Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KONSEP ‘TOURIST-HOST SOCIAL’ DENGAN

DESTINASI WISATA TANAH LOT DAN LIMA JENIS


WISATAWAN TERKAIT KONTAK SOSIAL

Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Sosiologi
Pariwisata yang diampu oleh:
dr. Ikma Citra Ranteallo, S.Sos., MA

Disusun oleh:

Ida Ayu Kade Dina Capriana Permata

2012511023

PROGRAM SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL

DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

2022
Selain dikenal sebagai Pulau seribu Pura, Bali juga merupakan tujuan destinasi wisata yang terkenal
di dunia. Keterkenalan Bali dan budayanya serta keindahan alamnya di berbagai belahan dunia memang
menjadi indikator bahwa Bali memang sudah mendunia. Tak dapat dipungkiri bahwa, hal ini juga
dikarenakan oleh kepercayaan masyarakat Hindu Bali yang menganggap semua orang harus dihormati
seperti layaknya menghormati diri sendiri, tak hanya itu kepercayaan umat Hindu Bali juga membawa
energi positif untuk khalayak luas. Salah satu kepercayaan atau konsep yang dipegang teguh oleh umat
Hindu Bali tentang menghargai semua yang ada di dunia ini adalah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana
merupakan salah satu konsep ajaran agama Hindu Bali tentang hubungan manusia. Lebih tepatnya, Tri Hita
Karana adalah tiga hubungan hamonis yang rnenyebabkan manusia bisa bahagia dan atau mencapai
ketenangan serta kedamaian (shanti). Tri Hita Karana terdiri dari: (1) hubungan manusia dengan Tuhan
(parhyangan), (2) hubungan manusia dengan manusia (pawongan), dan (3) hubungan manusia dengan
lingkungan (palemahan). Dengan kata lain, manusia tidak akan pernah merasa bahagia, tenang dan damai
apabila manusia sebagai aktor utama tidak bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan ketiga aktor
tersebut secara bersamaan. Dalam konsep Tri Hita Karana tidak ada kejelasan bagaimana manusia
seharusnya bertindak atau berperilaku agar bisa terwujud hubungan yang "harmonis" karena harmonis
merupakan sifat yang tidak terukur (unmesurable) dan tidak terlihat (inrangible) yang sering kali bersifat
subyektif tergantung dari perasaan yang dimiliki oleh subyeknya atau manusianya. Sehingga, dalam konsep
Tri Hita Karana, ketercapaian keharmonisan sangat tergantung bagaimana manusia berbuat atau
berperilaku dengan tuhan, manusia dan lingkungan. Dengan konsep tersebut, bisa menjadi salah satu
alasan mengapa banyak orang atau wisatawan yang berkunjung ke Bali karena diberikan rasa aman dan
nyaman seperti itu.
Tanah Lot merupakan salah satu destinasi Daya Tarik Wisatawan (DTW) unggulan di Bali yang ramai
dikunjungi wisatawan domestik dan internasional. Dengan panorama alam yang indah dan keunikan atraksi
budaya yang dimiliki, Tanah Lot telah dikelola secara professional dilengkapi dengan fasilitas parkir, public
toilet, art shop, restoran, hotel, open stage, tourist information centre, security dan safety. Pemandangan
khas laut selatan dengan ombak yang bisa disaksikan dari ketinggian tebing di atas 15 meter merupakan
atraksi alam yang sangat mempesona dan mampu menahan para pengunjung agar tinggal lebih lama serta
termotivasi untuk kembali berkunjung menyaksikan keindahan alam dan keunikan atraksi budaya. Saat ini
Tanah Lot menjadi salah satu DTW yang mengalami peningkatan dalam jumlah kunjungan wisatawan. Hal
ini terjadi karena potensi dan daya tarik wisata yang dimiliki Tanah Lot sudah dikembangkan sesuai standar
