Anda di halaman 1dari 109

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini pembangunan segala sektor di dunia global menerapkan

prinsip yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, sesuai dengan

“Sustainable Development Goals” (SDG’s)” yang telah ditetapkan pada Rio

Summit +20 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sustainable

development (pembangunan berkelanjutan) pada dasarnya terdiri dari tiga pilar

pembangunan yang harus dilaksanakan secara berimbang, yaitu ekonomi,

masyarakat dan lingkungan. Salah satu sector yang berpotensi untuk

mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah sector pariwisata.

UNWTO sebagai bagian dari PBB telah menetapkan bahwa

pembangunan kepariwisataan adalah pembangunan yang bertanggung jawab

dan berkelanjutan (Sustainable and Responsible Tourism). Peta jalan (road

map) untuk mewujudkan pembangunan kepariwisataan bertanggung jawab

dan berkelanjutan dilakukan melalui “Kode Etik Kepariwisataan Dunia”

(Global Code of Ethics for Tourism). Sekjen UNWTO Dr. Taleb Rifai dalam

pidatonya pada World Tourism Day 2015 mengatakan bahwa:

“Every time we travel, for whatever reason, we are part of a global


movement; a movement that has the power to drive inclusive development,
create jobs and build the sustainable societies we want for our future; a
movement that builds mutual understanding and can help us safeguard our
shared natural and cultural heritage.”

Pembangunan kepariwisataan adalah bagian integral dari

Pembangunan Nasional. oleh karenanya pembangunan kepariwisataan

1
merupakan bagian dari cita-cita luhur bangsa Indonesia sesuai Alinea Kedua

dan Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun cita-

cita pembangunan kepariwisataan Indonesia adalah terwujudnya

kepariwisataan yang dapat: menjaga kebebasan, kemandirian, keutuhan

bangsa dan wilayah; memupuk rasa cinta tanah air, persatuan, kebhinekaan,

jatidiri bangsa, dan meningkatkan persahabatan antar suku/antar bangsa dan

perdamaian.

Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah

menyerap cita-cita kepariwisataan Indonesia serta mencakup konsep dasar

“pembangunan berkelanjutan” dan “kepariwisataan bertanggung jawab dan

berkelanjutan” dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan sebagai

satu kesatuan. Untuk dapat mewujudkan tujuan penyelenggaraan

kepariwisataan serta memegang teguh nilai-nilai yang dikandung dalam

prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan, maka ditetapkan “norma”

sebagai penerapan nilai yang dikandung dalam prinsip penyelenggaraan

kepariwisataan, yaitu:

(1) Kepariwisataan berbasis budaya, kegiatan kepariwisataan di


Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa, haruslah selalu berlandaskan akan nilai-nilai agama, budaya,
adat-istiadat dan tradisi bangsa Indonesia. (2) Kepariwisataan berbasis
masyarakat, tujuan utama mensejahterakan masyarakat setempat dengan
memberdayakan, peran serta langsung serta kepemilikan secara
proporsionalitas untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat.
(3) Kepariwisataan berbasis lingkungan, alam mempunyai kedudukan
yang sama sebagai ciptaan Tuhan, menggunakan alam dan sekaligus
melestarikannya agar dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan
datang.

(www.kemenpar.go.id, diunduh tanggal 15 September 2016)

2
Salah satu implementasi dari pembangunan berkelanjutan dibidang

pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan

adalah pembangunan desa wisata karena mengandung tiga prinsip yang telah

disebutkan yaitu kepariwisataan berbasis budaya, masyarakat dan lingkungan.

Inskeep (1991:166), memberikan definisi desa wisata sebagai wisata pedesaan

dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana

tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan

pedesaan dan lingkungan setempat. Faktor utama desa wisata terwujud dalam

gaya hidup dan kualitas hidup masyarakat lokal. Kehidupan dan keaslian desa

wisata yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah

pedesaan tersebut, misalnya ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian,

bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah dan budaya, serta pengalaman yang

unik khas daerah setempat. Dengan demikian, suatu desa wisata harus terus

dan secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas daerah.

Pengembangan desa wisata berarti pengembangan pariwisata yang

melibatkan sumber daya masyarakat yang ada di kawasan wisata dan

sekitarnya. Saat ini, desa wisata di Indonesia berjumlah kurang lebih 980 desa

wisata. (www.Kompasiana.com, diunduh tanggal 15 september 2016) Dengan

pengembangan desa wisata, maka partisipasi masyarakat di sekitarnya

diberdayakan semaksimal mungkin. Desa wisata dapat menjadi perwakilan

dari suatu daerah dalam mempromosikan budaya, alam, sejarah dan atraksi

seni. Dampak yang akan terjadi adalah wisatawan terus mengalir datang dan

pergi ke desa-desa wisata yang tersebar di seluruh Indonesia. Di Bali sendiri

3
saat ini terdapat 42 Desa Wisata yang tersebar di sembilan Kabupaten dan

Kota. Melihat segala dampak positif yang ditimbulkan dari adanya desa

wisata, Dinas Pariwisata Bali menargetkan 100 Desa Wisata di Tahun 2018.

Desa-desa ini diharapkan dapat membantu perekonomian, sehingga

meminimalkan arus urbanisasi. Selain itu juga membantu mengentaskan

kemiskinan. (www.beritagar.id, diunduh tanggal 15 September 2016)

Salah satu desa wisata yang baru dikembangkan adalah Desa Nyambu,

Kediri, Tabanan. Pada tanggal 29 April 2016, Bupati Tabanan Ni Putu Eka

Wiryastuti meresmikan Desa Nyambu sebagai Desa Wisata Ekologi (DWE).

Peresmian tersebut merupakan implementasi dari program Langgeng

EcoTourism yang dicanangkan bersama oleh PT. Langgeng Kreasi Jayaprima

(LKJ), British Council, dan Yayasan Wisnu. Tujuan dari program ini adalah

mengoptimalkan kapasitas masyarakat agar dapat mengelola usaha pariwisata

dan meningkatkan pendapatan mereka. Cara yang ditempuh adalah melalui

pengenalan potensi desa, kekayaan alam, potensi budaya, dan seni yang bisa

dikelola masyarakat desa setempat. Dalam proses pembinaan, British Council

berperan dalam peningkatan pengetahuan warga tentang bahasa Inggris.

Selain itu, lembaga ini juga berkontribusi dalam pengembangan konsep

ekowisata berbasis komunitas.

Saat ini, Desa nyambu memiliki 67 pura yang menyebar di area seluas

380 hektar. Selain mampu mempertahankan sebagian besar area pertanian,

desa tersebut juga masih menyimpan 22 mata air. Letaknya yang dekat dengan

kota menimbulkan kekhawatiran akan keadaan lahan desa yang rawan

4
dialihfungsikan sebagai pelengkap infrastruktur hotel dan tempat hiburan,

maka dari itu dengan dijadikan desa wisata diharapkan dapat meminimalkan

alihfungsi lahan. Setelah binaan dan pelatihan selesai dan masyarakatnya

sudah siap, maka semua kegiatan ecotourism ini akan dikelola oleh warga

secara swadaya. Adapun kegiatan wisata yang ditawarkan di Desa Nyambu,

antara lain adalah kegiatan susur sawah, susur sungai, susur budaya, dan

kegiatan melukis. (www.travel.kompas.com, diunduh tanggal 17 September

2016).

