Disusun Oleh:
Kelompok 1
Anggita Putri Anggraeni 175030800111014
Dita Tatarizka Tahana 175030807111003
Kamila Intan Nurtanti 175030801111004
Karina Purinita 175030800111001
Kezia Dinda Siskia Amelita 175030801111003
Monita Dwi Handiana
Rachmi Nur Azizah 175030801111011
175030800111005
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS
PRODI PARIWISATA
2019
Latar Belakang
Pariwisata merupakan suatu hal yang saat ini sedang gencar-gencarnya dibangun oleh
pemerintah Indonesia. Sebab, sektor ini merupakan salah satu sektor ekonomi yang penting
bagi negara Indonesia. Pada tahun 2009, pariwisata memposisikan dirinya pada urutan ketiga
dalam penyumbang devisa negara terbesar, sesudah komoditi minyak dan gas bumi, serta
minyak kelapa sawit. Peristiwa ini merupakan pemicu bagi pemerintah Indonesia untuk lebih
membangun dan mengembangkan lagi potensi wisata yang ada di Indonesia.
Berbicara mengenai devisa, Kementrian Pariwisata sedang menggenjot pariwisata
Indonesia dengan menargetkan 20 juta kunjungan wisman (wisatawan mancanegara) pada
tahun 2019. Angka itu bukanlah angka yang kecil, oleh karenanya dibutuhkan strategi-
strategi yang tepat dan efisien demi mencapai target tersebut.
Salah satu strategi yang digunakan yaitu adalah promosi. Pada era digital ini, Digital
Marketing Pariwisata (DMP) merupakan pilihan yang tepat dalam mempromosikan
pariwisata di Indonesia. Aktivitasnya meliputi : website, media sosial, online advertising,
email direct marketing, forum discussion, mobile applications, dan lain sebagainya. Aktivitas
ini merupakan suatu wujud imaji visual yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke
sebuah destinasi wisata.
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, budaya visual merupakan tautan wujud konsep
dan kebudayaan yang dapat segera ditangkap oleh indera visual (mata). Visual merupakan
proses penyampaian pesan atau informasi dari sumber kepada satu penerima atau lebih
dengan cara memvisualisasikan sekaligus memperdengarkan isi pesan atau informasi kepada
penerima dengan melalui media yang menunjangnya.
Oleh karena itu, kelompok kami akan membahas mengenai peran visual dalam dunia
pariwisata.
Isi
Sejarah
Jika ditilik dari sejarahnya, Awal bekerja pada budaya visual telah dilakukan
oleh John Berger (Ways of Seeing, 1972) dan Laura Mulvey (Pleasure and
Narrative Cinema , 1975) yang mengikuti dari teorisasi
Jacques Lacan dari ketidaksadaran pandangan. Abad ke-
pionir seperti György Kepes dan William Ivins, Jr serta
fenomenologis ikonik seperti Maurice Merleau-Ponty
juga memainkan peran penting dalam menciptakan
landasan untuk disiplin. Pekerjaan utama pada budaya
visual telah dilakukan oleh WJT Mitchell, khususnya di
Iconology buku dan Teori Picture, dan oleh sejarawan
seni danbudaya teori Griselda Pollock . Penulis lain
penting untuk budaya visualtermasuk Stuart Hall,
Roland Barthes, Jean-François Lyotard, Rosalind
Krauss, Paul Crowther dan Slavoj Zizek. Melanjutan
pekerjaan telah dilakukan oleh Lisa Cartwright, Margarita Dikovitskaya, Chris
Jencks, dan Nicholas Mirzoeff. Studi Budaya Visual telah semakin penting dalam
studi agama melalui karya David Morgan, Sally Promey, Jeffrey Hamburger F. ,
dan S. Lempeng Brent.
Dalam budaya visual, kita harus bisa membedakan yang mana merupakan
sebuah budaya dan yang mana merupakan studi gambar. Sementara gambar tetap
menjadi titik fokus dalam studi budaya visual, itu adalah hubungan antara gambar
dan konsumen yang dievaluasi untuk signifikansi budaya mereka, bukan hanya
gambar dalam dan dari dirinya sendiri. Martin Jay mengklarifikasi, "Meskipun
gambar dari semua jenis telah lama menjabat sebagai ilustrasi dari argumen yang
dibuat diskursif, pertumbuhan budaya visual sebagai lapangan telah
memungkinkan mereka untuk diperiksa lebih dalam hal mereka sendiri sebagai
artefak figural yang kompleks atau stimulan untuk pengalaman visual". Demikian
juga, WJT Mitchell eksplisit membedakan dua bidang dalam klaimnya bahwa
studi budaya visual "membantu kita untuk melihat bahwa sesuatu yang bahkan
seluas gambar tidak menguras bidang visualitas, bahwa studi visual tidak sama
dengan studi citra, dan bahwa studi citra visual hanyalah salah satu komponen dari
bidang yang lebih besar". Di antara teori bekerja dalam budaya kontemporer,
bidang studi ini sering dipadukan dengan kajian film, teori psikoanalitik, jenis
kelamin studi, teori aneh, dan studi televisi, tetapi juga dapat mencakup studi
video game, komik, media artistik tradisional, periklanan, dengan Internet, dan
media lainnya yang memiliki krusial visual yang komponen. Fleksibilitas dari
lapangan tersebut berasal dari berbagai benda yang terdapat di bawah "budaya
visual," istilah yang dasar "peristiwa visual dimana informasi, makna atau
kesenangan yang dicari oleh konsumen dalam antar muka dengan teknologi
visual." "teknologi visual" merujuk setiap media yang dirancang untuk tujuan
persepsi atau dengan potensi untuk meningkatkan kemampuan visual kita. Karena
aspek teknologi perubahan budaya visual serta keinginan-metode ilmiah yang
diturunkan untuk membuat taksonomi atau mengartikulasikan apa "visual" adalah,
banyak aspek tumpang tindih Budaya Visual dengan studi ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk media elektronik hibrida, kognitifilmu pengetahuan,
neurologi, dan citra dan teori otak. Dalam sebuah wawancara dengan Journal
Budaya Visual, akademik Martin Jay menjelaskan munculnya hubungan antara
visual dan teknologi: "Sejauh kita hidup dalam budaya yang menghasut kemajuan
teknologi produksi dan penyebaran gambar tersebut pada tingkat yang tak
terbayangkan sampai sekarang, maka perlu fokus pada bagaimana mereka bekerja
dan apa yang mereka lakukan, daripada bergerak melewati mereka terlalu cepat
untuk ide-ide yang merekawakili atau realitas mereka dimaksudkan untuk
menggambarkan. Dengan demikian, kita tentu harus bertanya tentang mediasi
teknologi dan ekstensi dari pengalaman visual ". Hal ini juga mungkin tumpang
tindih dengan bidang lain muncul, yaitu "Studi Kinerja." Sebagai "pergantian dari
sejarah seni untuk studi budaya visual sejajar giliran dari studi teater untuk studi
kinerja," adalah jelas bahwa pergeseran perspektival bahwa kedua bidang muncul
mewujudkan sebanding. "Budaya Visual" berjalan dengan berbagai nama di
lembaga-lembaga yang berbeda, termasuk Studi Visual dan Kritis, Studi Visual
dan Budaya, dan Studi Visual. Perkembangan Sosial akibat pengaruh Budaya
Visual tidak hanya berpengaruh pada Negara asalnya, namun Indonesia ikut
merasakannya. Contohnya bisa dilihat dari misalnya kaos. T-shirt mulai banyak
muncul tahun 1950an gara-gara James Dean dengan filmnya Rebel without a
Cause, yang kemudian dijiplak oleh orang-orang kelas menengah atas di
Indonesia. Saat itu kaos masih banyak yang polos, karena sablon baru masuk ke
Indonesia tahun 1972. Beberapa pengajar di ISI dan ITB itu mendapat beasiswa
ke Jepang dan di sana mereka belajar teknik grafis mencetak di atas kain, salah
satunya sablon. Ini tidak akan terjadi jika Orde Baru tidak membiarkan investor-
investor asing menanamkan modal dan membuat banyak mahasiswa Indonesia
bisa belajar di luar negeri dengan beasiswa. Tak hanya pada zaman itu, zaman
sekarang pun sama. Berkembangnya budaya BoyBand belakang ini pun telah
merubah budaya cara berpakaian kalangan muda sekarang. Mereka melihat
boyband pujaan mereka terlihat trendy dengan pakaian tersebut seperti celana
panjang skinny atau slim fit, sehingga mereka merubah cara berpakaian mereka.
