Anda di halaman 1dari 22

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Wisata

Dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 pasal 1, wisata adalah kegiatan


perjalanan atau sebagian dari kegiatan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat
sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Seperti yang dikemukakan
juga oleh Oka (1996) dalam Suting (2004), pariwisata merupakan perjalanan yang
dilakukan untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat
lain dengan maksud untuk menikmati perjalanan guna bertamasya dan rekreasi untuk
memenuhi keinginan yang beraneka ragam.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, wisata
adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi,
atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu
sementara. Sedangkan daya tarik wisata adalah segala sesuatau yang memiliki
keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya,
dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau
yang dikenal dengan Ekowisata, dimana saat ini ada kecenderungan semakin banyak
wisatawan yang mengunjungi objek berbasis alam dan budaya penduduk lokal.
Ekowisata didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan
bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri
pariwisata (Fandeli, 2000 dalam Haryanto, 2014).
Prinsip pengembangan ekowisata menurut Tuwo (2011) dibagi menjadi
beberapa hal untuk menjamin kelestarian ekosistem pesisir laut serta pengelolaan dan
pemanfaatan masyarakat yaitu mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas
wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan
dengan sifat dan karakteristik alam dan budaya setempat, aspek pendidikan atau
menyadarkan wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya konservasi
lingkungan, pendapatan langsung untuk kawasan dan pengelolaannya dapat
digunakan secara langsung untuk membina, melestarikan, dan meningkatkan kualitas
kawasan pelestarian, partisipasi masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan
pengembangan ekowisata, sumber penghasilan secara langsung diperoleh
masyarakat, menjaga keharmonisan dengan alam dalam upaya pengembangannya,
daya dukung sebagai batas pemanfaatan dan sebagai kontribusi pendapatan negara.

3
B. Pengembangan Pariwisata

Otonomi daerah merupakan titik tolak bagi daerah dalam mengembangkan dan
mengelola aset-aset atau potensi sumberdaya yang dimilikinya bagi kepentingan
pembangunan ekonomi daerah. Untuk itu, daerah perlu mencermati sektor-sektor
strategis yang memiliki potensi kuat dalam menopang pembangunan di daerahnya.
Sektor pariwisata perlu dikelola secara maksimal agar mampu untuk meningkatkan
kunjungan wisata agar dapat memberi multipliereffect berupa peningkatan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), pendapatan masyarakat, devisa Negara, memperluas pemerataan
kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta mendorong kegiatan ekonomi. Dalam
perencanaan pengembangan pariwisata dikenal sebagai konsep, salah satunya adalah
konsep market driven dan product driven. Konsep market driven lebih menitikberatkan
pada keinginan wisatawan dan perilaku pasar sebagai landasan pengembangan.
Sedangkan konsep product driven lebih menitikberatkan pada pengembangan produk
wisata. Kondisi dan keunggulan produk atau objek dan daya tarik wisata sebagai
landasan utama dalam pengembangan (Fandeli, 2001).
Konsep perencanaan wisata dibagi menjadi tiga skala yaitu, perencanaan tapak
(siteplan), perencanaan daerah tujuan (destination plan) dan perencanaan regional.
Ada dua hal penting yang menyebabkan metode yang bersifat partisipatif
dikembangkan dalam rangka membantu memecahkan masalah masyarakat dan
membantu merumuskan program untuk memecahkan masalah. Pertama, selama ini
masyarakat cenderung dijadikan objek dan kurang atau bahkan tidak terlibat dalam
merumuskan masalah dan menyususn program pembangunan bagi dirinya sendiri.
Kedua, dalam penerapan kebijakan yang membangun mereka masyarakat lebih
banyak berlaku sebagai penerima dan bukan sebagai perlaku utama dari
pembangunan yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mereka sendiri. Selama ini
penentuan dan perumusan masalah ditentukan oleh para ahli yang menggunakan
metode survei yang berat sebelah kearah penelitian, sehingga seringkali tidak sesuai
dengan maslah yang sesungguhnya dihadapi oleh masyarakat. Sehingga pada
akhirnya justru tidak mendapatkan keuntungan apa-apa deprogram pembangunan di
wilayahnya baik itu yang bersifat sosial-budaya dan peningkatan pada taraf ekonomi.
Pengembangan pariwisata dengan pendekatan partisipasi perlu mendapatkan
perhatian, terutama dalam konsep pengembangan pariwisata jangka panjang.
Pariwisata memang belum tergali secara optimal, padahal sektor ini berpartisipasi
untuk mendapatkan banyak keuntungan, baik dari pasar domestik maupun pasar
internasional. Bermodalkan berbagai kondisi alam wilayah yang dimiliki, keragaman
masyarakat dan budaya yang berkualitas, maka pengembangan sektor pariwisata

