Anda di halaman 1dari 12

BAB 3 & BAB 4 SOSIOLOGI PARIWISATA

RESUME

Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Sosiologi Pariwisata

Disusun oleh :

Aldi Tridarmawan

NPM :

2018.10.021

STIEPAR YAPARI-AKTRIPA

BANDUNG

2020
BAB 3
SOSIOLOGI PARIWISATA: KAJIAN SOSIOLOGI TERHADAP KEPARIWISATAAN

3.1 Aspek Sosial Budaya yang Tertinggal


Pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama
pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi
masyarakat maupun daerah (negara). Hal yang menyebabkan aspek-aspek sosial budaya atau
aspek sosiologis kurang mendapatkan perhatian. Faktor lain aspek sosial budaya adalah
karena kinerja atau ukuran keberhasilan umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif.
Sementara itu sebagian besar dari isu sosial budaya bersifat kualitatif sehingga tidak
termasuk dalam indikator keberhasilan ‘pembangunan’.

Sifat etnosentrisme perencana dari luar ini sering meninggalkan budaya lokal. Etnosentrisme
perencana (konsultan) luar ini didukung Kemudian oleh sentralisasi pengambilan keputusan
di mana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka. Manusia merupakan pusat dan
penggarap sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan sesuai dengan konsep
people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar ‘faktor
produksi’. 

Aspek sosial budaya harus mendapatkan tempat dalam perencanaan pembangunan, bukan
saja sebagai aspek pinggiran. Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human
ecology) yang sangat menghargai pengetahuan masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat
mendorong perencana dan pelaksana pembangunan untuk melihat aspek-aspek sosial budaya
secara lebih serius. 

3.2 Pengertian Dan Perkembangan Sosiologi Pariwisata


Sosiologi pariwisata adalah cabang dari sosiologi yang mengkaji masalah-masalah
kepariwisataan dalam berbagai aspeknya. Kajian sosiologis terhadap pariwisata nampak
semakin jelas apabila tipe kepariwisataan yang dikembangkan adalah pariwisata budaya
karena sebagaimana disebutkan oleh Jeremy Boissevain (1996), pariwisata budaya
mempunyai beberapa ciri. Pariwisata budaya melibatkan masyarakat lokal secara lebih luas
dan lebih intensif karena kebudayaan yang menjadi daya tarik utama pariwisata melekat
pada masyarakat itu sendiri

Sosiologi pariwisata masih diperdebatkan posisinya dalam hubungan dengan cabang-cabang


sosiologi lainnya.
1. Ada ahli yang menempatkan sosiologi pariwisata sebagai bagian dari sosiologi migrasi
sarana pariwisata sesungguhnya menyangkut perpindahan manusia dengan segala sebab
dan akibatnya. Borocz (1996) secara tegas menyebutkan bahwa kajian sosiologi
pariwisata harus ditempatkan dalam kerangka teori migrasi dengan memandang
pariwisata sebagainya migrasi untuk bersenang-senang, sebagai pembeda dari migrasi
untuk bekerja, ataupun migrasi karena terpaksa.
2. Selanjutnya ada juga ahli yang menempatkan sosiologi pariwisata sebagai bagian dari
sosiologi bersenang-senang, karena pada hakikatnya nya perjalanan Wisatawan adalah
perjalanan untuk bersenang-senang bukan untuk bekerja sama dan dalam sosiologi ada
perbedaan antara bekerja dengan bersantai.
3. Banyak juga ahli yang positif kan sosiologi pariwisata sebagai suatu cabang tersendiri
dari sosiologi, sebagaimana dianut oleh American Sociological Association maupun
International Sociological Association. 

Dalam kaitan dengan kajian sosiologi terhadap pariwisata ada 2 pernyataan pokok yang
penting  direnungkan (Sharpley, 1994), yaitu:
1. Aspek-aspek apa saja dari pariwisata yang dapat dikaji secara sosiologis atau
menggunakan kacamata sosiologi?
2. Perspektif sosiologi mana yang paling cocok digunakan untuk mengkaji aspek pariwisata
tersebut?

Aspek sosiologis dalam pembangunan pariwisata semakin mendapatkan perhatian, karena


semakin meningkatnya kesadaran bahwa pembangunan pariwisata tanpa pertimbangan yang
matang dari aspek sosial budaya justru akan bisa membawa malapetaka bagi masyarakat
khususnya di daerah pariwisata. Karena sebagai disebutkan di atas, pariwisata mempunyai
daya dobrak yang tinggi untuk merusak kebudayaan masyarakat penerima wisatawan.

