definisi Pariwisata

Berbicara mengenai pariwisata dan kebudayaan, masing-masing memiliki arti dan


unsur-unsur yang sesungguhnya memiliki keterkaitan antara satu sama lainnya. Pariwisata
seringkali dikaitkan dengan obyek wisata dan wisatawan, sementara budaya/kebudayaan
sangat erat dikaitkan dengan manusia sebagai pelaku kebudayaan itu sendiri.

Ada bermacam-macam definisi mengenai apa itu pariwisata sesungguhnya. Pariwisata


adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung fasilitas serta layanan yang disediakan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. 1
Menurut James J. Spillane (1982), pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan
tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki
kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain.
Senada dengan yang diungkapkan oleh Spillane, Koen Meyers (2009) mendefinisikan bahwa
pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh sementara waktu dari tempat
tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah
melainkan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau libur
serta tujuan-tujuan lainnya.

Menurut Prof.K. Krapt dan Prof. Hunziker dalam Oka A.Yoeti (1996:112), pariwisata
adalah keseluruhan dari gejala-gejala yang ditimbulkan dari perjalanan dan pendiaman
orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan orang asing itu tidak
tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara.
Jadi pada intinya, pariwisata adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk
mencari kebahagiaan di dunia melalui suatu perjalanan sementara waktu ke suatu tempat
yang diharapkan dapat memenuhi keinginannya dalam hal liburan.2

Sebagai suatu aktivitas yang mempunyai peran dan pengaruh besar terhadap
kehidupan manusia, pariwisata telah menarik minat banyak akademisi dari berbagai disiplin
1
UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan
2
unknown, "Definisi Pariwisata lengkap menurut para ahli" (http://23tourism.blogspot.com/2015/01/definisi-
pariwisata.html, iakses pada 4 Desember 2019)
ilmu untuk mengkajinya, serta mengusulkan pengembangan ilmu pariwisata yang sejajar
dengan ilmu-ilmu lain.3

Pada tahun 1997, industri pariwisata Indonesia diperkirakan menghasilkan pajak tidak
langsung sejumlah 8,7% dari keseluruhan nilai pajak tidak langsung. Tahun 2007 meningkat
sebesar 9,6% dari total keseluruhan.4 Data tersebut menunjukan bahwa industri pariwisata
Indonesia memberikan kontribusi yang besar di bidang perpajakan. Pajak tersebut nantinya
diharapkan mampu membangun dan memberikan pembangunan kepariwisataan di seluruh
daerah di Indonesia.

2.1.2 Definisi Budaya

Selanjutnya adalah kebudayaan atau sering pula disebut budaya. Banyak sekali
definisi-definisi yang lahir dari buah pikiran para ilmuwan yang memiliki pandangannya
masing-masing mengenai arti kebudayaan tersebut. Namun dari segala definisi tersebut, ada
satu kesepahaman bahwa kebudayaan diakui sebagai khas insani yang hanya melekat pada
manusia dan tidak dilakukan oleh hewan maupun olah alam transenden.5

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil
karya masyarakat.6 Senada dengan pendapat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soenardi yang
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.7

J.W.M. Bekker (1984 :37) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah penciptaan,


penertiban, dan pengelolaan nilai-nilai insani. Jadi kebudayaan adalah benar-benar dimensi
manusia, yang menurut Bakker “Manusia sebagai Pencipta di Dunia”. Supartono (1999 : 33)
memberikan definisi kebudayaan adalah hasil pemikiran dan akal manusia. Berkaitan dengan
itu lahir pula definisi berbunyi, kebudayaan adalah hasil dari akal dan ikhtiar manusia.

3
I Gede Pitana & I Ketut Surya Diarta, Pengantar Ilmu Pariwisata (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2009) hal. 2
4
I Ketut Suwena & I Gusti Ngurah Widyatmaja, Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata (Denpasar: Pustaka
Larasan, 2017) hal. 17
5
I Ketut Artadi, Kebudayaan Spiritualitas (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2009) hal. 2
6
UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
7
Zakky, “Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli dan Secara Umum”
(https://www.zonareferensi.com/pengertian-kebudayaan/, diakses pada 4 Desember 2019)
Dasar dari definisi ini adalah argumentasi gramatikal, yaitu : kebudayaan berasal dari
kata “budhi” yakni bahasa sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi budhi (tunggal)
atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran atau
akal manusia.8

Kebudayaan memiliki 7 unsur, diantaranya : (1) Sistem religi; (2) Sistem organisasi
kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) Sistem mata pencaharian; (5) Sistem teknologi;
(6) Sistem bahasa; dan (7) Sistem kesenian. Kebudayaan memang sejatinya cukup luas dan
tidak hanya menjadi sesuatu hal yang dapat dilihat, namun juga abstrak.

Hasil-hasil kebudayaan yang ada dan dapat dilihat di Bali lahir dari perbuatan
manusia yang berkaitan erat dengan rasa spiritualitasnya, misalnya seni tari (sakral, non
sakral), seni pahat, dan karya-karya berupa norma-norma untuk melayani kebutuhan batin
menghormati rasa spiritualitas, Kebudayaan inilah yang dapat diistilahkan sebagai
kebudayaan spiritualitas. Disebut spiritualitas karena pertama, terdapat roh-roh yang
mendorong inspirasi. Spiritualitas bukan agama, tetapi nuansa alam transenden yang meliputi
rasa manusia sehingga karya yang lahir padanya diwarnai oleh getaran-getaran batin, dan
tidak semata-mata fisik.

Selanjutnya, kebudayaan spiritualitas di Bali inilah yang dirasa unik dan menjadi daya
Tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bali sehingga pariwisata Bali sangat terkemuka di
dunia. Contoh kebudayaan spiritualitas di Bali seperti yang telah disebutkan sebelumnya
adalah seni tari yang nantinya akan dipaparkan lebih lanjut.