dengan berbagai produk wisata yang tersedia sehingga kepuasan akan kebutuhan dan keinginan wisatawan
yang berkunjung ke Tanah Lot tercapai. Tanah Lot merupakan salah satu daya tarik wisata (DTW) di Bali
yang sepenuhnya dikelola oleh masyarakat atas persetujuan pemerintah sejak tahun 2000. Hak masyarakat
untuk mengelola DTW Tanah Lot bukan dihadiahkan begitu saja oleh pemerintah daerah, tetapi melalui
proses negosiasi yang panjang dan bertahan (Pitana, 2010).
Sebelum dikelola penuh oleh masyarakat dan pemerintah daerah, pengelolaan DTW Tanah Lot
dikelola oleh tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta. Sejak dikelola penuh oleh
masyarakat melalui badan yang pembentukannya direstui oleh pemerintah daerah, terjadi banyak
pembenahan dan pengembangan yang positif buktinya jumlah wisatawan yang berkunjung meningkat
terus dari tahun ke tahun. Sejak pengelolaan berupa badan yang melibatkan masyarakat lokal yang dalam
hal ini adalah masyarakat Desa Pakraman Beraban pada tahun 2000 sampai saat ini, jumlah pengunjung
yang datang terus meningkat setiap tahunnya, yaitu rata-rata sebesar 11,84 persen per tahun. Hanya tahun
2006, terjadi penurunan tingkat kunjungan wisatawan sebesar 10,91 persen. Hal ini disebabkan karena
adanya travel warning bagi wisatawan berkunjung ke Bali sebagai akibat adanya bom di Menega cafe di
wilayah Jimbaran, wabah flu burung, dan rabies. Pihak pengelola berusaha membangun kembali citra
pariwisata Bali khususnya di DTW Tanah Lot. Peningkatan promosi dengan membuat berbagai even yang
didukung oleh pemerintah daerah dan masyarakat ternyata mampu menarik minat wisatawan untuk
berkunjung kembali. Selain itu, sistem keamanan juga dievaluasi guna memberikan rasa aman dan nyaman
kepada wisatawan ketika sedang berwisata di DTW Tanah Lot, sehingga kunjungan wisatawan meningkat
drastis.
Analisis Destinasi Wisata Tanah Lot dengan Konsep “tourist-host social”
Kontak sosial turis-tuan rumah dinyatakan sebagai bentuk khusus dari kontak lintas budaya.
Biasanya, wisatawan tinggal di suatu tujuan untuk jangka waktu yang singkat dan terstruktur dengan baik.
Tujuan perjalanan mereka membedakan mereka dari kontak antar budaya lainnya, seperti imigran dan
pendatang sementara (Pearce, 1982a). Wisatawan tidak perlu beradaptasi dengan masyarakat lokal dan
biasanya melakukan perjalanan dalam gelembung budaya kecil dari budaya asli mereka (Barthes, 1973).
Meskipun wisatawan mungkin mengalami kejutan budaya sampai batas tertentu, kejutan tersebut dapat
merangsang dan menggairahkan wisatawan karena dapat memenuhi motivasi pencarian sensasi mereka
(Mehrabian & Russell, 1974). Selain itu, kemakmuran relatif wisatawan menempatkan mereka pada posisi
unik dalam masyarakat tuan rumah, seperti orang asing atau petualang. Dengan demikian, mereka
memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengamati dan meneliti masyarakat tuan rumah dari perspektif
turis (Pearce, 1982a; Simmel, 1950).
Seperti halnya mata uang, pariwisata selalu melibatkan dua dimensi yang saling terkait atau
interdependensi yaitu turistik (wisatawan) dan lokalitas (tuan rumah). Dimensi turistik terkait dengan hal-
hal yang menjadi tuntutan wisatawan misalnya destinasi harus unik, indah, bersih, memiliki berbagai sarana
wisata, aksebilitas mudah dan lain sebagainya. Sedangkan dimensi lokalitas terkait dengan tuntutan-
