RESUME
Disusun oleh :
Aldi Tridarmawan
NPM :
2018.10.021
STIEPAR YAPARI-AKTRIPA
BANDUNG
2020
BAB 3
SOSIOLOGI PARIWISATA: KAJIAN SOSIOLOGI TERHADAP KEPARIWISATAAN
Sifat etnosentrisme perencana dari luar ini sering meninggalkan budaya lokal. Etnosentrisme
perencana (konsultan) luar ini didukung Kemudian oleh sentralisasi pengambilan keputusan
di mana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka. Manusia merupakan pusat dan
penggarap sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan sesuai dengan konsep
people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar ‘faktor
produksi’.
Aspek sosial budaya harus mendapatkan tempat dalam perencanaan pembangunan, bukan
saja sebagai aspek pinggiran. Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human
ecology) yang sangat menghargai pengetahuan masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat
mendorong perencana dan pelaksana pembangunan untuk melihat aspek-aspek sosial budaya
secara lebih serius.
Dalam kaitan dengan kajian sosiologi terhadap pariwisata ada 2 pernyataan pokok yang
penting direnungkan (Sharpley, 1994), yaitu:
1. Aspek-aspek apa saja dari pariwisata yang dapat dikaji secara sosiologis atau
menggunakan kacamata sosiologi?
2. Perspektif sosiologi mana yang paling cocok digunakan untuk mengkaji aspek pariwisata
tersebut?
Kata wisata (tour) secara harfiah dalam kamus berarti “perjalanan dimana si pelaku Kembali
ke tempat asalnya; perjalanan sirkuler yang dilakukan untuk tujuan bisnis, bersenang-senang,
atau pendidikan, pada mana berbagai tempat dikunjungi dan biasanya menggunakan jadwal
pelajaran yang terencana” (Murphy, 1985: 4-5).
Ada beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati di dalam memberikan batasan
mengenai pariwisata (khususnya pariwisata internasional), yaitu sebagai berikut:
1. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antara dua atau lebih lokalitas.
2. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat
tinggalnya kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanan yang bukan lah untuk terlibat dalam
kegiatan untuk mencari nafkah pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan.
3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam
(24jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, 1995).
Semua definisi yang dikemukakan tentang pariwisata, meskipun berbeda dalam penekanan,
selalu mengandung beberapa ciri pokok, yaitu:
1. Adanya unsur perjalanan, yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya
2. Adanya unsur ‘tinggal sementara’ di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal yang
biasanya
3. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari penghidupan atau
pekerjaan di tempat yang dituju (Richardson and Fluker, 2004: 5)
Selanjutnya Mathieson and Wall (1982) mengatakan bahwa pariwisata mencakup tiga elemen
utama, yaitu:
1. A dynamic element,yaitu travel ke suatu destinasi wisata
2. A static elment, yaitu tinggal di daerah tujuan; dan
3. A consequential element, atau akibat dari dua hal di atas khususnya pada masyarakat
lokal yang meliputi dampak ekonomi, sosial, dan fisik dari adanya kontak dengan
wisatawan.
Di dalam mengkaji pariwisata dari aspek sosiologis, Erik Cohen (1984) mengemukakan
bahwa pariwisata dapat dipandang dari salah satu atau beberapa pendekatan konseptual di
bawah ini:
1. Tourism as a commercialised hospitality
Dalam pendekatan ini pariwisata adalah proses komersialisasi dari hubungan tamu dengan
tuan rumah.
2. Tourism as a democratised travel
Dalam pendekatan ini pariwisata dipandang sebagai perilaku perjalanan wisatawan dengan
berbagai karakteristiknya.
3. Tourism as a modern leisure activity
Fokus utama yang menjadi perhatian adalah adalah orang yang santai, yang melakukan
perjalanan, bebas dari berbagai kewajiban.
4. Tourism as a modern variety of a traditional pilgrimage
Pariwisata dipandang berasosiasi dengan ziarah keagamaan yang biasa dilakukan
masyarakat tradisional, atau merupakan bentuk lain dari sacred journey.
