BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan artikel secara mendalam, ditambah dengan hasil eksplorasi informasi dengan
dikaji. Tinjauan pustaka ini sebagai landasan berpikir dalam penulisan skripsi
yang berjudul “Kawasan Wisata Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda 1985-
Buku-buku yang dijadikan sumber literatur ini merupakan buku-buku umum yang
yang diterbitkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (2004: 46), memuat hal-
Pemaparan tinjauan pustaka ini dibagi ke dalam tiga sub bab berkaitan
dengan permasalahan yang dikaji. Pertama, pariwisata yang terdiri dari konsep
20
definisi mobilitas sosial, jenis-jenis mobilitas sosial, dan dampak mobilitas sosial.
A. Pariwisata
1. Pengertian Pariwisata
jenuh bahkan stress yang diakibatkan oleh kesibukan dan padatnya waktu kerja
adalah refresing. Tujuan dari refresing adalah untuk mengalihkan perhatian dari
suasana rutin ke suasana lain sehingga terjadi penyegaran suasana yang akan
usaha manusia dalam mengatasi hal tersebut yaitu dengan berwisata. Dalam UU
No. 10 tahun 1990 dinyatakan bahwa “Pariwisata adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata,
yaitu suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari suatu tempat ke
wisata selama di perjalanan. Bentuk dari perjalanan tersebut harus selalu dikaitkan
tersebut tidak bermaksud untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan
Objek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan. Objek
dan daya tarik wisata adalah suatu bentuk dasar aktivitas dan fasilitas yang saling
berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang
menjadi tiga macam, yaitu: objek wisata alam, objek wisata budaya, dan objek
wisata minat khusus. Adapun dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang
Kepariwisataan menyatakan bahwa objek dan daya tarik wisata adalah sesuatu
a. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
berwujud keadaan alam, flora, dan fauna.
b. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan
budaya, wisata agro, wisata buru, wisata petualangan alam, taman
rekreasi dan komplek hiburan.
22
a. Penyediaan akomodasi
b. Penyediaan makan dan minum
c. Penyediaan angkutan wisata
d. Penyediaan sarana wisata tirta, dan
e. Penyelenggaraan kawasan pariwisata.
Pariwisata Tahun 2005-2009 (2006: 3) dapat dilihat dari tiga unsur yaitu:
berhasilnya suatu tempat menjadi daerah tempat wisata sangat tergantung pada
daerah untuk menjadi suatu daerah wisata agar dapat menarik untuk dikunjungi
a. How to arrive
b. Something to see
c. Something to do
d. Something to buy
e. How to stay
Pernyataan ini dipertegas lagi dalam Renstra Dinas Kehutanan Prop Jabar 2006-
a. Partisipasi pikiran
b. Partisipasi tenaga
c. Partisipasi tenaga dan pikiran
d. Partisipasi keahlian
e. Partisipasi dengan barang
f. Partisipasi dengan uang
harus melibatkan masyarakat. Dengan demikian visi dan misi pemerintah akan
Masyarakat.
Pendapat di atas diperjelas oleh Marpaung (2002: 27) bahwa dampak dari
kegiatan pariwisata dalam bidang sosial yang dapat terjadi pada masyarakat
a. Kepadatan wisatawan.
Seringkali jumlah wisatawan yang berkumpul atau yang berkunjung
menumpuk pada satu waktu. Aspek musiman pada pariwisata banyak
terjadi di daerah tujuan wisata.
b. Pengaruh perilaku wisatawan mendorong masyarakat lokal untuk
bekerja dan mengejar sesuatu yang mereka tidak perlu, sesuatu yang
baru dan tampak baik yang dikenakan atau dilakukan wisatawan.
c. Migrasi
Secara ekonomi dalam mencoba meraih peluang ekonomi dari
perjalanan wisatawan, masyarakat pedesaan ikut ambil bagian dengan
bekerja di bidang jasa di tempat-tempat kunjungan wisata, sehingga
tidak sedikit dari mereka meninggalkan kampung halamannya untuk
pekerjaan ini. Hal ini menjadi masalah dalam menjaga kebutuhan
tenaga kerja dibidang pertanian.