2.1.3 Kunjungan Wisatawan ke Bali

Mengenai perkembangan pariwisata di Bali, dapat kita ketahui pertumbuhan


pariwisata Bali dalam kurun waktu 11 tahun yakni pada tahun 2003 sampai dengan tahun
2013, dengan mengutip data yang disampaikan Prof. Wiendhu Nuryanti Vice Minerters saat
international seminar on The Future of Bali Tourism menunjukan tren yang meningkat dari
995.272 pada tahun 2003 mencapai 3.341.889 di tahun 2013, dengan Gross Regional
Domestic Product ( GRDP) yang meningkat pula untuk sector trade, hotel restourant.
( Curve : Rapid Growth of Tourism In Bali ).9

8
Artadi, Op.cit., hal. 3
9
Kandi Wijaya, “Journal of Research in Economics and Management”, Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen
vol.15 No.1, Semester 1 2015, hal 121-122
Dari data kunjungan wisatawan data ke Bali menunjukan peningkatan setelah terjadi
Bom Bali 1 tahun 2002, dan bom Bali 2 pada tahun 2005 yang membawa konsekuensi
buruk bagi kunjungan wisatawan ke Bali, bahkan menunjukan minus, walaupun sifatnya
sementara. Dalam 5 tahun terakhir, dari tahun 2008-2013, sampai awal tahun 2014
menunjukan bahwa kunjungan wisatawan ke Bali cukup baik mengalami peningkatan.
Selama kwartal I 2014, sektor pariwisata Bali tumbuh diatas rata rata nasional, dengan
tingkat pertumbuhan 6,86 persen lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,21
persen. 10

Hal ini disebabkan oleh makin menguatnya sektor pariwisata Bali, dengan kunjungan
bulan Januari-april mencapai 2.947.684 atau tumbuh 10,64 persen pada periode yang sama
tahun 2013 sebesar 2.664.176 wisatawan. Diprediksi target 9,3 hingga 9,5 juta bisa
tercapai dengan target pertumbuhan 6-8 persen dapat tercapai, dengan pasar utama
Singapura (463.924), Malaysia (413.504) dan RRC (324.344) Australia (316.122), demikian
dikatakan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Pangestu. (Balipost 6 Juni 2014:21)

Merujuk pada data kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali, meskipun terdapat


penurunan namun Bali tetap menjadi daerah penyumbang kunjungan pariwisata terbesar di
Indonesia. Hal tersebut dapat digambarkan melalui diagram berikut.

Gambar 1

Data jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali

10
Ibid., hal 123
(sumber : databoks.co.id)

Gambar 2

Data perbandingan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali dan Indonesia

(sumber : lokadata.co.id)

Globalisasi dan perkembangan zaman membuat kebudayaan Bali menjadi semakin


mudah untuk dilihat oleh dunia luar yang membuat semakin banyak wisatawan yang
melancong ke Bali. Bukan hanya wisatawan mancanegara, namun juga wisatawan domestic.
Kemajuan pariwisata di Bali tentu tidak hanya dapat memberikan dampak positif, namun
juga dampak negative. Namun memang tentunya diusahakan agar lebih banyak memperolah
dampak positif daripada negatifnya.

2.1.4 Kaitan Pariwisata dengan Kebudayaan

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari ribuan pulau dan beraneka ragam suku
dan budaya, keindahan alam dan keberagaman budayanya membuat indonesia menjadi
tempat wisata yang wajib dikunjungi turis asing ketika berlibur. Indonesia sendiri memiliki
hampir semua jenis wisata yang ada, salah satu yang menjadi daya tarik wisata di Indonesia
adalah wisata budaya. Beragamanya budaya yang dimiliki indonesia bisa menjadi aset yang
tak ternilai harganya sebab dengan memiliki kebudayaan yang beragam mengakibatkan
adanya daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia, dengan demikian devisa
dari negara kita bisa bertambah dan bisa membantu memajukan perekonomian masyarakat.

Daerah Bali sebagai daerah wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan,
baik lokal maupun internasional telah menerapkan konsep pariwisata budaya dengan
berpegang pada komponen-komponen di atas. Melalui Perda No.3/1991 sebagai
penyempurnaan Perda No. 1/1974 sebagai bingkai visi pembangunan Bali, yakni Bali Dwipa
Jaya berlandaskan Tri Hita Karana. Intinya bahwa pembangunan Bali selalu mengedepankan
keseimbangan antara manusia, lingkungan alam semesta, dan Sang Pencipta. Pembangunan
tidak hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi, apalagi kepentingan sesaat. Melalui
konsepsi pariwisata budaya diharapkan adanya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
antara penyelenggaraan pariwisata dan kebudayaan Bali (Sumardi,2010).

Mengkhusus pada wisata budaya, daerah yang terkenal dengan wisata budayanya di
Indonesia adalah Bali. Di Bali ada beraneka ragam budaya yang sangat di senangi turis asing.
Menurut badan pusat stastik provinsi Bali sendiri jumlah kunjungan wisatawan asing yang
berkunjung ke Bali maupun Indonesia pada 2018 mencapai 6.070.473 orang, angka ini
mengalami peningkatan sebanyak 6,54% dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah
5.697.739 orang.11

Alasan dari ramainya wisatawan yang berkunjung ke Bali tentu karena Bali yang
memiliki keragaman dan keunikan budayanya. Di Bali pariwisata merupakan salah satu
penunjang perekonomian masyarakat, dimana dengan adanya pariwisata dapat membantu
mengurangi angka pengangguran yang ada di Bali. Selain itu pariwisata juga berperan dalam
perkembangan budaya yang ada di Bali dimana pariwisata sendiri merupakan suatu fenomena
yang terdiri dari berbagai aspek dan kebudayaan merupakan salah satu dari aspek tersebut.
Hubungan antara pariwisata dengan kebudayaan sangatlah erat kaitannya jika kita telaah
lebih mendalam, sebab tanpa adanya kebudayaan fenomena pariwisata mungkin saja tidak
akan terjadi karena melalui pariwisata berkembang komunikasi lintas budaya yang
mengakibatkan terjadinya alkulturasi budaya atau bercampurnya kebudayaan yang satu
dengan yang lainnya.

2.2 Pariwisata sebagai Ancaman dan Pelestari Kebudayaan


11
BPS Prov.Bali “Jumlah wisatawan asing Ke Bali menurut bulan”,
(https://bali.bps.go.id/statictable/2018/02/09/21/jumlah-wisatawan-asing-ke-bali-menurut-bulan-1982-
2019.html, diakses 4 Desember 2019)
2.2.1 Pariwisata sebagai Ancaman terhadap kebudayaan

Dengan semakin meningkatnya perkembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan


ke Bali berbanding lurus dengan meningkatnya daya Tarik budaya di mata para wisatawan
tersebut. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut menyebabkan berbagai macam pergeseran
kebudayaan dan disorientasi di Bali. Mulai dari kebudayaan sakral yang dikomersilkan
hingga pelecehan terhadap tempat suci di Bali.

Lalu dengan pergeseran kebudayaan dari yang memiliki nilai spiritual ke nilai
komersil menjadi sebuah ancaman bagaimana nantinya lama kelamaan kebudayaan
spiritualitas yang seharusnya suci malah menjadi ancaman bagi kehidupan religi di Bali.
Pariwisata yang semakin berkembang dikhawatirkan menjadi perusak kebudayaan di Bali
bukannya malah melestarikan. Maka untuk menjawab pertanyaan selanjutnya yang muncul
yaitu apakah memang kebudayaan ini bisa hilang begitu saja? Dapat kita kaitkan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi budaya dan pergeseran budaya .

