PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengembangan pariwisata budaya sebagai wisata andalan dalam operasionalnya
bertumpu pada budaya serta kehidupan masyarakat di lokasi pengembangan pariwisata.
Hal ini berarti, permintaan terhadap produk wisata oleh wisatawan terkait dengan
kehidupan dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, diharapkan terjadi
hubungan timbal balik antara kebudayaan dengan masyarakat setempat. Hubungan
timbal balik tersebut harus saling menguntungkan, artinya pariwisata harus mampu
meningkatkan kebudayaan dan sebaliknya dapat menumbuhkan kemajuan pariwisata.
Bali merupakan salah satu Destinasi Pariwisata Utama di Indonesia dan bahkan di dunia
karena memiliki berbagai aset wisata dan telah banyak menarik perhatian wisatawan.
Dalam rangka mempertahankan serta meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan
nusantara maupun wisatawan mancanegara, Pemerintah Daerah Bali bersama-sama
masyarakat, di samping melakukan tindakan menjaga keamanan yang merupakan
investasi bagi industri pariwisata (Bali Post, 22 April 2006), juga meningkatkan sadar
wisata masyarakat setempat dan melakukan penganekaragaman (diversifikasi) produk
wisata. Diversifikasi produk wisata yang dilakukan.
Pada intinya mengacu pada potensi serta kemampuan yang dimiliki oleh daerah Bali
dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai inti dalam pengembangan pariwisata.
Dalam kerangka cultural studies, pengembangan pariwisata yang melibatkan
masyarakat setempat merupakan suatu reaksi terhadap kegagalan pembangunan yang
dilakukan oleh modernisasi Dunia Pertama terhadap Dunia Ketiga, di samping
merupakan koreksi terhadap penciptaan produk wisata dari pendekatan fordisme
menuju pendekatan postfordism serta untuk menarik wisatawan baru (Mowforth dan
Munt, 1985: 53).
Selain itu pada masa Orde Baru, banyak sekali tuduhan masyarakat terhadap
pemerintah terkait pengembangan pariwisata Bali. Tuduhan tersebut berupa perusakan
lingkungan, ketidakmampuan pemerintah daerah untuk mengontrol pertumbuhan liar
pariwisata, pelanggaran tata ruang yang tidak ditindak, perampasan pulau oleh kapitalis,
peralihan fungsi tanah pertanian, dan hal-hal lain yang menyebabkan reputasi Bali
semakin ternodai. Belum lagi pariwisata dijadikan ajang pertarungan politik yang
bersifat terbuka, yang melahirkan oposisi yang kian meningkat terhadap pemilik
kekuasaan dan perbedaan pandangan antara Bali dan Jakarta. Jakarta [Pusat]
menginginkan pariwisata Bali dikembangkan tanpa batas, sedangkan cendikiawan Bali
menganjurkan supaya beberapa di antara desa yang paling ”khas” dilestarikan dalam
keadaan asli demi menarik wisatawan.
Atas dasar berbagai tuduhan di atas dan untuk mengakomodasi kedua tekanan itu,
pemerintah daerah Bali pada International Conference on Cultural Tourism di
Yogyakarta tahun 1992, mengumumkan Desa Jatiluwih (Kabupaten Tabanan) sebagai
desa wisata. Desa wisata tersebut diharapkan secara optimal mampu melibatkan
masyarakat setempat melalui aktivitas sosial, budaya dan ekonomi pada produk wisata
yang akan ditawarkan. Kenyataan di lapangan, sebagian besar masyarakat setempat
belum sepenuhnya merasakan manfaat pengembangan pariwisata di Desa Wisata
Jatiluwih. Bahkan, yang terjadi adalah keterlibatan masyarakat setempat dalam
pengembangan pariwisata di desanya masih sangat terbatas sehingga timbul konflik
kepentingan antara masyarakat dengan pemangku kepentingan yang mendukung
pengusaha pariwisata yang kapitalistik, timbul perlawanan dan kontra-hegemoni
masyarakat terhadap hegemoni.
Lokasi survey dilakukan di Desa Jatiluwih. Desa inj dalah salah satu Desa yang berada dalam wilayah
Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Bentuk Desa Jatiluwih adalah memanjang
dengan arah Timur Barat sepanjang 3,5 km dengan lebar Utara-Selatan sepanjang 2 km atau
tepatnya dari kota Tabanan 26 km ke arah Utara.
Aspek terakhir adalah ekonomi. Penekanan aspek ekonomi lebih kepada pemerataan usaha
dan kesempatan kerja, keberlanjutan usaha, persaingan usaha, keuntungan usaha dan
pajak, untung-rugi pertukaran internasional, proporsi kepemilikan lokal, akuntabilitas.
Pariwisata merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pariwisata dan seluruh
rangkaian aktivitasnya berkaitan dengan perpindahan orang dalam waktu singkat dan
sementara di tempat tujuan di luar tempat dan mereka biasanya bekerja dengan aktivitas
yang berbeda di tempat tujuan tersebut dan bukan untuk bekerja dan mencari nafkah
(Tourism Society, 1979 : 70).
Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan sistem
pengembangan pariwisata yang bisa menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber
daya alam dan kehidupan sosial-budaya serta memberikan manfaat ekonomi kepada
generasi sekarang hingga generasi yang akan datang guna memberantas atau
mengentasakan kemiskinan (WTO, 2004 : 3-6).
Gortazar (1999) menambahkan bahwa pariwisata berkelanjutan mempunyai penekanan
khusus pada tiga hal yaitu;
1. Pelestarian warisan alam dan budaya serta tradisi masyarakat lokal dengan
mengurangi konteks yang intensif dan massal terhadap objek-objek wisata budaya;
2. Pengurangan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan sehubungan dengan
pengembangan pariwisata;
3. Pemberdayaan masyarakat lokal untuk mempertinggi kehidupan sosial dan
budayanya guna meningkatkan kualitas dan standar hidup masyarakat lokal.