tuntutan lokal, misalnya: terjaminya kelangsungan nilai sosial budaya lokal, kontribusi posistif bagi
perkembangan ekonomi lokal, terjaganya kelestarian alam dan lain sebagainya. Baik tuntutan lokalitas
maupun tuntutan-tuntutan turistik semuanya harus terpenuhi agar kelangsungan pariwisata dapat terus
belanjut dan berkembang. Lokalitas dan turistik harus macht, harus pro, saling mendukung, dan saling
ketergantungan. Pengembang wisata tidak boleh hanya berupaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dan keinginan wisatawan namun abai terhadap tuntutan lokalitas. Jika pariwisata mau maju maka
keduanya harus di macth-kan. Wisatawan terpenuhi kebutuhan dan harapanya dalam berwisata tuntutan
lokalitas mendapatkan manfaat dari pariwisata dan terpuaskan. Dalam hal ini, pariwisata harus menjadi
wahana simbiosis mutualisme yang lebih adil bagi kedua pihak.
Pada mulanya, motivasi tuan rumah pariwisata hanya “untuk menerima tamu”. Tamu yang datang
dalam suatu komunitas sangat dihargai, bahkan merupakan sebuah kehormatan dan kebanggan dalam
tradisi ketimuran (Indonesia). Terbukti bahwa di Bali sendiri tari budaya dipertunjukkan secara khusus dan
ditujukan untuk para tamu. Kemudian seiring berjalanya waktu, ada suatu tahap dimana masyarakat lokal
melihat “peluang ekonomi yang besar dari kunjungan wisatawan”. Pada tahap ini orientasi masyarakat
lokal adalah untuk dapat memperoleh keuntungan dari kehadiran wisatawan. Oleh karena itu, masyarakat
menganggap dirinya sebagai pihak yang membutuhkan wisatawan. Tahap inilah yang paling sering menjadi
bencana jika pengelola wisata atau lokalistik tidak mengelola pariwisata dengan bijak. Keinginan untuk
memperoleh keuntungan secara besar-besaran sering menjadikan capaian pariwisata hanya profit dan
jumlah kunjungan. Sehingga sangat sering terjadi pariwisata masal dengan harapan untuk menarik
wisatawan sebanyak-banyaknya tanpa peduli sejauh mana daya dukung destinasi yang ada. Sehingga
kerusakan lingkungan alam tidak dapat terhindarkan. Pariwisata dengan tujuan uang semata, sering kali
menghiraukan nilai-nilai sosial-humanisme dan nilai budaya lokal. Komoditifikasi dan komersialisasi budaya
merupakan hal yang paling sering dijumpai, hal inilah yang menimbulkan degradasi moral dan nilai budaya
lokal. Tradisi yang dahulunya sesuatu yang sakral menjadi tidak lebih dari sekedar tontonan dan hiburan
semata. Efek meniru budaya luar yang dibawa masuk wisatawan yang biasanya tidak sesuai dengan nilai-
nilai lokal seperti hedoisme. Situs-situs sakral bisa jadi hilang untuk memenuhi kebutuhan sarana wisata
bagi wisatawan. Namun hal baik saat ini adalah kemampuan motivasi tuan rumah dalam menyadari adanya
"aktualisasi diri”. Pada tahap ini masyarakat lokal bukan sekedar berkarya untuk mendapatkan uang
semata, tetapi saat ini mereka berkarya untuk mendapatkan pengakuan. Pada tahap ini mulai terbentuk
masyarakat pariwisata yang mampu mendorong terbentuknya penghargaan atas karya-karya mereka.
Bukan lagi komunitas pariwisata yang sekedar menerima dan memenuhi pesanan keinginan pasar. Tetapi,
pada tahap ini juga mulai terbentuk paiwisata yang mampu memberikan pengkayaan diri bagi kedua sisi,
pengkayaan bagi wisatawan maupun bagi tuan rumah wisata.
Fenomena tersebut juga terjadi di Destinasi Wisata Tanah Lot, dimana saat ini kontak sosial turis