Untuk mempelajari pergeseran budaya maka perlu diketahui sebab-sebab yang


melatar belakangi terjadinya proses pergeseran itu, apabila diteliti lebih mendalam mengenai
sebab terjadinya suatu pergeseran kebudayaan masyarakat mungkin saja dikarenakan adanya
sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan mungkin saja pergeseran terjadi karena
adanya faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti faktor yang lama
itu. Atau mungkin juga suatu masyarakat mengalami pergeseran budaya karena terpaksa demi
untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan
terlebih dahulu.

Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pergeseran budaya, menurut Soerjono


Soekanto terbagi menjadi 2 yaitu faktor intern dan faktor ekstern terletak dalam masyarakat
itu sendiri (intern) dan ada yang terletak di luar (ekstern).12

Sebab-sebab yang bersumber dari masyarakat itu sendiri diantaranya :

1. Bertambah atau berkurangnya penduduk.


2. Adanya penemuan-penemuan baru.
3. Pertentangan masyarakat
4. Terjadinya pemberontakan atau revolusi.

12
Suwardi Lubis, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebudayaan
dan Pergeseran Budaya” (https://suwardilubis.blogspot.com/2016/01/faktor-faktor-yang-
mempengaruhi.html, diakses pada 5 Desember 2019)
Sedangkan Sumber-sumber yang berasal dari luar masyarakat, yaitu :

1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.
2. Peperangan
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain

Lalu ancaman dari perkembangan pariwisata tentu dapat kita kaitkan dengan faktor
ekstern atau faktor yang berasal dari luar. Yakni pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Dari
antusiasme wisatawan ke Bali, masyarakat Bali menjadi terbawa arus dan melupakan seperti
apa sebenarnya kebudayaan-kebudayaan yang diwarisi tersebut harus senantiasa dilestarikan
dan dijaga kesuciannya, bukannya malah menjadikannya sebagai obyek jual beli atau
dikomersilkan.

Contoh nyata dari ancaman pariwisata terhadap kebudayaan di Bali, antara lain :

1. Seni Tari

Kembali lagi berbicara mengenai kebudayaan spiritualitas di Bali, yakni salah


satunya adalah seni tari. Tari menurut Soedarsono (1933) adalah ungkapan ekspresif
jiwa manusia dalam gerak-gerak yang indah dan ritmis. Di Bali banyak sekali jenis
tari-tarian yang seringkali dipertunjukan kepada para wisatawan yang berkunjung.
Tari ada yang sifatnya sakral dan ada yang tidak sakral. Tari sakral di Bali seperti
yang diketahui merupakan tarian yang memiliki nilai magis dan kekuatan (power)
serta suci sehingga hanya ditarikan di pura dan dipentaskan oleh orang-orang tertentu
dan memiliki aturan-aturan tertentu yang sarat akan makna dan filosofi. Sedangkan
tari non sakral adalah tari yang dapat dipertunjukan tidak hanya di pura, namun dapat
ditarikan di lokasi-lokasi lain sesuai dengan tujuan yang disesuaikan.

Berbeda dengan tarian Jawa, yang memiliki penggemar Eropa sejak akhir
abad yang lalu, tarian Bali yang kini sangat tersohor di dunia Barat, baru
menampakkan reputasinya dan naik daun setelah dijadikan tontonan pariwisata.
Tarian-tarian Bali yang kini dijadikan primadona kesenian Bali, baru pada tahun
1930-an dianggap pantas buntuk diperkenalkan kepada wisatawan. Setelah
kemerdekaan, dan terutama setelah tegaknya Orde baru, seni Bali, dengan tarian di
garis depan, dijadikan sarana untuk mempromosikan baik pengenbangan pariwisata
internasional maupun pembinaan kebudayaan nasional Indonesia, dengan lain kata,
setelah dijadikan lambing Bali sebagai daerah tujuan wisata, tak terelakkan lagi tarian
dijadikan juga lambang jati diri orang Bali di gelanggang nasional Indonesia (Picard
1996).13

Dengan semakin banyak permintaan pertunjukan seni tari di Bali, maka ada
disorientasi yang terjadi. Dimana terdapat tari-tari sacral yang kehilangan
kesakralannya dikarenakan ditarikan tidak sesuai dengan aturannya. Tari-tari spiritual
tersebut juga mulai bergeser dari tujuan religious ke tujuan-tujuan komersil. Sehingga
dapat dikatakan ada yang salah dari penerapan kebudayaan di masyarakat Bali itu
sendiri.

Maraknya pergeseran yang terjadi ini sangat nyata ditemui di tempat-tempat


wisata yang sebenarnya bukan menjadi lokasi yang tepat untuk dipentaskan. Seperti
contohnya adalah tari rejang yang seringkali dipentaskan di hotel-hotel. Padahal tari
rejang merupakan tari yang sakral dan penuh dengan filosofi nya. Selama tarian Bali
hanya diperuntukkan untuk orang Bali, pemilahan antara ritus dan tontonan tidak
pernah dipermasalahkan. Tetapi, dengan kehadiran wisatawan, orang Bali mau tidak
mau mesti berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka harus menafsirkan
kebudayaan Tarian Bali sebagai Atraksi Pariwisata.14

Salah satunya adalah Tari Rejang yang merupakan tarian tradisional yang
dipercaya masyrakat Bali dalam menyambut kedatangan serta menghibur para dewa
yang datang dari Khayangan dan turun ke Bumi. Tarian rejang ini secara khusus
ditampilkan pada waktu berlangsungnya suatu upacara adat atau keagamaan
masyarakat Hindu di Bali. Selain sebagai salah satu warisan budaya, tarian ini juga
dipercaya memiliki nilai-nilai penting di dalamnya khususnya makna spiritual,
sehingga juga dipercaya sebagai tarian yang suci dan dilakukan dengan penuh rasa
pengabdian. Menurut beberapa sumber sejarah yang ada, Tari Rejang diperkirakan
sudah ada sejak zaman pra-Hindu. Tarian ini dipercaya dilakukan sebagai
persembahan suci untuk menyambut kedatangan para dewa yang turun ke Bumi.
Pementasan tari rejang yang tidak sesuai dengan aturan maka dapat membawa
malapetaka bagi masyarakat bali kedepannya.