27
B. Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial merupakan salah satu kajian penting dalam penelitian ini.
tersebut. Mobilitas sosial ini bisa dilihat dari kedudukan dan status seseorang di
Horton dan Hunt (1990: 56) menyatakan bahwa “Mobilitas sosial yaitu
peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula
penghasilan yang dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota
kelompok.” Horton dan Chester L. Hunt (1992: 36) menyatakan bahwa “Mobilitas
sosial (social mobility) dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu
kelas sosial ke kelas sosial lainnya.” Pendapat Horton didukung oleh Huky
perorangan atau grup dari suatu stratum ke stratum lainnya dalam masyarakat.”
Soekanto (2006: 219) menjelaskan bahwa “Gerak sosial adalah suatu gerak dalam
struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok.”
28
Young dan Raymond W. Mack dalam Saripudin (2005: 1), bahwa “Gerak sosial
atau social mobility adalah suatu gerak dalam struktur sosial (social structure)
yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.” Young
2005: 1).
Greely (1976) dalam Horton dan Chester L. Hunt (1992: 37) memaparkan
bahwa:
disimpulkan bahwa mobilitas sosial adalah suatu gerak individu atau kelompok
dari stratum yang satu ke stratum yang lebih atas atau lebih bawah, atau dari
modern ditentukan oleh pertama, faktor struktur yakni faktor yang menentukan
jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk
memperolehnya. Faktor struktur ini bisa dilihat dari struktur pekerjaan, perbedaan
29
fertilitas, dan ekonomi ganda. Kedua, faktor individu yang antara lain termasuk
kedudukan tersebut.
mobilitas sosial yaitu ukuran keluarga, ras dan kesukuan, pendidikan, perkawinan,
yang kurang memadai, perkawinan pada usia muda, melahirkan pada waktu umur
masih muda, lahir di dalam sebuah keluarga berjumlah besar, dan mengalami
jenis gerak sosial yaitu pertama, vertikal yang naik (social climbing) dan vertikal
30
yang turun (social sinking). Nata Saputra (1981: 114) dalam Saripudin (2005: 3)
memaparkan gerak sosial yang naik mempunyai dua bentuk utama, yaitu
contoh mobilitas sosial horizontal. Contoh dari mobilitas ini seperti “…pindah
sebagainya)”.
Tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil menurut Soekanto (2005: 219) ada
(Mobilitas horizontal adalah perpindahan dari satu posisi ke posisi yang sama
perpindahan dari kedudukan yang satu ke kedudukan lain yang lebih tinggi atau
lebih rendah).
masyarakat untuk mengisi kursi jabatan dengan orang yang paling ahli dan
memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya.” Selain itu
Hal ini dipertegas oleh pendapat Horton dan Chester L. Hunt (1992) yang
menjelaskan bahwa mobilitas sosial itu memiliki kerugian dan manfaat. Mobilitas
memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya. Akan tetapi
menyakitkan, karena ikatan sosial yang sudah sekian lama terjalin, lenyap.”
Chester L. Hunt (1992: 39) menjelaskan konsekuensi negatif dari mobilitas sosial
yaitu:
adalah suatu gerak perpindahan dari satu status sosial ke status sosial lain yang
lebih tinggi, lebih rendah atau sama. Perpindahan individu atau kelompok dari
satu status sosial ke status sosial yang lebih tinggi disebut mobilitas vertikal ke
atas, sedangkan perpindahan ke status yang lebih rendah disebut mobilitas vertikal
mengalami perpindahan dari satu posisi ke posisi yang sama dalam struktur
pekerjaan.
vertikal dan horizontal. Mobilitas vertikal bisa dilihat dari fakta perpindahan
struktur pekerjaan dari buruh menjadi PNS. Sedangkan mobilitas horizontal bisa
dilihat dari fakta perpindahan struktur pekerjaan dari pedagang menjadi tukang
Mobilitas sosial selain bisa merubah status individu atau kelompok dalam
masyarakat menjadi lebih baik, juga memiliki dampak yang negatif, yaitu akan
karena tujuannya tidak tercapai. Selain itu mobilitas sosial juga dapat
mengakibatkan konflik kelas sosial, konflik kelompok sosial, dan konflik antar
generasi.