4
berbasis masyarakat dianggap sesuai potensi untuk dikembangkan agar dapat menjadi
sektor andalan penerimaan devisa.
Dengan demikian, diharapkan sektor pariwisata yang dikembangkan melalui
partisipasi masyarakat dapat menjadi salah satu lokomotif perekonomian. Sebab
pengembangan sektor memiliki keterkaitan erat dengan sektor lainnya, serta
menjangkau berbagai elemen baik pemerintah, swasta maupun masyarakat (Gunn,
1994).
Industri pariwisata yang ingin bertahan lama, tidak dapat hanya mengandalkan
pada pembangunan fisik semata seperti infrastruktur aksesibilitas, seperti jalan raya,
pelabuhan, bandara, melainkan secara terpadu (integrated) dilakukan bersama dengan
pengembangan kualitas individu pelaku kepariwisataan dan respon positif masyarakat
di sekitarnya. Pariwisata sebagai salah satu kegiatan pembangunan diupayakan dapat
sejalan dengan konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan perlu menererapkan kaidah-kaidah:
1. Pengembangan pariwisata berorientasi jangka panjang dan menyeluruh (holistic)
tidak hanya memanfaatkan tetapi sekaligus melestarikan objek dan daya tarik
wisata yang memberikan manfaat secara adil bagi semua,
2. Pembangunan pariwisata yang sesuai dengan karakter wilayah, kondisi lingkungan,
kontak sosial dan dinamika budaya.
3. Penciptaan keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan dan penyediaan oleh
masyarakat lokal, yang memunculkan hubungan timbal balik dan saling
menghargai, nilai, adat istiadat, kebiasaan, warisan budaya,
4. Pemanfaatan sumberdaya pariwisata yang memperhitungkan kemampuan
lestarinya yang pengelolaannya secara eco-efficiency (Reduce, Reuse dan Recycle)
sehingga mencapai eco-effectivity (Redistribute, Reactual).
5. Pengelolaan kegiatan pariwisata yang tanggap terhadap perubahan yang terjadi
dari kedua sisi permintaan (pasar) dan penawaran (produk).
Menurut yoeti (2005), adapun aspek-aspek yang perlu diketahui dalam
perencanaan pariwisata adalah sebagai berikut:
1. Wisatawan
Hal yang perlu diketahui dari aspek ini adalah mengenai wisatawan yang
diharapkan datang kelokasi objek wisata.
2. Transportasi
Aspek ini berkitan dengan ketersediaan fasilitas transportasi yang dapat digunakan
untuk membawa wisatawan ke daerah tujuan wisata. Atraksi dan fasilitas pariwisata
tidak dapat dinikmati oleh wisatawan secara penuh apabila infrastruktur tidak
dibangun.

5
3. Atraksi/Objek wisata
Seluruh komponen yang ada dalam suatu daerah diharapkan dapat menjadi atraksi.
Dalam suatu daerah tujuan wisata, terdapat beberapa atrakasi dari kekayaan alam dan
sebagai atraksi buatan. Atraksi buatan ini daya tariknya sengaja dibuat untuk
memenuhi keinginan wisatawan.
4. Fasilitas pelayanan
Fandeli (2001), menyebutkan ada tiga macam fasilitas yang dibutuhkan oleh
wisatawan. Ketiga fasilitas tersebut adalah tempat penginapan, makan dan minum,
dan pelayanan terhadap keinginan wisatawan berkait dengan cindramata atau
souvenir.
5. Informasi dan promosi
Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara-cara memberikan informasi, pumbikasi
atau promosi yang dilakukan untuk menarik wisatawan agar datang kesuatu objek
wisata.

C. Oseanografi

Oseanografi adalah ilmu tentang lautan. Menurut Setiyono (1996) dalam


Tandiseru (2015), di dalam lautan terdapat proses-proses dan interaksi antara bagian
komponen, baik yang bersifat hidup (biotik) maupun tak hidup (abiotik), seperti proses-
proses biologi, fisika, kimia, dan geologi. Berdasarkan hal tersebut maka kajian tentang
lautan berkembang menjadi oseanografi biologi, oseanografi fisika, oseanografi kimia,
dan oseanografi biologi. Sehingga dapat dikatakan oseanografi merupakan ilmu yang
bersifat multidisipler.
Menurut Hutabarat dan Evans (1985) membagi oseanografi menjadi beberapa
bagian yaitu: oseanografi fisika adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat-
sifat fisika yang terjadi dalam lautan sendiri dan yang terjadi antara lautan dengan
atmosfer dan daratan. Oseanografi kimia adalah ilmu yang berhubungan dengan
reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam dan di dasar laut dan juga menganalisa sifat-
sifat dari air laut itu sendiri. Oseanografi biologi adalah cabang ilmu oseanografi ini
sering dinamakan sebagai biologi laut, dimana di sini dipelajari semua organisme-
organisme yang hidup di lautan. Dan oseanografi geologi adalah ilmu yang
mempelajari pada bangunan dasar samudera yang berkaitan dengan struktur dan
evolusi cekungan samudra.

6
D. Parameter Fisika Oseanografi

1. Kedalaman
Kedalaman menjadi faktor yang sangat penting untuk kegiatan wisata karena
menyangkut masalah keamanan dan keselamatan wisatawan dalam kegiatan
berenang karena hal tersebut maka lokasi wisata harus memperhatikan batas wilayah
yang aman untuk berenang atau sekedar main air dan mandi. Perairan yang dangkal
merupakan lokasi yang paling ideal untuk kegiatan wisata.
Bakosurtanal (1995) dalam Sugianto (2005) memberikan batasan nilai
kedalaman bagi kesesuaian kawasan pariwisata pesisir menjadi empat kelas yaitu
kedalaman 0 – 2 m sangat sesuai, 3 – 4 m hampir sesuai dan > 4 m tidak sesuai.
Faktor kedalaman sangat berpengaruh dalam pengamatan dinamika oseanografi
dan morfologi pantai seperti kondisi arus, ombak dan transportasi sedimen. Lanjut
dikemukakan oleh Hutabarat dan Evans (1985) bahwa kedalaman berhubungan erat
dengan stratifikasi suhu vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat
hara.