Selain tari rejang adapula Tari Pendet, Tari Pendet pada awalnya dimaksudkan
untuk pementasan ritual dan ditarikan dalam Pura oleh penari perempuan,sambil
13
Michel Picard, Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hal.
207.
14
Ibid., hlm. 210.
mempersembahkan bunga, nasi, dan dupa kepada para Dewa yang bersemayam pada
salah satu altar. Pada tahun 1950-an, ketika Soekarno dan tamu Negara
memengunjungi Bali, muncul kebiasaan menyambut mereka di lapangan udara
dengan acara tarian Pendet besar-besaran. Pada waktu itu instansi-instansi agama
Hindu bereaksi keras, mereka memandang hal itu sebagai pencemaran, oleh karena
wisatawan-wisatawan nampak disetarakan dengan para Dewa. Sehingga, pada awal
tahun 1970-an, I Wayan Beratha, seorang koreografer dari Konservatori Karawitan ,
menciptakan atas permintaan instansi agama itu, suatu “kreasi baru“ yang diilhami
oleh Pendet, tetapi dalam gaya kebyar. Belakangan dikenal sebagai Panyembrama.
Tarian baru itu kini sudah menggantikan tarian ritual lama sebagai pembukaan
pertunjukan pariwisata.15

Orang – orang yang menentang Pariwisata Berbasis Budaya berpendapat


bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata dapat merusak keaslian atau keutuhan
hayati suatu produk budaya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah
merusak atau, menghancurkan kebudayaan lokal. Pariwisata secara langsung
‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan
kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada
wisatawan.16

2. Pura/Tempat Suci Agama Hindu

Keberadaan kegiatan pariwisata di Bali tidak bisa dihindari lagi, sebagai salah
satu komoditi penunjang perekonomian masyarakat sudah pasti pariwisata menjadi
pekerjaan pokok sebagian besar orang di Bali. Kegiatan pariwista sendiri bisa berupa
mengunjungi tempat ataupun menyaksikan pertunjukan-pertunjuakan yang disajikan.

Di Bali fenomena mengunjungi tempat-tempat yang berbau alam sudah


menjadi hal-hal biasa sebab keindahan alam di Bali sudah tidak diragukan lagi, tetapi
kini mulai berkembang lagi wisata budaya yang berbau spiritual di Bali, yaitu
mengunjungi pura-pura atau tempat suci bagi agama Hindu di Bali. Banyak daerah
ingin memperkenalkan daerahnya masing-masing melalui wisata mengunjungi pura-

15
Michel Picard, Bali : pariwisata budaya dan budaya pariwisata, (Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm.
207.
16
Puji Purdaningrum, “Pariwisata Penghancur atau Pelestari Kebudayaan”,
(https://pujipurda.wordpress.com/2017/05/11/pariwisata-penghancur-pelestari-kebudayaan/ ., diakses pada 5
Desember 2019)
pura ini, banyak tour guide dan agent-agent travel lokal ikut menawarkan perjalanan
mengunjungi pura-pura di Bali. Hal ini bisa menjadi faktor pendukung
berkembangnya pariwisata budaya di Bali sebab, tidak semua tempat di Indonesia
memiliki wisata budaya seperti di Bali. Wisata kepura-pura ini juga menjadi sarana
pengenalan budaya kita ke dunia, dimana dengan semakin dikenalnya budaya Bali di
dunia diharapkan makin banyaknya turis maupun wisatawan berkunjung ke Bali. Tapi
dalam hal ini masih ada pro dan kontra di dalamnya, dimana pura yang seharusnya
memiliki nilai kesakralan yang tinggi sebagai tempat beribadah umat beragama Hindu
malah dijadikan sebagai tempat wisata yang dikunjungi banyak orang, dengan adanya
kegiatan wisata ke pura-pura ini ditakutkan malah menurunkan nilai ke sakralan dari
pura itu sendiri.

Wisatawan yang berkunjung ke pura-pura belum tentu tau aturan-aturan


ataupun larangan-larangan di tempat tersebut, hal ini yang menjadi ketakutan
sebagian orang dengan wisata ke pura-pura ini. Kita ambil contoh dari kasus bule
yang menaiki padmasana di pura Gelap, Besakih. Di lansir dari tribun news.com pada
april 2018 beredar vidio seorang bule lelaki naik ke pelinggih Padmasana dan duduk
di rong Padmasana tersebut. Bule yang diketahui bernama Bernat tersebut naik di
Padmasana Pura Gelap Besakih, Karangasem.17 Hal ini merupakan pukulan telak bagi
pelaku wisata di Bali, dimana pariwisata malah menjadi bumerang bagi kesakralan
tempat-tempat suci di Bali. Ini baru satu contoh, tapi diluar sana masih banyak kasus
pelecehan tempat suci yang dilakukan oleh wisatawan asing yang sedang berwisata di
Bali. Hal ini malah menjadi faktor penghambat berkembangnya pariwisata budaya di
Bali, sebab dengan adanya kasus-kasus seperti ini membuat warga masyarakat adat
akan menutup diri dengan lingkungan global karena takut akan terkikisnya kesakralan
tempat suci mereka.

3. Aspek tingkah laku masyarakat

Dalam aspek antropologi atau tingkah laku masyarakat dapat kita kaitkan
bahwasannya perkembangan pariwisata dapat membawa sebuah perubahan tatanan nilai
dalam masyarakat serta perubahan pola-pola tingkah laku masyarakat. Dimana dapat kita
lihat dalam fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu perubahan tatanan nilai yang
17
Tribun-Bali.com “Bule Naik Padmasana di Pura Gelap Besakih”,
https://bali.tribunnews.com/2019/08/13/tribun-wiki-3-kasus-bule-lecehkan-tempat-suci-di-bali-yang-viral-dua-
tahun-belakangan-ini?page=all, diakses 30 November 2019
terjadi ialah, dengan melihat perkembangan pariwisata di Bali menyebabkan banyak
berdirinya pusat-pusat akomodasi pariwisata seperti hotel. Villa dan lainnya, dari hal
tersebut menyerap banyak tenaga kerja khususnya dari masyarakat Bali yang bekerja
pada sektor pariwisata. Mengingat dalam bidang pariwisata bekerja 8 jam atau lebih
dalam sehari menyebabkan terbatasnya waktu yang dimiliki oleh masyarakat untuk
melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban dalam bermasyarakat atau lebih dikenal
dengan istilah “nagayah”, sehingga pada saat ini terjadi beberapa perubahan dalam nilai
budaya dan juga nilai norma yang ada di masyarakat yaitu kebijakan desa adat yang mulai
membuat sebuah kebijakan untuk mengganti tanggung jawab ngayah tersebut dengan
sejumlah uang, hal tersebut merupakan salah satu perubahan dalam bidang antropologi
atau timgkah laku masyarakat dengan adanya perkembangan pariwisata di Bali.

Bukan hanya perubahan itu, namun ada juga perubahan tatanan nilai lainnya yaitu
tingkah laku masyarakat yang mulai meniru gaya kebarat-baratan atau kita kenal dengan
budaya westernisasi, yang dimana masyarakat pribumi mulai meniru budaya luar dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam gaya bahasa, dalam gaya busana sampai dengan tingkah
polah kehidupan sehari-hari yang mulai terpengaruh budaya baraan.