Jauh sebelum DWE Nyambu diresmikan, pada bulan Oktober 2014

para tokoh masyarakat serta perbekel desa mulai berinisiasi untuk

melestarikan kekayaan alam, budaya serta sejarah di Desa Nyambu. Dengan

melaksanakan beberapa kali pertemuan, para perebekel desa serta tokoh

masyarakat meyepakati untuk menjadikan Desa Nyambu sebagai desa wisata

dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat desa. Selanjutnya para

inisiator dan perbekel desa mengadakan program-program pelatihan dan

sosialisasi terkait dengan pelayanan pariwisata yang akan mereka berikan

kepada wisatawan dibantu oleh lembaga-lembaga fasilitator yaitu PT.

Langgeng Kreasi Jaya Prima, British Council, serta Yayasan Wisnu. Pelatihan

tersebut terdiri dari guiding, tata hidangan, housekeeping serta kecakapan

dalam berbahasa Inggris. Dari enam banjar diwajibkan mengirim masing-

masing lima orang perwakilan untuk pelatihan manajemen desa wiata, namun

sampai desa tersebut diresmikan, hanya tersisa tujuh orang yang bersedia

untuk mengelola DWE Nyambu. Hal tersebut menunjukan kurangnya

5
antusiasme masyarakat lokal dalam membangun desanya. Rendahnya

dukungan masyarakat juga terlihat dari kurangnya kesadaran masyarakat atas

kegiatan pariwisata yang sedang berlangsung, serta kurangnya kesadaran akan

kebersihan lingkungan desanya. Hal tersebut sangat kontras dengan tema

yang diusung, yaitu ekologis.

Conyers (1991) menjelaskan tiga alasan utama mengapa partisipasi

masyarakat mempunyai sifat sangat penting. Pertama, partisipasi masyarakat

merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,

kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program

pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih

mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan

dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih

mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki

terhadap proyek tersebut. Ketiga, timbul anggapan bahwa merupakan suatu

hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat

mereka sendiri. Dapat dirasakan bahwa mereka pun mempunyai hak untuk

turut memberikan saran dalam menentukan jenis pembangunan yang akan

dilaksanakan. Namun seiring berjalannya waktu, beberapa masyarakat yang

memang aktif dalam memberikan pelayanan jasa pariwisata sudah merasa

mendapatkan manfaat langsung dari segi ekonomi maupun sosial walaupun

masih dalam jumlah kecil, hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk

bertambahnya masyarakat yang ingin aktif terlibat dalam kegiatan usaha DWE

Nyambu.

6
Desa Nyambu bercita-cita menjadi Desa Wisata Percontohan nantinya.

Hal tersebut akan terwujud jika seluruh masyarakat yang ada di dalamnya ikut

aktif berpartisipasi dalam mengembangkan DWE Nyambu. Partisipasi lokal

sangat penting untuk keberhasilan industri pariwisata karena mereka dapat

dianggap sebagai salah satu produk pariwisata dan masukan mereka dalam

proses pengambilan keputusan pembangunan pariwisata harus menjadi titik

fokus (Choi & Sirikaya, 2005). Hal tersebut juga tentunya berlaku di Desa

Wisata Ekologis Nyambu. Saat ini sebagian kecil dari seluruh mayarakat di

Desa Nyambu sudah ikut berpartisipasi dalam pengembangan DWE Nyambu,

seperti mengidentifikasi potensi pariwisata yang ada, aktif dalam pengelolaan

DWE, memasarkan DWE, mengusahakan untuk adanya pelatihan yang dapat

meningkatkan keterampilan masayrakat lokal, serta berperan aktif mrnjadi

pelaku usaha wisata seperti menyediakan homestay, menjual souvenir,

menyiapkan kuliner, dll. Namun sayangnya sebagian besar lainnya masih

enggan berperan aktif dalam pengembangan desa Nyambu sebagai Desa

Wisata. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa

yang menghambat partisipasi dari masyarakat lokal di DWE Nyambu dalam

pengembangan Desa Wisata di wilayahnya. Hasil yang didapat nanti

diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengelola DWE Nyambu untuk

memperbaiki pendekatan yang dilakukan pada masyarakat, sehingga seluruh

masyarakat lokal yang ada di dalamnya dapat merasakan dampak dari ada nya

kegiatan pariwisata di desa mereka.

1.2 Rumusan Masalah

7
Dari latar belakang di atas, maka masalah pokok yang akan diteliti dalam

penilitian ini adalah jenis hambatan apa yang dialami masyarakat lokal dalam

berpartisipasi dalam pengembangan DWE Nyambu?

1.3 Batasan Masalah

Masalah dibatasi pada pembahasan jenis hambatan yang ditemukan

oleh Tosun (2000) yaitu hambatan operasional, hambatan struktural, dan

hambatan budaya.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

menganalisis jenis hambatan apa yang dialami masyarakat lokal dalam

berpartisipasi dalam Pengembangan DWE Nyambu.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini merupakan salah satu pemenuhan syarat bagi

mahasaiswa dalam menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Pariwisata

Nusa Dua Bali. Selain itu, penelitian ini merupakan wadah aplikasi teori

dan praktik perkuliahan yang diterima mahasiswa.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Desa Nyambu

8
dalam menunjang dan mempertahankan keberlangsungan pariwisata di

Desa tersebut.

3. Bagi STP Nusa Dua Bali

Penelitian ini merupakan salah satu bentuk pengabdian Sekolah

Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali kepada masyarakat dibidang pariwisata

dalam menunjang visinya sebagai ‘center of excellent’ serta sebagai bahan

masukan dan referensi penelitian tentang topik Hambatan Partisipasi

Masyarakat Lokal dalam Pengembangam Desa Wisata Ekologi Nyambu di

Kabupaten Tabanan.

BAB II

STUDI PUSTAKA

9
2.1 Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan Hambatan

Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengembangan Desa Wisata yang

dijadikan sebagai referensi, diantaranya:

Penelitian dengan judul ”Barriers To Community Participation in

Tourism Development: Empirical Evidenvce From a rural Destination”

yang ditulis oleh Ravinder Dogra dan Anil gupta pada Tahun 2012.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hambatan patisipasi masyarakat

di Desa Wisata di Sudh-Mahadeva, Jammu-Kashmir. Penelitian yang

digunakan merupakan penelitian kuantitatif dengan menyebarkan

kuesioner sebanyak 47 responden, dengan menggunakan skala Likert 5

point. Hasil yang ditemukan adalah terdapat tiga hambatan yang

disebutkan Tosun (2000) yaitu hambatan operasional, hambatan structural,

dan hambatan budaya. Keterbatasan dari penelitian ini adalah sedikitnya

jumlah responden karena kebanyakan penduduk mengalami buta huruf

dan tidak mampu menginterpretasikan pertanyaan yang diajukan dalam

kuesioner. Yang menjadi pembeda hanya skala likert yang digunakan oleh

penulis yaitu skala likert dengan 4 point.