2. Kecepatan Arus
Arus adalah gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horizontal dan vertikal
massa air (Svendrup et al. 1961). Secara umum arus laut dipengaruhi oleh angin dan
pasang surut suatu perairan. Arus merupakan pergerakan massa air yang diakibatkan
oleh adanya angin yang berhembus di daerah permukaan air laut, gerakan gelombang
yang panjang dan juga disebabkan oleh pasang surut (Nontji, 2002 dalam Sadik,
2017).
Kecepatan arus adalah salah satu faktor oseanografi yang menarik untuk dikaji
terutama arus digunakan untuk menghasilkan informasi hidrografi yang bertujuan untuk
alur pelayaran, kegiatan navigasi, penentuan batas wilayah dan juga kegiatan wisata.
Dalam kegiatan wisata kecepatan arus bertujuan sebagai penentuan batas keamanan
dan keselamatan para wisatawan terutama pada kegiatan berenang maupun kegiatan
wahana perahu.
Menurut Hutabarat dan Evans (1985), bahwa gerakan air di permukaan laut
terutama disebabkan oleh adanya angin bertiup di atasnya. Hubungan ini
kenyataannya tidaklah demikian sederhana, sekalipun terlihat dari perbandingan
singkat antara angin utama bertiup dan arah dari arus-arus permukaan. Alasannya
adalah bahwa arus-arus dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, selain angin. Faktor-
faktor tersebut adalah:

7
a. Bentuk topografi dasar lautan dan pulau-pulau yang ada disekitarnya.
Beberapa sistem lautan dunia dibatasi oleh massa daratan dari tiga sisi dan
pulau oleh arus equatorial counter di sisi yang keempat. Batas-batas ini menghasilkan
sistem aliran yang hampir tertutup dan cenderung membuat aliran air mengarah dalam
suatu bentuk bulatan. Dari sinilah terbentuk adanya gyre (arus-arus berputar).
b. Gaya Coriolis dan Arus Eikman
Gaya Coriolis mempengaruhi aliran massa air, dimana gaya ini akan
membelokkan arah mereka dari arah yang lurus. Gaya ini timbul sebagai akibat dari
perputaran bumi pada porosnya. Gaya corioris juga menyebabkan timbulnya
perubahan-perubahan arah arus yang kompleks susunannya yang terjadi sesuai
dengan makin dalamnya kedalaman suatu perairan. Pada umumnya tenaga angin
yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat mengakibatkan tibulnya arus
permukaan yang mempunyai kecepatan sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri.
Dengan kata lain, bila angin bertiup dengan kecepatan 10 m/s maka dapat
menimbulkan sebuah arus permukaan yang berkecepatan 20 cm/s. Kecepatan arus ini
akan berkurang dengan cepat sesuai dengan semakin bertambahnya kedalaman
perairan dan akhirnya angin menjadi tidak berpengaruh sama sekali terhadap
kecepatan arus pada kedalaman di bawah 200 meter. Pada saat keceptan arus
berkurang, maka tingkat perubahan arah Coriolis akan menigkat. Hasilnya adalah
bahwa hanya terjadi sedikit pembelokan dari arah arus yang relatif cepat di lapisan
permukaan dan arah pembelokannya menjadi makin besar pada aliran arus yang
kecepatannya menjadi makin lambat dilapisan perairan yang mempunyai kedalaman
makin bertambah besar. Akibatnya akan timbul suatu aliran arus dimana makin dalam
suatu perairan maka arus yang terjadi pada lapisan-lapisan perairan akan makin
dibelokkan arahnya. Hubungan ini dikenal dengan Spiral Eikman.
Untuk beberapa arus yang terbentuk di dekat pantai sangat penting artinya.
Apabila arus ini sangat kuat maka arus tersebut akan berbahaya bagi orang-orang
yang sedang mandi atau berenang di pantai. Tetapi arus dekat pantai juga sangat
penting untuk sirkulasi air laut di pantai dan dapat membersihkan kawasan panatai.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada dua arus yang dibangkitkan oleh ombak, yaitu arus
tolak pantai (rip current) dan arus susur pantai (longshore current). Arus tolak pantai
pada umumnya landai, kuat dan mengalir ke laut dari daerah atau zona hempasan
pantai, arus inilah yang kadang sangat membahayakan bagi kawasan wisata pantai
karena dapat menyeret orang yang sedang berenag. (Komar, 1979 dalam Sugianto,
2005).

8
3. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran kejernihan suatu perairan yang diamati secar
visual dan diamati dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan air laut dipengaruhi
oleh beberapa faktor-faktor antara lain adanya benda-benda yang melayang-layang
pada perairan dekat pantai, nilai kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan
terhalangnya penetrasi sehingga tidak masuk ke perairan yang dalam dekat pantai,
dan besarnya sinar matahari (cahaya) yang langsung masuk ke perairan. (Sabrina dan
Delia, 2001).
Semakin dalam sinar matahari (cahaya) dapat menembus kedalam air, maka
semakin tinggi kecerahan air yang terlihat. (Sulistijo et al. 1996). Menurut Sidabutar
dan Edward (1995), bahwa kecerahan sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari
dan partikel-partikel organik dan anorganik yang melayang-layang dikolom air.
Kejernihan sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut dalam lumpur. Semakin
banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat.
Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan
efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi.
Kecerahan air dapat menentukan ketebalan lapisan produktif yang ditandai
dengan adanya plankton, air yang berwarna hijau atau abu-abu coklat. Berkurangnya
kecerahan air akan mengurangi kemampuan fotosintesis dari tumbuhan air, selain itu
dapat pula mempengaruhi kegiatan fisiologi biota air, dalam hal ini masuknya bahan-
bahan kedalam suatu perairan terutama yang berupa suspense dapat mengurangi
kecerahan air. Kecerahan perairan merupakan parameter yang paling penting dalam
kegiatan wisata pantai dan sangat menentukan baik buruknya kegiatan wisata.
Kecerahan perairan dalam kaitannya dengan kegiatan wisata pantai sangat berperan
dalam hal kenyamanan para pariwisata pada saat rekreasi (Mansyur, 2000 dalam
Tandiseru, 2015).

