Jika hal tersebut tidak segera diatasi, lama kelamaan dua sektor tersebut akan sama-sama
mengalami kemerosotan.Sektor pariwisata akan mengalami kemerosotan karena lingkungan budaya
tidak menarik lagi. Sektor kebudayaan akan mengalami kemerosotan karena masyarakat
terpengaruh oleh budaya lain/budaya barat.
Pendahuluan
Namun, karena tuntutan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, ada sejumlah
hal yang pada akhirnya terkorbankan atau tidak diperhatikan. Misalnya saja, karena tuntutan
penyediaan penginapan bagi para wisatawan, sejumlah tempat dibongkar untuk mendirikan
hotel. Karena tuntutan pengembangan pariwisata terjadi pembebasan tanah besar-besaran.
Akibatnya, pola hidup dan perilaku sejumlah anggota masyarakat di sekitar obyek
wisata menjadi menyimpang dari pola hidup dan perilaku budaya aslinya. Bahkan banyak di
antara mereka rela mengorbankan etika dan sopan santun demi “keuntungan finansial”.
Misalnya saja, banyak orang berusaha keras merayu para wisatawan untuk membeli produk
atau souvenir tertentu dengan harapan orang tersebut memperoleh “bonus” dari para
penjualnya.
Jika kecenderungan-kecenderungan tersebut tidak segera diatasi,ada kemungkinan
sektor pariwisata mengalami stagnasi, bahkan kemunduran.Hal itu disebabkan karena para
wisatawan tentu saja akan mengkomunikasikan pengalaman pahit tertentu pada teman-
temannya. Lama kelamaan jumlah wisatawan akan berkurang. Hal itu mengakibatkan
mundurnya sektor pariwisata.
Di samping itu, perilaku yang terlalu mengarah pada pencarian keuntungan dalam
menyambut para wisatawan bisa berakibat merosotnya kualitas kebudayaan kita. Bahkan
bisa jadi kebudayaan kita akan semakin punah. Yang pada akhirnya budaya sebagai salahsatu
daya tarik sektor pariwisata akan menjadi kehilangan daya tariknya.
Dalam kaitannya dengan pengembangan Yogyakarta yang memang tampaknya telah
bertekat menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan, masalah ini perlu mendapat
perhatian serius sehingga dapat ditemukan jalan tengah yang saling menguntungkan antara
kepentingan pariwisata dan kepentingan pelestarian kebudayaan daerah.
Dalam arti yang sangat luas, kebudayaan dapat dinyatakan sebagai keseluruhan
masalah-masalah sepiritual, material, segi-segi intelektual dan emosional yang beragam,dan
memberi watak kepada suatu masyarakat atau kelompok sosial.Kebudayaan juga dapat pula
diartikan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan
(etika), serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan pribadi manusia;
hubungan manusia dengan manusia,hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia
dengan Tuhan (Bandem, 1995). Para ahli kebudayaan menekankan pentingnya aspek
kebudayaan diperhitungkan dalam pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), adalah kebudayaan sebagai keseluruhan
sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik dirinya dengan belajar. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, ada tujuh
unsur kebudayaan secara universal, yaitu; (1). Bahasa, (2). Sistem teknologi, (3). Sitem mata
pencaharian atau ekonomi, (4). Organisasi sosial, (5). Sitem pengetahuan, (6). Religi, dan (7).
Kesenian.