3.3 Wisatawan dan Pariwisata


Sebagai fenomena modern sejarah dalam pariwisata dapat ditelusuri dari perjalanan
Marcopolo  (1254-1326) yang menjelajahi Eropa sampai ke Tiongkok, untuk kemudian
kembali ke Venesia, yang kemudian disusul perjalanan Pangeran Henry (194-1460).
Pariwisata telah menjadi satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai
negara,  bagi Indonesia jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali kepada dasawarsa awal abad
20 (tepatnya 1910), yang ditandai dengan dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen
Verkeer). Setelah Indonesia merdeka pada 1946 pemerintah negara segera membentuk Honet
(Hotel National and Tourism), yaitu sebuah badan yang diberikan tugas untuk menghidupkan
kembali pariwisata. Indonesia sangat menaruh harapan pada pariwisata sebagai ‘komoditas
ekspor’  yang diharapkan akan mampu menggantikan peranan Migas. 

Kata wisata (tour) secara harfiah dalam kamus berarti “perjalanan dimana si pelaku Kembali
ke tempat asalnya; perjalanan sirkuler yang dilakukan untuk tujuan bisnis, bersenang-senang,
atau pendidikan, pada mana berbagai tempat dikunjungi dan biasanya menggunakan jadwal
pelajaran yang terencana” (Murphy, 1985: 4-5). 

Ada beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati di dalam memberikan batasan
mengenai pariwisata (khususnya pariwisata internasional), yaitu sebagai berikut:
1. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antara dua atau lebih lokalitas.
2. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat
tinggalnya kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanan yang bukan lah untuk terlibat dalam
kegiatan untuk mencari nafkah pendapatan atau penghidupan di tempat tujuan.
3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam
(24jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, 1995). 
Semua definisi yang dikemukakan tentang pariwisata, meskipun berbeda dalam penekanan,
selalu mengandung beberapa ciri pokok, yaitu:
1. Adanya unsur perjalanan, yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya
2. Adanya unsur ‘tinggal sementara’ di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal yang
biasanya
3. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari penghidupan atau
pekerjaan di tempat yang dituju (Richardson and Fluker, 2004: 5)

Selanjutnya Mathieson and Wall (1982)  mengatakan bahwa pariwisata mencakup tiga elemen
utama, yaitu:
1. A dynamic element,yaitu travel ke suatu destinasi wisata
2. A static elment, yaitu tinggal di daerah tujuan; dan
3. A consequential element, atau akibat dari dua hal di atas khususnya pada masyarakat
lokal yang meliputi dampak ekonomi, sosial, dan fisik dari adanya kontak dengan
wisatawan.

3.4 Ciri-Ciri Sosiologis dari Pariwisata


Secara sosiologis, John Urry (1990) menyebutkan bahwa pariwisata mempunyai ciri-ciri
seperti di bawah ini:
1. Pariwisata adalah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang
2. Hubungan hubungan pariwisata terjadi karena adanya pergerakan manusia
3. Dilihat dari sisi wisatawan pariwisata adalah aktivitas yang dilakukan pada tempat dan
waktu yang ‘tidak normal’
4. Tempat dan atraksi yang dinikmati oleh Wisatawan adalah tempat dan atau peristiwa
yang tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan atau kehidupan wisatawan
5. Pariwisata telah menjadi  Wahana sosialisasi baru
6. Destinasi wisata yang dikunjungi acap kali dipilih berdasarkan khayalan atau fantasi, 
atau karena citra destinasi yang bersangkutan
7. Perjalanan wisata adalah sesuatu yang bersifat ‘tidak biasa’
8. Peranan simbol & penanda (signs) sangat besar di dalam keberhasilan sebuah destinasi
wisata
9. Setiap destinasi wisata selalu mengalami pembaharuan dan penambahan produk-produk
baru