4. Ketersediaan Air Tawar


Dalam kegiatan kepariwisataan, ketersediaan air bersih berupa air tawar sangat
diperlukan untuk menunjang fasilitas pengelolaan maupun pelayanan wisata. Hal ini
juga merupakan menjadi kriteria penilaian terhadap kelayakan prioritas pengembangan
wisata pantai.
Namun pada umunya daerah pesisir memiliki permasalahan ketersediaan air
tawar karena air yang tersedia sebagian besar memiliki karakteristik air asin atau
payau (Arie dkk, 1996 dalam Tandiseru, 2015). Air yang diperuntukkan bagi konsumsi
manusia harus berasal dari sumber air yang bersih dan aman. Batas-batas sumber air
yang bersih dan aman tersebut antara lain: bebas dari kontaminasi kuman atau bibit

9
penyakit, bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun, dan tidak berasa
dan tidak berbau. Tersedianya air tawar di kawasan wisata pantai dapat memenuhi
kebutuhan para wisatawan yang berkunjung.
Ketersediaan air tawar merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam wisata
pantai. Selain untuk konsumsi juga dapat digunakan untuk mandi dan shalat setelah
bermain air laut dan pasir pantai. Ketersediaan air tawar dilihat dari seberapa jauh
sumber air tawar terhadap pantai. Jarak lokasi dengan sumber air <0,5 km merupakan
syarat yang paling sesuai, sedangkan jarak >2 km merupakan jarak yang tidak sesuai
untuk wisata pantai (Yulianda, 2007).

5. Gelombang
Gelombang yang terjadi dilaut secara dominan dibangkitkan oleh angin dan
biasa disebut dengan gelombang angin. Gelombang dapat menimbulkan energi untuk
membentuk pantai, menimbulkan arus dan transport sedimen dalam arah tegak lurus
dan sepanjang pantai. Gelombang merupakan faktor utama dalam perencanaan
bangunan pelindung pantai.
Gelombang merupakan suatu parameter untuk menunjang daya tarik wisatawan
karena pantai yang memiliki gelombang relatif kecil sampai sedang dapat menjadi
tempat wisata mandi dan renang. Gelombang pada tempat wisata juga digunakan
sebagai parameter untuk menentukan tingkat batas wisatawan untuk melakukan
kegiatan karena berhubungan dengan faktor keamanan dan keselamatan.

6. Pasang Surut
Pasut adalah fenomena naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik
yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan
matahari (Lanuru dan Samawi, 2011).
Menurut Wibisono (2005) pasang surut sebenarnya hanya ada 3 jenis (tipe)
pokok, yakni sebagai berikut:
a. Pasang surut tipe harian tunggal: yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat 1 kali
surut. Tipe ini sering disebut sebagai diurnal tipe.
b. Pasang surut tipe harian ganda: yakni bila dalam 24 jam terdapat 2 kali pasang
surut. Tipe ini sering disebut sebagai semi diurnal tipe.
c. Pasang surut tipe campuran: yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat bentuk
campuran yang condong ke tipe harian atau condong ke tipe harian ganda.
Pengamatan pasang surut erat kaitannya dengan faktor oseanografi lainnya
seperti kecepatan arus dan gelombang yang juga dipengaruhi oleh kedalaman,
kemiringan dan kelandaian suatu perairan. Kisaran pasang surut yang tidak terlalu
besar baik untuk pengembangan pariwisata pantai khususnya untuk kegiatan mandi

10
renang. Hasil pengukuran pasang surut yaitu nilai duduk tengah sementara (DTS) atau
tinggi muka rata-rata air laut digunakan dalam koreksi pengukuran kedalaman perairan
untuk mendapat nilai kedalaman sebenarnya dari perairan tersebut.

E. Parameter Geomorfologi Pantai

1. Tipe Pantai

Tipe pantai secara sederhana dapat dibedakan berdasarkan material


penyusunnya yaitu:
a. Pantai batu (Rocky shore), yaitu pantai yang tersusun oleh batuan induk yang keras
seperti batuan beku atau sedimen yang keras.
b. Beach yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas, pantai tipe ini dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu:
1). Sandy beach (pantai pasir), yaitu pantai yang tersusun oleh endapan pasir.
2). Gravel beach (pantai berbatu), yaitu pantai yang tersusun oleh gravel atau
batuan lepas.
c. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai.

2. Substart / Material Dasar Perairan


Sedimen adalah partikel-partikel yang berasal dari hasil proses erosi, baik yang
berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Hasil sedimen
adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi didaerah tangkapan air
yang diukur pada priode waktu dan tempat tertentu (Asdak, 2007).
Terjadinya erosi disuatu tempat maka akan terjadi pula sedimentasi di tempat
lain yang disebabkan karena material yang tergerus oleh adanya aktivitas gelombang
yang akan diangkut oleh gerakan pasir yang terdapat di daerah litoral yang dipengaruhi
oleh pasang surut atau disebut aliran litoral dan dideposito di daerah lain (Dahuri,
2001). Ukuran partikel-partikel ini sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik erosi dan
akibatnya sedimen yang terdapat pada berbagai tempat di dunia mempunyai sifat-sifat
yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, sebagian besar
dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis partikel yang berukuran kecil yang terdiri dari
sedimen halus (lumpur), sedangkan hampir semua pantai ditutupi oleh sediemen
berukuran besar dan kasar (pasir) (Hutabarat dan Evans, 1985).
Ada dua jenis pantai bila dilihat dari tanduk material pembentuknya, yaitu pantai
berpasir (sandy beach) dan berbatu (rocky coast). Pantai berbatu terdiri dari material
yang kokoh dan perubahannya bersifat tetap (irreversible), sementara pantai berpasir
terdiri dari material lepas seperti pasir, krikil, lempung atau campuran ketiganya