Komersialisasi Budaya, Fake Cultural Attraction or Production, Modifikasi Budaya


dan Tourisfication (turisfikasi) dalam pariwisata inilah yang menyebabkan Pariwisata sebagai
suatu hal yang menjadi penghancur atau perusak kebudayaan karena dianggap akan
mempengaruhi pergeseran nilai budaya masyarakat di tempat tersebut, karena tempat –
tempat suci dan sakral tidak lagi dihormati dan disegani. Dimana perayaan atau acara adat
istiadat tersebut yang awalnya bersifat privat menjadi publik.

2.2.2 Pariwisata sebagai Pelestari Kebudayaan

Membahas pariwisata tentu sangat penting memahami salah satu dampak positif dari
pariwisata itu sendiri. Salah satunya adalah akulturasi, akulturasi berbeda dengan enkulturasi,
dimana akulturasi merupakan suatu proses yang dijalani individu sebagai respon terhadap
perubahan konteks budaya. Budaya menurut Melville J. Herskovids (2000) merupakan sikap,
perasaan, nilai, dan perilaku yang menjadi ciri dan menginformasikan masyarakat secara
keseluruhan atau kelompok sosial di dalamnya. 18 Adapun definisi akulturasi menurut para
ahli meliputi :

18
Diktat Akulturasi Budaya, Universitas Sumatra Utara
A. Akulturasi Redfield (1936) adalah suatu fenomena yang merupakan hasil ketika suatu
kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berdeda datang dan secara
berkesinambungan melakukan kontak dari perjumpaan pertama, yang kemudian
mengalami perubahan dalam pola budaya asli salah satu atau kedua kelompok
tersebut. Menurut Social Science Research Council (1954), akulturasi merupakan
perubahan budaya yang diawali dengan bergabunganya dua atau lebih budaya yang
berdiri sendiri. Perubahan akulturatif mungkin merupakan konsekuensi langsung dari
perubahan budaya; mungkin disebabkan oleh faktor non-budaya, seperti ekologi atau
modifikasi demografi yang disebabkan oleh budaya yang bertimpang tindih; mungkin
juga terhambat, seperti penyesuaian internal terhadap penerimaan sifat-sifat atau pola
asing; atau mungkin bentuk reaksi adaptasi dari model hidup secara tradisional.
B. Menurut Graves (1967), akulturasi merupakan suatu perubahan yang dialami oleh
individu sebagai hasil dari terjadinya kontak dengan budaya lain, dan sebagai hasil
dari keikutsertaan dalam proses akulturasi yang sedang dijalani oleh budaya atau
kelompok etnisnya. Perubahan yang terjadi pada tingkatan ini terlihat pada identitas,
nilai-nilai, dan perilaku. Akulturasi menurut Organization for Migration (2004)
merupakan adaptasi progresif seseorang, kelompok, atau kelas dari suatu budaya pada
elemen-elemen budaya asing (ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku).yang memiliki
makna sebuah perpaduan budaya satu dengan budaya yang lainnya tanpa
menghilangkan karakteristik asli dari budaya yang telah ada.
C. Akulturasi menurut Organization for Migration (2004) merupakan adaptasi progresif
seseorang, kelompok, atau kelas dari suatu budaya pada elemen-elemen budaya asing
(ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku).

Dari defenisi akulturasi diatas kita dapat mengidentifikasi beberapa elemen kunci
seperti:

a. Dibutuhkan kontak atau interaksi antar budaya secara berkesinambungan.


b. Hasilnya merupakan sedikit perubahan pada fenomena budaya atau psikologis
antara orang-orang yang saling berinteraksi tersebut, biasanya berlanjut pada
generasi berikutnya.
c. Dengan adanya dua aspek sebelumnya, kita dapat membedakan antara proses dan
tahap; adanya aktivitas yang dinamis selama dan setelah kontak, dan adanya hasil
secara jangka panjang dari proses yang relatif stabil; hasil akhirnya mungkin
mencakup tidak hanya perubahan perubahan pada fenomena yang ada, tetapi juga
pada fenomena baru yang dihasilkan oleh proses interaksi budaya. Berdasarkan
beberapa defenisi akulturasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi
merupakan suatu cara yang dilakukan sejak pertama kali melakukan kontak agar
dapat beradaptasi dengan kebudayaan baru.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akulturasi Menurut teori yang dikemukakan oleh


Redfield (1936), terdapat 3 isu yang dapat diidentifikassi sebagai faktor yang mempengaruhi
akulturasi, yaitu:

1. Kontak; Kontak merupakan hal yang penting dalam akulturasi dimana kontak
merupakan “pertemuan” antara setidaknya dua kelompok budaya atau individu yang secara
bersama-sama melakukan kontak secara “berkesinambungan” dan “langsung”. Akulturasi
dapat dikatakan nyata apabila individu-individu atau kelompok melakukan “interaksi” pada
tempat dan waktu yang sama, bukan melalui pengalaman orang kedua (misalnya pengalaman
dari orang lain yang pernah mengalami kontak langsung dengan budaya lain) atau kontak
secara tidak langsung (misalnya melalui surat menyurat dengan orang lain yang berbeda
budaya).

2. Pengaruh timbal balik; Berdasarkan teori Redfield pada kalimat “mengalami


perubahan dalam pola budaya asli salah satu atau kedua kelompok tersebut” memuat maksud
adanya pengaruh timbale balik dimana pada teorinya kedua kelompok saling mempengaruhi.

3. Perubahan; perubahan merupakan salah satu aspek penting dalam kontak yang
meliputi proses yang dinamis, dan hasil yang mungkin relatif stabil. Hal ini bermaksud
bahwa mempelajari akulturasi kita dapat melihat prose situ sendiri, seperti bagaimana
perubahan dapat terjadi (pertanyaan mengenai proses), apa yang berubah selama akukturasi
(pertanyaan mengenai hasil).

Akulturasi dapat dinilai dengan mengukur aspek-aspek akulturasi. Berry pada tahun
2006 menyatakan bahwa aspek-aspek akulturasi tersebut mencakup :

a. Cultural Maintenance , merupakan perilaku individu dalam mempertahankan


budaya dan identitas dari daerah asalnya. Perilaku tersebut dapat tampak dalam kegiatan
yang dilakukan sehari-hari,

b. Contact and Participation,Contact and Participation, merupakan tindakan individu


untuk melakukan kontak dan berpartisipasi dengan kelompok mayoritas bersama dengan
kelompok budaya lainnya. Perilaku-perilaku dalam beradaptasi terhadap budaya yang
berbeda mencakup peran dari status kelompok, identifikasi, pertemanan (friendships), dan
penilaian ideologi (Verkuyten,2005). Perilaku pertemanan (friendships) merupakan salah satu
cara dalam melakukan kontak dengan anggota kelompok lain yang dapat meningkatkan
persepsi dan evaluasi dari kelompok lain. Pertemanan (friendships) dapat meningkatkan
emosi positif yang mengarah pada perilaku yang lebih baik dari kelompok lain. Outgroup
friendships atau pertemanan dengan kelompok lain akan menurunkan tingkat prasangka,
meningkatkan rasa simpati, dan meningkatkan kepedulian terhadap situasi dan masalah yang
dihadapi oleh kelompok budaya lain.

