Anda di halaman 1dari 17

MERANCANG FORMAT BARU PARIWISATA

YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si.
2

MERANCANG FORMAT BARU PARIWISATA


YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 29 April 2010
di Yogyakarta

Oleh:
Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si.
3

Merancang Format Baru Pariwisata


yang Menyejahterakan Rakyat

Kesejahteraan rakyat yang meningkat merupakan sasaran


pembangunan setiap negara sekaligus parameter keberhasilan suatu
bangsa menapaki tangga peradaban yang lebih tinggi. Begitu
strategisnya, sehingga banyak negara tidak perlu berpikir panjang
untuk memobilisasi sumberdaya alam, ekonomi, sosial dan budaya
guna merealisasi kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan. Hal inilah
yang kita saksikan ketika pemerintah memfasilitasi proyek
pembangunan pertanian, industri dan jasa setiap tahun yang
diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan
pulalah yang dijadikan alasan untuk membangun pariwisata dengan
bentuk dan strategi yang berbeda-beda (Brohman, 1996).
Pada tahun 1970-an hingga 1980-an negara berkembang
menghadapi kelangkaan modal, investasi, infrastruktur dasar yang
baik, pengangguran massal dan defisit neraca perdagangan luar negeri.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mencari strategi pembangunan
alternatif, termasuk di antaranya pembangunan pariwisata. Pilihan itu
didasari oleh keyakinan, bahwa pembangunan pariwisata mampu
meningkatkan devisa, kesempatan kerja, meredistribusi pendapatan,
menyeimbangkan pembangunan inter-regional, menciptakan
diversifikasi aktivitas ekonomi dan kelembagaan baru (Vorlaufer,
1996). Faktor potensi sumberdaya alam yang besar dan permintaan
pasar wisatawan yang meningkat ikut memantapkan opsi pada
kebijakan tersebut.
Memang sektor pariwisata mencatat perkembangan yang
signifikan sejak tahun 1990-an. Pada tahun 1995 market share devisa
pariwisata internasional yang diraih negara berkembang meningkat
dari 22,8 persen menjadi 30,3 persen tahun 2006. Demikian pula
antara tahun 2000-2006 market share wisatawan internasional di
negara berkembang naik dari 34,1 persen menjadi 39,5 persen
(UNWTO, 2007). Sektor pariwisata Indonesia juga mencatat hasil
yang positif. Dari sisi jumlah wisatawan mancanegara terlihat
peningkatan yang signifikan dari 5,5 juta (1997) menjadi 6,2 juta
(2008), diikuti oleh raihan devisa dari 6,2 milyar US$ menjadi 7,3
milyar US$ pada periode yang sama (UNWTO, 2007).
4

Di balik angka-angka statistik perkembangan tersebut muncul


pertanyaan yang perlu dijawab dengan bukti-bukti empirik. Pertama,
dampak positif seperti apa yang disumbangkan oleh milyaran dolar
devisa tersebut bagi kesejahteraan rakyat? Kedua, apakah mekanisme
distribusi dan redistribusi devisa itu berjalan efektif untuk menaikkan
pendapatan, menjamin keberlanjutan pekerjaan, memperbaiki kondisi
kerja, dan pendidikan rakyat? Ketiga, apakah konstruksi pariwisata
Indonesia didesain untuk mengakomodasi kebutuhan berwisata
masyarakat yang merupakan salah satu bentuk kesejahteraan rakyat?
Penelitian menunjukkan bahwa kinerja kuantitatif pariwisata
hanya mampu menampilkan efek devisa terhadap pendapatan negara
secara makro, sedangkan mekanisme distribusinya tetap menjadi
misteri (Roe, et.al., 2004). Oleh sebab itu diperlukan rancangan ulang
pembangunan pariwisata agar mampu menampilkan formatnya yang
lebih menyejahterakan. Apabila kita ingin menyusun format baru
pariwisata Indonesia di masa depan, maka parameter non-ekonomi
juga harus dijadikan sebagai basis penentuan keberhasilan
pembangunan pariwisata. Parameter tersebut mencakup transformasi
sosial dan budaya, mutu kesehatan, promosi modal sosial dan modal
ekonomi, keterjaminan pekerjaan, pemerataan pendapatan, partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, implementasi, evaluasi dan moni-
toring, distribusi tanggungjawab dan hasil pariwisata dan seterusnya.