Di dalam mengkaji pariwisata dari aspek sosiologis, Erik Cohen (1984) mengemukakan
bahwa pariwisata dapat dipandang dari salah satu atau beberapa pendekatan konseptual di
bawah ini:
1. Tourism as a commercialised hospitality
Dalam pendekatan ini pariwisata adalah proses komersialisasi dari hubungan tamu dengan
tuan rumah.
2. Tourism as a democratised travel
Dalam pendekatan ini pariwisata dipandang sebagai perilaku perjalanan wisatawan dengan
berbagai karakteristiknya.
3. Tourism as a modern leisure activity
Fokus utama yang menjadi perhatian adalah adalah orang yang santai, yang melakukan
perjalanan, bebas dari berbagai kewajiban.
4. Tourism as a modern variety of a traditional pilgrimage
Pariwisata dipandang berasosiasi dengan ziarah keagamaan yang biasa dilakukan
masyarakat tradisional, atau merupakan bentuk lain dari sacred journey.
5. Tourism as an expression of basic cultural themes
Pendekatan ini bersifat emic (sebagai lawan dari ethic), dengan melihat pemaknaan
perjalanan dari pihak pelaku perjalanan tersebut.
6. Tourism as an acculturation process
Pendekatan ini memfokuskan analisis pada proses akulturasi.
7. Tourism as a type of ethnic realtions
Pendekatan ini menaruh perhatian pada hubungan host-guest.
8. Tourism as a form of neo-colonialism
Merupakan salah satu masalah yang menjadi fokus pendekatan ini.
3.5 Wilayah Kajian Sosiologi Pariwisata
Dari banyaknya aspek yang dapat dikaji, Cohen (1984)  mengelompokkannya ke dalam
empat wilayah kajian yaitu:
1. Wisatawan
2. Hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal
3. Struktur dan fungsi sistem pariwisata
4. Dampak-dampak pariwisata
BAB 4
ASPEK SOSIOLOGIS WISATAWAN
Pariwisata ada karena adanya wisatawan, sehingga kajian terhadap wisatawan merupakan salah
satu fokus dalam sosiologi pariwisata. Kajian tentang wisatawan dan aspek sosiologis meliputi
motivasi wisatawan, ciri-ciri demografis, ciri-ciri sosial ekonomi tujuan kunjungan, lama tinggal,
aktivitas yang dilakukan di daerah tujuan wisata, tingkat kepuasan dan sebagainya. 

4.1 Tipologi Wisatawan


Tipologi  tersebut dapat dikelompokkan atas dua, yaitu atas dasar interaksi (Interactional
type) Dan atas dasar kognitif normatif (cognitive-normative models). Pada tipologi atas dasar
interaksi, sifat-sifat interaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal, sedangkan tipologi
atas dasar kognitif-normatif lebih menekankan pada motivasi yang melatarbelakangi
perjalanan. 
Atas dasar Cohen membedakan wisatawan atas 4, yaitu seperti di bawah ini:
1. Drifter, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi daerah yang sama sekali belum
diketahuinya.
2. Explorer, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan dengan mengatur perjalanannya
sendiri dan tidak mau mengikuti jalan-jalan wisata yang sudah umum melainkan mencari
hal yang tidak umum.
3. Individual Mass Tourist, yaitu wisatawan yang menyerahkan pengaturan perjalanannya
kepada agen perjalanan.
4. Organized-Mass Tourist, yaitu wisatawan yang hanya mau mengunjungi daerah tujuan
wisata yang sudah dikenal, dengan fasilitas seperti yang dapat di temui nya di tempat
tinggalnya.

South (1997)  juga melakukan klasifikasi terhadap wisatawan dengan membedakan


wisatawan atas 7 kelompok, yaitu:
1. Explorer
2. Ellite
3. Off-beat
4. Unusual
5. Incipent mass
6. Mass
7. Charter

Plog (1972) mengembangkan tipologi wisatawan sebagai berikut: 


1. Allocentric, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum
diketahui, bersifat petualangan  dan memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh
masyarakat lokal.
2. Psychocentric,  yaitu wisatawan yang hanya mau mengunjungi daerah tujuan wisata yang
sudah mempunyai fasilitas dengan standar yang sama  di negaranya sendiri. 
3. Mid-centric, Terletak diantara allocentric dan psychocentric

4.2 Motivasi Wisatawan


Motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang wisatawan dan
pariwisata, karena motivasi merupakan trigger dari proses perjalanan wisata walaupun
motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh wisatawan itu sendiri (Sharpley, 1994;
Wahab, 1975).