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
besar dan kecil, dan pendukungnya terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang
sangat beragam wujudnya. Jika dipandang dari sudut budaya, di Indonesia terdapat budaya-
budaya yang sangat beragam (pluralistik), mulai dari adanya budaya lokal, suatu kebudayaan
yang berlaku dalam lingkungan keluarga; kebudayaan daerah, suatu kebudayaan yang
disepakati oleh daerah atau suku bangsa tertentu seperti kebudayaan Jawa, Bali, Minang,
Sunda, Bugis, Sasak, Dayak, Papua, Madura, dan sebagainya. Wawasan aneka budaya
(multikultural) dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali ditampilkan dan dianjurkan dalam
berbagai forum (Edi Sedyawati 2002), namun sebenarnya perlu disadari bahwa situasi aneka
budaya itu tidak sama di semua negara, meskipun sama-sama mempunyai keanekaragaman
budaya. Lebih lanjut Edi Sedyawati, mengemukakan adanya tiga tipe negara dalam
hubungannya dengan keanekaragaman budaya yang dikelolanya. Pertama, dengan upaya
pembangunan imperium (atas sejumlah negara), umumnya kerajaan-kerajaan yang mulanya
merupakan negara bebas, namun berada dibawah kekuasaan dan pemantauan kaisar dan
pemerintahannya. Mereka mempunyai kebudayaannya masing-masing dan berbeda-beda
dengan kebudayaan yang dianut kaisar (contoh kekaisaran di Romawi). Meskipun memiliki
kebudayaan-kebudayaan lokal, mereka tidak diberi pengakuan yang nyata. Kedua, adalah
negara yang terjadi melalui suatu proses kolonisasi dan pendudukan. Negara tipe sepert ini
keanekaragaman budaya dapat berkembang secara rumit. (contoh: The United States
America, Kanada, dan Australia). Walaupun ismultikulturalisme itu sendiri berasal dari
negara-negara tersebut, yang rupanya sangat menyadari akan problematik yang
ditimbulkan. Ketiga, adalah negara tempat keanekaragaman budaya itu terdapat
berdasarkan prinsip penyatuan dan persatuan. Keputusan tersebut dilandasi oleh
pengakuan akan adanya cita-cita bersama untuk masa depan, kesamaan latar belakang
sejarah, dan kedekatan budaya. (contoh: Indonesia, India, dan Thailand).
Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat juga memiliki
kebudayaan nasional yang disebut “Kebudayaan Nasional Idonesia” seperti yang tertuang
dalam pasal 32 UUD 1945.Yang menjadi pertanyaan dalam makalah ini adalah, “Mungkinkah
kita melakukan pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya berbasis komunitas?
didalam situasi krisis nasional yang sedang kita alami sekarang ini”.
Di dalam tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan singkat tentang masyarakat
Bali Sekarang dan peran pembangunan, pariwisata yang berwawasan budaya, keragaman
dan komunitas budaya.
B. Identifikasi Masalah
Melihat semua hal yang melatar belakangi Kebudayaan pariwisata maka, kami
menarik beberapa masalah dengan berdasarkan kepada : Kurangya perhatian dari
masyarakat kebanyakan pada lingkungan kebudayaan. Sehingga kurangya pengetahuan
masyarakat tentang kepariwisataan lingkungan budaya.
C. Pembatasan Masalah
Karena cangkupan kebudayaan yang begitu luas dan meliputi berbagai aspek
kehidupan, maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari segi Unsur dan aspek
Kebudayaan dan kepariwisataan dari masyarakat bali. Serta perkembangnnya sampai
dengan sekarag ini.
D. Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang dan idenfikasi masalah diatas, maka kami dapat
mengambil perumusan maslah sebagai berikut “Bagaimana dengan diterapkannya
Pariwisata dengan Berwawasan Lingkungan Budaya serta Perkembangannya sekarang ini?”
E. Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini, yaitu untuk memberikan informasi mengenai
Perkembangan pariwisata berwawasan lingkungan budaya yang meliputi beberapa aspek-
aspek dalam meningkatkan kepariwisataan indonesia yang mendorong pengembangan
sektor-sektor lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
PENGEMBANGAN PARIWISATA
Dalam skala yang lebih besar, kesejahteraan dunia membawa pengaruh pada orang-
orang dari berbagai penjuru dunia untuk mengenal kebudayaan dari negara lain. Salahsatu
caranya adalah dengan mengadakan perjalanan wisata. Keingintahuan ini menghasilkan
keuntungan ekonimis berupa masuknya devisa pada keungan negara. Pada akhirnya, bisnis
pariwisata memberikan keuntungan yang cukup besar dari berlapis bagi bangsa dan
masyarakat.
Dalam jangka panjang, bidang kebudayaan tampaknya akan lebih mendominasi motivasi
wisatawan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin langkanya nuansa tradisional di negara-
negara maju.Karena kelangkaan tersebut, banyak orang ingin mengetahui bentuk-bentuk
budaya asli nenek moyang mereka.
Jika sektor pariwisata budaya ini benar-benar dikelola oleh pemerintah, Yogyakarta akan
mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk
mengembangkan priwisata budaya seperti Korea dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru
tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pariwisata alam, lama kelamaan
para wisatawan akan bosan karena pada dasarnya pariwisata alam bersifat statis dan sekali
datang.
Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi menunjukkan keluhuran budaya yang dimilikinya
melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa
dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan secara sungguh-
sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang tidak berakar pada
kepribadian dan identitas bangsa. Transoformasi yang tidak berakar pada kedua hal tersebut
akan menghasilkan budaya modern yang pada gilirannya akan menelan jenis budaya-budaya
(tradisional) yang mempunyai nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas
bangsa (Kartodirdjo, 1992:146).
Permasalahan pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita
mampu mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Dalam hal ini
ada beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan
pariwisata berwawasan lingkungan kebudayaan.
Pertama, pembangunan fisik yang memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Sebagai bagian
dari kebudayaan Jawa, masyarakat Yogyakarta mengenal berbagai bentuk bangunan fisik.
Dalam rangka menciptakan lingkungan budaya, fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata
seperti hotel, rumah makan, dan rumah penduduk sebaiknya mencerminkan bentuk
bangunan khas Yogyakarta. Gedung-gedung bertingkat, rumah dengan bentuk atau corak
barat, dan fasilitas perkantoran bergaya Barat sebaiknya dibatasi secara sungguh-sungguh.
Dominasi gedung bertingkat dan rumah bergaya Barat mengakibatkan bentuk-bentuk fisik
khas Yogyakarta menjadi pudar dan lama kelamaan hilang dengan alasan ekonomis
(penghematan tempat).
Dalam kaitannya dengan mempertahankan kekhasan budaya Yogyakarta, ada baiknya kit
simak pendapat dari P.J. Suwarno (1992). Beliau mengatakan bahwa Sultan yang memegang
kekuasaan kharismatik, tradisional, dan legal-rasional menggunakan kekuasaan itu secara
bijaksana untuk mentransformasikan Yogyakarta dari tradisional ke modern tanpa
menghancurkan tradisi, tetapi menyeleksinya untuk dimanfaatkan dalam modernisasi
Yogyakarta. Jika pendapat itu kita hubungkan dengan upaya mempertahankan bentuk fisik
khas Yogyakarta, dapat dikatakan bahwa boleh jadi bentuk luarnya adalah bentuk khas
Yogyakarta tetapi fasilitas dalamnya dikemas dalam nuansa modern.
Keempat, penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Warisan nenek moyang kita
berupa tosan aji, gebyog, perabot tradisional, dan barang antik lainnya tampaknya semakin
merosot seiring dengan maraknya bisnis barang antik. Banyak sekali perabot tradisional
yang diperjualbelikan dan diekspor ke luar negeri. Keuntungan ekonimisnya memang cukup
besar, namun kita kehilangan barang-barang warisan nenek moyang. Padahal barang-barang
seperti itu juga memiliki nilai sejarah dan memiliki daya tarik pariwisata. Jika pada akhirnya
benda-benda seperti itu habis berpindah ke luar negeri, pariwisata kita akan kehilangan
obyek yang bisa dipromosikan.
Persoalan kompleks disekitar pembangunan bangsa dapat kita pahami bersama yaitu
persoalan daya guna, keadilan, dan kesejahteraan yang belum merata. Ada kelemahan yang
mewarnai konsep pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
konsep tricking down effect (Tjatra, 2004), dan muncullah berbagai konsep pembangunan
alternatif, seperti ecodevelopment dan sustainable development. Pendekatan ekologi –
ecodevelopment memandang keberlanjutan pembangunan dari sudut sejarah kebudayaan
masyarakat tertentu, keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat biasa, ethno-ecology, dan
keadaan alam yang mewarnai ecosistem setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia yang tinggal dalam lingkungannnya.
Banyak pakar budaya yang menganggap bahwa industri pariwisata berdampak kurang
baik, bahkan merusak perkembangan seni pertunjukan di negara berkembang
(Soedarsono,1999). Industri pariwisata dikatakan merusak, mendesakralisasikan,
mengkomersialisasikan seni pertunjukan tradisional, dan sebagainya. Lebih lanjut
Soedarsono dalam hasil penelitiannya, bahwa dalam menilai kemasn seni pertunjukan wisata
digunakan teori serta konsep yang benar dan cocok, jelas industri pariwisata memperkaya
perkembangan seni pertunjukan Indonesia Kebudayaan ekspresif, seperti tarian, musik, dan
teater, sekarang ini menjadi bentuk-bentuk hiburan dan komoditi komersial.