Penelitian yang kedua adalah berjudul “Barriers To Community

Participation in Tourism Development in Island Destination, Tioman

Island, Malaysia” pada tahun 2013 yang ditulis oleh Noor Azah Mustapha

dkk. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan melibatkan

345 responden dari beberapa Desa yang berada di Pulau Tioman.

10
Kuesioner yang disebarkan dibagi menjadi dua bagian, yang pertama

adalah menanyakan tentang karakteristik responden dan yang kedua

adalah mengenai hambatan yang dialami masyarakat lokal sesuai dengan

teori Tosun (2000), kuesioner juga menggunakan lima nilai dari skala

Likert, menggunakan bahasa nasional yaitu Bahasa Melayu. Sebelum

disebarkan, dilakukan uji validitas dan reliabilitas kepada 30 responden,

dan kuesioner tersebut dinyatakan valid. Hasil dari penelitian ini adalah

terdapat tiga hambatan yaitu hambatan structural, operasional dan budaya

dalam pengembangan pariwisata di Pulau Tioman. Hambatan terbesar

adalah hambatan budaya yaitu masih apatisnya masyarakat lokal terhadap

pengembangan pariwisata didaerahnya, namun ditemukan juga bahwa

cuaca adalah faktor eksternal terbesar bagi masyarakat lokal untuk

berpartisipasi karena memang faktor geografis yang membuat antar desa

terpisah. Selanjutnya dalam penelitian ini juga mengklasifikasikan bahwa

hambatan operasional dan struktural merupakan faktor eksternal

hambatan, dan hambatan budaya merukapan faktor internal dari hambatan

partisipasi masyarakat. Penulis juga menggunakan teori Tosun (2000)

sebagai acuan dalam membuat kuesioner dan menambahkan temuan yang

ada pada penelitian ini yaitu adanya hubungan antara faktor dan hambatan

partisipasi masyarakat.Yang menjadi pembeda dengan penelitian penulis

adalah penulis hanya mencari hambatan yang terjadi di lokus penelitian

dan tidak mencari hubungan antara variable lain.

11
Penelitian ketiga berjudul “An examination of the barriers to local

community participation in the dive tourism industry in Flores, Indonesia”

yang ditulis oleh Helen Klimmek pada tahun 2013 sebagai disertasi.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dampak ekonomi, sosial

budaya, dan lingkungan dari adanya pariwisata menyelam (dive tourism)

di Flores, mengidentifikasi hambatan dari partisipasi masyarakat lokal

dan peran stakeholders dalam mengatasi hambatan tersebut. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif intensif dengan semi-structured interview.

Sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan teknik

pengambilan sampling snowball. Jumlah responden yang didapat adalah

18 responden yang berasal dari seluruh kalangan seperti instruktur

menyelam, manajer dive center, pemandu wisata, perwakilan dari berbagai

LSM, pemilik usaha pariwisata, masayrakat lokal, dll. Wawancara

dilakukan dalam durasi 30-90 menit per responden dengan instrument alat

perekam dan buku catatan. Data dianalisis menggunakan coding analytic

yang mengkategorikan sesuai dengan tema dan pertanyaan peneliti,

identifikasi dilakukan dengan membaca perbandingan dalam setiap

jawaban dari responden. Hasil yang ditemukan adalah adanya dampak

positif dalam segi ekonomi yaitu berkembanganya infrastruktur, adanya

peluang kerja dan bisnis. Dampak sosial yang ada selain adanya peluang

keja yaitu, dampak negative seperti terjadi ketegangan antara kelompok-

kelompok masyarakat yang merebutkan keuntungan ekonomi dari

pariwisata. Lalu hasil yang mengejutkan adalah dampak lingkungan yang

12
membawa dampak positif seperti dive center yang lebih focus untuk

menjaga kelangsungan lingkungannya. Hambatan yang ditemukan adalah

kurangnya pelatihan bagi SDM yang dipekerjakan, kurangnya kemampuan

berbahasa asing, dan kurangnya sumber pendanaan. Yang menjadi

pembeda dengan penelitian penulis adalah jenis penelitian yang digunakan

adalah kualitatif sedangkan penulis menggunakan pendekatan kuantitaif

walaupun sama-sama mencari hambatan partisipasi masyarakat lokal

dalam pengembangan pariwisata.

Selanjutnya penelitian yang menjadi acuan penulis adalah

penelitian dengan judul “Barriers to Local Residents’ Participation in

Community- Based Tourism: Lessons from Houay Kuang Village in

Laos” oleh Sangkyum Kim dkk pada tahun 2014. Penelitian ini

merupakan penelitian kuallitatif dengan melakukan depth-interview atau

wawancara mendalam pada setiap responden. Sample pada penelitian ini

merupakan seluruh lapisan masyarakat dengan jumlah 20 responden

menggunakan teknik snowball sampling. Data dianalisis dengan

menggunakan empat langkah thematic framework oleh Ritchie dan Cewis.

Yaitu langkah pertama adalah dengan mengidentifikasi tema awal dan

membuat indeks baru, yang kedua adalah memberi label pada data, lalu

yang ketiga adalah menyortir data sesuai tema dan konsep yang

digunakann, dan langkah terakhir adalah meringkas dan merangkum data

yang sudah didapat. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya

hambatan partisipasi yang disebakan oleh empat hal. Yang pertama adalah

13
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tentang pariwisata, tingginya

kemiskinan di wilayah tersebut, lalu kesibukan masyrakat dengan kegiatan

sehari-hari dan kurangnya waktu untuk berpartisipasi, lalu adanya persepsi

masyarakat bahwa pariwisata hanya usaha musiman yang memberi

keuntungan rendah, dan yang terakhir adalah adanya ketidakpercayaan

masayarakat lokal terhadap lembaga-lembaga yamg memegang otoritas.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif sedangkan

penulis menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang berjudul “Barriers To

Community Participation in Tourism Bussiness: A Case Study of Local

Community Inarugam-Bay Sri Lanka”oleh R.A.C Ushanta pada tahun

2016. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan dapat mengidentifikasi

hambatan apa saja yang terjadi pada pengembangan pariwisata di

pedesaan Arugambay, Sri Lanka. Penelitian ini menggunakan metode

campuran yaitu kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan

melakukan wawancara dan menyabarkan kuesioner kepada masyarakat

lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan budaya dan

hambatan operasional adalah hambatan yang paling berpangaruh pada

partisipasi masyarakat lokal di daerah tersebut. Dari aspek kualitatif

ditemukan hal yang sama dengan hasil kuantitatif yaitu hambatan terbesar

adalah hambatan budaya. Yang menjadi pembeda adalah, penelitian

penulis menggunakan pendekatan kuantitatif.

14
2.2 Landasan Teori

2.2.1 Partisipasi Masyarakat

2.2.1.1 Pengertian Partisipasi Masyarakat

Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep

partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari

kata bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian,

pengikutsertaan (Echols & Shadily, 2000: 419). Partisipasi berarti

juga peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses

pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk

kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian,

modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil -

hasil pembangunan (Sumaryadi, 2010: 46).