5. Tourism as an expression of basic cultural themes
Pendekatan ini bersifat emic (sebagai lawan dari ethic), dengan melihat pemaknaan
perjalanan dari pihak pelaku perjalanan tersebut.
6. Tourism as an acculturation process
Pendekatan ini memfokuskan analisis pada proses akulturasi.
7. Tourism as a type of ethnic realtions
Pendekatan ini menaruh perhatian pada hubungan host-guest.
8. Tourism as a form of neo-colonialism
Merupakan salah satu masalah yang menjadi fokus pendekatan ini.
3.5 Wilayah Kajian Sosiologi Pariwisata
Dari banyaknya aspek yang dapat dikaji, Cohen (1984) mengelompokkannya ke dalam
empat wilayah kajian yaitu:
1. Wisatawan
2. Hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal
3. Struktur dan fungsi sistem pariwisata
4. Dampak-dampak pariwisata
BAB 4
ASPEK SOSIOLOGIS WISATAWAN
Pariwisata ada karena adanya wisatawan, sehingga kajian terhadap wisatawan merupakan salah
satu fokus dalam sosiologi pariwisata. Kajian tentang wisatawan dan aspek sosiologis meliputi
motivasi wisatawan, ciri-ciri demografis, ciri-ciri sosial ekonomi tujuan kunjungan, lama tinggal,
aktivitas yang dilakukan di daerah tujuan wisata, tingkat kepuasan dan sebagainya.
McIntosh (1977) dan Murphy (1985, cf. Sharpley, 1994) Mengatakan bahwa motivasi-
motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar sebagai berikut:
1. Physical or physiological motivation (Motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis), antara
lain untuk relaksasi, sehatan kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga bersama
Thai dan sebagainya.
2. Cultural motivation (motivasi budaya),yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat,
tradisi dan kesenian daerah lain. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek tinggalan
budaya (monumen bersejarah).
3. Social motivation atau interpersonal motivation (motivasi yang bersifat sosial), seperti
mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja,melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi melakukan ziarah pelarian dari situasi-situasi yang membosankan.
4. Fantasy motivation (motivasi karena fantasi), yaitu adanya fantasi bahwa di daerah lain
seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjenuhkan.
Motivasi intrinsik, yaitu motivasi terbentuk karena adanya kebutuhan dan atau keinginan
dari manusia itu sendiri sesuai dengan teori hierarki kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan
yang dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan kebutuhan sosial,
kebutuhan prestise, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang terbentuk dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal seperti norma sosial pengaruh atau tekanan keluarga dan situasi kerja yang
terinternalisasi dan kemudian berkembang menjadi kebutuhan psikologis.
Citra juga bisa memberikan kesan bahwa suatu destinasi akan memberikan suatu atraksi
yang berbeda dengan destinasi lainnya, yang sesungguhnya menawarkan atasi yang tidak
jauh berbeda, sehingga menambah keinginan untuk mengunjungi destinasi tersebut.
Ryan (1991), dari kajian literaturnya menemukan berbagai faktor pendorong bagi seseorang
untuk melakukan perjalanan wisata seperti di bawah ini:
1. Escape, Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau
kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
2. Relaxation, Keinginan untuk recovery ASI atau penyegaran, yang juga berhubungan
dengan motivasi untuk escape di atas.
3. Play, Ingin menikmati kegembiraan melalui berbagai permainan yang merupakan
kemunculan kembali dari sifat kekanak-kanakan dan melepaskan diri sejenak dari
berbagai urusan yang serius.
4. Strengthening family bonds, Ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam
konteks VFR (Visiting Friends and Relations) keakraban hubungan kekerabatan ini juga
terjadi di antara anggota keluarga yang melakukan perjalanan bersama-sama.
5. Prestige, Untuk menunjukkan games, dengan menunjukkan destinasi yang menunjukkan
kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau
derajat sosial.
6. Social Interaction, Untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat atau
dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
7. Romance, Keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan suasana
romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual.
8. Educational opportunity, Keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang
lain dan atau daerah lain, atau mengetahui kebudayaan etnis lain