Dari pemaparan teori terkait dengan akulturasi di atas, dapat kita kaitkan dengan
fenomena akulturasi budaya yang terjadi saat ini di Pulau Bali yang merupakan pengaruh dari
perkembangan pariwisata yang begitu pesatnya. Dengan perkembangan pariwisata yang
begitu pesatnya terjadi banyak akultrasi budaya di Bali, seperti contohnya seni tari di Bali
saat ini sudah banyak mengalami akultrasi yaitu beberapa seni tari sudah mulai
dikolaborasikan dengan seni tari dari luar daerah tanpa menghilangkan karakteristik asli dari
seni tari Bali itu sendiri. Misalkan saja sebuah wujud seni tari baru yaitu seni tari
kontemporer yang merupakan gabungan dari beberapa seni tari yang di dalamnya terdapat
unsur seni tari Bali dan juga digabung dengan seni tari dari luar daerah dengan
mempertahankan karakteristiknya masing-masing. Selain seni tari banyak pula terdapat seni
yang mendapat akulturasi dari budaya-budaya luar seperti seni musik yang mulai dikemas
dengan gabungan antara musik khas Bali dengan musik modern seperti gitar dan lainnya.

Serta akulturasi budaya juga terlihat pada seni lukis, dimana pada zaman dahulu
sebelum berkembangnya teknologi dan IPTEK dengan baik para seniman membuat sebuah
karya lukisan pada media-media tertentu seperti batu, tanduk hewan atau bahkan pada sebuah
media yang sederhana seperti kulit kayu, namun dengan adanya sebuah akulturasi budaya
saat ini seni lukisan yang dikembangkan sudah banyak menggunakan media yang modern
seperti media kanvas, bukan hanya media saja yang berubah namun perubahan juga mengacu
pada tata nilai dari budaya itu sendiri yang juga mengalami sebuah perubahan, dimana pada
zaman dahulu lukisn oleh seniman Bali lebih banyak mengambil tema kegiatan masyarakat
serta alam dan juga sebuah tema yang menggambarkan spiritual bergeser menjadi sebuah seni
lukis yang mengambil tema kolaborasi antara semua tema yang ada, sehingga menghasilkan
beberapa karya lukisan yang temanya abstrak, serta tema lainnya yang bersifat modern.
Masih banyak lagi sebuah karya seni yang sudah mendapat pengaruh akulturasi dari budaya
luar, baik dari segi tatanan nilai sampai dengan wujud dari seni dan budaya Bali itu sendiri.
Dalam perkembangannya pariwisata tampak seperti dua mata pisau yang dimana
memiliki dampak sebagai ancaman serta dampak sebagai sebuah pemicu pelestarian. Jika
dilihat dari sudut pandang pariwisata sebagai sebuah pemicu pelestarian kebudayaan yang
ada di Bali maka dapat kita kaitkan dengan bagaimana keadaannya di masyarakat. Pariwisata
dikatakan sebagai sebuah pelestarian dapat kita lihat melalui pola pengembangannya, tata
nilainya sampai dengan bagaimana implementasinya di masyarakat. Berikut adalah contoh
bagaimana “Pariwisata” dikatakan sebagai faktor pelestari budaya yang ada di Bali
khususnya.

1. Pelestarian tempat suci yang bersejarah di Bali


Dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali maka semakin
banyak pula pengembangan objek wisata yang dilakukan oleh masyarakat ataupun
pemerintah, salah satunya adalah pelestarian tempat suci Pura yang semakin
digencarkan dikarenakan saat ini pariwisata di Bali bukan hanya pariwisata
rekreasi, tetapi juga sudah berkembang fungsinya untuk diteliti oleh wisatawan
atau ilmuan dari luar negeri, serta wisata edukasi dan budaya, dimana wisatawan
datang ke Bali dengan tujuan untuk mempelajari budaya dan juga tentang tradisi
di Bali, maka tidak jarang pura lah yang menjadi sebuah sasaran untuk
mempelajari keragaman budaya dan tradisi yang kita punya. Dengan adanya
pengembangan tersebut maka saat ini desa pekraman melalui pimpinan masing-
masing daerahnya semakin menggalakan pembangunan di desa adat khususnya
pelestarian pura-pura bersejarah yang sarat akan makna filosofisnya.
2. Pertunjukan tari Bali
Saat ini kebutuhan akan pertunjukan tari khususnya tari Bali semakin
meningkat, baik itu untuk kepentingan event yang dipertunjukan kepada
wisatawan sampai dengan tari penyambutan. Salah satunya Tari Kecak, tari khas
Bali di khalayak wisatawan. Tari Kecak yang diperagakan di daerah pantai
menambah daya tarik wisatawan sehingga akan menjadi suatu hiburan. Tanpa
mengurangi hakikat aslinya, penampilan tari kecak yang menawan memberikan
dampak positif terhadap pelestarian budaya Bali. Tari daerah tetap mempunyai
ciri khas tersendiri dibandingkan dengan tarian modern. Melalui pariwisata yang
semakin berkembang pesat, maka aktivitas wisatawan juga semakin meningkat.
Pertunjukan tari Bali ini biasanya dipertunjukan pada saat pernikahan,
penyambutan tamu penting, sampai dengan pertunjukan untuk hiburan kepada
wisatawan. Melalui aktivitas tersebut maka pelatihan-pelatihan tari semakin
digencarkan baik oleh guru tari itu sendiri sampai dengan lembaga-lembaga resmi
seperti sekolah. Melalui peningkatan aktivitas pariwisata tersebutlah timbul usaha
untuk lebih menggencarkan kembali pelatihan-pelatihan tari dengan tujuan
komersil (untuk mendapatkan uang melalui mengisi acara pada event-event
tertentu) ataupun untuk dipertunjukan kepada wisatawan yang datang berkunjung
ke Pulau Bali, sehingga melalui perkembangan pariwisata tersebut dapat kita
katakana dapat juga berpengaruh pada perkembangan budaya khususnya seni tari
yang ada di Bali.
3. Pelestarian seni rupa di Bali
Seperti yang kita ketahui perkembangan pariwisata yang ada di Bali
menyebabkan kebutuhan akan barang-barang seni juga meingkat dikarenakan
wisatawan sangat tertarik dengan seni yang ada di Bali, sehingga perkembangan
kunjungan wisatawan ke Bali juga menyebabkan peningkatan akan barang
kerajinan, yang secara tidak langsung berimbas pada peningkatan produksi produk
kerjainan sehingga secara tidak langsung juga merupakan sebuah upaya dalam
pelestarian budaya, khusunya budaya dalam bidang seni rupa.
4. Festival seni dan budaya
Festival seni dan budaya merupakan salah satu program pemerintah yang
bertujuan untuk memperkenalkan seni dan budaya lokal yang dimiliki kepada
wisatawan mancanegara. Dengan adanya sebuah peningkatan kunjungan
wisatawan ke Bali berimbas pada semakin gencarnya pemerintah dalam
memperkenalkan kebudayaan Bali kepada wisatawan, misalkan saja kita lihat
pada salah satu contoh festival Jatiluwih yang memperkenalkan tentang jatiluwih
dengan berbagai macam keunikan yang dimiliki yaitu keberagaman budaya
khususnya budaya dalam bidang pertanian, melalui festival inilah pemerintah
gencar memperkenalkan bagaimana kebudayaan tersebut kepada wisatawan.
Melalui usaha tersebut juga merupakan salah satu usaha dalam pelestarian budaya
Bali kepada wisatawan yang berkunjung.

5. Pembangunan Museum
Museum dapat merepresentasikan suatu budaya daerah dengan memajang
benda- benda adat ataupun rekayasa suatu tempat. Sebagai contohnya Museum
Subak yang berada di Jalan Jend Gatot Subroto. Subak merupakan Warisan
Budaya Dunia oleh UNESCO pada bulan Mei 2012. Museum ini memamerkan
miniatur Subak sehingga wisatawan dapat mengetahui pertanian di Bali. Dengan
memberikan pengetahuan kepada wisatawan tentang budaya setempat dapat
melestarikan budaya tersebut.
6. Desa Edukasi Budaya
Desa Budaya Kertalanggu yang bertempat di Ngurah Rai Denpasar menjadi
salah satu tujuan wisatawan saat memiliki waktu ke Pulau Dewata. Anak- anak
dapat mendapatkan edukasi tentang budaya Bali dengan penyampaian yang
menarik sehingga para wisatawan dapat memahami budaya yang harus
dilestarikan di Bali. Dengan derasnya arus pariwisata, meningkatkan jumlah
pengunjung yang berarti bertambah juga orang yang mengerti akan budaya Bali.

Sehingga dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwasanya melalui


perkembangan pariwisata di Bali juga membawa dampak yang baik bagi pelestarian budaya
Bali, mengingat Bali dikunjungi karena daya tarik wisatanya yang menawarkan berjuta warna
budaya dan tradisi dengan spirit yang menjiwainya. Dengan berkembang dengan baiknya
pariwisata di Indonesia khususnya di Bali membuat pertumbuhan akan kebutuhan pariwisata
juga meningkat baik pada bidang objek yang ditawarkan sampai dengan objek untuk
dipelajari, yang dimana selain alam objek yang paling terpenting adalah budayanya, dimana
dengan berkembangnya pariwisata ini mendukung pelestarian budaya melalui bentuk-bentuk
usaha yang dilaksankan tersebut.

2.2.3 Kebijakan berkaitan dengan pelestarian kebudayaan

Apabila merujuk pada teori konflik dari Dahrendorf dan Antony Gidden, mereka
menjelaskan mengenai penyelesaian masalah melalui pendekatan kajian budaya. Kata kunci
dari teori konflik adalah kepentingan. Kepentingan tampak berwujud dalam kerugian, baik
kerugian material maupun immaterial. Inti dari teori konflik adalah berbunyi “kepentingan
adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat”.

Kepentingan adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat dan kepentingan
itu tidak jarang bertentangan sehingga menimbulkan konflik.19 Dalam hal kebudayaan
spiritualitas Bali tentu kepentingan yang satu adalah bagaimana tari sakral harus dijaga
kesakralannya, dan kepentingan lainnya adalah bagaimana tari sakral menjadi nilai komersil
yang sangatmenjual dan dapat menarik semakin banyak wisatawan ke Bali.

19
I Ketut Artadi, Kebudayaan Spiritualitas (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2009) hal. 146
Teori konflik akhirnya akan mencari bentuk-bentuk kepentingan yang mungkin
terlibat dalam setiap konflik. Mengatasi konflik tersebut salah satu jalannya adalah mengatur
kepentingan tersebut dengan hukum (norma).

Adapun kebijakan – kebijakan tersebut seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan


Kebudayaan Republik Indonesia No. 10 Tahun 2014 Pasal 3 mengenai Pedoman Pelestarian
Tradisi yang dimana bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan peran aktif pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan Pelestarian
Tradisi, memberdayakan peran serta masyarakat dalam Pelestarian Tradisi, memfasilitasi
pelaksanaan Pelestarian Tradisi yang berkembang di masyarakat, dan membantu
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan Pelestarian Tradisi. Serta Perlindungan
Budaya yang di atur dalam pasal 6 dan 7 yang dimana dalam pasal tersebut sudah jelas peran
pemerintah dalam melindungi kebudyaan.

Pembentukan perda mengenai budaya ditujukan sebagai pedoman didalam


penyelanggaran pemerintahan daerah dalam hal budaya. Salah satu produk Hukum nya
adalah Perda Bali No. 2 Tahun 2012 yang membahas tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
Dengan adanya produk hukum ini daerah bali dapat lebih menekankan kebijakan yang ada
karena sesuai dengan landasan pikir, baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis, Yang
bersumber dari masyarakat itu sendiri dan akan semakin memajukan daerah dan lebih
melestarikan budaya di Bali.

Khusus mengenai Tari Sakral, menanggapi maraknya pementasan tari sakral di


tempat-tempat yang tidak seharusnya dan tidak sesuai dengan tujuan religi dan spiritualnya,
maka gubernur Bali menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) mengenai larangan
pementasan tari sacral dengan maksud komersil. SKB ini diteken oleh Gubernur Bali I
Wayan Koster, PHDI, Bendesa Agung MDA, Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan
Kebudayaan (Listibiya), Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, dan Rektor ISI Denpasar.

Dalam surat keputusan bersama tersebut juga disebutkan tari-tarian apa saja yang
dilarang untuk ditampilkan tidak sesuai aturannya.