Adapun pengertian tentang partisipasi yang dikemukakan oleh

Djalal dan Dedi (2001: 201-202) dimana partisipasi dapat juga berarti

bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat

ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang,

keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa

kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan

mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.

Sedangkan Tilaar (2009: 287) mengungkapkan partisipasi adalah

sebagai wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi

melalui proses desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya

perencanaan dari bawah (bottom-up) dengan mengikutsertakan

15
masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan

masyarakatnya. Lalu pengertian partisipasi masyarakat menurut Davis

(2000:142) adalah keterlibatan mental/pikiran atau moral/perasaan di

dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan

sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut

bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.

2.2.1.2 Bentuk Partisipasi Masyarakat

Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan

masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi

uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi

keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi

dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif.

Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan

diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis,

yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki

wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak

nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta

benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang

tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial,

pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.

Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk

memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat

yang memerlukan bantuan. Partisipasi harta benda adalah

16
partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya

berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah

partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan

usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program.

Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan

melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat

lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut

dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan

sosialnya.

Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa

sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk

menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan

program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan

pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang

diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai tanda

paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan

dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam

rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi

dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam

setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan

yang terkait dengan kepentingan bersama. Sedangkan partisipasi

representatif dilakukan dengan cara memberikan

kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam

17
organisasi atau panitia. Berikut adalah penjelasan mengenai

bentuk-bentuk partisipasi:

Tabel 2.1
Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat
Nama Pakar Bentuk Partisipasi Masyarakat
(Hamijoyo, 2007: 21; Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi

18
Chapin, 2002: 43 & Holil, untuk memperlancar usaha-usaha bagi
1980: 81) pencapaian kebutuhan masyarakat yang
memerlukan bantuan.
(Hamijoyo, 2007: 21; Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam
Holil, 1980: 81 & Pasaribu bentuk menyumbang harta benda, biasanya
dan Simanjutak, 2005: 11) berupa alat-alat kerja atau perkakas.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang
Pasaribu dan Simanjutak, diberikan dalam bentuk tenaga untuk
2005: 11) pelaksanaan usaha-usaha yang dapat
menunjang keberhasilan suatu program.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan
Pasaribu dan Simanjutak, dorongan melalui keterampilan yang
2005: 11) dimilikinya kepada anggota masyarakat lain
yang membutuhkannya. Dengan maksud agar
orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan
Pasaribu dan Simanjutak, dorongan melalui keterampilan yang
2005: 11) dimilikinya kepada anggota masyarakat lain
yang membutuhkannya. Dengan maksud agar
orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
(Hamijoyo, 2007: 21 & Partisipasi sosial, Partisipasi jenis ini diberikan
Pasaribu dan Simanjutak, oleh partisipan sebagai tanda paguyuban.
2005: 11) Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan
lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian
atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi
orang lain untuk berpartisipasi.
(Chapin, 2002: 43 & Holil, Partisipasi dalam proses pengambilan
1980: 81) keputusan. Masyarakat terlibat dalam setiap
diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil
keputusan yang terkait dengan kepentingan
bersama.
(Chapin, 2002: 43 & Holil, Partisipasi representatif. Partisipasi yang
1980: 81) dilakukan dengan cara memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang
duduk dalam organisasi atau panitia.
Sumber: Chapin 2002, Holil 1980, Hamijoyo 2007, Pasaribu &
Simanjuntak 2005

2.2.1.3 Tahap-tahap Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

19
Cohen dan Uphoff (1977) membagi partisipasi ke dalam

beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut :

1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan

keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat.

2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam

pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah

pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat

digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) Partisipasi dalam bentuk

sumbangan pemikiran, (2) Partisipasi dalam bentuk

sumbangan materi, (3) Partisipasi dalam bentuk keterlibatan

sebagai anggota proyek.

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator

keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan

dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi

masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar

manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil

menangani sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat

pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat

memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek

selanjutnya.

2.2.1.4 Hambatan Partisipasi Masyarakat

20
Tosun (2000) dalam penelitiannya yang berjudul “Limits to

Community Participation in the Tourism Development Process in

Developing Countiries” menemukan bahwa hambatan partisipasi

masayarakat di negara berkembang di klasifikasi menjadi tiga jenis,

yaitu hambatan operasional, hambatan struktural, dan hambatan

budaya, walaupun hambatan-hambatan tersebut bisa saja tidak

berlaku sama diseluruh destinasi wisata. Ketiga hambatan tersebut

merupakan cerminan dari kondisi politik, sosial-budaya dan ekonomi

di negara tersebut.

Tabel 2.2
Hambatan Partisipasi Masyarakat Menurut Tosun (2000)
Variabel Indikator
1. Sentralisasi administrasi publik
Hambatan dalam bidang pariwisata
Operasional 2. Kurangnya koordinasi
3. Kurangnya informasi
1. Sikap dari profesionalisme
2. Kurangnya keahlian
3. Dominasi elit
Hambatan 4. Kurangnya sistem hukum yang
Struktural sesuai
5. Kurangnya SDM yang terlatih
6. Biaya yang relative tinggi untuk
partisipasi
7. Kurangnya Sumber Pendanaan
1. Terbatasnya kemampuan
Hambatan masyarakat miskin
Budaya 2. Apatis dan rendahnya kesadaran
masyarakat
Sumber: Tosun (2000)

a. Hambatan Operasional

21
Implementasi dari partisipasi masyarakat dalam

pembangunan di negara berkembang cenderung menemukan

kendala yang biasanya berhubungan dengan prosedur

operasional. Beberapa hambatan tersebut antara lain;

sentralisasi administrasi publik dalam pembangunan

pariwisata, kurangnya koordinasi antara pihak yang terlibat

dan kurangnya ketersediaan informasi untuk masyarakat

lokal di destinasi tersebut.

1) Sentralisasi Administrasi Publik dalam Bidang

Pariwisata

Penyusunan dan pelaksanaan setiap jenis

pendekatan partisipasi masyarakat membutuhkan

desentralisasi politik, kekuatan administrasi dan

pendanaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah setidaknya sampai batas tertentu Namun, di

banyak negara berkembang, proses perencanaan adalah

kegiatan yang sangat terpusat. Dalam keadaan ini,

sentralisasi telah menahan partisipasi masyarakat dalam

perencanaan. Hal tersebut juga meningkatkan jarak

vertikal antara inisiator dan masyarakat lokal

keseluruhan.

2) Kurangnya Koordinasi

22
Kurangnya koordinasi dan kohesi dalam industri

pariwisata yang sangat terfragmentasi adalah masalah

umum dalam pembangunan pariwisata. Dibanyak negara

berkembang proses perencanaan tidak menjadi satu

kesatuan tau terdaoat pembagian tanggung jawab.

Terdapat salah satu otoritas yang sangat gencar

membangun, sedangkan yang lainnya diminta untuk

mengelola dampak dari pembangunan tersebut, sering

kali para perencana pariwisata tidak melakukan

koordinasi dengan masyarakat lokal karena ada

perbedaan birokrasi maupun aturan. Terlebih jika

birokrasi tradisional tersebut dianggap mengahmabat

pembagunan oleh kaum elit atau perencana. Selain itu

diantara otoritas resmi (departemen-departemen yang

terkait dengan pembangunan pariwisata) juga mungkin

terdapat kecumburuan social dikarenakan adanya

perbedaan tanggung jawab dan hak daro satu proeyek

pembangunan pariwisata yang mereka kerjakan bersama.

Dengan demikian, mekanisme koordinasi antar lembaga

formal, public, sektor swasta, dan masyarakat lokal

sangat penting bagi industri pariwisata.

3) Kurangnya Informasi

23
Di sebagian besar negara berkembang, informasi

mengenai pariwisata terbilang tidak cukup. Bahkan

informasi-informasi yang telah dikumpulkan mungkin

tidak akan disebarluaskan kepada masyarakat.

Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui dengan baik

informasi tentang pengembangan pariwisata; Oleh

karena itu, tak heran jika keterlibatan masyarakat rendah.

Dengan demikian, masyarakat umum membutuhkan

informasi yang memungkinkan mereka untuk

berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata dengan

cara yang lebih tepat.

b. Hambatan Struktural

Kemunculan dan implementasi dari pendekatan

partisipasi pengembangan pariwisata menjadi masalah

karena kendala struktural yang berlaku di banyak negara

berkembang. Hal ini biasanya terkait dengan kelembagaan,

struktur kekuasaan, legislatif, dan sistem ekonomi. Berikut

adalah hambatan structural yang seringkali terjadi:

1) Sikap dari Para Profesional

Peran teknokrat (profesional) dalam membentuk

kebijakan pariwisata di negara-negara berkembang

tidak dapat diabaikan. Beberapa profesional mengklaim

bahwa upaya perencanaan dan pengembangan adalah

24
‘bernilai bebas’ atau netral secara politik. Kesenjangan

utama antara teknokrasi dan partisipasi berasal dari

kepercayaan diri teknokrat yang mengakui bahwa

hanya mereka yang terkualifikasi dan profesional

sehingga mampu memecahkan masalah pembangunan.

2) Kurangnya Keahlian

Meskipun partisipasi masyarakat tampaknya

sangat diinginkan, beberapa negara berkembang

memiliki masalah mengenai keahlian. Kurangnya

masyarakat yang berkualitas dan sikap kerja

profesional menyebabkan partisipasi masyarakat tidak

dilibatkan, dan memiliki sedikit gagasan tentang

bagaimana melibatkan masyarakat dalam perencanaan

mereka. Hal ini sangat berlaku bagi industri pariwisata

di negara-negara berkembang karena pariwisata baru-

baru ini telah diakui sebagai bidang professional.

Artinya, karena sejarah yang relatif singkat dalam

perekonomian negara-negara tersebut, jasa perencanaan

pariwisata untuk proyek-proyek baik di sektor publik

dan swasta saat ini sangat dibutuhkan oleh negara-

negara berkembang yang masih kekurangan ahli dalam

perencanaan pariwisata walaupun adanya kemungkinan

25
mereka memiliki kualifikasi sebagai perencana kota

dan regional.

3) Dominasi Elit

Di beberapa negara berkembang terdapat sangat

sedikit ruang demokratis atau semi-demokratis atau

bahkan tidak ada kebebasan. Di beberapa negara

berkembang lainnya meskipun terdapat struktur formal

dari konstitusi, demokrasi multipartai, lembaga-

lembaga dan peraturan yang demokratis tidak dibagi

dengan kaum mayoritas. Kaum elit memiliki ketakutan

bahwa masyarakat miskin dan tidak berpendidikan

dapat memanfaatkan kekuasaan mereka untuk

mengurus kepentingan yang dimiliki masyarakat

miskin melalui kekuatan politiknya. Oleh karena itu,

mereka tidak ingin berbagi hasil dari demokrasi kecuali

dengan kelompok mayoritas di negaranya.

4) Kurangnya Sistem Hukum yang Sesuai

Partisipasi dalam strategi pengembangan

pariwisata dapat membawa sebuah kelompok terlibat

dalam proses pembuatan kebijakan. Menciptakan

peluang untuk mereka yang kurang terlibat sebelumnya

yang tidak membawa pengaruh dari kepentingan

kelompok yang sudah aktif dalam pengembangan

26
wisata. Dengan demikian, dibutuhkan struktur hukum

yang dapat membela kepentingan masyarakat dan

menjamin hak partisipatif masyarakat dalam

pembangunan pariwisata. Namun, struktur hukum di

banyak negara berkembang tidak mendorong

masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam

kepentingan wilayahnya, bahkan struktur legislatif

menempatkan jarak antara ‘masyarakat bawah’ dengan

otoritas formal, dan peraturan yang dibuat seringkali

sult untuk dipahami oleh sudut pandang orang awam.

5) Kurangnya Sumber Daya Manusia Yang Terlatih

Sebagian besar ahli ekonomi mungkin akan

setuju bahwa manusia adalah sumber daya utama suatu

bangsa. Karena bukan modal atau sumber daya alam

yang pada akhirnya menentukan karakter dan laju

pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, kurangnya

sumber daya manusia yang berkualitas pada sektor

pariwisata di banyak destinasi lokal di negara

berkembang telah mendorong masuknya karyawan dari

negara lain untuk bekerja di bidang pariwisata.

Pekerjaan menarik yang membutuhkan keterampilan

tinggi biasanya ditempati oleh orang asing. Status

rendah, ketidak terampilan kerja yang terkait dengan

27
upah rendah dan keharusan bekerja keras telah

ditinggalkan oleh mereka yang sebelumnya bekerja

dipeternakan dan pindah ke negara berkembang untuk

bekerja di industri pariwisata, dan kemudian menjadi

tenaga kerja murah. Hal tersebut tidak hanya

membatasi partisipasi masyarakat lokal dalam

pariwisata, namun juga telah menciptakan reaksi

budaya antara masyarakat lokal dan para pekerja

musiman dan peningkatan beban pada pelayanan

public.

6) Biaya Yang Relatif Tinggi Untuk Partisipasi

Partisipasi masyarakat membutuhkan cukup

waktu, uang dan keterampilan untuk mengatur dan

mempertahankan partisipasi. Artinya, partisipasi lebih

memakan waktu dan dapat menyebabkan pertentangan

antar tujuan (WTO, 1994, hal:10 dalam Tosun) yang

dapat menimbulkan harapan tertentu di masyarakat,

yang mungkin tidak mudah untuk terealisasi. Di sisi

lain, Pengelolaan pariwisata yang efektif membutuhkan

keputusan operasional dari hari ke hari dan dari musim

ke musim. Tidak mungkin untuk meminta masyarakat

untuk berpartisipasi dalam keputusan ini sehari-hari,

oleh karena itu, partisipasi masyarakat membutuhkan

28
waktu dan proses yang kompleks sehingga

menyebabkan penundaan keputusan, yang mungkin

membebani pengembang dengan menimbulkan bunga

pinjaman yang tinggi. Pembangungan pariwisata ini

juga tidak sesuai dengan orang-orang yang

mengharapkan keuntungan yang cepat dari investasi.