Pariwisata Berbasis Komunitas


Pengalaman di sejumlah negara berkembang mengajarkan
bahwa pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
jika dikelola secara cermat dengan menerapkan strategi yang berpihak
pada orang miskin (pro-poor tourism). Strategi ini mencoba
mempertajam orientasi pembangunan pariwisata dengan cara
memperpendek mata-rantai distribusi hasil pariwisata, misalnya
dengan memfasilitasi interaksi langsung antara masyarakat lokal
dengan wisatawan di dalam penyediaan atau pengembangan objek dan
daya tarik wisata (Ashley, et.al., 2001). Caranya adalah dengan
melibatkan masyarakat lokal yang menjamin mereka memahami
proses pengambilan keputusan tentang bentuk kegiatan pariwisata
yang sesuai dengan ketersediaan dan kapasitas sumberdaya setempat
5

(Tosun, 2000; WTO, 2003).Prinsip utamanya adalah bahwa pariwisata


hanya mampu bertahan (sustainable), jika dampaknya pada
peningkatan kesejahteraan dapat secara langsung dirasakan oleh
masyarakat, khususnya mereka yang bermukim di destinasi
pariwisata.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu mengakselerasi
pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas (PBK) atau
community-based tourism. Wujudnya di lapangan adalah pelibatan
masyarakat di dalam pelatihan peningkatan kapasitas, distribusi kredit
usaha, perencanaan bisnis, pengembangan produk dan pemasaran
pariwisata. Jelas bahwa inisiatif dan peran aktif stakeholders sangat
menentukan untuk mengatasi keterbatasan masyarakat lokal, misalnya
dalam hal kompetensi teknis pengelolaan bisnis pariwisata, sehingga
pengembangan PBK tersebut berjalan lebih cepat (Damanik, 2009a).
Pada posisi ini masyarakat memerlukan pendampingan lebih lanjut
untuk merumuskan gagasan dan mengalokasikan sumberdaya bagi
pengembangan pariwisata. Hal ini mencegah masyarakat untuk tidak
terjebak dalam lakon sebagai penonton, tetapi penanggungjawab dan
pelaku aktif dalam pariwisata.
Pengembangan PBK sebagai format baru pariwisata yang
menyejahterakan rakyat memiliki justifikasi teoritik yang kuat.
Sebagai kritik atas bentuk pariwisata massal yang mengandalkan
kekuatan kapital sebagai motor pengeraknya, bentuk PBK
menawarkan alternatif dengan mengutamakan ciri padat karya namun
jauh lebih sesuai (appropriate) dengan kondisi ekonomi dan budaya
masyarakat lokal (Brohman, 1996). Khususnya di destinasi pariwisata
yang masih menghadapi keterbatasan SDM, pengembangan PBK akan
mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja lokal secara efektif dan
meningkatkan efek pengganda pekerjaan. Fleksibilitasnya yang tinggi
terhadap perubahan lingkungan eksternal menjamin PBK tidak mudah
terhempas oleh gejolak krisis.
Pengembangan PBK memiliki sejumlah keunggulan di dalam
menciptakan kesejahteraan rakyat. Pertama, unit-unit usaha pariwisata
pada umumnya berskala kecil-menengah. Hal ini lebih sesuai dengan
kapasitas manajemen masyarakat yang mengelola sumberdaya lokal.
Lagi pula, unit-unit bisnis tersebut akan membuka peluang lebih lebar
bagi komunitas lokal untuk menjadi pelaku utama di dalam bisnis
6

pariwisata. Di samping itu, ia akan meningkatkan efek pengganda


ekonomi bagi masyarakat di destinasi pariwisata dan mencegah ekses
kebocoran devisa ke luar negeri (Brohman, 1996).
Kedua, PBK efektif membuka peluang kerja dan berusaha bagi
warga miskin di destinasi pariwisata. Hal ini sangat strategis,
mengingat akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi sangat
terbatas. Peluang berusaha terutama tercipta pada aktivitas pengadaan
barang dan jasa untuk kebutuhan wisatawan, misalnya penyediaan
bahan makanan lokal, bahan baku bangunan, termasuk tenaga kerja di
berbagai usaha pariwisata (Torresa dan Momsen, 2004.). Penggunaan
tenaga lokal juga memiliki keuntungan lain, yakni efek psikologis
bagi masyarakat dalam bentuk kebanggaan sebagai pemilik
sumberdaya pariwisata setempat, sekaligus alat untuk meredam
potensi kecemburuan sosial (social envy) (Damanik dan Weber,
2006).
Ketiga, karena sangat tergantung pada konservasi alam, PBK
mampu mencegah degradasi mutu lingkungan. PBK mengandalkan
keunikan lingkungan sebagai atraksi pariwisata. Baik komunitas lokal
maupun wisatawan memiliki kepentingan yang relatif sama, yakni
nilai ekonomi dan estetika yang disediakan oleh lingkungan. Oleh
karena itu, pengembangan PBK akan menjadi media yang tepat bagi
komunitas lokal untuk mengkonservasi lingkungan yang kemudian
menjadi daya tarik bagi wisatawan. Ketergantungan komunitas dan
wisatawan pada mutu lingkungan secara otomatis menciptakan
tindakan yang protektif terhadap kelestarian sumberdaya alam. Pada
gilirannya hal ini berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat
dalam bentuk reduksi konflik pemanfaatan sumberdaya alam,
misalnya: ruang dan air, dan sumberdaya buatan berupa infrastruktur
jalan dan fasilitas publik lainnya (Brohman, 1996).
Keempat, PBK membuka ruang lebar bagi harmoni sosial dan
efektif meminimalkan dampak sosial dan budaya yang negatif.
Jelasnya, PBK mendekatkan jarak sosial dan budaya antara komunitas
dengan wisatawan melalui jalinan komunikasi yang intensif, setara
dan saling pengertian, misalnya melalui media pembelajaran bahasa
dan kerajinan lokal. Di banyak destinasi pariwisata yang dikelola
berbasis komunitas, wisatawan menginap di rumah-rumah penduduk,
belajar membatik, menari dan lebih intens menyelami living culture
7