1. Kelompok Tari Baris Upacara, antara lain:

1) Baris Katekok Jago 3) Baris Gede

2) Baris Presi 4) Baris Omang


5) Baris Bajra 29) Baris Cekuntil

6) Baris Jojor 30) Baris Bedil

7) Baris Tamiang 31) Baris Kupu-kupu

8) Baris Tumbak 32) Baris Cerekuak

9) Baris Panah 33) Baris Topeng

10) Baris Goak 34) Baris Demang

11) Baris Poleng 35) Baris Kelemat

12) Baris Dadap 36) Baris Memedi

13) Baris Pendet 37) Baris Ketujeng

14) Baris Cina 38) Baris Tanglungleng

15) Baris Gede 39) Baris Tengklong

16) Baris Bajra 40) Baris Midergita

17) Baris Jojor 41) Baris Wayang

18) Baris Nuri 42) Baris Kuning

19) Baris Irengan 43) Baris Rejang

20) Baris Derma 44) Baris Sangkur

21) Baris Lutung 45) Baris Nawa Sanga

22) Baris Kelempe 46) Baris Wong

23) Baris Cendekan 47) Baris Gebug

24) Baris Panah 48) Baris Jago

25) Baris Jangkang 49) Baris Pati

26) Baris Gayung 50) Baris Krebek

27) Baris Taruna 51) Baris Kakuung

28) Baris Juntal 52) Baris Keri


2. Kelompok Tari Sanghyang, antara lain:

1) Sanghyang Dedari 14) Sanghyang Kekerek

2) Sanghyang Deling 15) Sanghyang Jaran Gading

3) Sanghyang Bojog 16) Sanghyang Jaran Putih

4) Sanghyang Jaran 17) Sanghyang Teter

5) Sanghyang Lelipi 18) Sanghyang Dongkang

6) Sanghyang Celeng 19) Sanghyang Penyu

7) Sanghyang Kuluk 20) Sanghyang Lilit Linting

8) Sanghyang Sriputut 21) Sanghyang Sembe

9) Sanghyang Memedi 22) Sanghyang Tutup

10) Sanghyang Capah 23) Sanghyang Penyalin

11) Sanghyang Sela Perahu 24) Sanghyang Sengkrong

12) Sanghyang Sampat 25) Sanghyang Kerek

13) Sanghyang Lesung 26) Sanghyang Topeng Legong

3. Kelompok Tari Rejang, antara lain:

1) Rejang Renteng 8) Rejang Abuang

2) Rejang Bengkol 9) Rejang Gabor

3) Rejang Oyodpadi 10) Rejang Sutri

4) Rejang Nyannying 11) Rejang Kuning

5) Rejang Gecekan 12) Rejang Bungaya

6) Rejang Deha Malon 13) Rejang Deha Tenganan

7) Rejang Dewa 14) Rejang Onying


15) Rejang Kompol 21) Rejang Glibag Ganjil

16) Rejang Deha Asak 22) Rejang Sari

17) Rejang Lilit 23) Rejang Sutri

18) Rejang Alus 24) Rejang Pusung

19) Rejang Luk Penyalin 25) Rejang Gelung

20) Rejang Grenggong 26) Rejang Serati

4. Kelompok Tari Barong Upacara, antara lain:

1) Barong Brutuk 7) Barong Singa

2) Barong Ket 8) Barong Gajah

3) Barong Bangkal 9) Barong Landung

4) Barong Macan 10) Barong Dawang-Dawang

5) Barong Kidang 11) Barong Kedingkling

6) Barong Asu

5. Tari Pendet Upacara

6. Tari Kincang-kincung

7. Tari Sraman

8. Tari Abuang/Mabuang

9. Tari Gayung

10. Tari Janger Maborbor

11. Tari Telek/ Sandaran

12. Tari Topeng Sidakarya

13. Tari Sutri


14. Tari Gandrung/ Gandrangan Upacara

15. Tari Gambuh Upacara

16. Tari Wayang Wong Upacara

17. Wayang Kulit Sapuh Leger

18. Wayang Kulit Sudamala/ Wayang Lemah

Melalui SKB tersebut diharapkan kesakralan kebudayaan spiritualitas tetap terjaga


dan tidak menjadi luntur lalu lama kelamaan hilang.

2.2.4 Solusi dari dampak negatif pariwisata

Seperti yang sudah di bahas sebelumnya bahwa kedatangan wisatawan menimbulkan


ancaman serta pelestari terhadap budaya yang ada di Bali. Setiap permasalahan yang timbul
pasti ada solusi untuk mencegah pengulangan kesalahan tersebut agar tidak terjadi lagi.
Melihat beberapa masalah tersebut, solusi yang dapat kami tawarkan adalah :

1. Pemahaman mengenai sejarah maupun keterangan tempat persembahyangan/suci perlu


disampaikan oleh masing-masing tour guide ataupun oleh pecalang di daerah tersebut.

2. Pemahaman mengenai sanksi dan menerapan sanksi yang tegas juga perlu agar wisatawan
semakin berhati-hati ataupun merasakan efek jera.

3. Segala bentuk aturan yang lahir di Bali harus di hormati oleh siapapun yang ada di daerah
tersebut.

4. Untuk mencegah kerenggangan antar masing-masing anggota masyarakat Bali, maka


perlu ditanamkan kesadaran dalam diri bahwa pertemuan di dalam suatu desa itu perlu untuk
menjaga rasa persaudadaan.

5. Kesenian juga perlu dilestarikan agar keasliannya tetal terjaga dan eksistensinya tidak
luntur.

6. Perlu ada nya pengawasan dari pengelola tempat objek wisata agar tidak terjadi hal yang
tidak di inginkan

Dengan demikian, datangnya wisatawan ke Bali jika mengetahui nilai-nilai yang ada
dan menghormati segala peraturan akan menimbulkan suatu efek positif.
BAB III

PENUTUP

3.2 Kesimpulan
Hubungan antara pariwisata dengan kebudayaan sangatlah erat kaitannya jika kita
telaah lebih mendalam, sebab tanpa adanya kebudayaan fenomena pariwisata mungkin
saja tidak akan terjadi karena melalui pariwisata berkembang komunikasi lintas budaya
yang mengakibatkan terjadinya alkulturasi budaya atau bercampurnya kebudayaan yang
satu dengan yang lainnya.

Pariwisata di bali berperan dalam melestarikan budaya namun juga dapat menjadi
bumerang yang menghambat atau melunturkan budaya yang terdapat di bali. Dengan
adanya parwisata perekonomian di bali menjadi maju karena terbukanya beberapa
lapangan pekerjaan serta menambah devisa bagi negara Indonesia, Indonesia juga
semakin dikenal keindahan alamnya lewat pariwisata yang ada di bali. Di satu sisi
pariwisata juga dapat menghambat serta melunturkan budaya yang ada dibali, salah
satunya seperti tarian adat yang tadinya sakral menjadi dikomersialkan atau
dipertontonkan untuk mendapatkan penghasilan selain itu masalah kemacetan,kebersihan
lingkungan dan kepadatan penduduk juga terjadi di bali karena banyaknya wisatawan
asing dan lokal yang datang untuk berwisata

3.2 Saran

Perlu dilakukan peningkatan kebijakan dalam pelestarian kebudayaan sehingga


pariwisata dan dampak-dampak negatifnya dapat dikurangi dan pergeseran kebudayaan di
Bali akan terus berkurang sehingga lama kelamaan akan hilang.

Anda mungkin juga menyukai