11
mampu merubah kembali kebentuk semula seperti erosi-akresi, setelah terkena gaya-
gaya luar (Hutagaung, 1994).
Secara umum proses transportasi sedimen dapat dibagi kedalam tiga tahapan:

a. Teraduknya material kohesif dari dasar laut sehingga tersuspensi, atau lepasnya
material non kohesif dari dasar laut.
b. Perpindahan material secara horizontal.
c. Pengendapan kembali partikel/material sedimen tersebut.
Masing-masing tahap tersebut tergantung pada gerakan air dan karakteristik
sedimen yang terangkut.
Keadaan lingkungan seperti tipe substrat memberikan variasi yang amat besar
dari suatu daerah dasar lautan lainnya. Selanjutnya diuraikan bahwa sedimen
cenderung didominasi oleh satu atau bebrapa jenis partikel, tapi tetap terdiri dari
ukuran yang berbeda-beda (Hutabarat & Evans, 1985).

3. Lebar Pantai
Lebar pantai berkaitan dengan luasnya lahan pantai yang dapat dimanfaatkan
untuk berbagai aktivitas wisata pantai. Lebar pantai yang sangat sesuai untuk wisata
pantai adalah lebih dari 15 meter, sedangkan untuk lebar pantai kurang dari 3 meter
dianggap tidak sesuai untuk wisata pantai (Hutabarat dan Evans, 1985).

4. Kemiringan Pantai
Kelandaian pantai cenderung mempengaruhi keamanan seseorang untuk
melakukan kegiatan wisata pantai seperti mandi dan renang. Pantai datar sampai
landai sangat baik untuk kegiatan wisata renang dimana wisatawan dapat melakukan
berbagai kegiatan seperti berenang, bermain pasir, serta dapat bermain-main dengan
ombak di tepinya.
Secara umum menurut bentuknya pantai dapat dibedakan menjadi empat
macam yaitu pantai dasar landai, curam dan pantai terjal (Yulianda, 2007). Untuk
mendapat nilai kelandaian maka terlebih dahulu diukur kemiringannya. Hubungannya
dengan wisata pantai pengukuran kelandaian pantai dapat digunakan dalam
penentuan batas aman renang.
Tabel 1. Hubungan antara topografi pantai dengan kemiringan

Parameter Nilai Sebutan

Kemiringan (0) <10 10 - 25 >25-45 >45

Topografi Pantai Datar Landai Curam Terjal

12
F. Parameter Biologi Oseanografi
1. Biota Berbahaya
Lahan pantai yang nyaman untuk berbagai aktivitas adalah pantai yang aman.
Pantai yang aman dimaksud merupakan pantai yang bebas dari biota berbahaya.
Menurut (Pratiwi, 2006) secara umum biota laut terbagi atas 2 kelompok yaitu:
kelompok hewan. Kelompok hewan berbahaya pada daerah pantai diantaranya:
a. Ikan
Jenis ikan yang tergolong berbahaya yaitu, ikan lepuh (Pterois volitans), ikan pari
(Urophulus wostraliensis), ikan hiu (Carcharhinus sp) dan barakuda (Sphyraena sp).
b. Echinodermata
Kelompok hewan ini mempunyai permukaan kulit yang berduri-duri. Duri-duri
yang melekat di tubuhnya itu bermacam-macam ada yang tajam, kasar atau hanya
berupa tonjolan saja (Lilley 1999 dalam pratiwi 2006). Jenis Echinodermata yang
tergolong berbahaya yaitu Bulu Babi (Deadema sp). Akibat yang dihasilkan apabila
terkena racunnya adalah nyeri pada sekitar luka, demam dan kelumpuhan.
c. Reptilia
Jenis hewan berbahaya dari Reptilia yaitu ular laut. Dampak dari gigitan ular
sangat berbahaya, bila tidak segera mendapatkan pertolongan bias berujung pada
kematian.
d. Moluska
Moluska merupakan hewan yang bertubuh lunak, ada yang bercangkang dan
tidak bercangkang. Cangkangnya berfungsi untuk melindungi tubuhnya yang lunak.
Jenis moluska yang tergolong berbahaya yaitu gurita cincin (Hapalochlaena sp).
e. Cnidaria
Jenis hewan berbahaya dari filum cnidaria yaitu ubur-ubur. Sengatan ubur-ubur
dapat menyebabkan iritasi pada kulit, dan pada jenis-jenis tertentu dapat
menyebabkan kejang hingga kematian. Letak sengat ubur-ubur berada pada
tentakelnya. Ubur-ubur memiliki tubuh yang transparan, hingga sulit dilihat di air. Untuk
menhindarinya, gunakan pakaian renang / selam yang menutupi hingga bagian lengan
dan kaki dengan baik.

2. Vegetasi Pantai
Tumbuhan pantai dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang hidup didaerah
yang bersalinitas tinggi. Tumbuhan pantai dapat dikategorikan dalam dua golongan
besar yaitu tumbuhan mangrove dan non mangrove.
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat disepanjang pantai atau
muara sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Hutan mangrove tumbuh

13
pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar. Biasanya ditempat
yang tidak ada muara sungainya hutan mangrove terdapat agak tipis, namun pada
tempat yang mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung pasir dan lumpur mangrove biasanya tumbuh meluas (Nontji, 1987).
Sedangkan non mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang hidup dibelakang
mangrove. Tumbuhan yang termasuk dalam non mangrove biasanya tumbuh pada
substrat pasir atau tanah lumpur yang mengering (Pramudji, 1998).

G. Kemudahan Akses Ke Lokasi

Kelancaran hubungan transportasi maupun hubungan komunikasi dari dan


kekawasan wisata sangat dibutuhkan dalam penentuan lokasi suatu kawasan wisata,
agar wisatawan tidak terisolasi dari dunia luar (Triyatni, 1996). Selanjutnya dikatakan
oleh Amen (2001) bahwa estetika, kenyamanan dan keamanan merupakan unsur yang
sangat penting dalam pengembangan kawasan wisata pesisir karena merupakan
variabel utama keberhasilan pengembangan suatu lokasi kawasan wisata.
Jalan masuk atau pintu masuk utama ke kawasan tujuan wisata merupakan
akses yang sangat penting dalam hal kegiatan wisata pantai. Jika suatu kawasan
memiliki potensi wisata, maka harus disediakan aksesibilitas yang memadai sehingga
daerah tersebut dapat dikunjungi para wisatawan yang datang berkunjung.

H. Sampah

Sampah merupakan segala bentuk buangan padat yang sebagian besar dari
aktivitas manusia (domestik). Sampah domestik lebih banyak didominasi oleh bahan
organik, meskipun tipe dan komposisisnya bervariasi dari suatu kota ke kota lainnya,
bahkan dari hari ke hari (Hadiwiyoto, 1983).
Sampah merupakan penyebab terjadinya pencemaran terhadap lingkungan.
Pencemaran karena sampah dapat membawa akibat-akibat negatif, baik terhadap
kehidupan di sekitarnya, maupun terhadap kehidupan manusia. Pencemaran tersebut
mungkin dapat berbentuk rusaknya tanah-tanah pertanian, perikanan, gangguan
kehidupan mikroorganisme dan organisme-organisme lainnya serta daerah wisata
pantai di sekitar lokasi sampah. Umur sampah akan menentukan tingkat penguraian
yang terjadi hingga tercapai kestabilan. Pada penguraian sampah organik dapat
menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia bersifat toksik dan bahan-bahan organik
terlarut (Mahida, 1997).
Pengaruh sampah terhadap kesehatan lingkungan dapat terjadi melalui
pengaruh langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi akibat kontak

14
langsung dengan sampah, dimana sampah tersebut ada yang bersifat racun, korosif
terhadap tubuh, karsinogenik, teratogenik dan ada juga yang mengandung kuman
pathogen yang langsung dapat menularkan penyakit. Pengaruh tidak langsung dapat
dirasakan oleh manusia terutama akibat pembusukan, pembakaran dan pembuangan
sampah.

15
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2019 yang berlokasi di Pantai
Ujung Suso, Kecamatan Burau, Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan analisis sampel
sedimen dikerjakan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Geomorfologi Pantai,
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

B. Bahan dan Peralatan

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning System
(GPS) untuk menentukan titik lokasi pengambilan data, alat tulis menulis untuk
mencatat hasil pengamatan, roll meter untuk pengukuran, kamera digital untuk
dokumentasi kegiatan, alat dasar untuk identifikasi biota berbahaya, kantong sampel
sebagai wadah sedimen, layang-layang arus untuk menukur arus, stopwatch untuk
pengamatan kecepatan arus, secchi disk untuk pengukuran kecerahan, tali skala yang
dilengkapi dengan pemberat untuk mengukur kedalaman perairan, rol meter dan
tongkat kayu untuk pengukuran kelandaian/kemiringan pantai, perahu untuk
transportasi, oven untuk mengeringkan sampel, gelas kimia untuk wadah sampel saat

16
pengeringan, ayakan sedimen untuk mengayak sampel, sivenet untuk mengayak
sedimen, cawan petri untuk wadah sampel, dan kuas untuk membersihkan substrat
yang menempel diayakan sedimen.
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu sampel substrat sebagai bahan uji,
dan air untuk membersihkan peralatan.

C. Prosedur Kerja

Prosedur penelitian ini meliputi beberapa tahap yaitu tahap persiapan yang
meliputi studi literatur dan observasi awal, pengambilan data lapangan, analisis
laboratorium, pengolahan data, dan penyusunan laporan akhir.

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilakukan melalui observasi lapangan dan studi litelatur.
Observasi awal bertujuan untuk mengetahui kondisi daerah penelitian. Selanjutnya
dilakukan studi litelatur untuk penguatan karangka teoritis, perumusan masalah,
pengumpulan literatur yang berhubungan dengan objek studi serta penyusunan
kerangka metodologi penelitian.

2. Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun penelitian dilakukan pada wilayah yang dianggap mewakili
daerah tempat penelitian tersebut maka ditentukan 4 titik stasiun yang sejajar dengan
garis pantai dengan jarak antara stasiun adalah ±350 meter menggunakan roll meter.

3. Pengambilan Data Lapangan


Pengambilan dan pengukuran data lapangan dengan parameter-parameter yang
terukur adalah:

a. Pasang Surut
Langkah awal yang dilakukan pada saat mengukur pasang surut adalah
menentukan lokasi pengamatan yang resperensif untuk pemasangan tiang skala. Perlu
diperhatikan bahwa lokasi yang dijadikan pengamatan adalah lokasi yang tidak pernah
mengalami kekeringan akibat fluktuasi pasang surut. Selanjutnya memasang tiang
skala pasut. Pengukuran pasut dilakukan dengan cara membaca tinggi permukaan air
laut pada tiang skala terpasang. Pengamatan dilakukan menggunakan metode
Doodson yaitu dengan mencatat level muka air dengan interval 1 jam selama 39 jam
yang dimulai 00.00 waktu setempat.

17
Analisis data (Bahar, 2015):

Keterangan:
MSL = tinggi muka air rata-rata (cm)
Hi = tinggi muka air
Ci = Konstanta Doodson

b. Kedalaman

Pengukuran kedalaman dilakukan menggunakan alat rambu ukur/tiang skala.