Kontak masyarakat Bali dengan budaya luar bukan sesuatu hal baru, karena telah terjadi
ribuan tahun yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai „pengaruh luar‟ dalam adat
budaya Bali, seperti pengaruh India, Cina, Arab dan – tentu saja – Jawa (MPLA, 1991; Mantra,
1993; Barth, 1993, dalam Pitana, 1994:156-157). Selanjutnya intensitas kontak kebudayaan Bali
dengan kebudayan luar meningkat secara dramatik pada paruh kedua abad ini, yang terkait
erat dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat dibidang komunikasi dan
transportasi, serta keberhasilah Bali menjadikan dirinya sebagai daerah tujuan wisata yang
terkenal di dunia (ibid, 157). Dari prespektif sejarah, kebudayaan Bali memiliki keterbukaan
dengan kebudayaan luar dan memperlihatkan sifat fleksibel dan adaptif. Potensi ini penting
artinya untuk menghindari perbenturan antar budaya. Jika dilihat dari tatanan sejarah
nasionalisme Indonesia, juga dapat dipahami bahwa konsep wawasan kebangsaan adalah
“persatuan dan kesatuan”. Seperti dari pernyataan Presiden Soeharto, pada Dharma Santi
Penyepian 1997, dalam Dewa Atmaja (2002), “bahwa dari kenyataan keanekaragaman suku
bangsa, adat istiadat dan budaya di Indonesia yang penting bukan masing-masing suku,
bahasa, atau budayanya, akan tetapi keseluruhan suku bangsa, adat-istiadat, budaya,
7. Masyarakat Bali
Makin padat dan hetrogennya penduduk pulau Bali. Penduduk pulau Bali tahun 2002
sekitar 3,2 juta (Geriya, 2004) terdiri dari 21 paguyuban etnik nusantara dan pekerja asing dari
berbagai negara. Sejak didirikannya Forum Komunikasi Paguyuban Etnis Nusantara tahun
2001, dimana visi dan misinya dengan “terwujudnya masyarakat Bhineka Tunggal Ika yang
mampu mengemban motto: Dimana Bumi Dipijak, Disana Langit Dijunjung” .Paling tidak
bahwa masyarakat yang menghuni pulau Bali entah itu sifatnya sebagai warga (masyarakat
Bali) sementara atau menetap, minimal terdiri dari 21 pelosok daerah-daerah yang ada di
nusantara, dan ditambang warga masyarakat pekerja dari berbagai negara asing. Sedangkan
untuk warga masyarakat paguyuban etnis nusantara Propinsi Bali yang terdiri dari 21
paguyuban itu, sebagai berikut:
(data dari Badan Informasi dan Telematika Daerah Propinsi Bali tahun 2010).
Sub Pembahasan
Gagasan tentang warisan cultural dipandang sebagai aspek penting yang harus dilindungi
dalam rangka mencari identitas nasional dilandasi oleh hasrat sederhana untuk
mengabdikan kegemilangan masa silam. Sebagaimana disebutkan di muka, pluraristik
(keragaman) budaya khususnya seni pertunjukkan yang dimilikinya dapat sebagai sumber
daya dalam pembangunan pariwisata berwawasan budaya.
Selama ini berbagai paguyuban etnis Nusantara yang terdapat di Bali khususnya
Denpasar memiliki potensi budaya asalnya namun keberadaannya antara hak dan kewajiban
sebagai warga masyarakat belum bisa dirasakan, sehingga keragaman budaya khususnya
seni pertunjukan daerahnya belum terjamah dan dimanfaatkan secara maksimal dalam
mendukung pembangunan pariwisata berwawasan budaya.
Dengan demikian perlu adanya interaksi dan dialog-dialog yang intensif antara
paguyuban etnis nusantara dengan lembaga formal khususnya pemerintah daerah dan
organisasi-organisasi sosial lainnya seperti sanggar seni, sekaa-sekaa guna mendukung visi
dan misi pembangunan daerah yang berwawasan budaya.
Daftar pustaka
Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Kartodirdjo, Suyatno. 1992. “Tranformasi Budaya dalam Pembangun” dalam Tantangan Kemanusian
Universal. Yogyakarta : Kanisius
Roem, Mohamad, dkk. 1982. Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono
IX. Jakarta : PT. Gramedia.
Sutrisna, Slamet. 1992. “Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia” dalam Tantangan
Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Suwarno, P.J. 1992. “Belajar dari Sejarah Yogyakarta untuk Memasuki Era Globalisasi” dalam
Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Tnunay, Tontje. 1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten :CV. Sahabat.