masyarakat setempat. Mereka tidak segan-segan menanggalkan


identitas aslinya, sebagai suatu cara untuk memahami sekaligus
memperoleh pengalaman yang unik dan utuh dari kegiatan wisata
tersebut. Intensitas hubungan antara tuan rumah dengan tamu
melahirkan kepekaan sosial dan budaya yang positif (Vorlaufer,
1996).
Kelima, karena didasarkan pada dukungan sumberdaya lokal,
PBK menjadi media yang tepat untuk memberdayakan masyarakat. Ia
memampukan masyarakat untuk mengorganisasi diri (self-organizing)
dengan lebih solid, mengevaluasi-diri (self-evaluation) secara kritis,
membangun jejaring dengan pihak eksternal, dan meningkatkan
kapasitas manajerial, sehingga pariwisata sebagai entitas bisnis dapat
berkembang secara berkelanjutan di dalam komunitas lokal. PBK di
TN Gunung Halimun dapat ditunjuk sebagai contoh di mana
masyarakat setempat membentuk wadah organisasi swadaya untuk
memfasilitasi penyediaan homestay dan fasilitas pendukung
pariwisata. Mereka berlatih menjadi pemandu wisata, perajin
cinderamata dan penyedia jasa kuliner. Kerjasama dengan pihak luar
dibangun melalui komunikasi yang intensif, sehingga mereka mampu
memahami dan mengelola bisnis pariwisata berskala mikro. Mereka
juga menyepakati aturan main yang menegaskan hak dan
tanggungjawab secara proporsional (WTO, 2003).
Keenam, PBK memosisikan masyarakat sebagai partisipan aktif
dalam pengembangan pariwisata. Peluang sebagai pengelola maupun
pekerja langsung atau pendukung di unit-unit bisnis di dalam PBK
sangat terbuka bagi masyarakat lokal. Faktor ini sangat krusial, sebab
partisipasi merupakan garansi bagi keberlanjutan pembangunan
pariwisata (Sheldon dan Abenoja, 2001. Sebagai contoh, para petani
kecil, khususnya perempuan, yang dalam masa tunggu musim kerja di
pertanian terpaksa menganggur, dapat beralih ke usaha-usaha
pariwisata yang difasilitasi oleh PBK.
Konsep dan praksis PBK yang dipaparkan secara ringkas di atas
memiliki dimensi-dimensi kesejahteraan. Dimensi tersebut, antara
lain, adalah keberpihakan kepada komunitas yang lemah atau miskin,
kesesuaian (appropriateness) desain pariwisata dengan situasi riil
sosial, budaya, ekonomi dan teknologi komunitas setempat, penguatan
kapasitas dan akses ekonomi, serta penghormatan terhadap martabat
8

komunitas lokal. Dimensi seperti inilah yang seharusnya ditonjolkan,


sehingga pariwisata Indonesia memiliki karakter yang ramah dan
menyejahterakan.
Tentu saja pengembangan PBK tidak tanpa kendala. Hambatan
pertama bersumber dari komitmen kerjasama stakeholders yang
rendah. Pengembangan PBK cenderung menuntut proses yang lebih
lama dan hasilnya tidak dapat dipetik dalam waktu singkat. Hal ini
membuat PBK tidak seindah harapan pemangku kepentingan. Sebagai
contoh kecil, tidak banyak warga masyarakat yang mampu berperan
aktif di dalam perencanaan pariwisata, bahkan di tingkat komunitas
lokal sekalipun. Kehadiran mereka di dalam rapat yang difasilitasi
oleh instansi pemerintah atau Ornop tidak otomatis menyuarakan
aspirasi, ekspektasi dan tanggungjawab mereka di dalam
pengembangan PBK. Terlepas dari metode partisipasi yang
digunakan, hambatan subjektif masyarakat yang besar adalah
mispersepsi, bahwa pengembangan pariwisata merupakan
tanggungjawab pemerintah, atau “penuh perdebatan” dan “jauh di luar
jangkauan berpikir masyarakat”. Bagi masyarakat perdesaan
khususnya, keterlibatan dalam perencanaan kurang diminati, karena
kebutuhan paling riil adalah bagaimana pariwisata memberikan
dampak positif pada perubahan kehidupan sehari-hari (Li, 2006).
Hambatan kedua terkait dengan inkonsistensi kebijakan
pemerintah. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap langkah pemerintah
lokal yang dengan sadar mendahulukan perencanaan sebelum program
aksi, saya ingin menggambarkan rendahnya konsistensi kebijakan
pemerintah di sebuah kabupaten di Kawasan Timur Indonesia.
Meskipun tidak merepresentasi gambaran daerah di Indonesia, namun
kasus seperti ini bukanlah hal yang ekstrem.
Pada pertengahan tahun 2005 pemerintah mengalokasikan dana
proyek penyusunan master plan pariwisata dalam jumlah besar. Tidak
jelas logika yang mendasari pengutamaan program ini daripada
program peningkatan gizi, layanan kesehatan dasar, pendidikan dasar
dan ketahanan pangan yang justru merupakan kebutuhan dasar
masyarakat di daerah miskin tersebut. Tidak satu pun LSM mengkritik
program yang ambisius itu. Kemudian satu hingga dua tahun setelah
dokumen master plan tersusun, rekomendasinya tidak ditindaklanjuti.
Alasan klasik adalah keterbatasan APBD yang sudah terdeteksi dini
9

tanpa memakai jasa konsultan. Ironisnya, program-program yang


direkomendasikan tersebut lenyap dari agenda pembangunan daerah,
seiring dengan pergantian rezim penguasa lokal yang mempunyai visi
yang berbeda. Singkatnya, implementasi program PBK yang
diharapkan mampu menginduksi peluang ekonomi bagi masyarakat
tidak pernah terwujud.
Kendala berikutnya adalah kelangkaan modal. PBK dikelola
oleh masyarakat dengan modal yang terbatas dan dengan kelangkaan
jaringan untuk memperoleh kredit dari berbagai lembaga keuangan
formal. Pada umumnya pengusaha kecil di sektor pariwisata tidak
pernah memperoleh kemudahan fasilitas kredit untuk menjalankan
roda kegiatannya (Saville, 2001). Fakta ini seakan mempertegas
kontradiksi yang serius dalam kebijakan pariwisata, sebab di satu sisi
pariwisata dijadikan alat untuk memperluas peluang kerja dan
berusaha, tetapi di sisi lain skema-skema pembiayaan untuk
memudahkan pencapaian sasaran itu tidak disediakan secara memadai.
Padahal, sia-sia dan mustahil mengharapkan pariwisata mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat, jika dukungan lembaga keuangan
bagi pengusaha kecil-menengah tidak tersedia (Braman dan
Fundación Acción Amazonia, 2001; Nicanor, 2001).

Budaya Berwisata Sebagai Parameter Kesejahteraan


Selain PBK, terbentuknya budaya berwisata juga perlu dijadikan
sebagai parameter keberhasilan pembangunan pariwisata di masa
depan. Tanpa dukungan budaya berwisata yang kuat, maka pariwisata
Indonesia akan tetap menjadi subordinasi pariwisata internasional.
Budaya berwisata saya artikan sebagai state of mind dan pola
tindakan di dalam kegiatan pariwisata. Jelasnya, budaya berwisata
menunjuk pada pembiasaan diri untuk aktif berwisata guna
memperoleh pencerahan, penyegaran dan pengayaan pengalaman
(atau peningkatan mutu) hidup. Budaya berwisata berbeda dengan
“budaya wisata” yang dimaknai sebagai sikap mental yang sesuai
dengan pariwisata dan mampu menyesuaikan diri dengan wisatawan
dan tuntutan-tuntutannya (Picard, 2006). Budaya berwisata
memosisikan orang menjadi wisatawan (guest), sedangkan “budaya
10

wisata” menepatkan orang menjadi tuan rumah (host) yang baik. Di


dalam praktek, hal terakhir ini mendorong masyarakat untuk terus
menjadi pelayan yang baik bagi wisatawan dengan sedikit mencari
pengalaman sebagai wisatawan. Jika demikian halnya, ada bahaya
yang patut dikhawatirkan, yakni potensi marjinalisasi masyarakat,
sekaligus memosisikan mereka sebagai subordinasi kekuasaan
wisatawan.
Budaya berwisata berbeda-beda antar-masyarakat. Ia
menyempurnakan bentuk sejalan dengan tingkat industrialisasi yang
menciptakan pembagian kerja dan pembagian waktu yang tegas,
peningkatan teknologi transportasi, munculnya kelas menengah baru
dan runtuhnya sistem feodalisme (Schlenke dan Stewig, 1983). Proses
pembentukan budaya berwisata menguat dari kaum aristokrat ke kelas
atas kaum pekerja dan diyakini sebagai salah satu tonggak industri
pariwisata di negara maju.
Sayang sekali, sejarah pariwisata Indonesia adalah kisah-kisah
sunyi tentang kebiasaan kaum elite kolonial melakukan perjalanan
individual untuk memburu segala yang berlabel “tradisional”, mulai
dari Claire Holt yang menjelajahi Sulawesi Selatan, Sieburgh yang
menelusuri Jawa Tengah, hingga Thomas Stamford Raffles yang
menjelajahi hampir seluruh daratan Pulau Jawa dan lalu menghasilkan
karya monumental, The History of Java (Lombard, 2005). Berwisata,
dalam arti melakukan perjalanan untuk kegiatan rekreasi, belum
banyak terekam di dalam sejarah masyarakat kita, kecuali potret
mereka sebagai pelayan. Budaya berwisata yang samar itu diperkeruh
oleh pemahaman keliru terhadap pariwisata yang disepadankan
dengan pelesiran, mabuk dan bersahabat dengan maksiat.
Di sisi lain, lambatnya formasi budaya berwisata sangat terkait
dengan kebijakan negara. Kebijakan pembangunan pariwisata,
sebagaimana halnya di sektor strategis lainnya, dirumuskan dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan ekonometrik. Hal ini dapat
dilacak dengan melihat sasaran utama pembangunan pariwisata yang
terfokus peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan raihan
devisa. Klaim keberhasilan pembangunan pariwisata hanya dibuktikan
dengan angka-angka statistik atas kedua parameter itu. Selanjutnya,
bayang-bayang kegagalan pun sering menghantui pemerintah ketika
kurva statistik menurun dan angka sasaran meleset.
11

Implikasi kebijakan yang biased itu adalah munculnya program-


program pengembangan pariwisata yang diarahkan secara total untuk
memenuhi permintaan wisatawan internasional (Damanik, 2005).
Pengembangan beragam fasilitas atraksi, aksesibilitas dan amenitas,
atas nama standarisasi dan internasionalisasi, dilakukan mengikuti
taste wisatawan massal mancanegara, antara lain dalam bentuk
penyediaan resort-resort eksklusif di berbagai destinasi pariwisata.
Dalam konteks Bali, misalnya, rencana induk pengembangan
pariwisata disusun berdasarkan pertimbangan pengembangan
pariwisata semata, yakni bagaimana mengantisipasi perkembangan
kunjungan wisatawan kelak, bukan berbasis kebutuhan pengembangan
Pulau Dewata itu (Picard, 1990).
Pembangunan pariwisata yang berorientasi pada wisatawan
internasional (outward looking) sangat mengingkari kenyataan, bahwa
masyarakat memiliki kebutuhan berwisata yang berbeda dengan
kebutuhan wisatawan mancanegara dan mampu memberikan
kontribusi yang besar dalam jangka panjang bagi kemajuan industri
pariwisata nasional. Kebutuhan berwisata warganegara inilah yang
jarang dieksplorasi secara cermat dan diakomodasi di dalam kebijakan
pembangunan pariwisata, sehingga yang tampil kemudian adalah
wajah pariwisata yang samar. Konstruksi pariwisata Indonesia yang
dibangun di atas fondasi industri pariwisata internasional seperti
sekarang jelas tidak menguntungkan, karena sangat rentan menjadi
alat kapitalisme global di dalam negeri dan akan mengingkari peran-
peran strategis industri pariwisata nasional bagi pembangunan bangsa
(Damanik dan Kusworo, 2002).
Memang pemerintah berupaya untuk mendorong masyarakat
menjadi pelaku wisata aktif. Pada masa Orde Baru kampanye
“memasyarakatkan pariwisata dan memariwisatakan masyarakat”
(Picard, 2006) bergema cukup kuat. Beberapa tahun terakhir,
pemerintah juga mengampanyekan budaya berwisata dengan tema
“Ayo Tamasya” dan “Jelajahi Nusantara”. Terlepas dari political will
yang kuat, secara umum upaya tersebut belum membawa hasil yang
optimal. Hal ini terjadi sebab tujuan untuk membentuk budaya
berwisata masyarakat tidak didukung oleh program yang
berkelanjutan. Kecuali kebijakan perpanjangan libur akhir pekan,
12

masih sedikit program yang ditujukan untuk memobilisasi kegiatan


berwisata masyarakat. Pengembangan fasilitas atraksi pariwisata yang
mengakomodasi kebutuhan pasar wisatawan domestik jarang
menempati skala prioritas. Akibatnya muncul kesan yang sulit
diingkari, yakni bahwa kampanye persuasif tersebut dilakukan
terutama karena dua fakta berikut ini: pertama, rezim pariwisata
Indonesia gagal mencapai target kunjungan wisatawan mancanegara
akibat berbagai krisis ekonomi dan politik (Scheyvens, 2007;
Damanik, 2009b); kedua, semakin banyaknya orang Indonesia yang
berwisata ke luar negeri yang dikhawatirkan akan meningkatkan
kebocoran devisa (leakages). Sekadar gambaran, tahun 1994
diperkirakan sekitar 3 juta orang Indonesia berwisata ke luar negeri,
sedangkan jumlah wisatawan asing ke dalam negeri “hanya” 4 juta
orang (March, 1997).
Oleh sebab itu pengembangan pariwisata yang menyejahterakan
rakyat harus diwujudkan dengan cara memacu pembentukan budaya
berwisata masyarakat melalui penciptaan berbagai saluran distribusi
dan redistribusi sumberdaya pariwisata. Pembudayaan wisata berarti
mendorong masyarakat untuk melakukan beragam aktivitas wisata
secara arif (to be a good tourist), bukan menjadikan mereka menjadi
penyedia jasa bagi wisatawan. Pariwisata haruslah dipahami bukan
sebagai apa yang dikritik oleh seorang pakar pariwisata, yakni aksi
pamer di lembah kemelaratan kaum miskin (Krippendorf, 1984), atau
sepenggal bentuk imperialisme baru di negara berkembang (Nash,
1995), melainkan kegiatan pencerahan dan pembelajaran tentang
bagaimana orang memahami dirinya di hadapan orang lain;
bagaimana orang menikmati perbedaan dan keberagaman (Urry,
1990); bagaimana orang mengisi ruas-ruas hidup dengan pengalaman
berinteraksi dengan alam dan lingkungan sosial budaya yang penuh
keunikan dan keindahan.
Pertanyaan yang coba dijawab dalam uraian berikut adalah
bagaimana budaya berwisata yang kuat (sebagai bagian dari parameter
kesejahteraan) dapat diinisiasi di dalam program-program
pembangunan? Bagaimana pencapaian target pembangunan pariwisata
dalam jangka panjang dapat diukur dari semakin bertambahnya
jumlah warga negara yang berwisata dan semakin meningkatnya mutu
pengalaman wisata mereka?
13

Sekali lagi saya ingin mengawalinya dengan kritik terhadap


kebijakan dan program pariwisata yang berat-sebelah ke penyediaan
infrastruktur fisik yang berbasis kepentingan pasar wisatawan global,
tetapi mengabaikan kebutuhan-kebutuhan berwisata masyarakat lokal.
Dikatakan demikian, sebab pengembangan destinasi pariwisata lebih
banyak digerakkan oleh investasi-investasi besar yang tidak berlanjut
dan – ini yang juga sangat penting – tidak diikuti oleh program
pembentukan pasar (market formation) wisatawan domestik. Benar
bahwa infrastruktur memudahkan aktivitas wisata (Hennig, 1999),
tetapi penyediaan infrastruktur tidak otomatis membentuk pasar
wisatawan (baca: budaya berwisata masyarakat), jika proses dan
konstruksinya tidak sesuai dengan kebutuhan wisatawan lokal.
Oleh sebab itu penciptaan budaya berwisata dalam arti
membentuk pasar domestik harus dilakukan secara paralel dengan
pengembangan infrastruktur fisik pariwisata. Salah satu strategi yang
dapat ditempuh adalah mobilisasi kelompok-kelompok masyarakat
untuk melakukan kegiatan wisata. Bentuk programnya cukup
bervariasi. Salah satu adalah memfasilitasi kegiatan wisata masyarakat
secara selektif untuk mengunjungi atraksi-atraksi pariwisata setempat
atau lintas-daerah. Di sini pemerintah setempat dapat menjalankan
fungsi-fungsi fasilitasi dengan baik. Contoh sederhana, siswa-siswa
SD, SLTP, SLTA yang memiliki prestasi akademik dan
ekstrakurikuler, misalnya ranking 1-3 atau juara olahraga dan
kesenian, difasilitasi secara rutin untuk mengunjungi objek-objek
wisata setempat. Kalau diasumsikan di setiap sekolah terdapat rata-
rata 5 kelas dan di satu kabupaten atau kota sebanyak 50 unit SD
sampai SLTA, maka jumlah siswa yang perlu difasilitasi untuk
berwisata adalah 750 orang. Jika kegiatan ini berlangsung setiap
semester, maka jumlahnya menjadi 1.500 orang. Apabila angka ini
dikalikan dengan 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia (per Januari
2009), maka akan tercipta sedikitnya 745.500 orang wisatawan
domestik yang potensial. Jika diasumsikan setiap orang membutuhkan
biaya perjalanan rata-rata sebesar Rp 150 ribu, maka total anggaran
untuk program ini adalah Rp 111,8 milyar, atau Rp 225
juta/tahun/kabupaten & kota. Jumlah ini jelas tidak sebanding dengan,
14

misalnya, biaya studi banding para wakil rakyat! Inilah salah satu
program pariwisata daerah yang perlu dirancang untuk menciptakan
pasar wisatawan.
Untuk mendukung strategi itu, langkah berikutnya adalah
promosi destinasi pariwisata alternatif di dalam negeri. Kepada
wisatawan potensial ini perlu diberikan informasi akurat tentang daya
tarik berbagai destinasi pariwisata di daerah. Melalui promosi yang
berlanjut, penduduk Jawa dan Bali perlu diajak berwisata ke daerah
lain, penduduk Kalimantan perlu diarahkan mengunjungi objek wisata
di Sumatera, dan seterusnya. Promosi seperti ini perlu diperbanyak
untuk memacu perkembangan pasar wisatawan domestik dan
distribusi destinasi pariwisata nasional. Dengan demikian, di dalam
pengembangan pariwisata nasional, pemerintah tidak terlalu
mengistimewakan pasar wisatawan internasional dan kemudian
cenderung menganaktirikan pasar wisatawan domestik (Scheyvens,
2007).
Keuntungan pragmatis pembudayaan wisata sebagai suatu target
pembangunan pariwisata Indonesia adalah terbentuknya pasar
wisatawan lokal yang kuat dan hasilnya akan dipetik 5-10 tahun ke
depan. Pasar domestik yang dimaksud adalah mereka yang benar-
benar menjadikan kegiatan wisata sebagai pilihan utama perjalanan
dalam negeri yang pada gilirannya menjadi fondasi yang kuat bagi
pertumbuhan industri pariwisata nasional. Pasar domestik yang besar
akan memobilisasi sumberdaya pariwisata yang lain, termasuk
akselerasi dan distribusi infrastruktur fisik pariwisata. Hasil akhirnya
adalah terlepasnya ketergantungan pariwisata nasional pada pasar
wisatawan mancanegara.
Alasan berikutnya adalah bahwa kegiatan pariwisata terbukti
mampu memobilisasi kekuatan-kekuatan ekonomi dalam skala dan
magnitude yang besar. Andaikan dalam 5 tahun ke depan 25 persen
saja dari jumlah penduduk negeri ini benar-benar menjadi traveller
dalam negeri, maka implikasi praktisnya pada kesejahteraan melalui
perubahan-perubahan ekonomi, budaya dan sosial sangat besar.
Merekalah agen-agen pencerahan dan perubahan sosial yang efektif
15

dan memiliki kemampuan berempati tinggi pada pluralitas yang


kemudian menularkan pengalamannya tentang keindahan dan
kekayaan negeri ini kepada saudara, tetangga, rekan kerja dan
komunitas lokalnya.

Penutup
Paparan di atas setidaknya menantang para perencana untuk
menyusun format baru pembangunan pariwisata di masa depan. Ada
dua strategi inti yang ditawarkan, yakni pengembangan pariwisata
berbasis komunitas secara konsisten dan fasilitasi paket-paket wisata
bagi kelompok-kelompok strategis guna membentuk pasar wisatawan
dan budaya berwisata yang kuat. Dengan demikian pariwisata
nasional mampu menjadi tuan di negerinya. Di masa depan kita dapat
menyaksikan akomodasi berskala kecil-menengah berkembang di
berbagai destinasi pariwisata nasional, di mana anak negeri ini bekerja
tidak hanya sebagai pembersih kamar hotel, pelayan hotel atau
manajernya, tetapi juga menjadi manusia penikmat aktivitas wisata
yang cerdas dan sejahtera.
16

Daftar Pustaka

Ashley, C, Roe, D dan Goodwin, H., 2001. “Pro-Poor Tourism


Strategies: Making Tourism Work For The Poor: A review of
experience”. PPT Report No. 1. ODI, Nottingham.
Braman, S dan FA Amazonia, 2001. “Practical Strategies for Pro-Poor
Tourism: TROPIC Ecological Adventures – Ecuador”. PPT-
Working Paper No. 6, April.
Brohman, 1996. “New Directions in Tourism for Third World
Dvelopment”, Ann. of Tour. Res., 23(1), hal. 43-70.
Damanik, J dan Kusworo, H. A., 2002. “Pengembangan SDM
Pariwisata Daerah: Agenda Kebijakan untuk Pembuat
Kebijakan”, Jurnal ISIP, 6(1), Juli.
Damanik, J, 2005. “Kebijakan Publik dan Praksis Democratic
Governance Di Sektor Pariwisata”, Jurnal ISIP, 8(2), Juli.
Damanik, J dan Weber H., 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori
ke Aplikasi. Yogyakarta, Penerbit Andi.
Damanik, J., 2009a. “Isu-Isu Krusial Dalam Pengelolaan Desa Wisata
Dewasa Ini”, Jurnal Kepariwis. Ind., 4(2), Juni.
Damanik, J., 2009b. “Managing the Uncertainty of the Indonesian
Tourism Sustainability”, Proceed. Int’l Seminar on Sust. Tour.
Manag., Maejo University, Chiang Mai.
Hennig, C., 1999. Reiselust: Touristen, Tourismus und Urlaubskultur.
Frankfurt/Leipzig.
Krippendorf, J., 1984. Die Ferienmenschen: Für ein neues
Verständnis von Freizeit und Reisen. Zürich: Orell Füssi.
Li, W.J., 2006. “Community Decision Making: Participation in
Development”, Ann. of Tour. Res., 33(1), hal. 132–143.
Lombard, D., 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya (Batas-Batas
Pembaratan). Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
March, R. 1997. “Diversity in Asian Outbound Travel Industries”,
Int’l Jour. of Hosp. Manag., 16(2), hal. 23-31.
Nash, D., 1995. “Tourism as a Form of Imperialism”, dalam V.L.
Smith (ed), Host and Guest: The Anthropology of Tourism.
Philadelpia, Univ. of Pennsylvania Press, hal. 37-54.
Picard, M., 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.
Jakarta, PT. Gramedia.
17

Picard, M., 1990. “Kebalian Orang Bali: Tourism and the Uses of
‘Balinese Culture’ in New Order Indonesia”, Rev. of Indo. and
Malay. Affairs, 24, hal. 1-38.
Roe, D; Ashley, C; Page, S and Meyer, D., 2004. “Tourism and the
Poor: Analyzing and Interpreting Tourism Statistics from a
Poverty Perspective”. PPT Partnership, London.
Saville, N. M, 2001. Practical Strategies for Pro-Poor Tourism: case
study of pro-poor tourism and SNV in Humla District, West
Nepal. PPT-Working Paper No. 3, April.
Schlenke, U dan Stewig, R., 1983. “Endogener Tourismus als
Grandmesser des Industrialisierungsprozesses in Industrie- und
Entwicklungslaendern”, Erdkunde, 37, hal. 137-145.
Scheyvens, R., 2007. “Poor cousins no more: valuing the development
potential of domestic and diaspora tourism”, Progr. in Dev.
Stud. 7(4), hal. 307–325
Sheldon, P., and Abenoja, T., 2001. “Resident Attitudes in a Mature
Destination: the Case of Waikiki”, Tour. Manag., 22, hal. 435–
443.
Torresa, R dan Momsen J.H, 2004. “Challenges and potential for
linking tourism and agriculture to achieve pro-poor tourism
objectives”, Progr. in Dev. Stud., 4(4), hal. 294–318.
Tosun, C., 2000. “Limits to Community Participation in the Tourism
Development Process in Developing Countries”, Tour. Manag.,
21, hal. 613–633.
Urry, J. (1990) The Tourist Gaze. London, Sage.
Vorlaufer, K., 1996. Tourismus in Entwicklungsländern:
Moeglichkeiten und Grenzen einer nachhaltigen Entwicklung
durch Fremdenverkehr. Darmstadt, Buchgesellschaft.
UNWTO, 2007. World Tourism Barometer, Vol. 5 (October).
WTO, 2003. Development of Community-Based Tourism.
Unpublished Report. Madrid: WTO.

Anda mungkin juga menyukai