Pengukuran dilakukan pada 4 stasiun dengan mengukur kedalaman pada saat pasang
dari pinggir pantai ke perairan dengan jarak 250 meter. Nilai yang di tunjukkan pada
tiang skala ini merupakan nilai kedalaman stasiun penelitian. Data pengukuran yang
diproleh selanjutnya dikoreksi terhadap muka air laut rerata sementara untuk
memperoleh kedalaman sebenarnya. Untuk mendapatkan kedalaman sesungguhnya
maka dilakukan koreksi berdasarkan rumus:
Analisis data :

Keterangan:
Ds = Kedalaman Sebenarnya (cm)
Ht = Kedalaman dirambu pasut saat pengkuran (cm)
DT = Kedalaman yang terukur (cm)
MSL = Nilai muka air rata-rata

c. Kecepatan Arus

Untuk pengukuran kecepatan arus dilakukan disetiap stasiun pengamatan


dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) yakni dengan menetapkan jarak
tempuh layang-layang arus (10 meter) kemudian mengukur waktu tempuh layang-
layang arus tersebut.

Analisis data :

Keterangan:
V = kecepatan arus terukur (m/s)
S = jarak tempuh layang-layang arus (m)
T = waktu tempuh layang-layang arus (s)

18
d. Kecerahan

Peralatan yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secchi disk yang
berbentuk seperti piringan. Pengukuran kecerahan dilakukan disetap stasiun dengan
cara menenggelamkan secchi disk hingga tepat pada secchi disk sudah tidak terlihat
oleh mata, lalu mengukur kedalaman secchi disk untuk memperoleh nilai kecerahan.

Analisis data:

Keterangan:
K = kecerahan (%)
d1 = kedalaman secchi disk saat tidak terlihat (m)
d2 = kedalaman secchi disk saat mulai tampak kembali (m)

e. Material Dasar Perairan dan Tipe Pantai

Pengamatan material dasar perairan dan tipe pantai dilakukan dengan cara
mengamati jenis substart dengan melihat dominasi setiap ukuran butir substratnya.
Untuk mengetahui jenis substrat dengan cara analisis sampel sedimen menggunakan
metode ayakan kering. Prosedur kerja yang dilakukan yaitu:

1. Di lapangan
Terlebih dahulu ditentukan lokasi pengambilan sampel untuk menggambil
substrat dasar perairan. Kemudian mengambil sampel substrat distasiunnya. Sampel
tersebut dimasukkan kedalam satu kantong sampel. Sedangkan untuk tipe pantai
pengambilan sampel substrat dilakukan dengan mengikuti stasiun yang sudah
ditentukan sebelumnya. Pada stasiun, sampel substrat diambil secara langsung pada
beberapa titik secara acak (random) yang merupakan keterwakilan dari daerah
tersebut dan semua sampel disatukan kedalam satu kantong sampel.

2. Di Laboratorium
Analisis sampel substrat menggunakan metode ayakan kering. Sampel substrat
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu maksimal 100 0C-150 0C tergantung jenis
sedimennya, sehingga sampel substrat betul-betul kering. Sampel tersebut diambil dan
kemudian ditimbang untuk dianalisis 100 gram sebagai berat awal. Sampel
dimasukkan ke dalam ayakan untuk diayak secara merata selama 5-10 menit,
sehingga didapatkan pemisahan ukuran masing-masing partikel berdasarkan ukuran
ayakan. Selanjutnya sampel dipisahkan dari ayakan (untuk antisipasi tertinggalnya
butiran pada ayakan disikat dengan perlahan). Hasil ayakan tiap ukuran kembali
ditimbang untuk mendapatkan beberapa gram hasil masing-masing ukuran ayakan.

19
Analisis data:
 Untuk analisis substar sedimen, menggunakan Skala Wenworth (Hutabarat dan
Evans, 1985)
Tabel 2. Analisis substrat sedimen, menggunakan Skala Wenworth

Keterangan Ukuran (mm)


Bolder (Boulder) >256
Kerikil (Gravel) 2 - 2,56
Pasir sangat kasar (Very Coarse Sand) 1-2
Pasir kasar (Coarse Sand) 0,5 - 1
Pasir sedang (Medium Sand) 0,25 - 0,5
Pasir halus (Fine Sand) 0,125 - 0,25
Pasir sangat halus (Very Find Sand) 0,0625 - 0,125
Debu (Silt) 0,002 - 0,0625
Lempung (Clay) 0,0005 - 0,0002
Material terlarut (Dissolved Material) < 0,0005

 Untuk pengolahan data sedimen menggunakan rumus menghitung % berat


sedimen sebagai berikut:

f. Lebar pantai

Pengukuran lebar pantai dilakukan dengan menggunakan roll meter, yaitu diukur
jarak antara vegetasi terakhir yang ada di pantai dengan batas surut terendah.
Pengukuran lebar pantai dilakukan sekali pada saat surut terendah.

g. Kemiringan Pantai

Pengukuran kemiringan pantai dilakukan menggunakan rol meter dan tongkat


ukur. Langkah pertama, kayu ukur diletakkan secara horizontal di atas pasir dan
diletakkan tepat pada batas pantai teratas. Setelah dipastikan horizontal dihitung
ketinggian tongkat tersebut dengan roll meter, sehingga dapat diketahui kemiringan
pantai tersebut dengan cara menghitung sudut yang dibentuk antara garis horizontal
dan vertikal yang didapatkan.