McIntosh (1977) dan Murphy (1985, cf. Sharpley, 1994) Mengatakan bahwa motivasi-
motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar sebagai berikut:
1. Physical or physiological motivation (Motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis), antara
lain untuk relaksasi, sehatan kenyamanan,  berpartisipasi dalam kegiatan olahraga bersama
Thai dan sebagainya. 
2. Cultural motivation (motivasi budaya),yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat,
tradisi dan kesenian daerah lain. Termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek tinggalan
budaya (monumen bersejarah).
3. Social motivation atau interpersonal motivation (motivasi yang bersifat sosial), seperti
mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja,melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi melakukan ziarah pelarian dari situasi-situasi yang membosankan. 
4. Fantasy motivation (motivasi karena fantasi), yaitu adanya fantasi bahwa di daerah lain
seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjenuhkan. 

 Motivasi intrinsik, yaitu motivasi terbentuk karena adanya kebutuhan dan atau keinginan
dari manusia itu sendiri sesuai dengan teori hierarki kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan
yang dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan kebutuhan sosial,
kebutuhan prestise, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. 
 Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang terbentuk dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal seperti norma sosial pengaruh atau tekanan keluarga dan situasi kerja yang
terinternalisasi dan kemudian berkembang menjadi kebutuhan psikologis. 

4.3  Citra Destinasi di Mata Wisatawan


Pentingnya peranan citra ini juga dapat dilihat dari pandangan Buck (1993) dan Laws
(1995), yang memandang bahwa pariwisata adalah industri yang berbasiskan citra, karena
citra mampu membawa calon wisatawan ke dunia & makna.

Citra juga bisa memberikan kesan bahwa suatu destinasi akan memberikan suatu atraksi
yang berbeda dengan destinasi lainnya, yang sesungguhnya menawarkan atasi yang tidak
jauh berbeda, sehingga menambah keinginan untuk mengunjungi destinasi tersebut. 

4.4 Faktor Pendorong dan Penarik


Kepuasan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor
faktor pendorong dan faktor penarik. faktor pendorong dan penarik ini sesungguhnya
merupakan faktor internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan untuk mengambil
keputusan untuk melakukan perjalanan.

Ryan (1991),  dari kajian literaturnya  menemukan berbagai faktor pendorong bagi seseorang
untuk melakukan perjalanan wisata seperti di bawah ini:
1. Escape, Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan, atau
kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
2. Relaxation, Keinginan untuk recovery ASI atau penyegaran, yang juga berhubungan
dengan motivasi untuk escape di atas.
3. Play, Ingin menikmati kegembiraan melalui berbagai permainan yang merupakan
kemunculan kembali dari sifat kekanak-kanakan dan melepaskan diri sejenak dari
berbagai urusan yang serius.
4. Strengthening family bonds, Ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam
konteks VFR (Visiting Friends and Relations)  keakraban hubungan kekerabatan ini juga
terjadi di antara anggota keluarga yang melakukan perjalanan bersama-sama. 
5. Prestige, Untuk menunjukkan games, dengan menunjukkan destinasi yang menunjukkan
kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau
derajat sosial. 
6. Social Interaction, Untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat atau
dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
7. Romance, Keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan suasana
romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual. 
8. Educational opportunity, Keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang
lain dan atau daerah lain, atau mengetahui kebudayaan etnis lain

4.5 Proses Pengambilan Keputusan Berwisata


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, antara lain sebagai
berikut:
1. Karakteristik wisatawan baik karakteristik sosial, ekonomi (umur, pendidikan, pendapatan,
dan pengalaman sebelumnya).
2. Kesadaran akan manfaat perjalanan pengetahuan terhadap destinasi yang akan dikunjungi,
citra destinasi.
3. Gambaran perjalanan, yang meliputi jarak, lama tinggal di daerah tujuan wisata, kendala
waktu dan biaya, bayangan akan resiko, ketidakpastian.
4. Keunggulan daerah tujuan wisata, yang meliputi jenis dan sifat atraksi yang ditawarkan
kualitas layanan, lingkungan fisik dan sosial, situasi politik, aksesbilitas dan perilaku
masyarakat lokal terhadap wisatawan. 
4.6 Karakteristik, Motivasi dan Persepsi Wisatawan : Kasus Bali 
Bali sampai saat ini masih merupakan destinasi untuk berlibur Hal ini terlihat dari besarnya
persentase Wisman yang datang ke Bali untuk berlibur 93% jauh mendominasi berbagai
tujuan lainnya. demikian juga dikalangan wisnus, 49% kedatangannya ke Bali adalah dengan
tujuan utama untuk berlibur. 

Anda mungkin juga menyukai