C. Stratifikasi Sosial
penelitian skripsi ini yang mengkaji mengenai mobilitas sosial masyarakat sekitar
kawasan wisata Tahura Ir. H. Djuanda, maka peneliti harus memahami stratifikasi
stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan)”. Pitirim Sorokin (1954: 11) dalam
Perwujudan dari stratifikasi sosial tersebut adalah kelas-kelas tinggi dan kelas
yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan
hasil kebiasaan antar manusia secara teratur dan tersusun, sehingga setiap orang,
setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain
Muhammad Rusli Karim (1998) dalam bukunya yang berjudul Seluk Beluk
untuk memberikan penghargaan serta penilaian kepada pekerjaan atau hasil usaha
seseorang. Maka dari itu stratifikasi sosial terbentuk karena berdasarkan pada
kekuasaan dan prestise. Karena ketiga hal tersebut jumlahnya sangat terbatas,
maka sebagian besar anggota masyarakat bersaing dan bahkan terlibat konflik
untuk mendapatkanya.
Hal tersebut dipertegas lagi oleh pendapatnya Phil Astrid S Susanto (1983)
dalam bukunya dengan judul Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Beliau
memaparkan bahwa stratifikasi sosial ini muncul sebagai akibat dari semakin
Kingsle David dan Wilbert Moore terdapat beberapa fungsi stratifikasi sosial
muncul sebagai akibat dari adanya pembagian peranan serta kedudukan dalam
diterimanya itu bukan hanya penghargaan semata, tetapi bagaimana dia harus bisa
masyarakat di Indonesia terdiri dari tiga lapisan sosial. Populasi warga pada
lapisan teratas (upper class) merupakan posisi yang paling sedikit jumlahnya,
37
kemudian diikuti oleh lapisan menengah (middle class) serta lapisan bawah (lower
class).
pada:
tanah terbagi menjadi dua, yaitu orang yang memiliki tanah dan orang yang tidak
jabatan. Menurut Ekadjati (1995) stratifikasi sosial dalam masyarakat desa yang
terbentuk terbagi menjadi pertama, jalma beunghar, jalma jegud atau jalma
dimana masyarakat yang tingkat kekayaannya tidak menonjol, kaya sekali tidak,
namun miskin pun tidak. Ketiga, jalma miskin, jalma masakat, jalma malarat atau
sehingga minat sekolah bagi anak-anak mereka pun tidak besar. Sejak usia 7-13
tahun anak-anak di desa dikerahkan orang tua mereka untuk membantu dalam
39
belajar mengaji di masjid atau langgar di sore atau malam hari pada seorang guru
ngaji di sekitar rumah tinggalnya (amil, kiai, ustad). Dewasa ini semua anak usia
sekolah diwajibkan mengikuti pendidikan tingkat dasar dan telah banyak anak
Kelompok sosial pemegang pemerintahan desa (kepala desa dan pamong desa
lainnya) merupakan kelompok elit desa yang dapat dibedakan dengan kalangan
rakyat biasa yang berada pada lapisan masyarakat bawah. Dalam 30 tahun terakhir
ini terbentuk pula kelompok elit baru dalam masyarakat desa yang terdiri atas
pegawai negeri sipil dan militer yang menetap di desa-desa, seperti guru, pegawai
kecamatan, bidan, dan pensiunan ABRI. Kelompok elit baru ini dipandang sejajar
agama, dan kegiatan dalam bidang agama menentukan status sosial seseorang
dalam lapisan sosial masyarakat desa. Makin tinggi penguasaan ilmu agama,
makin tinggi ketaatan melaksanakan ajaran agama, dan banyak aktif dalam
sebaliknya, sehingga kiai, ajengan, dan ustadz menempati status sosial yang tinggi
dalam masyarakat desa dan dianggap sebagai tokoh-tokoh desa terhormat, kaum
elit desa.
40
Seseorang dapat dikatakan memiliki status lebih tinggi dari yang lainnya karena,
lebih baik. Kedua, ukuran kekayaan. Dalam hal ini, individu yang memiliki harta
yang lebih banyak dari pada yang lain, akan lebih dihargai dan dihormati oleh
D. Etos Kerja
Mobilitas sosial terjadi salah satunya karena etos kerja yang dimiliki oleh
individu. Apabila etos kerjanya rendah, maka besar kemungkinan mobilitas sosial
yang terjadi adalah mobilitas vertikal menurun atau mobilitas horizontal, begitu
pula sebaliknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sairin (2002: 320) bahwa:
peneliti juga akan membahas mengenai etos kerja. Pemaparan etos kerja ini akan
dibagi ke dalam dua sub pokok bahasan, yaitu pertama, definisi etos kerja. Kedua,
Para ahli mengungkapkan beberapa terma dalam memahami etos kerja ini.