Oleh karena itu, setelah dipelajari secara mendalam, budaya Visual tidak hanya
memanjakan pengelihatan semata, tapi kita pun tahu dampak-dampak dibalik
budaya visual yang sangat luar biasa pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Bojanic (1991) mengatakan bahwa iklan adalah cara yang efektif untuk
meningkatkan representasi visual pariwisata. Sejumlah besar penelitian dilakukan
mengenai pemasaran berbagai destinasi wisata melalui tampilan visualnya, sama
banyaknya dengan pemasaran dalam pariwisata yang dirancang untuk menarik
wisatawan ke tujuan tertentu (Phelps, 1986). MacKay dan Fesenmaier (1997) meneliti
aspek-aspek dari gambar destinasi yang dipromosikan dan dilihat. Mereka
berpendapat bahwa gambar suatu destinasi wisata tidak hanya menciptakan gambar
produk pariwisata tetapi juga menghadirkan kualitas, nilai, dan konsep potensi
wisatawan.
Turis menyebut pariwisata sebagai keseluruhan pengalaman, bukan sebagai
produk. Mewakili citra pariwisata sebagai mimpi sering terjadi dalam periklanan
(Dann, 1996; Hudson, 2008). Oleh karena itu, penonton dibiarkan untuk menafsirkan
gagasan abstrak 'mimpi' dengan cara mereka sendiri, cara mereka mengaitkannya
dengan diri mereka sendiri, dengan ide, pengalaman, dan latar belakang mereka.
Metafora dapat memberikan kenikmatan visual dan hal ini digunakan oleh bidang
periklanan, contohnya metafora lautan, dianggap sebagai stimulus yang dievaluasi
positif dan berarti 'kebebasan' (Scott, 1994).
Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah disampaikan diatas, maka kita dapat menarik beberapa
kesimpulan bahwa:
1. Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau
liburan. Turisme juga merupakan industry jasa yang menangani mulai dari
transportasi, jasa keramahan, tempat tinggal, makanan, minuman dan jasa lainnya
yang bersangkutan.
2. Budaya visual merupakan suatu budaya atau tradisi yang baik sengaja maupun tidak
dibentuk oleh manusia dan tetap berkembang dari zaman dahulu hingga sekarang
serta berfokus menggunakan multimedia visual (pandangan/penglihatan).
3. Pada perkembangannya, studi budaya visual sering dipadukan dengan kajian film,
teori psikoanalitik, jenis kelamin studi, teori aneh, dan studi televisi, termasuk juga
studi video game, komik, media artistic tradisional, periklanan dengan internet dan
media lainnya.
4. Setiap media yang dirancang dalam teknologi visual ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan visual kita.
5. Tidak saja di Negara asalnya, pengaruh budaya visual dalam perkembangan sosial
juga dirasakan oleh Indonesia. Contohnya, sablon kaos yang mulai terkenal pada
tahun 1972 disebabkan oleh beberapa pengajar di ISI dan ITB mendapatkan beasiswa
ke Jepang mempelajari tenik grafis mencetak di atas kain kemudian menerapkannya
di Indonesia.
6. Budaya visual bukan saja untuk memanjakan penglihatan tetapi juga memberikan
pengetahuan akan dampak-dampak dibaliknya yang mempunya pengaruh luar biasa
akan kehidupan manusia.
7. Dalam bidang pariwisata, media visual dibutuhkan untuk menggambarkan suatu
destinasi sebagai sarana promosi, dapat berupa video atau animasi yang dikemas
dengan penjelasan yang dapat diapahami. Tujuannya agar calon wisatawan tertarik
untuk datang ke destinasi tersebut.
8. Peran visual dalam pariwisata sangat besar representasinya melalui periklanan
produk pariwisata.
Daftar Pustaka
http://digitalmarketingpariwisata.com/web/
https://prezi.com/pzma4irpyjjs/terminologi-iklan-visual-dan-text-copy/
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/584/jbptunikompp-gdl-herdiansya-29154-8-unikom_h-
i.pdf
https://www.academia.edu/24069341/Budaya_Visual
https://media.neliti.com/media/publications/217740-desain-komunikasi-visual-sebagai-media-p.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/87407-ID-perancangan-komunikasi-visual-objek-wisa.pdf
file:///C:/Users/USER/Downloads/Yatno%20Rohmadi.pdf