20
Kemiringan pantai dapat diperoleh dengan rumus:

Dimana:
= Sudut yang dibentuk (0)
Y =Jarak antara garis tegak lurus yang dibentuk oleh kayu horizontal dengan
permukaan pasir dibawahnya
X = Panjang kayu

h. Gelombang

Data gelombang diperoleh menggunakan tiang skala dengan mencatat puncak


dan lembah setiap gelombang yang datang. Pengukuran gelombang meliputi tinggi
gelombang (H), waktu pengukuran, lama pengukuran dan periode gelombang (T).
pengukuran dilakukan pada setiap stasiun pengamatan.

Analisis data (Bahar, 2015):


 Tinggi gelombang
H = (puncak gelombang – lembah gelombang)
 Tinggi gelombang sigifikan (Hs)

H Rata – rata dari gelombang terbesar setelah diurutkan

 Priode Gelombang
T=

 Priode ombak signifikan


Ts = 1.1 x T
Keterangan:
H = tinggi gelombang (cm)
t = lama waktu pengamatan (s)
n = banyaknya gelombang (s)
T = periode gelombang (s)
Ts = periode gelombang signifikan (s)

i. Identifikasi biota berbahaya

Pengamatan biota berbahaya akan dilakukan snorkeling di sekitar stasiun dan


mewawancarai masyarakat di sekitar Pantai Ujung Suso. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui apakah pada bulan tertentu terdapat biota berbahaya di sekitar Pantai
Ujung Suso.

21
j. Ketersediaan air tawar

Pengamatan ketersediaan air tawar akan dilakukan dengan cara mengukur jarak
antara stasiun penelitian dengan lokasi dimana sumber air tawar tersedia.

k. Vegetasi Pantai

Pengamatan vegetasi pantai akan dilakukan survei atau melihat di sekeliling


pantai tumbuhan yang hidup baik tumbuhan mangrove maupun non mangrove di
Pantai Ujung Suso.

l. Kemudahan akses ke lokasi

Pengamatan untuk melihat kemudahan akses ke lokasi akan dilakukan secara


visual, melihat jalan yang akan dilewati pada saat menuju ke lapangan. Akses yang
akan digunakan ke lokasi penelitian yaitu roda dua (motor) dan roda empat (mobil). Ini
bertujuan untuk melihat kemudahan akses ke Pantai Ujung Suso.

m. Potensi wisata pantai

Pengamatan untuk potensi wisata pantai akan dilakukan dengan cara mengamati
secara langsung (visual) pada daerah penelitian.

D. Analisis Kesesuaian Wisata Pantai

1. Penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring


Untuk penetapan persyaratan, pembobotan dan skoring, dilakukan berdasarkan
parameter dan kriteria lahan menurut Yulianda (2019), seperti yang ditunjukkan oleh
Tabel 3, di bawah ini:

1. Kedalaman air: tidak terlalu dalam sehingga tidak berbahaya bagi aktivitas
berenang dan bermain (idealnya 0-3 m).
2. Tipe pantai: terdiri atas hamparan pasir putih.
3. Lebar pantai: cukup lebar untuk aktivitas wisata (idealnya lebih dari 15 m).
4. Material dasar perairan: substrat dasar perairan berpasir.
5. Kecepatan arus: tidak terlalu kuat (<0,30 m/det).
6. Kecerahan perairan: tidak keruh dengan adanya tembus pandang >5 m.
7. Kemiringan pantai: landai dengan sudut elevasi ideal <100.
8. Penutupan lahan pantai: tidak gersang, terdapat vegetasi pantai.
9. Biota berbahaya: beberapa jenis biota berbahaya antara lain ikan pari, lepu, hiu dan
bulu babi.

22
10. Air tawar: tersedia cukup dan tidak jauh dari sumber air (<1 km).

Tabel 3. Matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai

NO PARAMETER KATEGORI SKOR (S) BOBOT (B)

1 Kedalaman perairan 0-3 3 0,125


(m) >3-6 2
>6-10 1
>10 0

2 Tipe Pantai Pasir putih 3 0,200

Pasir putih campur pecahan 2


karang

Pasir hitam, sedit terjal 1

Lumpur, berbatu, terjal 0

3 Lebar pantai (m) >15 3 0,200


10-15 2
3-<10 1
<3 0

4 Material dasar Pasir 3 0,170


perairan Karang berpasir 2
Pasir berlumpur 1
Lumpur, lumpur berpasir 0

5 Kecepatan arus 0 - 17 3 0,080


(cm/dt) 17 - 34 2
34 - 51 1
>51 0

6 Kemiringan pantai (°) <10 3 0,080


10-25 2
>25-45 1
>45 0

7 Kecerahan perairan >80 3 0,125


(%) >50 - 80 2
20 – 50 1
<20 0

8 Penutupan lahan Kelapa, lahan terbuka 3 0,010


pantai
semak, belukar, rendah 2
savana

23
Belukar tinggi 1

Hutan bakau, pemukiman, 0


pelabuhan

9 Biota berbahaya Tidak ada 3 0,005


Bulu babi 2
Bulu babi, ikan pari 1

Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu 0

10 Ketersediaan air <0.5 3 0,005


tawar (jarak/km)
>0,5-1 2
>1-2 1
>2 0

Keterangan kategori IKW:


IKW ≥ 2,5 : Sangat sesuai
2,0 ≤ IKW <2,5 : Sesuai
1 ≤ IKW <2,0 : Tidak sesuai
IKW <1 : Sangat tidak sesuai

Analisis untuk menggunakan matriks kesesuaian atau indeks kesesuaian wisata


(IKW) yang disusun berdasarkan kepentingan setiap parameter untuk mendukung
kegiatan pada daerah tersebut. Rumus yang digunakan untuk kesesuaian wisata
pantai adalah (Yulianda, 2019):

Keterangan:
n = Banyaknya parameter kesesuaian
Bi = Bobot parameter ke-i
Si = Skor parameter ke-i

24

Anda mungkin juga menyukai