7) Kurangnya Sumber Pendanaan

Pengenalan pariwisata dalam masyarakat

biasanya membutuhkan dana yang akan dialokasikan

untuk mengembangkan infrastruktur dan fasilitas

pariwisata. Fasilitas ini sering mengacu pada standar

negara maju bahkan di negara-negara miskin. Namun,

sumber pendanaan yang diperlukan untuk investasi

pariwisata yang sangat langka dan dalam kebanyakan

kasus, tidak tersedia di negara-negara berkembang.

Kurangnya pendanaan ini telah muncul sebagai

hambatan utama untuk berpartisipasi dalam

pelaksanaan pembangunan pariwisata di negara-negara

berkembang dan bahkan di daerah yang relatif belum

berkembang dari negara maju. Dalam konteks ini

dinyatakan bahwa kepemilikan dan investasi

merupakan salah satu variabel yang paling penting

yang menentukan kontrol atas industri pariwisata.

29
Dalam banyak masyarakat yang relatif kurang

berkembang, pendanaan untuk pariwisata tidak cukup

di tingkat lokal, dan dengan demikian harus datang dari

luar. Ketika sumber pendanaan berasal dari

kepentingan non-lokal, hilangnya kontrol yang muncul

dari investasi luar menjadi sulit untuk diatasi. Terlepas

dari upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat,

jika warga tidak memiliki infrastruktur pariwisata,

mengontrol pertumbuhan dan gaya pembangunan akan

sulit dicapai (Woodley, 1993 dalam Tosun).

c. Hambatan budaya

Ada beberapa faktor budaya seperti; kapasitas

terbatas dari orang miskin untuk menangani pembangunan

secara efektif, dan sikap apatis dan rendahnya tingkat

kesadaran masyarakat setempat, yang berfungsi sebagai

hambatan untuk kemunculan dan operasionalisasi

pendekatan pembangunan pariwisata partisipatif.

1) Terbatasnya Kemampuan Masyarakat Miskin

‘Masyarakat Kelas Bawah’ memiliki

kemampuan terbatas untuk menangani hal-hal yang

secara langsung mempengaruhi martabat mereka

(Oakley & Marsden, 1984 dalam Tosun). Tergantung

pada motif mereka, pemegang kekuasaan bisa

30
menyewa masyarakat miskin untuk menambah anggota

mereka, untuk mengerjakan perencanaan mereka atau

untuk memanfaatkan masyarakat miskin dengan

'keterampilan dan wawasan' yang dimiliki (Arnstein,

1971:74 dalam Tosun, 2000). Selain itu, seperti yang

dijelaskan, sebagian besar masyarakat di negara

berkembang memiliki kesulitan untuk memenuhi dasar

kebutuhan yang dirasa perlu, yang dapat membatasi

mereka untuk terlibat dalam masalah-masalah

masyarakat.

2) Apatis dan Rendahnya Kesadaran di Masyarakat

Setempat

Persepsi terhadap rendahnya minat dan

kesadaran tentang isu-isu sosial budaya, ekonomi dan

politis di antara masyarakat bawah secara umum

diterima. Ada beberapa alasan untuk argumen ini;

Pertama, selama bertahun-tahun dan berabad-abad di

beberapa kasus, masyarakat bawah telah dikeluarkan

dari urusan mengenai martabat mereka, yang membuat

mereka apatis dalam mengurusi urusan diluar urusan

rumah tangga. Apatis di kalangan orang miskin secara

efektif menghetikan mereka untuk menuntut lembaga

yang melayani mereka dan mengakomodasi kebutuhan

31
mereka. Hasilnya adalah kondisi mereka memburuk

dan kapasitas mereka untuk berkontribusi semakin

melemah. Sebuah lingkaran setan kemiskinan

memperkuat lingkaran setan disfungsi birokrasi '(Miller

& Rein, 1975:7 dalam Tosun). Kedua, masyarakat

cenderung berpartisipasi hanya saat mereka merasa

sangat termotivasi untuk melakukannya, dan sebagian

besar mereka merasa tidak termotivasi. Hal ini

mungkin timbul dari keyakinan bahwa ide mereka tidak

akan dipertimbangkan, sehingga tidak memotivasi

mereka untuk mengekspresikan minat yang dimiliki.

Temuan lain menunjukkan bahwa budaya merupakan faktor

internal, sementara operasional dan struktural adalah hambatan eksternal

yang menghambat partisipasi masyarakat. Hambatan internal terkait

dengan faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh masyarakat setempat

sementara hambatan eksternal berada di luar yurisdiksi mereka. Dalam

rangka mendorong partisipasi lokal, semua pemangku kepentingan yang

terlibat dalam pengembangan pariwisata perlu bekerja sama. Untuk faktor

internal yaitu hambatan budaya, masyarakat setempat harus memiliki

semangat untuk mengubah sikap mereka dan melihat pariwisata sebagai

sesuatu yang memotivasi mereka. Selain itu, masyarakat setempat juga

harus mengatasi keterbatasan kapasitas bagi mereka untuk berpartisipasi.

Masyarakat setempat perlu menyadari hak-hak mereka untuk

32
menyuarakan pendapat terkait lingkungan hidup mereka karena mereka

adalah salah satu yang akan terkena dampak pembangunan pariwisata.

Untuk faktor eksternal yaitu hambatan operasional dan struktural,

pemangku kepentingan lain lokal, sektor swasta, serta LSM perlu

mengubah persepsi mereka dan menciptakan ruang bagi masyarakat lokal

untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata. Prinsip pembagian

kekuasaan perlu dilakukan untuk mengembangkan pulau dengan cara yang

berkelanjutan yang dapat memuaskan setiap pihak yang terlibat

(Mustapha, 2013)

Hambatan Operasional
Faktor Eksternal
Hambatan Struktural
Partisipasi
Masyarakat

Faktor Internal Hambatan Budaya

Keterangan
: Mempengaruhi
: Ada Hubungan

Gambar 2.1 Hubungan Antara Faktor Penghambat


(Mustapha, 2013) Dengan Jenis Hambatan (Tosun, 2000)
Sumber: Data diolah,2016 ( Mustapha, 2013 dan Tosun, 2002)

2.2.2 Desa Wisata

2.2.2.1 Pengertian Desa Wisata

Menurut Wiendu (1993), desa wisata merupakan suatu bentuk

integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan

dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara

dan tradisi yang berlaku. Desa wisata biasanya memiliki kecenderungan

kawasan pedesaan yang memiliki kekhasan dan daya tarik sebagai tujuan

wisata. Sedangkan menurut Priasukmana dan Mulyadin (2001), Desa

33
Wisata merupakan suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan

suasana yang mencerminkan keaslian pedesaaan baik dari kehidupan

sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki

arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan

perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk

dikembangkanya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya atraksi,

akomodasi, makanan-minuman, cindera-mata, dan kebutuhan wisata

lainnya.