dan tuan rumah atau warga lokal sudah bukan sekedar komersialisasi budaya setempat kepada para turis
atau wisatawan, melainkan kedua belah pihak saling diuntungkan. Menurut Cohen (1972) yang
mengembangkan tipologi turis menjadi empat bagian berdasarkan tingkat keakraban dan kebaruan dalam
perjalanan, wisatawan dikategorikan menjadi empat jenis yakni: turis massal terorganisir, turis massal
individu, penjelajah dan gelandangan. Dua jenis turis pertama selanjutnya disebut “peran turis yang
dilembagakan” dan dua lainnya disebut “peran turis yang tidak dilembagakan”. Dapat dikatakan bahwa,
turis yang datang berkunjung ke DTW Tanah Lot merupakan jenis turis massal. Dimana menurut turis
massal, gelembung lingkungan dari budaya asli mereka cukup kuat. Gelembung lingkungan digambarkan
sebagai dinding pelindung yang mencegah risiko, ketidakpastian, atau kebaruan dari para wisatawan. Jadi,
sampai batas tertentu, turis massal memandang masyarakat lokal melalui tembok pelindung. Akibatnya,
wisatawan massal dipisahkan secara sosial di tempat tujuan. Dalam hal ini, para turis hanya dapat
mengetahui dan melihat langsung bagaimana budaya yang menjadi ciri khas di DTW Tanah Lot dan
tentunya mereka dapat mempelajari budaya tersebut, hanya sebatas itu tidak sampai menjadi satu
kesatuan dengan budaya tuan rumah. Dalam artian turis yang datang ke DTW Tanah Lot hanya berkunjung
untuk sementara waktu, dan bukan untuk menyelaraskan budaya apalagi menjadi bagian dari masyarakat
(tuan rumah) yang ada di sekitar DTW Tanah Lot.
Sesuai dengan pemaparan di atas, jika dikaitkan dengan 5 jenis wisatawan lintas dimensi kontak
sosial, yang terdiri dari: dependents, conservatives, criticizers, explorers, dan belonging seekers. maka dapat
dilihat bahwa turis yang datang berkunjung ke DTW Tanah Lot kebanyakan jenis wisatawan dependents,
conservatives, dan beberapa criticizer. Dependents disini diartikan sebagai seseorang yang mendapat
tanggungan dalam perjalanan wisatanya. Karakteristik yang paling menonjol dari kelompok ini adalah sifat
ketergantungan mereka. Mereka biasanya bepergian dengan teman atau kerabat yang dapat menemani
mereka sepanjang perjalanan atau bergabung dengan paket tur yang merencanakan setiap detail dalam
perjalanan. Mereka memiliki pengalaman perjalanan yang relatif sedikit, yang sebagian besar adalah
perjalanan jarak pendek. Wisatawan dalam tipe ini sepenuhnya mengandalkan teman perjalanannya dan
memiliki interaksi yang terbatas (dan sedikit keinginan untuk berhubungan) dengan penduduk setempat
karena keterbatasan kemampuan bahasa, usia, kepribadian, atau kendala lainnya. Dalam hal ini, kelompok
wisatawan ini secara sosial terpisah dari masyarakat tuan rumah. Seperti dalam deskripsi Cohen (1972) dan
Jaakson (2004), pemisahan sosial itu seperti gelembung lingkungan atau gelembung turis, yang
menciptakan tembok pelindung bagi wisatawan dari komunitas tuan rumah. Gelembung semacam itu pasti
dapat memengaruhi pengalaman perjalanan, persepsi, dan sikap wisatawan terhadap destinasi.
Selanjutnya, jenis wisatawan atau turis conservatives (konservatif), mereka menghubungi
penduduk setempat untuk mendapatkan informasi atau untuk memecahkan beberapa masalah. Berbagai
elemen menjadi penentu untuk menentukan kontak dengan tuan rumah, termasuk kepribadian wisatawan,
kompetensi bahasa, persepsi terhadap tujuan, lama tinggal, jarak budaya yang dirasakan antara tempat
asal mereka dan tujuan, dan mode perjalanan (wisatawan perorangan vs. wisatawan kelompok). Sebagai
contoh, sebagai determinan jenis ini yang baru muncul, informan melaporkan bahwa semakin lama mereka
tinggal di suatu tujuan, semakin banyak mereka akan berhubungan dengan tuan rumah karena mereka
semakin akrab dengan tuan rumah seiring berjalannya waktu. Saat bepergian ke suatu tempat tujuan,
kontak mereka dengan penduduk setempat terbatas pada pertanyaan atau pemecahan masalah. Beberapa
dari mereka juga melakukan komunikasi biasa dengan tuan rumah, tetapi hanya sampai batas tertentu.
Titik kontak mereka sebagian besar adalah perwakilan dari tempat wisata (Cohen, 1972), misalnya staf
hotel, pemandu wisata, staf layanan di restoran, serta pengemudi taksi. Interaksi berorientasi layanan atau
berorientasi masalah menghasilkan kontak yang relatif dangkal. Kontak tersebut dapat membantu dan
berguna untuk perjalanan wisatawan dalam jangka pendek dan dapat meninggalkan kesan positif bagi
wisatawan karena sifatnya yang baik. Wisatawan dalam kelompok ini memiliki pengalaman perjalanan yang
terbatas. Tur grup dan perjalanan individu disukai oleh grup ini.
Sedangkan, turis dengan jenis criticizer (kritikus), mereka akan berinteraksi dengan tuan rumah
lokal tidak hanya untuk mendapatkan informasi, tetapi juga berharap untuk mengetahui lebih banyak
tentang tujuan. Mereka memiliki lebih banyak pengalaman perjalanan daripada “Dependen” dan
“Konservatif”, baik secara individu maupun dengan paket wisata. Mengenai faktor penentu kontak,
wisatawan jenis ini melaporkan lebih sedikit elemen untuk mempengaruhi kontak mereka dengan tuan
rumah, diantara pengalaman perjalanan sebelumnya dan kepekaan politik/budaya yang baru muncul dalam
kelompok ini. Mereka melakukan beberapa percakapan berorientasi layanan dengan penduduk setempat,
dan mereka juga melakukan beberapa pembicaraan santai jika memungkinkan. Mereka menganggap
kontak itu ada dangkal karena eksplorasi tujuan mereka sangat jarang dan mereka dengan mudah mundur
jika tingkat kebaruan berada di luar kompetensi mereka. Meskipun mereka kontak dengan tuan rumah
lebih dari dua jenis sebelumnya, mereka tetap terlepas dari masyarakat setempat. Setelah kontak dengan
penduduk setempat, mereka mengungkapkan sikap campur aduk terhadap kontak tersebut. Karena
wisatawan dalam tipe ini lebih banyak terlibat dalam kontak turis-tuan rumah, mereka melaporkan
berbagai dampak dari kontak tersebut. Kritikus tahu lebih banyak tentang tujuan dan mengidentifikasi
perbedaan antara tempat asal mereka dengan tempat yang mereka kunjungi.
REFERENSI

Fan, D.X.F., dkk. 2017. Tourist Typology in Social Contact: An Addition to Existing Theories.
Tourism Management 60, 357-366.

Sanam, S.R. 2018. Karakteristik dan Persepsi Wisatawan di Destinasi Wisata Tanah Lot (Studi
Pemetaan Sosial-Busaya). JOURNEY, 1(1), 13-27.

Subadra, I Nengah, dkk. 2016. Pura Tanah Lot: Konflik di Obyek dan Daya Tarik Wisatawan
Global. Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, 6(1), 51-68.

Sudiarta, I Nyoman & Karini, I Made Oka. 2020. Analisis Dampak dan Daya Dukung Pariwisata
Daya Tarik Wisata Tanah Lot di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Jurnal Ilmiah
Hospitality Management, 10(2), 175-186.

Widana, I Putu K.A. 2016. Perubahan Pengelolaan DTW Tanah Lot dan Dampaknya terhadap
Masyarakat Lokal. JUMPA, 2(2), 17-38.

Anda mungkin juga menyukai