Oleh:
Dini Andriani* dan I Gde Pitana†
Abstract
As per the mandate of Law Number 10 Year 2009 concerning Tourism, tourism
development is not only aimed at increasing economic growth, improving people's
welfare, poverty and unemployment alleviation, but must also pay attention to
preserving nature, environment and resources, as well as promoting culture.
Ecotourism is considered an ideal form of activity for this purpose. Ecotourism now
becomes a global world market trends and concerns of many countries, because
people are increasingly concerned with environment. Many studies and publications
have been done related to ecotourism. From such studies, it could be formulated that
the notion of ecotourism is still vague and contains a lot of meanings, so that there is
a need to have a clarity on its the boundaries. In addition, ecotourism development in
Indonesia is still facing various obstacles, both physical (environment),
infrastructure, human resources, and perceptions about tourism development itself.
Abstrak
* Peneliti
Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata RI. Email: dini2702@gmail.com.
†
Guru Besar Pariwisata di Universitas Udayana, dan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Email: igdepitana@gmail.com.
-1-
PENDAHULUAN
Pariwisata akan terus meningkat dari waktu ke waktu, dilihat dari berbagai indikator.
Dari segi kedatangan wisatawan internasional, dari tahun 1950 sampai 2010 peningkatan
jumlah kunjungan wisatawan internasional bergerak dari 25 juta sampai 940 juta orang,
dengan pertumbuhan setiap tahunnya rata-rata 6,2% (UNWTO, 2011). Bahkan diperkirakan
pada tahun 2020 jumlah wisatawan dunia akan mencapai 1,6 miliar kunjungan. Dengan
melihat prediksi tersebut tidak mustahil negara-negara berkembang (termasuk Indonesia)
juga dapat menikmati irisan kue pariwisata tersebut. Pertumbuhan pariwisata sangat berarti
bagi negara-negara berkembang karena menawarkan cara untuk mengeluarkan diri dari
kungkungan “keterbelakangan” (underdeveloped).
Pariwisata merupakan salah satu kegiatan industri pelayanan dan jasa yang setidaknya
menjadi andalan Indonesia dalam rangka meningkatkan devisa negara di sektor non migas
Pada tahun 2009 industri pariwisata merupakan penyumbang devisa terbesar ketiga (6.298,02
juta USD) setelah ekspor minyak dan gas bumi, tekstil dan pakaian jadi (Kembudpar, 2010).
Walaupun kontribusi tersebut seringkali lebih dikaitkan dengan jumlah wisatawan
mancanegara (wisman), karena menghasilkan devisa, namun sesungguhnya wisatawan
nusantara (wisnus) juga sangat mempengaruhi kegiatan kepariwisataan, termasuk hotel,
restoran, agen perjalanan, maupun industri cinderamata. Selain menghasilkan pendapatan
bagi negara, pengembangan pariwisata juga dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Pariwisata tidak bisa hanya dilihat dari sisi ekonomi saja, namun juga harus
memperhatikan sisi lain. Jika pariwisata hanya mengejar kepentingan ekonomi maka akan
terjadi eksploitasi massal yang merusak lingkungan alam, sosial, budaya, dan tradisi. Sesuai
amanat dari UU nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 4, penyelenggaraan
kepariwisataan bukan hanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, dan mengatasi pengangguran, namun juga
harus memperhatikan tujuan untuk melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta
memajukan kebudayaan.
Adanya ancaman terhadap lingkungan sebagai akibat eksploitasi dari pariwisata
massal memunculkan keprihatinan beberapa badan dunia, peneliti, pencinta lingkungan, ahli-
ahli bidang pariwisata dan beberapa negara. Kepedulian ini pada akhirnya memunculkan
gagasan bentuk pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism), yang dicetuskan pertama kali
oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on
Environment and Development-WCED) pada tahun 1987. Pembangunan berkelanjutan
dideskripsikan sebagai suatu proses pembangunan dimana eksploitasi sumber daya, tujuan
dari investasi, orientasi dari pengembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat secara
konsisten dengan kebutuhan masa datang dan masa kini (Brundtland et al, 1987 dalam
Pratiwi, 2008).
Sustainable tourism merupakan salah satu bentuk dari alternative tourism (AT) yang
sifatnya berkelanjutan terkait alam. Ruang lingkup AT terdiri dari dua tipe, yaitu socio-
cultural tourism dan ecotourism (Fennell, 1999). Dengan demikian, bentuk pariwisata
berkelanjutan yang dianggap ideal bagi pariwisata adalah pengembangan seperti ekowisata
yang sekiranya menjadi bentuk alternatif baru pariwisata.
Banyak yang mencoba merumuskan dan mulai menjalankan kegiatan ekowisata
dengan caranya masing-masing. Pada akhir dekade 1970-an sebenarnya gagasan ekowisata
sudah mulai dibicarakan dan dianggap sebagai suatu alternatif dari kegiatan wisata yang
bersifat tradisional yang selama ini kita kenal.
Pada awal 1980-an, oleh badan dunia PBB, Costa Rica dipilih sebagai proyek
percontohan kegiatan ekowisata. Di Costa Rica pelaksanaan kegiatan ini melibatkan berbagai
pihak, yaitu pemerintah, swasta, masyarakat dan badan lingkungan hidup internasional.
-2-
Proyek ini kemudian dinilai berhasil dan menjadi contoh bagi pelaksanaan kegiatan
ekowisata diseluruh dunia (Migang, 2010).
Contoh lain ekowisata, di beberapa negara Amerika Latin (terutama yang dialiri oleh
sungai Amazon), kegiatan mengunjungi objek wisata alam berkembang menjadi kegiatan
penyelamatan lingkungan hidup atau konservasi. Ternyata banyak peserta ekowisata yang
tertarik dan ingin berkontribusi di dalam penyelamatan alam (flora dan fauna) dari kerusakan
yang semakin parah. Beberapa lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang lingkungan
hidup menangkap peluang ini dan mulai mengadakan kegiatan dari mulai reboisasi bersama
masyarakat luas, termasuk peserta ekowisata, hingga pada penggalangan dana yang dapat
diikuti melalui media internet dan penanaman pohon. Perkembangan ekowisata di dunia
secara umum terasa cukup cepat dan mendapat prioritas dan perhatian dari pemerintahan
masing-masing negara yang melaksanakannya.
Rumusan ekowisata pernah dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascuráin pada tahun
1980-an sebagai berikut.
Namun, bagi kebanyakan orang, terutama para pencinta lingkungan, rumusan yang
dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascuráin tersebut belumlah cukup untuk
menggambarkan dan menerangkan kegiatan ekowisata. Penjelasan di atas dianggap hanyalah
penggambaran dari kegiatan wisata alam biasa, karena wisatawan hanya memiliki tujuan
untuk mempelajari, mengagumi, dan menikmati flora, fauna, dan manifestasi budaya masa
lalu dan masa kini, belum adanya upaya aktif untuk pelestarian.
Secara lebih sederhana rumusan ekowisata kemudian disempurnakan oleh The
International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 sebagai berikut.
Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa ekowisata bukan sekedar suatu perjalanan, namun
merupakan perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat yang alami dengan menjaga
kelestarian lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
Selain itu, Baiquni (2010) mencoba merangkum apa yang dimaksud ekowisata dari
beberapa sumber, sebagai berikut.
1. Pertemuan Nasional Ekowisata I di Bali pada tahun 1996 mendefinisikan ekowisata
sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-
tempat/daerah-daerah alami dan atau tempat-tempat/daerah-daerah yang dibuat
berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian/penyelamatan
lingkungan (alam dan kebudayaan), dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat.
2. Fandeli (2000) mengartikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang bertanggung
jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi, dan
mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat.
3. Baiquni (2007) mengartikan ekowisata sebagai kegiatan wisata berwawasan lingkungan
yang melibatkan wisatawan dan masyarakat setempat dalam memahami, memanfaatkan,
dan melestarikan lingkungan.
-3-
Untuk tujuan analisis secara lebih lanjut, maka perlu adanya pembedaan makna antara
ekowisata dengan pariwisata berbasis alam (nature-based tourism). Seperti apa yang
dikemukakan oleh Burton (1998; dalam Fennell, 2002),
“it is clear that strict ecotourism is a far cry from the everyday tourism activities that
occur in a natural environment and that are known as nature-based tourism”.
Demikian pula Citing Griffiths (1993; dalam Fennel, 2002) yang menyatakan hal
serupa bahwa
“ecotourists have distinct perceptions and beliefs that relate to the experience, and
which are probably far removed from other forms of nature-based tourism”.
Buckley (1994; dalam Fennel, 2002 ) mengemukakan 4 (empat) dimensi utama dari
ekowisata, yaitu berbasis alam (nature base), mendukung konservasi, manajemen yang
berkelanjutan, dan pendidikan lingkungan. Senada dengan pendapat Fennel, natural-resource
based tourism bersandarkan pada basis konsumtif, nilai sumber daya alam, berorientasi pada
keahlian teknis, dan berbasis pada pembelajaran. Sebagai contoh, fishing tidak bisa dilihat
sebagai bentuk ekowisata, karena dalam memancing ada kegiatan menjerat binatang, ada
unsur menyakiti akibat jeratan, dan ada unsur kegiatan konsumtif. Semua itu sangat
bertentangan dengan nilai dan perilaku ekowisata. Fennell juga menyarankan meskipun
ecotourists menekankan pada lingkungan, tetapi tidak dapat dihindari adanya aktivitas
menginjak-injak rumput atau adanya dampak jejak kaki, hal-hal seperti itu pasti ada, oleh
karena itu harus ada manajemen lingkungan yang harus dikelola dengan baik. (Fennell,
2002).
Menurut Wood (Pitana, 2003), Ekowisata harus mengandung berbagai komponen
yang terdiri dari:
1. Memberikan kontribusi terhadap pelestarian biodiversitas
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal
3. Mengandung muatan interpretasi, pembelajaran dan pengalaman
4. Adanya perilaku yang bertanggung jawab dari wisatawan dan industri pariwisata
5. Lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok kecil, dan umumnya oleh usaha
skala kecil
6. Menuntut adanya pemanfaatan yang serendah-rendahnya dari sumber daya yang tidak
dapat diperbaharui. Hal ini bisa diartikan meminimalisasi eksploitasi terhadap sumber
daya alam.
7. Menekankan adanya partisipasi masyarakat lokal, termasuk pemilikan dan
pengelolaannya, khususnya bagi masyarakat pedesaan.
-4-
pengembangan ekowisata tidak semudah membalikkan tangan, pastinya akan ditemukan
beberapa tantangan yang dihadapi.
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan peninggalan sejarah, seni dan
budaya yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Sebagai negara kepulauan
yang berada di coral triangle, Indonesia kaya dengan biota laut. Lokasi pada ring of fire yang
terdiri dari gugusan gunung berapi aktif, membuat negeri ini subur. Indonesia juga terdapat di
wilayah garis wallacea, sehingga kaya dengan flora dan fauna endemik yang hanya terdapat
pada daerah tersebut.
Menurut data BAPPENAS (1993), dalam kekayaan biodiversity, Indonesia
menempati urutan nomor dua di dunia setelah Brasil. Indonesia memiliki 10% jenis
tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia,
17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga. Di dunia hewan, Indonesia juga memiliki
kedudukan yang istimewa di dunia. Indonesia mempunyai 500-600 jenis mamalia besar
(36% endemik), 35 jenis primata (25% endemik), 78 jenis paruh bengkok (40% endemik) dan
121 jenis kupu-kupu (44% endemik). Sekitar 59% dari luas daratan Indonesia merupakan
hutan hujan tropis atau sekitar 10% dari luas hutan yang ada di dunia. Sekitar 100 juta hektar
diantaranya diklasifikasikan sebagai hutan lindung, yang 18,7 juta hektarnya telah ditetapkan
sebagai kawasan konservasi (Siswantoro, 2011).
Dengan potensi kekayaan alam yang tak terhingga, dapat dikatakan bahwa Indonesia
memiliki keragaman produk yang luar biasa, yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi
destinasi/komoditi pariwisata yang menarik. Ekowisata kini telah menjadi tren pasar dunia
global dan menjadi perhatian banyak negara. Di Indonesia walaupun belum berkembang luas,
namun ekowisata telah menjadi salah satu agenda penting bagi pengembangan pariwisata
Indonesia ke depan seperti yang tercantum dalam agenda RUU RIPPARNAS 2010-2025
mengenai paradigma pembangunan kepariwisataan (sustainable tourism development, green
economy and tourism, responsible marketing, community-based tourism development, triple
track strategies, dll).
Sebagaimana tercantum dalam laporan penelitian UNWTO (2008), dewasa ini terjadi
pergeseran minat wisatawan dari bersifat buying product menjadi buying experience. Hal ini
menyebabkan tuntutan atas ketersediaan produk-produk khusus yang bersifat alam, budaya,
kesehatan, kecantikan, bahkan gaya hidup juga mengalami pertumbuhan potential demand
yang signifikan. Adanya gerakan “back to nature”, menyebabkan orang sangat besar
keinginannya untuk wisata yang alami. Karena adanya demand, maka tak dipungkiri
ekowisata yang mengedepankan keaslian alam menjadi potensi produk pariwisata bagi
Indonesia yang dapat dikemas dan dipromosikan ke pasar luar negeri.
Tak ketinggalan pula, sejalan dengan berkembangnya minat wisatawan pada jenis
wisata adventure, khususnya terjadi pada kelompok segmen wisata pada usia yang lebih
muda, berbagai kegiatan wisata petualangan yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah
wisata minat khusus diantaranya diving, snorkling, surfing, dan beragam jenis water sports.
Kesemua aktivitas itu bersentuhan dengan alam, dan harus dicermati lebih jauh lagi bagi
pengembangan ekowisata.
Berdasarkan data PES 2010, pola perjalanan wisman menurut aktivitas wisata alam
menunjukkan bahwa kegiatan ekowisata sebesar 4,75%, sementara yang tertinggi pada
kegiatan wisata agro sebesar 21,49%, berhubungan dengan pantai 19,82%, wisata petualangan
9,69% dan wisata alam lainnya 3,23% (Kembudpar, 2010). Meski terbilang cukup kecil untuk
ekowisata, setidaknya produk wisata ini dapat menjadi potensi yang patut dikembangkan.
-5-
Aplikasi Pengembangan Ekowisata di Indonesia
Banyak penelitian dan publikasi yang sudah dilakukan terkait ekowisata. Berikut ini,
beberapa contoh studi dan publikasi dari aplikasi pengembangan ekowisata di Indonesia yang
pernah dilakukan,
1. Danau Kelimutu: Nusa Tenggara Timur, Kab. Ende, Flores
Jenis Pengembangan Ekowisata Danau Kelimutu adalah ekowisata berbasis budaya
lokal. Kawasan ini merupakan kawasan gunung api aktif yang selalu dalam pantauan
dari pusat vulkanologi, yang juga merupakan salah satu dari 12 gunung api aktif di
daratan Flores. Kekayaan flora-fauna Kelimutu juga ditemukan sebarannya di sebagian
besar daratan Flores. Dengan demikian pengembangan riset genetis endemik Flores
dapat dilakukan di Kelimutu. Adanya kekhasan ekosistem yang menyertai di
sekitarnya (terdapat ekosistem vaccinium varingiaefolium dan rododendron
renchianum) yang ditengarai sebagai salah satu flora endemik kawasan Kelimutu dan
perlu dijaga kelestariannya.
Adat dan budaya masyarakat di sekitar kawasan masih sangat kuat mewarnai
kehidupan sehari-hari sehingga tampaklah bahwa kawasan ini dilingkupi oleh tradisi
dan adat masyarakat Suku Lio dengan berbagai ritual dan aturan adat Suku Lio yang
masih kuat dan sangat terkait dengan keberadaan danau tiga warna.
Sebagian besar masyarakat di desa-desa penyangga taman nasional dan kawasan
konservasi lainnya hidup dari pertanian lahan kering, sehingga adanya ide dari LIPI
BOTANI untuk menjadikan kawasan sekitarnya sekaligus sebagai stasiun riset
pertanian lahan kering di NTT.
Kelimutu dikenal luas sampai di tingkat internasional hingga memudahkan untuk
upaya pengembangan ekowisata. Terlihat dari kecenderungan/trend kunjungan
wisatawan ke kawasan Taman Nasional Kelimutu yang cenderung meningkat. Pada
tahun 2005 dikunjungi 7.414 orang, tahun 2006 sebesar 9.771 orang, tahun 2007
meningkat menjadi 11.140 orang, tahun 2008 sebesar 16.495 orang atau 2 kali lipat
dari tahun 2005. Hal ini merupakan potensi yang perlu dikelola dengan baik.
Dibalik kelebihan yang dimiliki Danau Kelimutu, terdapat kelemahan yang ada
diantaranya yaitu daerah daratan Flores pada umumnya termasuk kategori daerah
rawan bencana yang setiap saat akan mengancam kekayaan alam yang luar biasa yang
dimiliki bangsa ini. Hal ini juga menuntut adanya keamanan untuk wisatawan yang
berkunjung. Dukungan mulai dari SDM, sarana-prasarana, termasuk fasilitas wisata
yang dikelola dengan baik, jaringan transportasi dan aksesibilitas, termasuk asuransi
bagi wisatawan menjadi sisi lain yang sangat penting untuk diwujudkan bersama.
(Soebiantoro, 2009).
-6-
Karenanya perlunya regulasi yang tepat, pengetahuan mengenai sifat-sifat biologi
spesies terkait, dan standar keamanan bagi wisatawan yang melakukan wisata berburu
(Soetopo, 2007).
-7-
memberikan suatu ruang interaksi yang lebih luas dan lebih dekat antara wisatawan
dengan penduduk lokal.
Beberapa kelemahan dari pengembangan ekowisata di Kelurahan Serangan ini
diantaranya kondisi daratan terlihat sangat kering karena tidak memiliki perkebunan
dan ekosistem dengan struktur lahan atau tanah yang datar dan tidak subur. Selain itu
kondisi hutan bakau kurang menarik. Ekosistem terumbu karang dan biota laut tidak
sebanyak dulu.
Tingkat aksesibilitas masih memiliki kekurangan karena belum tersedianya sarana
angkutan umum. Jalan-jalan di lingkungan masing-masing banjar belum tertata dengan
baik, serta belum adanya petunjuk jalan pada saat memasuki wilayah masing-masing
banjar. Sarana dan prasarana penunjang masih kurang seperti kamar mandi umum,
toilet umum, dan information center. Belum dikembangkan paket ekowisata secara
profesional. Produk kesenian dan kebudayaan masyarakat masih kurang pembinaan
dan penataan untuk meningkatkan kualitas produk yang akan ditawarkan.
Bukan hanya aksesibilitas, dari segi sumber daya manusia juga masih terdapat kendala.
Masyarakat lokal yang mampu menguasai bahasa asing masih kurang, pemahaman
masyarakat tentang kegiatan pariwisata masih sangat rendah. Disamping itu,
masyarakat lokal belum ada keberanian untuk membuat proposal pengajuan
pengembangan ekowisata kepada Pemda setempat. Padahal bantuan Pemda sangat
dibutuhkan guna membangun sinergi yang kuat dengan masyarakat lokal (Andiani,
2007).
Dari uraian contoh pengembangan ekowisata diatas, terlihat bahwa bentuk
pengembangan ekowisata bukan hanya berbasis alam, tetapi juga didukung oleh basis
masyarakat lokal (budaya lokal). Dari kedua jenis tersebut, terdapat perbedaan penerapan
ekowisata. Pengembangan ekowisata memang harus disesuaikan dengan karakteristik
struktur alam dan budaya yang dimiliki, sehingga memudahkan terciptanya segmentasi pasar
yang jelas dan terfokus. Tak lepas dari pengembangan ekowisata, beberapa implikasi
(tantangan) juga harus diperhatikan guna terciptanya ekowisata yang berkelanjutan.
-8-
Lain halnya dengan kegiatan diving, snorkling, dimana umumnya wisatawan ini
adalah wisatawan selain berjiwa adventure juga pencinta lingkungan. Jarang bahkan sedikit
sekali ditemukan kasus bahwa kegiatan diving maupun snorkling yang merusak. Kegiatan
diving umumnya dimanfaatkan oleh wisatawan bukan hanya untuk menikmati keindahan
alam bawah laut, tetapi bisa juga untuk pendidikan, penelitian, pelestarian seperti penanaman
terumbu karang.
Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Oleh karenanya, ekowisata
disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggung jawab bahkan harus menihilkan
kerusakan lingkungan. Belantara tropika basah di seluruh kepulauan Indonesia merupakan
suatu destinasi. Destinasi untuk wisata ekologis dapat dimungkinkan mendapatkan manfaat
sebesar-besarnya aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, pengelola dan
pemerintah.
Meskipun ekowisata sudah berkembang relatif lama, sampai saat ini pengembangan
ekowisata masih harus menghadapi berbagai tantangan berat. Beberapa tantangan yang masih
harus dihadapi Indonesia untuk pengembangan ekowisata dari beberapa contoh kasus aplikasi
pengembangan ekowisata di Indonesia, antara lain sebagai berikut.
1. Infrastruktur yang belum memadai. Walau bagaimanapun infrastruktur termasuk
penunjang yang sangat krusial bagi aksesibilitas wisatawan ke ekowisata di suatu
destinasi. Jika infrastruktur baik, maka kendala jarak dan waktu tempuh dapat diatasi.
2. Kurangnya sumber daya manusia yang mampu mengelola ekowisata ke arah yang lebih
baik, ditambah lagi persepsi masyarakat ke arah ekowisata yang berbasis pelestarian dan
keberlanjutan masih rendah. Sebagai contoh pengembangan ekowisata di Kelurahan
Serangan Bali, dimana masyarakat lokal yang mampu menguasai bahasa asing masih
kurang, pemahaman masyarakat tentang kegiatan pariwisata masih sangat rendah.
3. Ekowisata adalah jenis pariwisata yang perkembangannya lambat dan hasilnya juga
lambat (karena ekowisata non-mass tourism) sehingga seringkali pemerintah kurang
memberi perhatian. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai fasilitator dan penunjang
sangat penting guna menjaring kerjasama atau komunikasi antara pihak swasta (investor)
dan masyarakat lokal sehingga tercipta manajemen (pengelolaan) yang baik bagi
pengembangan ekowisata.
4. Faktor keamanan juga menjadi tantangan pengembangan ekowisata. Keamanan disini
harus dilihat dari unsur alam itu sendiri dan juga lingkungan masyarakat. Sebagai contoh
pengembangan ekowisata di Kab. Ende, Flores faktor keamanan dari sisi alam karena
rawan bencana perlu adanya mitigasi bencana sejak dini, rambu-rambu keamanan untuk
wisatawan, dan lain-lain. Sementara dari sisi lingkungan masyarakat seperti di Teluk
Pulai, Kalteng masih ditemukan jenis konflik yang ada antara masyarakat. Bukan hanya
itu, isu teroris juga menjadi isu sentral tantangan perkembangan ekowisata.
5. Pembangunan fisik yang sporadis, unplanned, di area ekowisata, yang justru merusak
objek ekowisata itu sendiri. Misalnya bisa dilihat adanya pembangunan berbagai fasilitas
pariwisata (restoran dan usaha akomodasi) di pinggir jurang di seputar Danau Batur, yang
sangat menghalangi wisatawan menikmati keindahan kawasan Danau Batur. Demikian
juga banyaknya pembangunan toko cinderamata (artshops) yang menghalangi pandangan
wisatawan ke arah sawah berteras di wilayah Ceking, Tegallalang, Bali.
-9-
konvensi dan pameran. Tema ini sebetulnya dapat lebih menjelaskan mengenai pentingnya
perubahan sikap dari pariwisata yang bersifat mass tourism menjadi pariwisata yang
bertanggung jawab (responsible tourism), bertanggung jawab terhadap lingkungan dan
sekaligus bertanggung jawab terhadap masyarakat lokal (Hermantoro, 2011). Bentuk
tanggung jawab lainnya juga harus diperhatikan adalah tanggung jawab terhadap budaya,
nilai, sejarah, dan tradisi dikarenakan ekowisata terkait dengan komponen tersebut.
KESIMPULAN
Ekowisata adalah pariwisata masa depan karena potensi Indonesia dan pasar yang
bergerak ke arah sana yaitu “back to nature and sustainability”. Meskipun ekowisata adalah
jenis perjalanan terkait alam, namun ekowisata jangan hanya dipandang sebagai jenis
pariwisata berbasis alam (nature-based tourism), karena keduanya mempunyai makna yang
berbeda yakni antara konservasi dan eksploitasi. Yang menjadi fokus pengembangan
ekowisata adalah konservasi/pelestarian.
Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat/budaya sangat erat dengan prinsip
konservasi, mengandung unsur pendidikan dan pengalaman, tidak eksploitatif dan tidak
konsumtif, mempertahankan kebudayaan masyarakat setempat, serta adanya unsur
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. perlu ditambah lagi adanya manajemen atau
pengelolaan, berkelanjutan, dan berskala kecil (non-mass tourism).
Untuk menjawab tantangan pengembangan ekowisata, infrastruktur harus tetap
menjadi salah satu fokus yang harus selalu ditingkatkan dalam rangka pengembangan
aksesibilitas, sehingga lebih mudah dijangkau oleh wisatawan.
Dari sisi pengembangan sumber daya manusia, persepsi masyarakat perlu diubah,
bahwa ekowisata tidak bersifat massal tetapi spesifik dan non massal. Mengubah persepsi
bukanlah hal yang mudah, karena persepsi sudah melekat di dalam alam pikiran manusia
tersebut. Untuk itu perlu suatu proses yang kontinu dalam pembelajaran mengenai pentingnya
pengembangan ekowisata yang bersifat tidak merusak (non massal).
Ekowisata menghadapi banyak tantangan. Walaupun bersifat nature dan adventure,
masih tetap perlu memerhatikan/menerapkan standar keamanan untuk wisatawan yang harus
disediakan oleh destinasi. Standar keamanan berupa mitigasi bencana dini (seperti papan
informasi keamanan, buklet/leaflet/brosur informasi keamanan, dll), peralatan keamanan juga
harus menyesuaikan standar internasional, serta tour operator/tour guide yang mempunyai
keahlian tersendiri dalam mengawal wisatawan dalam perjalanan ekowisata. Dengan
demikian wisatawan akan merasa aman dan nyaman, sehingga mempunyai kesan yang
mendalam terhadap destinasi yang dikunjunginya.
Dari semua tantangan yang ada, manajemen/pengelolaan mengenai tata ruang (zonasi)
pengembangan ekowisata perlu direncanakan dengan baik agar pembangunan yang bersifat
massal dan merusak lingkungan dapat dihindari. Bukan hanya manajemen dari segi fisik
ekowisata, namun diperlukan juga manajemen dari segi non fisik. Tidak ada salahnya
menerapkan sistem akreditasi untuk ekowisata, sebagai contoh yang dilakukan oleh suatu
lembaga pariwisata di Australia, the National Ecotourism Accreditation Program (NEAP),
yang didirikan sejak tahun 1996 guna mengidentifikasi “genuine” ekowisata di Australia
(Cooper & Erfurt, 2002). Penerapan akreditasi ekowisata ini dilakukan mulai dari grass roots
level, berguna untuk meningkatkan komunikasi dan komitmen dari masing-masing pengelola
ekowisata yang terlibat. Dalam manajemen ini perlu kerjasama yang baik antara pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha. Sehingga yang menikmati hasil pengembangan ekowisata
bukan hanya segelintir kelompok tertentu, tetapi juga masyarakat lokal.
Segenap pihak seperti industri dan masyarakat diharapkan mulai memberi perhatian
lebih nyata. Pemerintah hendaknya memberikan perhatian tidak hanya mengharapkan hasil
- 10 -
jangka pendek, tetapi lebih ke jangka panjang yaitu pengembangan ekowisata yang terus
berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan untuk anak cucu kita nantinya. Bagi pihak industri
(swasta) yang terlibat dalam pengembangan ekowisata, perlu adanya suatu kesabaran karena
bentuk investasi ini merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya tidak langsung profit
yang besar namun akan terlihat hasilnya nanti ke depan. Untuk masyarakat perlu adanya
pembelajaran dan pemahaman bahwa pelestarian alam dalam bentuk ekowisata sangat
penting guna keberlangsungan hidupnya baik dari sisi ekonomi, budaya, maupun tradisi. Tak
ketinggalan bagi akademisi, banyak hal yang bisa digali dari ekowisata, karenanya agar terus
melakukan kajian-kajian atau penelitian guna menelurkan rekomendasi yang berdayaguna
dan berhasilguna untuk kebijakan pengembangan ekowisata. Inovasi dari penelitian harus
terus dilakukan.
Sebuah kenyataan yang membanggakan dan patut kita syukuri adalah bahwa
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki destinasi ekowisata terbaik di dunia.
Pada akhirnya, Wonderful Indonesia diharapkan bukan hanya sebagai brand image atau
slogan bagi pariwisata Indonesia saja, tetapi menjadi realisasi bahwa Indonesia sebagai pusat
kunjungan wisatawan di seluruh dunia dengan ekowisatanya.
DAFTAR PUSTAKA
- 11 -
Soebiantoro, G. (2009, Mei 7). Kelimutu Jadi Ekowisata Berbasis Budaya Lokal. Dipetik
Juni 24, 2011, dari www.lipi.go.id:
http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1241686974&32&2009&
Soetopo, T. (2007). Provinsi NTB Menghadapi Visit Indonesia Year 2008. Komunika, Vol.
10 No.2 , 2007: 83-94.
UNWTO. (2011). Diakses 22 Juni 2011 dari www.unwto.org:
http://unwto.org/en/content/why-tourism.
www.ekowisata.info. (2007). Definisi Ekowisata. Diakses 22 Juni 2011 dari ekowisata info:
http://www.ekowisata.info/definisi_ekowisata.html
- 12 -