2.2.2.2 Desa Wisata Ekologis

Sejauh ini belum ada yang mendefinisikan desa wisata ekologis

secara keseluruhan, namun dari struktur kata, dapat diartikan secara

terpisah yaitu ‘desa’ dan ‘wisata ekologis’. Berdasarkan UU No.6 Tahun

2014, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Adapula yang menyebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah

yang mempunyai tingkat kepadatan rendah yang dihuni oleh penduduk

dengan interaksi sosial yang bersifat homogen, bermatapencaharian

dibidang agraris serta mampu berinteraksi dengan wilayah lain di

sekitarnya. Sedangkan wisata ekologis adalah terjemahan asli dari kata

ecotourism dalam bahasa inggris. Namun, Yayasan Alam Mitra Indonesia

34
(1995) membuat terjemahan ecotourism dengan ekoturisme, dan saat ini

lebih dikenal dengan ekowisata. Ekowisata menurut Fandeli dan

Mukhlison (2000:5), ekowisata adalah bentuk wisata yang bertanggung

jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat

secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat.

Jadi Desa Wisata Ekologis adalah desa yang dijadikan lokasi untuk

mengembangkan bentuk pariwisata yang mementingkan kelestarian

lingkungan serta pemberdayaan masyarakat lokalnya.

2.2.2.3 Persyaratan Desa Wisata

Menurut Priasukmana dan Mulyadin (2001), penetapan suatu desa

dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratan-persyaratan,

antara lain sebagai berikut :

a. Aksesibilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan

menggunakan berbagai jenis alat transportasi.

b. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda,

makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek

wisata.

c. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan

yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang

kedesanya.

d. Keamanan di desa tersebut terjamin.

e. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.

f. Beriklim sejuk atau dingin.

35
g. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh

masyarakat luas.

Sedangkan menurut Syamsu dalam Prakoso (2008)

menyatakan suatu kawasan dikatakan dapat menjadi desa wisata

apabila memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Faktor kelangkaan adalah sifat dari atraksi wisata yang tidak bias

dijumpai atau langka di tempat lain.

b. Faktor kealamiahan adalah sifat atraksi wisata yang belum pernah

mengalami perubahan akibat campur tangan manusia.

c. Keunikan, yakni sifat atraksi wisata yang memiliki keunggulan

komparatif disbanding objek wisata lain.

d. .Faktor pemberdayaan masyarakat yang mampu menghimbau agar

masyarakat ikut serta dan diberdayakan dalam pengelolaan objek

wisata di daerahnya.

2.2.2.4 Pengembangan Desa Wisata

Desa wisata dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah pedesaan

yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas, baik

berupa karakter fisik lingkungan alam pedesaan dan kehidupan sosial

budaya masyarakat, yang dikelola dan dikemas secara menarik dan alami

dengan pengembangan fasilitas pendukung wisatanya. Selanjutnya desa

wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas

pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat

yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993).

36
Menurut Julisetiono (2007:11), Konsep Desa Wisata, meliputi: (a)

berawal dari masyarakat, (b) memiliki muatan lokal, (c) memiliki

komitmen bersama masyarakat, (d) memiliki kelembagaan, (e) adanya

keterlibatan anggota masyarakat, (f) adanya pendampingan dan

pembinaan, (g) adanya motivasi, (h) adanya kemitraan, (i) adanya forum

Komunikasi, dan (j) adanya studi orientasi.

Mengacu pada konsep pengembangan desa wisata dari Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata (2001), maka pola pengembangan desa wisata

diharapkan memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Tidak Bertentangan Dengan Adat Istiadat Atau Budaya

Masyarakat

Suatu desa yang tata cara dan ada istiadatnya masih

mendominasi pola kehidupan masyarakatnya, dalam

pengembangannya sebagai atraksi wisata harus disesuaikan dengan

tata cara yang berlaku di desanya.

b. Pembangunan Fisik Untuk Meningkatkan Kualitas Lingkungan

Desa

Pengembangan pariwisata di suatu desa pada hakekatnya tidak

merubah apa yang sudah ada di desa tersebut, tetapi lebih kepada

upaya merubah apa yang ada di desa dan kemudian mengemasnya

sedemikian rupa sehingga menarik untuk dijadikan atraksi wisata.

Pembangunan fisik yang dilakukan dalam rangka pengembangan desa

seperti penambahan sarana jalan setapak, penyediaan MCK,

37
penyediaan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi lebih

ditujukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang ada sehingga

desa tersebut dapat dikunjungi dan dinikmati wisatawan.

c. Memperhatikan Unsur Kelokalan Dan Keaslian

Arsitektur bangunan, pola lansekap serta material yang

digunakan dalam pembangunan haruslah menonjolkan ciri khas desa,

mencerminkan kelokalan dan keaslian wilayah setempat.

d. Memberdayakan Masyarakat Desa Wisata

Unsur penting dalam pengembangan desa wisata adalah

keterlibatan masyarakat desa dalam setiap aspek wisata yang ada di

desa tersebut. Pengembangan desa wisata sebagai pengejawantahan

dari konsep Pariwisata Inti Rakyat mengandung arti bahwa

masyarakat desa memperoleh manfaat sebesar-besarnya dalam

pengembangan pariwisata. Masyarakat terlibat langsung dalam

kegiatan pariwisata dalam bentuk pemberian jasa dan pelayanan yang

hasilnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat diluar aktifitas

mereka sehari-hari.

e. Memperhatikan Daya Dukung Dan Berwawasan Lingkungan


Prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan (sustainable

tourism) harus mendasari pengembangan desa wisata. Pengembangan

yang melampaui daya dukung akan menimbulkan dampak yang besar

tidak hanya pada lingkungan alam tetapi juga pada kehidupan sosial

budaya masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi daya tarik

desa tersebut. Beberapa bentuk keterlibatan masyarakat tersebut

38
adalah penyediaan fasilitas akomodasi berupa rumah-rumah penduduk

(homestay), penyediaan kebutuhan konsumsi wisatawan, pemandu

wisata, penyediaan transportasi lokal, pertunjukkan kesenian, dan

lain-lain.

2.2.3 Community Based Tourism

Definisi dari Community Based Tourism (CBT) itu sendiri yaitu

(Hausler,2005) :

a. Bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat

lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan

pembangunan pariwisata,

b. Masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha usaha pariwisata

juga mendapat keuntungan.

c. Menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan

distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di

pedesaan/pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan demikian CBT merupakan suatu pendekatan

pembangunan pariwisata yang menekankan pada peran aktif

masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata

maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan dalam

manajemen dan pembangunan pariwista, termasuk dalam pembagian

keuntungan dari kegitan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat

lokal. Gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada

pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat

39
lokal di daerah tujuan wisata. Suansri (2003:14) mendefinisikan CBT

sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan

lingkungan, sosial dan budaya. CBT merupakan alat pembangunan

komunitas dan konservasi lingkungan. Atau dengan kata lain CBT

merupakan alat untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang

berkelanjutan.

2.3 Kerangka Pemikiran

Desa Nyambu ditetapkan menjadi desa wisata ekologis

40
Pokok Permasalahan
Kurangnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan Desa
Wisata Ekologis Nyambu

Hambatan Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa


Wisat Ekologis Nyambu, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan

Rumusan Masalah
Faktor apa yang menghambat partisipasi masyarakat lokal dalam
pengembangan DWE Nyambu?