Asy’arie (1997: 34) dalam Saripudin (2005: 44) menjelaskan bahwa “Etos kerja
merupakan dua bangunan kata, etos dan kerja. Secara etimologis, kata etos berasal
41
dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” yang berarti tempat tinggal yang biasa,
kebiasaan, adat, watak, dan perasaan.” Etos juga berarti sesuatu yang diyakini
cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai kerja (Tasmara, 1995: 25).
yang meluas digunakan dalam tiga pengertian yang secara tekstual berbeda, yaitu
(1) suatu aturan umum atau cara hidup; (2) suatu tatanan dari perilaku; (3)
penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku. Suseno
(1992: 120) dalam Saripudin (2005: 44) mengungkapkan bahwa etos berarti
semangat dan sikap batin tetap pada seseorang atau sekelompok orang sejauh di
Rahardjo (1996: 390) dalam Saripudin (2005: 44) yang menilik etos dari
Etos itu sebagai sekelompok ciri budaya yang dapat membedakan dan
menunjukkan jati diri suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal itu
memberikan makna bahwa etos menunjukkan sikap dasar seseorang atau
kelompok dalam melakukan kegiatan tertentu, sehingga dimiliki
seseorang. Namun demikian, hal itu dapat pula menjadi ciri dari suatu
kelompok masyarakat.
Pendapat lain tentang etos kerja yaitu dari Arep dan Tanjung (2003: 156)
yang memaparkan bahwa “Etos kerja (Ing: ethos) adalah jiwa atau watak
memancarkan citra positif atau negatif kepada orang luar orang bersangkutan.”
Kerja mengandung arti melakukan. Dari kata kerja itu dapat berbentuk kalimat
42
bekerja, yang berarti melakukan kerja dan dapat pula membentuk kalimat
pekerjaan”.
Dengan demikian jika kedua kata itu disatukan menjadi Etos Kerja, maka
memiliki makna berupa pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial
atau bentuk semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau
menghargai sebuah nilai kerja. Etos kerja yang dimiliki seseorang akan membawa
Etos kerja suatu masyarakat lahir dan berkembang berdasarkan standar dan
masyarakat merupakan suatu sikap yang dikehendaki dengan bebas yang tumbuh
dari suatu kesadaran untuk selalu bekerja dengan tekun. Etos kerja mempengaruhi
semangat dan gairah seseorang dalam bekerja sehingga hasil yang dapat akan
berhasil atau gagal. Etos kerja yang tinggi muncul karena berbagai tantangan-
Etos kerja mengandung makna semangat, ulet, dan kemauan untuk maju.
Etos mengandung semangat dan sikap batin tetap pada seseorang atau
sekelompok orang sejauh didalamnya termuat tekanan-tekanan moral
tertentu. Etos dapat juga mengandung makna semangat, keunggulan
keuletan dan kemauan untuk maju yang merupakan karakter tetap dalam
batin.
43
Yasin Setiawan (2007) dalam artikelnya yang berjudul Telaah Etos Kerja
1. Kerja keras, dimana hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang
kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan
rasa percaya dan hemat.
2. Persepsi untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain
insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan
martabat sosial dengan jaminan masa depan.
3. Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam
meningkatkan kesejahteraan keturunan.
Etos kerja yang baik bukan saja akan menghasilkan sikap-sikap produktif,
tetapi juga akan menciptakan pengendalian diri guna menghadapi serta mengatasi
berbagai kendala dari luar (Andarini, 1999: 27). Hakekatnya sistem etos kerja
menurut Setiawan (Subekti 2001:30) bahwa suatu individu atau kelompok dapat
sebagai berikut :
persepsi, spirit atau dorongan, keyakinan, dan nilai yang memotivasi perilaku
individu dan kelompoknya. Seseorang dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi
depan, ulet, tekun, kreatif, bertanggung jawab, semangat, gesit, jeli, jujur, tepat
44
waktu, dan taat dalam beragama. Dengan demikian, aspek-aspek inilah yang dapat
dalam hidup.
E. Kesejahteraan Sosial
yaitu:
(2007: 24 ) yaitu: