Anda di halaman 1dari 22

BISNIS PARIWISATA ALTERNATOF

COMMUNITY BASED TOURISM

Mata Kuliah: Bisnis Pariwisata Alternatif


(MMI540 H1)

Oleh Kelompok 5

Ni Putu Cynthia Asmara Dewi (2380611008)/ 08


Ireyke Dheby Syaputri (2380611009)/ 09
Ni Putu Ayu Supriati (2380611016)/ 16

Program Magister Manajemen


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2023
DAFTAR ISI
I. Community Based Tourism .................................................................................................1
II. Peran Pemerintah dalam Community Based Tourism............................................................
III. Studi Kasus Penerapan Community Based Tourism di Indonesia..........................................
1. Potensi Wilayah Desa Jatiluwih.........................................................................................
2. Aktivitas Pariwisata di Desa Jatiluwih...............................................................................
3. Peran Dukungan Pemerintah untuk Desa Jatiluwih...........................................................
IV. Studi Kasus Penerapan Community Based Tourism di Thailand...........................................
1. Potensi Wilayah Thailand..................................................................................................
2. Aktivitas Pariwisata di Thailand........................................................................................
3. Peran Dukungan Pemerintah untuk Pariwisata Thailand...................................................

1
I. Community Based Tourism
1.1. Gambaran Umum
Istilah Community Based Tourism (CBT) pertama kali muncul tahun 1990-
an (Putra, 2015), bersamaan dengan konsep pro-poor tourism (pariwisata pro-
orang miskin), rural tourism (pariwisata perdesaan), dan istilah lain yang
dimaksudkan untuk membantu pembangunan bagi masyarakat tertinggal secara
ekonomi (Moscardo 2008). Lebih tepatnya, pada tahun 1995, Kementerian
Pariwisata Indonesia memperkenalkan istilah Pariwisata Berbasis Masyarakat ke
khalayak sehingga istilah ini semakin terkenal hingga tahun 2017 jenis pariwisata
ini diklaim sebagai salah satu katalisator pembangunan Indonesia. Konsep
pariwisata berbasis masyarakat beberapa kali didefinisikan sebagai sebuah jenis
pariwisata yang mengutamakan kontrol masyarakat lokal dalam pengelolaan dan
pengembangan sebuah destinasi (Denman, 2001 dalam Putra, 2015). Masyarakat
lokal dalam konsep pariwisata berbasis masyarakat memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan kepariwisataan di wilayahnya
melalui kelangsungan budaya, sosial, dan lingkungan (Prabawati:2013).
Berdasarkan definisi tersebut, maka setidaknya terdapat dua kata kunci yang
melekat 2 dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat yaitu mengenai
pemberdayaan masyarakat dan partisipasi masyarakat.
. CBT sebagai salah satu kecenderungan utama dalam pembangunan dan
penelitian pariwisata di dunia, karena istilah ‘pro-poor’ lebih berkonotasi
‘negatif’ karena mengandaikan masyarakat dalam posisi inferior. Istilah CBT
berkonotasi ‘positif’ karena mengisyaratkan pengakuan atas hak masyarakat
untuk berpartisipasi dan berusaha. Konsep CBT berkaitan erat dengan
sustainable tourism development (pembangunan pariwisata berkelanjutan).
Keduanya memberikan perhatian utama pada manfaat pembangunan bagi
masyarakat, khususnya manfaat ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan
(Richards dan Hall, 2000:1). Apabila masyarakat merasakan seluruh manfaat
tersebut berarti mereka akan mendukung dan menyukseskan pembangunan
tersebut, sehingga secara sadar menjaga keberlanjutannya. Tidak ada pariwisata
tanpa dukungan masyarakat, sebaliknya apabila masyarakat memiliki komitmen
untuk mendukung, maka pembangunan pariwisata akan dapat dilanjutkan.
Pentingnya pembangunan masyarakat (community development) dalam
pembangunan pariwisata sudah digaungkan oleh United Nation World Tourism

2
Organisation (UNWTO) dalam perayaan World Tourism Day 2014 (Hari
Pariwisata Dunia) di mana WTO mengangkat tema ‘Community Development’.
Alasan lembaga UNWTO mengangkat tema ini adalah dalam rangka
menyelaraskannya dengan program baru PBB, yaitu Sustainable Development
Goals (SDGs), sebagai kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs).
SDGs menjadi prinsip orientasi dan panduan pembangunan yang dipromosikan
PBB sejak tahun 2015 dan selanjutnya (UNWTO 2014). Keputusan UNWTO
memilih tema ‘Community Development’ searah dengan kebijakan PBB dapat
membuat tren pariwisata pada konsep CBT ini terus berlanjut. Bagi UNWTO,
pariwisata bisa menciptakan kondisi untuk melakukan pembangunan
berkelanjutan dari level akar rumput. Ini terjadi, seperti banyak disepakati, karena
CBT melibatkan penduduk lokal dalam proses pengambilan keputusan sesuai
dengan prioritas lokal. Kesempatan itu membuat penduduk lokal menjadi bagian
dari rantai nilai ekonomi pariwisata. Lebih dari itu, seperti ditegaskan UNWTO,
bahwa pariwisata menjadi katalis untuk memperkuat kedekatan sosial (social
cohesion), situasi yang melampaui peran pariwisata menyediakan kesempatan
kerja dan memberikan manfaat ekonomi, yang secara lebih lanjut dapat
meningkatkan kemampuan pemerintah lokal (tingkat desa) dalam menggandakan
dampak pariwisata secara berkelanjutan.
Prinsip dasar CBT menurut UNEP dan WTO (2005) sebagai berikut. (1)
mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam
industri pariwisata ; (2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai
setiap aspek; (3) mengembangkan kebanggaan komunitas; (4) mengembangkan
kualitas hidup komunitas; (5) menjamin keberlanjutan lingkungan; (6)
mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal ; (7) membantu
berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas; (8)
menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia; (9) mendistribusikan
keuntungan secara adil kepada anggota komunitas ; dan (10) berperan dalam
menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek-
proyek yang ada di komunitas.
1.2 Modal Sosial Dalam Pembangunan Community Based Tourism
Berbicara mengenai pembangunan kepariwisataan berbasis masyarakat,
tentu kita perlu mempelajari komponenkomponen penyusun pembangunan
kepariwisataan salah satu yang penting adalah modal sosial (Bisena, 2011 dalam

3
Theresia 2014). Konsep “modal sosial” sudah cukup lama diperkenalkan lewat
tulisan Jane Jacobs (1961) dan James S. Coleman (1988). Modal sosial
merupakan sebuah unsur hubungan sosial yang terdiri dari beberapa aspek
misalnya: hubungan sosial (pengetahuan lokal, tingkah laku, kearifan, kerjasama,
dan kesetiaan), institusi sosial (jaringan, perkumpulan, dan kepemimpinan sosial),
dan nilai-nilai yang universal (norma simpati, norma kejujuran, norma toleransi,
dan norma kepercayaan) yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara
tepat guna melahirkan kontrak sosial, peran serta masyarakat, tanggung jawab
sosial, dan kemandirian (Nugraha, 2021). Modal sosial adalah masyarakat yang
ada di dalamnya (Theresia, 2014). Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat
yang berada dalam kawasan destinasi wisata. Pada dasarnya, masyarakat
memiliki keinginan yang baik untuk berubah. Masyarakat memiliki kekuatan
untuk berubah melalui wujud pembangunan dan perubahan kearah yang lebih
baik. Masyarakat yang berkeinginan kuat ini adalah modal dasar bagi
pembangunan negara (Theresia, 2014). Sebab, masyarakat ini memiliki
pandangan dan pola pikir yang terbuka sehingga mampu bekerjasama sekaligus
menerapkan ilmu-ilmu baru yang mendukung perkembangan suatu destinasi
wisata.
Lebih lanjut, peran masyarakat dalam pembangunan tidak hanya untuk
menerapkan pandangan dan pola pikir yang terbuka, namun juga untuk
memelihara hasil dari pembangunan yang telah dilakukan dalam konteks
pengembangan kepariwisataan, sehingga terlihat bahwa kesadaran masyarakat
dalam proses perencanaan dan pembangunan akan berhasil dan terpelihara jika
masyarakat memiliki budaya tersebut, sebagai modal sosial pembangunan.
Terdapat enam hal yang membuat modal sosial itu penting menurut (Mawarni,
2000).
1. Memudahkan anggota komunitas dengan memberi akses informasi yang
dibutuhkan.
2. Modal sosial merupakan media pendukung kekuasaan dalam komunitas.
3. Membangkitkan solidaritas antar sesama anggota dalam sistem masyarakat.
4. Mempermudah mobilisasi sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat lokal.
5. Memiliki tujuan bersama yang jelas sehingga peluang tujuan tercapai terbuka
lebar.

4
6. Membentuk perilaku kebersamaan dan kebiasaan berorganisasi bagi
masyarakat lokal.
Perencanaan pariwisata berbasis masyarakat merupakan tahapan awal perubahan
masyarakat dalam mengelola kawasan destinasi wisata sesuai dengan kekuatan
modal sosial yang dimiliki. Tujuan utama dari perencanaan pariwisata berbasis
masyarakat melalui modal sosial adalah terciptanya percepatan pembangunan
terutama dalam bidang kepariwisataan di Indonesia. Modal sosial dalam
perencanaan pariwisata berbasis masyarakat memiliki unsur-unsur pokok. Hal-hal
berikut melatarbelakangi munculnya istilah modal sosial dalam perencanaan
pariwisata berbasis masyarakat. Terdapat enam hal unsur pokok modal sosial,
(Hasbullah, 2006), yaitu:
1. Partisipasi dalam suatu jaringan (paticipation)
Partisipasi dalam kepariwisataan adalah kemampuan masyarakat lokal
melibatkan diri dalam jaringan hubungan sosial misalnya dalam perencanaan
pariwisata setempat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pariwisata
akan membuat sinergi kekuatan baik langsung maupun tidak langsung,
dampaknya jaringan sosial akan semakin kuat dan tujuan pembangunan akan
lebih cepat tercapai.
2. Adanya hubungan timbal balik (reciprocity)
Adanya keikutsertaan individu atau masyarakat dalam jaringan hubungan
sosial akan menimbulkan suatu pertukaran diantara individu yang saling
berinteraksi. Pertukaran yang tercipta dari hasil interaksi merupakan hubungan
timbal balik. Hubungan timbal balik antar anggota masyarakat lokal
diasumsikan sebagai hubungan timbal balik yang saling melengkapi dan saling
mendukung, sehingga pada saat terdapat anggota kelompok yang sedang
mengalami masalah, hubungan timbal balik ini menjadi modal yang kuat untuk
masyarakat lokal untuk dapat melanjutkan hidup dan perencanaan bersama
masyarakat.
3. Rasa percaya (trust)
Individu dalam masyarakat lokal meyakini bahwa individu lain akan bertindak
sesuatu seperti yang diharapkan dalam suatu pola jaringan hubungan sosial.
Rasa percaya tidak muncul secara tiba-tiba, keyakinan ini harus dipupuk terus
menerus dan berlangsung alamiah.
4. Norma sosial (social norms)

5
Norma sosial berarti seperangkat aturan yang tertulis maupun tidak tertulis dan
telah disepakati oleh setiap anggota dalam sebuah komunitas masyarakat lokal
yang bertujuan untuk memberikan batasan berperilaku bagi setiap anggota
dalam komunitas. Norma sosial itu bersifat kolektif, artinya bahwa norma
sosial yang dipatuhi dalam suatu komunitas lokal bisa jadi diakui sebagai hal
yang sama dengan norma sosial yang berlaku di komunitas masyarakat lainnya
tetapi tidak semua bentuk penerapan atau tindakannya bisa digeneralisir.
Norma sosial memiliki konsekuensi yang ditaati bersama masyarakat lokal.
Suatu pelanggaran atau ketidaktaatan terhadap norma sosial mengakibatkan
individu dikenai sanksi sesuai kesepakatan masyarakat lokal. Bentuknya bisa
berupa sanksi sosial dalam bentuk sikap yang ditunjukkan sehari-hari,
penolakan terhadap yang melanggar, dan tindakan tidak melibatkan yang
melanggar dalam kegiatan perencanaan pariwisata.
5. Nilai-nilai
Suatu ide yang dianggap benar oleh anggota masyarakat lokal dan diwariskan
secara turun temurun. Contoh nilai-nilai yang dianggap benar misalnya: nilai
prestatif, nilai harmoni dan keselarasan, nilai kompetisi, dan nilai etos kerja
(kerja keras). Nilai-nilai yang dipatuhi bersama ini berperan sebagai sebuah
moto penggerak bagi anggota komunitas dalam sebuah masyarakat lokal.
Misalnya nilai kesetiakawanan dengan melakukan kegiatan perencanaan
bersama-sama.
6. Tindakan proaktif
Keinginan kuat dari anggota masyarakat lokal untuk terlibat dalam melakukan
tindakan perubahan bagi kelompoknya. Tindakan proaktif tidak terbatas pada
partisipasi dalam arti kehadiran dan menjadi bagian dalam kelompok
masyarakat lokal. Lebih dari itu, tindakan proaktif dalam modal sosial
ditunjukkan berupa kontribusi nyata dalam berbagai bentuk aksi kegiatan.
Tindakan proaktif lebih lanjut dilakukan untuk meningkatkan hubungan
kekerabatan, meningkatkan intensitas antar masyarakat lokal, dan membagi
energi positif di antara anggota masyarakat lokal.
Konsep modal sosial memiliki kelemahan, salah satu kelemahan utama dalam
konsep modal sosial adalah kurangnya metode untuk mengukur sejauh mana
penerapan modal sosial pada masyarakat lokal (Theresia, 2014), sehingga hal ini
membuat modal sosial sulit diukur terutama dikaitkan dengan pengukuran faktor

6
dampak terhadap beberapa variabel lainnya. Terkait dengan kelemahan tadi
Ridell (1997) dalam Nugraha (2021) menyatakan bahwa ada tiga parameter
modal sosial yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan
(networks). Bila dihubungkan dengan materi mengenai unsur-unsur dalam modal
sosial, maka ketiga parameter tersebut dapat dijadikan parameter yang dapat
mengukur sejauh mana faktor atau dampak modal sosial dalam masyarakat lokal
bisa diukur terutama dengan kontribusinya dalam keberhasilan proses
perencanaan pariwisata berbasis masyarakat.
1.3 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pariwisata
Terdapat korelasi antara pemberdayaan masyarakat dan bidang
kepariwisataan. Pemberdayaan masyarakat berarti bahwa memberdayakan,
memampukan, dan memandirikan masyarakat (Theresia, 2014). Lebih lanjut
pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat
lewat pemanfaatan potensi kemampuan yang mereka miliki (Sumodiningrat,
1999). Berdasarkan pengertian tersebut, pemberdayaan masyarakat adalah
pemberdayaan merupakan sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas hidup,
harkat, serta martabat suatu kelompok dalam masyarakat dari kondisi saat ini
yang tidak berdaya karena kemiskinan dan keterbelakangan menjadi lebih baik
(Nugraha, 2021). Dalam proses pemberdayaan masyarakat, pembangunan
pariwisata diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia yang ada di
perdesaan, penciptaan peluang kerja, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
desa. Masyarakat dimampukan secara mandiri untuk mengelola destinasi wisata
agar dapat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah, menciptakan lembaga
pendukung kepariwisataan, dan sistem pelayanan kepada wisatawan dalam
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Proses pemberdayaan sebagai
sebuah rangkaian aktivitas, mengutamakan upaya-upaya untuk memperkuat dan
mengoptimalkan kunggulan yang dimiliki oleh sebuah komunitas berdasarkan
sumber daya yang ada pada kemampuan komunitas masyarakat yang marginal,
lemah baik secara ekonomi maupun sosial, dan individu yang lemah akibat
menghadapi masalah kemiskinan.
Pokok pemberdayaan masyarakat yang pertama adalah pemberdayaan
sebagai proses perubahan. Proses perubahan dalam pemberdayaan masyarakat
didefinisikan oleh (Lippit,dkk 1985 dalam Theresia 2014) terjadi karena dua hal.

7
1) Adanya keinginan manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan yang terus
berubah dan keinginan manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dengan mengelola sumber daya dan lingkungan disekelilingnya menggunakan
pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya.
2) Adanya inovasi yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk
menumbuhkan aspirasi untuk memperbaiki kesejahteraan hidup tanpa harus
mengganggu lingkungan asli. Kedua alasan ini menjadi penyebab dasar
manusia ingin melakukan upaya-upaya perubahan agar tidak selamanya
mengalami ketertinggalan atau keterbelakangan.
Pokok pemberdayaan masyarakat yang kedua adalah pemberdayaan sebagai
proses pembelajaran. Perubahan terencana dalam pemberdayaan masyarakat lokal
dapat dilakukan dengan proses pembelajaran yaitu: pemaksaan, ancaman,
bujukan atau pendidikan. Proses pembelajaran dalam pemberdayaan masyarakat
melalui pemaksaan, ancaman, ataupun bujukkan memang cukup efektif dalam
upaya merubah kondisi masyarakat lokal, hanya saja perubahan tersebut
menciptakan ketergantungan dan tidak berlangsung lama. Misalnya saja dengan
menggunakan pembelajaran bujukkan, masyarakat lokal diberikan insentif dalam
melakukan perubahan. Hal ini membuat masyarakat lokal menjadi tergantung
dalam melakukan perubahan.
1.4 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat diartikan sebagai partisipasi individu dan anggota
masyarakat dalam suatu kegiatan. Pengertian partisipasi dimulai pada tahun 1974
oleh Bonby (Totok, 2013:81) yang menyatakan partisipasi sebagai kegiatan atau
pernyataan keikutsertaan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh
manfaat. Partisipasi sangat erat kaitannya dengan bidang kajian sosiologi,
“Kamus Sosiologis” menunjukkan bahwa partisipasi adalah ikut sertanya
seseorang dalam suatu kelompok sosial dalam turut andil pada kegiatan
masyarakat di luar profesinya (Theodorson, 1969). Ciri-ciri proses partisipasi
masyarakat ditandai dengan terbentuknya jejaring sosial yang lebih baik sehingga
dapat membantu mencapai suatu kegiatan untuk bersama-sama mencapai tujuan
tertentu. Partisipasi sebagai sebuah kegiatan, di mana partisipasi adalah bentuk
interaksi dan komunikasi khusus yang berkaitan (Verhangen, 1979 dalam
Nugraha, 2021). dengan distribusi hal-hal berikut: wewenang, tanggung jawab,

8
dan manfaat kepentingan. Peningkatan interaksi dan komunikasi ini didasarkan
pada kesadaran individu atau anggota komunitas lokal tentang:
a. Keadaan tidak ideal dan memaksa untuk dipulihkan menjadi lebih baik
b. Situasi ini hanya dapat diperbaiki melalui aktivitas manusia atau komunitas
lokal itu sendiri
c. Kemauan dan mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat
diselesaikan
d. Keyakinan individu dalam komunitas lokal dapat memberikan kontribusi yang
berguna untuk kegiatan terkait.
1.5 Produk Pariwisata Berbasis Masyarakat
Partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata merupakan
syarat utama untuk menjamin keberlanjutan pembangunan pariwisata (Bramwell,
2010; Byrd et al., 2009; Zou et al., 2014). Selama ini, masyarakat lokal dipandang
sebagai pemangku kepentingan yang pasif dan reaktif (Daldeniz dan Hampton,
2013; Idziak et al., 2015). Masyarakat lokal diyakini mampu menjadi pemangku
kepentingan yang proaktif dalam pengembangan pariwisata. Hal ini sesuai
dengan tujuan awalnya, Pariwisata Berbasis Masyarakat atau Community Based
Tourism merupakan salah satu jenis pariwisata yang mendukung terciptanya
pembangunan pariwisata berkelanjutan, maka masyarakat lokal dapat secara
kolektif dan kreatif menciptakan produk pariwisata.
Produk pariwisata berbasis masyarakat yang bermutu tentu melalui proses
perencanaan dan partisipasi masyarakat lokal yang aktif (Idziak et al., 2015).
Pada prinsipnya, produk wisata merupakan sesuatu yang terdiri dari barang dan
jasa yang dibeli atau dikonsumsi oleh wisatawan (Richardson dan Fluker, 2004).
juga Produk wisata adalah kombinasi antara daya tarik wisata dan elemen industri
pariwisata (Lawton dan Weaver, 2010:115). Produk pariwisata jika dilihat dari
sudut pandang wisatawan didefinisikan sebagai pengalaman wisatawan mulai dari
saat mereka meninggalkan rumah, melakukan perjalanan, sampai kembali lagi ke
rumah (Bowen dan Clarke, 2002 dalam Nugraha, 2021). Berdasarkan berbagai
pendapat sebelumnya, dapat dikatakan bahwa produk pariwisata memiliki ragam
komponen mulai dari atraksi, jasa pengaturan perjalanan, transportasi, akomodasi,
dan souvenir (Weaver dan Lawton, 2010 dalam Ernawati 2018). Adapun tujuan
memahami produk wisata adalah untuk memenuhi kepuasan pelanggan yakni
wisatawan. Produk wisata yang berupa layanan ini terkait dengan kualitas

9
layanan yang akan menjamin kepuasan wisatawan (Nugraha, 2021). Kepuasan
wisatawan akan produk pariwisata berbasis masyarakat lokal terkait dengan
konsep faktor penarik wisatawan.
Faktor penarik wisatawan diciptakan oleh masyarakat lokal, yang berhasil
mengelola sumber daya pariwisata atau keunikan masyarakat lokal, bisa berupa
kebudayaan atau lingkungan setempat. Produk pariwisata diidentifikasi
berdasarkan keunikan yang dimiliki masyarakat lokal dan adanya kesesuaian
dengan pasar yang ditargetkan. Pengembangan produk wisata berbasis
masyarakat harus mampu memberikan jaminan keuntungan (profitability) jangka
panjang bagi masyarakat lokal dan industri pariwisata. Idealnya suatu produk
pariwisata berbasis masyarakat diproduksi dan dikelola secara efektif dan efisien.
Karena berdasarkan pengertian ahli pada alinea sebelumnya, produk pariwisata
berbasis masyarakat sangat terkait dengan atraksi budaya dan lingkungan
setempat, juga industri pendukung pariwisata yang ada di daya tarik wisata.
Pemanfaatan sumber daya alam dan budaya di daerah tujuan pariwisata dilakukan
secara bijak oleh masyarakat lokal agar memenuhi kebutuhan pasar yang
terspesifik dan dinamis.
Pada penjelasan sebelumnya telah disampaikan bahwa produk pariwisata
menurut (Weaver dan Lawton, 2010 dalam Ernawati, 2018) terbagi menjadi dua
komponen utama, yaitu: elemen atraksi dan industri pariwisata. Dalam korelasi
dengan pariwisata berbasis masyarakat, atraksi utama terkait dengan lingkungan
alam, budaya tradisional yang etnik di lingkungan pedesaan (UNWTO, 2003
dalam Ernawati, 2018). Lebih lanjut yang termasuk klasifikasi daya tarik etnis
meliputi simbol-simbol kebudayaan etnis yakni: teknik atau cara tradisional,
arsitektur bangunan tempat tinggal atau bangunan bersejarah lainnya, sistem
pendidikan, transportasi, agama atau aliran kepercayaan, bahasa, dan pola kerja
(Fagence, 2003). Atraksi dalam pariwisata berbasis masyarakat adalah sesuatu
yang sebelumnya sudah ada, mengalami proses komersialisasi, berorientasi antara
kedua belah pihak baik wisatawan maupun masyarakat lokal, mengutamakan
sejarah dan budaya yang etnis serta otentik, sedangkan untuk konteks lingkungan
dan daya tarik wisata alam disesuaikan dengan keunikan wilayah masing-masing,
serta memungkinkan adanya interaksi antara wisatawan dan penduduk setempat.
(Weaver, 2006). Atraksi pariwisata etnis meliputi kunjungan ke rumah
masyarakat lokal dan desa-desa tradisional, mengamati upacara dan menonton

10
tarian, membeli barang primitif dan antik Fasilitas pariwisata dan situs atau daya
tarik wisata dapat secara eksklusif diperuntukkan bagi wisatawan atau dapat
dijadikan fasilitas yang digunakan bersama dengan penduduk lokal. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa industri pariwisata dari sudut pandang supplier (pemasok)
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) bisnis yang melayani wisatawan secara
eksklusif dan (2) bisnis yang melayani wisatawan dan penduduk lokal. Pariwisata
berbasis masyarakat lebih mengarah pada jenis industri pariwisata yang kedua
yaitu melayani wisatawan dan penduduk atau masyarakat lokal secara
berkesinambungan (Smith, 2012:4).
Dalam membuat kerangka kerja penilaian destinasi pariwisata, pengelola
destinasi wisata dapat mengacu pada perspektif (Dickman, 1997 dalam
Purwaningrum, 2021) yang menggunakan konsep 5A. Setiap destinasi pariwisata
harus dikembangkan berdasarkan lima 'A' guna mencapai seimbang dalam
pengembangan destinasi wisata yang antara lain adalah Atraksi (Attractions),
Aktivitas (Activities),Aksesibilitas (Accessibility), Akomodasi
(Accommodation), dan Amenitas (Amenities).
a. Atraksi, yang terdiri dari wisata alam, atraksi buatan, atraksi budaya, dan
atraksi sosial. Merupakan semua hal yang menarik turis. Bisa berupa tempat
seperti alam, danau, pantai, monumen, dll. Atraksi adalah tempat yang
diminati turis, biasanya karena nilai alam atau budayanya yang intrinsik,
signifikansi sejarah, keindahan alam, menawarkan rekreasi, petualangan,
hiburan dan bahkan layanan medis untuk pelancong lanjut usia.
b. Aktivitas, sering kali diartikan dengan berbagai kegiatan. Aktivitas berisi
kegiatan yang dapat dilakukan seperti berjalan-jalan di alam, sejarah &
arsitektur, berperahu, pemandangan, kesehatan, dan lainlain.
c. Aksesibilitas, adalah tema infrastruktur alat angkut dan teknologi transportasi.
Akses disini artinya bagaimana cara wisatawan dapat mengakses, menjangkau,
atau mencapai tempat yang mereka diinginkan tersebut.
d. Akomodasi, yang lebih efektif, bergantung pada kemampuan membangun
yang dapat memenuhi kebutuhan segmen pasar menguntungkan. Tempat
bermalam saat bepergian untuk istirahat atau bermalam. Akomodasi adalah
kebutuhan dasar dalam beraktifitas. Kurangnya akomodasi, akan sulit
mengembangkan pariwisata bahkan di tempat-tempat menarik di dunia.

11
e. Amenitas, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan calon pengunjung dari
segmen sasaran dalam jumlah yang diidentifikasi oleh studi kelayakan pasar.
Semua layanan lain, yang kami butuhkan saat bepergian untuk kehidupan yang
baik dan nyaman saat bepergian seperti makanan, air minum, sanitasi, dan
lain-lain. Ini mengacu pada fasilitas yang disediakan di tempat tujuan.
Pariwisata adalah industri jasa, layanan yang sesuai, menarik dan difasilitasi
dengan baik harus disediakan untuk wisatawan
Adapun contoh dari produk pariwisata ini, yaitu produk wisata berbasis
masyarakat yang terletak di kawasan perbatasan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara
Timur. Produk pariwisata berbasis masyarakat di Desa Tulakadi wilayah
perbatasan Indonesia, yakni Kawasan Asam Jokowi yang dikembangkan oleh
pemerintah desa setempat dan didukung oleh Kementerian Pariwisata dengan
melakukan kunjungan berbasis pengembangan Desa Wisata. Potensi wisata Asam
Jokowi baru dikembangkan mulai tahun 2018, artinya potensi wisata ini masih
baru dan sedang dikembangkan. Sejauh ini, sudah terdapat wisatawan yang
berkunjung ke potensi wisata Asam Jokowi, baik wisatawan lokal maupun
mancanegara.
Basis atraksi merupakan faktor-faktor penarik wisatawan untuk
mengunjungi Potensi Wisata Asam Jokowi di Kawasan Perbatasan Desa
Tulakadi. Sesuai dengan hasil survei diketahui bahwa wisatawan tertarik
mengunjungi potensi wisata ini disebabkan oleh berbagai faktor yakni minat
khusus pada budaya masyarakat lokal, pada atraksi buatan yang dibuat
masyarakat lokal, keindahan dan ketenangan alam, agrowisata, pariwisata
petualangan, dan pariwisata religi. Kemunculan daya tarik wisata buatan
diinisiasi oleh Kepala Desa Tulakadi dan beberapa pemuda yang memiliki
keinginan kuat untuk mengembangkan potensi wisata Asam Jokowi. Daya Tarik
Wisata Asam Jokowi terletak di pinggir jalan utama penghubung antara Negara
RI dan Timor Leste sehingga wisatawan dapat dengan mudah melihat lokasi
Asam Jokowi (Nugraha, 2020).
Nama Tulakadi menarik perhatian wisatawan karena nama ini menyimpan
sebuah kata bermakna purba yakni tula dan kadi. Tula berarti menyimpan dan
kadi berarti batu asahan. Jadi Tula kadi berarti menyimpan batu asahan di suatu
tempat yang aman atau cukup terhormat. Selain dengan cerita sejarah yang
dipercaya turun temurun, potensi pariwisata budaya yang terkenal di Desa

12
Tulakadi adalah Tari Likurai. Tarian ini merupakan tarian tradisional Kabupaten
Belu yang merupakan symbol penghormatan kepada tamu yang datang. Selain
tarian, wisatawan yang datang berkunjung ke potensi wisata Asam Jokowi di
Desa Tulakadi juga akan disuguhkan sajian tradisional setempat yang bernama
Jagung Bose. Jagung bose berbahan dasar utama jagung, diolah seperti bubur.
Potensi pariwisata budaya lain yang dapat diunggulkan di Desa Tulakadi adalah
kerajinan anyaman dari daun lontar dan Kain Tenun Khas Desa Tulakadi.
Anyaman daun lontar biasanya dibentuk sebagai dasar membuat asbak, tempat
permen, dan hiasan pajangan lainnya. Daun lontar dikeringkan terlebih dahulu
dibawah sinar matahari selama seminggu lalu diolah oleh pengrajin. Kain tenun
khas Desa Tulakadi merupakan daya tarik yang bisa dijadikan oleh-oleh khas dari
Desa Tulakadi (Nugraha, 2020).
1.6 Konsep Desa Wisata
Munculnya desa wisata diawali oleh kesadaran bahwa setiap desa memiliki
keunikan dan potensi untuk menjadi destinasi wisata yang berbasis komunitas.
Potensi-potensi tersebut dimanfaatkan dan dilandaskan pada kearifan lokal
kultural pada masyarakat lokal. Sehingga, dapat memicu peningkatan ekonomi,
gotong royong, dan berkelanjutan. Desa wisata merupakan salah satu bentuk
integrasi antara tempat berpemandangan indah, akomodasi dan fasilitas
penunjang, disajikan dalam bentuk struktural kehidupan masyarakat, dan
diintegrasikan ke dalam arus utama tata cara dan tradisi (Wiendu, 1993 dalam
Nugraha, 2021:43).
Desa wisata seringkali merupakan kawasan pedesaan yang unik dan
menarik sebagai tujuan wisata. Desa wisata adalah kelompok swadaya dan
dipimpin oleh masyarakat yang kegiatannya bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman tentang industri pariwisata, memungkinkan masyarakat untuk aktif
dan berperan serta dalam pengembangan pariwisata di wilayahnya, meningkatkan
nilai industri pariwisata, dan memberdayakan komunitas. Selain itu desa wisata
juga bertujuan untuk mewujudkan latar belakang kesejahteraan masyarakat dan
menjadi bukti keberhasilan partisipasi dalam pembangunan pariwisata (Nugraha,
2021:44).
Berdasarkan model, proses dan tipe pengelolaannya, desa wisata dibedakan
menjadi dua tipe (Wiendu, 1993 dalam Nugraha, 2021), yaitu tipe struktural dan
tipe terbuka. Desa wisata struktural memiliki beberapa ciri, yaitu:

13
a. Keterbatasan lahan yang dilengkapi dengan infrastruktur khusus di kawasan
tersebut. Keunggulan jenis ini adalah citranya mampu menembus pasar
internasional;
b. Lokasi biasanya terpisah dari masyarakat setempat sehingga dampak negatif
dapat dikendalikan dan pencemaran sosial budaya dapat dideteksi sejak dini.
c. Luas tanah yang tidak terlalu besar, dan masih dalam taraf kemampuan
perencanaan yang komprehensif dan terkoordinasi, sehingga diharapkan dapat
menjadi agen untuk memperoleh dana internasional sebagai unsur utama
dalam memperoleh investor hotel berbintang.
Desa wisata terbuka yang bercirikan pengembangan dan integrasi kawasan wisata
dengan struktur ruang dan pola kehidupan masyarakat setempat. Distribusi
pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pariwisata dapat langsung dinikmati
oleh masyarakat sekitar, namun hal ini memiliki dampak negatif. Dampak
negatifnya adalah tidak terkontrolnya distribusi pendapatan sehingga sulit
dikendalikan.
Pembangunan desa wisata yang ideal harus memperhatikan konsep
keberlanjutan dan mengacu pada konsep pembangunan desa wisata di Indonesia
berbasis atraksi dan kelokalan. Desa wisata dianggap sebagai bentuk industri
pariwisata, yaitu suatu kegiatan untuk mencapai suatu perjalanan wisata yang
sama, termasuk berbagai kegiatan yang menarik, membujuk, dan mendorong
wisatawan sebagai konsumen untuk menggunakan produk desa wisata atau untuk
bertamasya, serta mendorong pemasaran desa atau desa wisata.
Tujuan pembentukan desa wisata itu sendiri adalah untuk meningkatkan
status dan peran masyarakat sebagai aktor dan pelaku pembangunan pariwisata,
bekerjasama dengan stakeholders terkait untuk meningkatkan kualitas
pengembangan pariwisata daerah, serta membentuk dan menumbuhkan sikap
positif melalui terwujudnya nilai-nilai Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk,
indah, ramah, dan kenangan), bagi tumbuh kembang bidang kepariwisataan di
daerah dan manfaatnya bagi pembangunan daerah maupun kesejahteraan
masyarakat yang memperkenalkan, melestarikan, dan memanfaatkan potensi daya
tarik wisata yang ada di masing-masing daerah (Nugraha, 2021).
Fungsi desa wisata adalah sebagai wadah langsung masyarakat untuk
memahami potensi pariwisata dan mewujudkan Sapta Pesona di kawasan tujuan
wisata, serta menjadi bagian dari kerjasama pemerintah provinsi dan daerah

14
(pemerintah kabupaten atau kota) untuk mewujudkan dan mengembangkan
kawasan Pariwisata. Kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai desa wisata jika
mempertimbangkan faktor-faktor berikut (Syamsu dalam Prakoso, 2008):
1. Faktor kelangkaan, yaitu tempat wisata alam dan wisata yang tidak dapat
ditemukan atau langka di tempat lain.
2. Faktor alam, yaitu sifat tempat wisata yang tidak pernah berubah karena
campur tangan manusia.
3. Faktor keunikan adalah sifat dari tempat wisata yang memiliki keunggulan
komparatif dibandingkan dengan objek wisata lainnya.
4. Faktor pemberdayaan masyarakat, yaitu masyarakat dapat saling berkoordinasi
dan menyerukan pemberdayaan dalam pengelolaan objek wisata di
wilayahnya. Berdasarkan faktor-faktor ini, maka kriteria pengembangan desa
wisata adalah adanya 4A + 1 C yaitu: atraksi, amenitas, aksesibilitas,
ancilliary, dan community involvement.
Selain itu, pengembangan desa wisata juga membutuhkan suatu pendekatan
kepada masyarakat setempat yang tinggal di kawasan desa wisata. Masyarakat
tersebut perlu dirangkul dan diberikan edukasi untuk dapat mengelola
destinasinya dengan baik. Oleh karena itu, terdapat pula 4 pendekatan pasar untuk
pengembangan desa wisata, diantaranya:
a. Interaksi tidak langsung: model pengembangan didekati dengan cara bahwa
desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan.
b. Interaksi setengah langsung: wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal
dengan penduduk.
c. Interaksi langsung: wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/ bermalam dalam
akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut.
d. Kriteria desa wisata: pendekatan ini diperlukan beberapa kriteria, yaitu atraksi
wisata, jarak tempuh, besaran desa, system kepercayaan dan kemasyarakatan,
serta ketersediaan infrastruktur.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan mengenai desa wisata tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa desa wisata terkait dengan pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan. Hal ini dilakukan untuk
mewujudkan keberlanjutan dari wilayah yang menjadi desa wisata. Dalam
pengelolaan desa wisata, terdapat 47 program-program pemberdayaan yang
dikatakan penting dalam mengembangkan desa wisata, yaitu Sadar Wisata dan

15
Sapta Pesona. Adapun contoh dari pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat
dengan konsep desa wisata yang ada di Bali seperti Desa Pakraman Pemuteran
(Gerokgak, Buleleng), Desa Pakraman Beraban (Tanah Lot, Tabanan), Desa
Pakraman Kedonganan (Kuta, Badung), Desa Pakraman Pecatu (Kuta Selatan,
Badung), Desa Pakraman Kutuh (Kuta Selatan, Badung), Desa Pakraman
Tegalalang (Tegalalang, Gianyar), dan Desa Pakraman Tenganan Dauh Tukad
(Karangasem) dan Desa Wisata Jatiluwih (Tabanan).
II. Peran Pemerintah dalam Community Based Tourism
Popularitas CBT tampak dari perhatian yang diberikan oleh badan atau kelompok
pemerintahan secara regional dan internasional dalam satu setengah dekade terakhir ini.
Tahun 2000, misalnya, kelompok negara-negara yang tergabung dalam Asia Pacific
Economic Cooperation (APEC) memberikan penekanan terhadap pentingnya CBT
sebagai alat pembangunan. Mereka mengesahkan peran CBT dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Dalam pertemuannya di Korea tahun 2000, menteri-
menteri pariwisata anggota APEC menegaskan pentingnya industri pariwisata untuk
memperbaiki perekonomian, kesejahteraan sosial, pelestarian budaya, dan lingkungan
negara-negara anggota. CBT diyakini dapat membantu masyarakat lokal untuk
menggali pendapatan, melakukan diversifikasi ekonomi lokal, pelestarian budaya dan
lingkungan, serta penyediaan peluang pendidikan. Sehubungan dengan itu, CBT
dianggap dapat menjadi ‘a poverty reduction tool too’ atau alat untuk mengentaskan
kemiskinan (Nair dan Hamzah 2015).
Sebagai salah satu destinasi wisata terbaik dunia, Bali memiliki potensi sumber
daya pariwisata yang sangat besar. Masyarakat Bali mulai mengakui bahwa sektor
pariwisata merupakan sektor andalan yang harus digarap sungguh-sungguh, untuk itu
diperlukan adanya usaha bersama untuk mewujudkannya melalui pembangunan
masyarakat berbasis CBT. Kebangkitan masyarakat Bali dalam mengelola pariwisata di
daerahnya sebagian besar bersifat bottom up atau inisiatif dari bawah, bukan top down
atau instruksi dari atas. Terdapat kasus di beberapa desa di Bali, di mana inisiatif
datang dari pemerintah dan Non-Government Organisation (NGO), namun banyak desa
lainnya bisa dikatakan murni inisiatif dari komunitas yang diwujudkan melalui
lembaga.
Demi pembangunan dan penataan wilayah Bali ke depan, sebenarnya Pemerintah
Provinsi Bali sudah mulai menyiapkan sejumlah regulasi untuk terus melakukan
pelestarian budaya di era globalisasi (Grüning et al., 2018). Pemerintah provinsi dan

16
kabupaten di Bali sejak tahun 1990-an sudah mengembangkan desa wisata. Namun,
hasil program CBT top down ini kalah jauh dibandingkan dengan CBT yang bottom up.
Kalau di daerah lain seperti Asia, Eropa, dan Amerika, sesuai dengan namanya, CBT
dikelola oleh community (komunitas) karena di sana tidak ada desa. Hanya di Bali
dikelola oleh desa pakraman, sebagai lembaga masyarakat terbawah dalam struktur
pemerintahan dinas dan adat.
Pendekatan partisipatif membutuhkan koordinasi dan kerjasama serta peran yang
berimbang antara berbagai unsur stakeholder termasuk pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Pengembangan CBT juga membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah
dari berbagai tingkatan mulai tingkat Desa hingga kabupaten/kota. Peran pemerintah
dalam pengembangan CBT sangat penting. Strategi yang dapat dilakukan antara lain
dengan memperkuat komunitas di sekitar destinasi. Peran komunitas dalam
pengembangan pariwisata sangat tergantung sejauh mana mereka memiliki kesempatan
dan kekuatan (Beeton 2006:82 dalam Nurhidayati, 2015).
Pemerintah berperan dalam menjamin agar komunitas memiliki akses, kontrol,
kesempatan dan kekuatan dalam pengembangan pariwisata melalui regulasi. Regulasi
merupakan usaha pemerintah yang telah diberi kewenangan atau otoritas untuk
mengatur aktivitas tertentu yang berada dalam wilayah yuridisnya yang berdampak
pada meningkatnya akses, kontrol, kesempatan dan kekuatan komunitas. Pemerintah
dapat memberlakukan aturan tertentu yang mendikte pihak lain untuk mendukung atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan komunitas. Dalam kaitannya
dengan pengembangan CBT regulasi merupakan alat bagi pemerintah dalam menjamin
stakeholder pariwisata tetap berperilaku dalam koridor kebijakan pariwisata yang telah
ditetapkan atau menuruti ketentuan yang sudah ditetapkan pemerintah (Pitana & Diarta
2009:118).
Peran pemerintah lainnya yang dapat direalisasikan dalam program CBT yaitu
dengan pemberian dana pembangunan infrastruktur dan pembinaan dari pemerintah
terkait pengelolaan pariwisata. Pembinaan ini penting karena adanya pertemuan adat
serta dukungan lembaga adat dan dinas (desa dan pemerintah daerah) turut andil
mengubah pola pikir masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan pariwisata di
daerahnya (Putra, 2015). Apabila pola pikir dan pengelolaan wisata dapat dijalankan
dengan baik, maka keberlanjutan pariwisata sepenuhnya tergantung dari kemajuan
usaha dari kunjungan wisatawan.

17
Pemerintah dalam proses pembinaan adalah menjadi pendamping untuk kawasan
wisata dengan konsep CBT. Pendamping berperan sebagai fasilitator untuk
mendampingi proses pemberdayaan masyarakat. Pendamping dalam konteks
pemberdayaan masyarakat sebenarnya bisa datang dari berbagai pihak seperti dalam
konsep yang diperkenalkan oleh Menteri Pariwisata Indonesia Arief Yahya (Yuningsih,
2019) terdapat model pentahelix pariwisata yaitu Akademisi, Bisnis, Komunitas,
Pemerintahan, dan Media Masa. Namun, bukan berarti munculnya pendamping
membuat peran masyarakat lokal menjadi tidak dominan, pendamping membantu agar
masyarakat mampu mengelola dan menemukan solusi yang tepat untuk masalah yang
dihadapi. Masyarakat lokal tetap sebagai aktor dalam pemberdayaan masyarakat untuk
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat.
Guna mendukung pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan, Pemerintah
Provinsi Bali melalui visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali sudah melakukan berbagai
langkah yang bisa dibagi menjadi dua, yaitu Suprastruktur dan Infrastruktur.
Suprastruktur yaitu peraturan yang dikeluarkan guna melindungi Bali. Sarnpai saat ini
Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Wayan Koster sudah mengeluarkan
Perda dan Pergub. Perda Bali yang khusus membahas kepariwisataan adalah Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029, sedangkan Infrastruktur
meliputi pembangunan yang akan menunjang pemerataan pembangunan di Bali. Ada
berbagai infrastruktur yang dibangun tersebar di Bali seperti Turyapada Tower di
Buleleng, Penataan Kawasan Suci Besakih di Karangasem, Pusat Kebudayaan Bali di
Klungkung, serta tol Mengwitani Gilimanuk dan shortcut menuju Bali Utara. Seluruh
infrastruktur dibangun agar penyebaran peta pariwisata bisa merata, tidak hanya di Bali
Selatan. Senada dengan Wagub Cok Ace, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sandiaga Uno juga menyampaikan bahwa pariwisata berkualitas bukan hanya milik
orang-orang kaya saja. Pariwisata berkualitas harus memberikan dampak kesejahteraan
dan ketenangan bagi masyarakat sekitarnya (Website Resmi Provinsi Bali, 2022).
III. Studi Kasus Penerapan Community Based Tourism di Indonesia
1. Potensi Wilayah Desa Jatiluwih
2. Aktivitas Pariwisata di Desa Jatiluwih
3. Peran Dukungan Pemerintah untuk Desa Jatiluwih
IV. Studi Kasus Penerapan Community Based Tourism di Thailand
1. Potensi Wilayah

18
2. Aktivitas Pariwisata
3. Peran Dukungan Pemerintah

19
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, N. M., Sudarmini, N. M., dan Sukmawati, N. M. R. 2018. Impacts of
Tourism in Ubud Bali Indonesia: a communitybased tourism perspective. Journal
of Physics: Conference Series, 953(1):012078).
Grüning, Björn, et al. 2018. Bioconda: sustainable and comprehensive software
distribution for the life sciences. Nature Methods, 15(7):475–476.
Smith, V. L. (Ed.). 2012. Hosts and guests: The anthropology of tourism. University of
Pennsylvania Press.
Nair, Vikneswaran and Amran Hamzah. 2015. Successful communitybased tourism
approaches for rural destinations. Worldwide Hospitality and Tourism Themes,
7(5):429 – 439.
Nugraha, Y.E. 2020. Analisis Potensi dan Pengembangan Pariwisata Berbasis
Masyarakat di Desa Tulakadi Kawasan Perbatasan Indonesia. Media Wisata,
18(2), 195-209.
Nurhidayati, Sri Endah. 2015. Studi Evaluasi Penerapan Community Based Tourism
(CBT) sebagai Pendukung Agrowisata Berkelanjutan. Jurnal Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, 28(1):1-10.
Putra, I. N. D. (Ed.). 2015. Pariwisata Berbasis Masyarakat Model Bali. Denpasar:
Universitas Udayana dan Buku Arti.
Prabawati, H. J. K. 2013. Faktor-Faktor Keberhasilan Community Based Tourism
Dalam Pengembangan Desa Wisata (Studi Kasus: PNPM Mandiri Pariwisata di
Dataran Tinggi Dieng). Tugas Akhir. Semarang: Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro.
Purwaningrum, Hesti dan Halim Ahmad. 2021. Evaluasi Pengelolaan Wisata Jati
Larangan dan Taman Sengon Melalui Indikator 5A di Dusun Iroyudan.
Kepariwisataan : Jurnal Ilmiah, 15(2): 107 – 129.
Theresia, A., Andini, K. S., Nugraha, P. G., & Mardikanto, T. 2014. Pembangunan
berbasis masyarakat: acuan bagi praktisi, akademisi, dan pemerhati
pengembangan masyarakat. Bandung: Alfabeta.
Weaver, D. B. 2006. Sustainable tourism: Theory and practice. Routledge.
Website Resmi Pemprov Bali. 2022. Wagub Paparkan Pariwisata Bali yang
Berkelanjutan dan Berkualitas. https://www.baliprov.go.id/web/wagub-paparkan-
pariwisata-bali-yang-berkelanjutan-dan-berkualitas-kepada-mahasiswa-ipb-
internasional/ (Diakses pada 1 Desember 2023).

20
21

Anda mungkin juga menyukai