Konsep Penelitian
Teori Penelitian
Desa Wisata, Partisipasi
Hambatan Partisipasi Masyarakat
Masyarakat, Community Based
(Tosun, 2000)
Tourism

Analisis Deskriptif

Hasil Penelitian

Rekomendasi

Gambar 2.2: Kerangka Pemikiran

BAB III

METODE PENELITIAN

41
3.1 Objek dan Lokasi Penelitian

Lokasi kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Nyambu, Kediri

Tabanan yang sudah dijadikan desa wisata ekologis. Objek penelitian ini

adalah hambatan yang dialami oleh masyarakat lokal dalam berpartisipasi

dalam pengembangan Desa Nyambu sebagai Desa Wisata Ekologis.

3.2 Jenis dan Sumber Data

3.2.1 Jenis Data

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan

antara kualitatif dan kuantitatif.

a. Data Kualitatif

Menurut Sugiyono (2003:14) data kualitatif adalah data yang

berbentuk kata, skema, dan gambar. Yang termasuk data kualitatif

dalam penelitian ini, terdiri dari: gambaran umum dari objek

penelitian, peta DWE Nyambu, dan landasan teori yang digunakan.

b. Data Kuantitatif

Pengertian data kuantitatif menurut Sugiyono (2003:13) adalah

Data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan.

Dalam penelitian ini data kuantitatif yang diperlukan, berupa data

kunjungan wisatawan ke DWE Nyambu dan populasi masyarakat desa

wisata Nyambu.

3.2.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer

dan data sekunder.

42
a. Sumber Primer

Merupakan sumber data penelitian yang secara langsung dari

sumber asli atau tidak melalui perantara.Data primer secara khusus

dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab petanyaan penelitian

(Indriantoro dan Bambang, 1999). Pada penelitian ini, sumber data

didapat dari masyarakat lokal yang menjadi responden.

b. Suumber Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak

langsung, yaitu melalui media perantara. Data sekunder diperoleh dari

atau diterbitkan oleh kalangan atau organisasi serta lembaga lain

(Santosa dan Hamdani, 2007). Data sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari e-book, hasil-hasil penelitian dari jurnal,

skripsi, dan tesis, buku destinasi pariwisata, serta artikel-artikel dari

situs internet.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Menurut Sugiyono (2002:57) adalah wilayah generalisasi yang terdiri

dari objek atau subyek yag menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya.

Berdasarkan pengertian populasi tersebut, maka yang menjadi

populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Desa

Wisata Ekologi Nyambu yang berjumlah 3411 jiwa atau 938 KK. Dari

43
populasi disederhanakan dengan mengambil sampel yaitu sejumlah

terbatas unit yang dipercaya dapat mewakili keseluruhan populasi yang

sedang diteliti dari suatu penelitian. Populasi yang dipilih dalam penelitian

ini adalah 938 KK karena diasumsikan satu rumah terdapat minimal satu

orang yang diharuskan mewakili keluarganya untuk berpartisipasi dalam

pengembangan DWE Nyambu.

3.3.2 Sampel

Menurut Arikunto (1998:17) sampel adalah bagian dari populasi

(sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Teknik penarikan sampel atau

teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah probability

sampling yaitu teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan

(peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan sampel. (Riduwan,

2010 : 61). Kelompok pada sampling ini dibagi menjadi: Jumlah banjar

yang ada pada desa Nyambu yaitu, Banjar Carik Padang, Banjar Nyambu,

Banjar Tohjiwa, Banjar Kebayan, Banjar Mundeh dan Banjar Dukuh.

Teknik pengambilan sampel menggunakan rumus dari Slovin

(Riduwan, 2010:65) karena jumlah populasi sudah diketahui yaitu 938

KK.

Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, yaitu:

Keterangan:

n: Jumlah sampel

44
N: Jumlah Populasi

e2:Batas toleransi kesalahan (error tolerance) 10%

Maka penghitungan sampel adalah sebagai berikut:

n = 938 / ( 1 + 938.(10%)2)

n = 938 / ( 1 + 938.(0,1)2)

n = 938/ ( 1 + 938.(0,01))

n = 938/ ( 1 + 9.38)

n = 938 / 10.38

n = 90.366 / 90 orang

Dari penghitungan dengan Slovin ditemukan jumlah minimal sampel yang

harus didapat adalah 90 sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini

dilakukan dengan teknik proportional random sampling. Menurut Arikunto

(2002:117) teknik proportional random sampling yaitu teknik pengambilan

proporsi untuk memperoleh sampel yang representatif, pengambilan subyek dari

setiap strata atau wilayah ditentukan seimbang atau sebanding dalam masing-

masing wilayah. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan teknik sampling

incidental yaitu menurut Sugiyono (2012:96) teknik sampling incidental adalah

teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara

kebetulan/ insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan/ dijadikan sebagai

sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber

data. Dalam teknik ini responden yang pertama ditemui penulis setelah dilakukan

wawancara kemudian akan menunjuk dan memberitahukan alamat responden atau

penduduk lainnya

45
Tabel 3.1 Perolehan Sampel
No Banjar Populasi (KK) Responden
1 Carik Padang 158 15
2 Nyambu 192 19
3 Tohjiwa 141 14
4 Mundeh 168 16
5 Kebayan 120 12
6 Dukuh 159 14
Total 938 KK 90
Sumber: Data diolah, 2016

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2010:62) metode atau teknik pengumpulan data

merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan

utama dari penelitian adalah pengumpulan data. Dalam penelitian ini teknik

yang digunakan untuk mengumpulkan data dapat menggunakan empat

metode, terdiri dari :

3.4.1 Wawancara

Menurut Keraf (1989: 161) wawancara adalah suatu cara

untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung

pada seorang informan atau seorang autoritas (seorang ahli/ yang

berwenang dalam suatu masalah). Pada penelitian ini yang akan

diwawancara adalah pengelola DWE Nyambu.

3.4.2 Survey

Menurut Fathoni (2006:111) metode survey adalah teknik

pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner (daftar

pertanyaan/isian) untuk diisi langsung oleh responden. Adapun jenis

kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner

46
tertutup dengan skala likert derajat lima dan kuesioner terbuka, yang

mana menurut Syofian (2003) kuesioner tertutup adalah berupa

pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada responden tidak

diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat. Kuesioner

terbuka angket adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada

responden untuk memberikan pendapat sesuai dengan keinginan

mereka.

Dalam penelitian ini, kuesioner dibagi atas dua bagian, yaitu

bagian pertama adalah mengidentifikasi karakteristik responden dan

bagian kedua adalah mengidentifikasi hambatan partisipasi

masayarakat lokal. Kuesioner disusun dengan menggunakan indicator

dari masing-masing variable hambatan partisipasi masyarakat lokal

yang dikemukakan oleh Tosun (2000) dan ditulis dalam bentuk

kalimat pernyataan.

Untuk setiap pilihan jawaban diberi skor, maka responden

harus menggambarkan, mendukung pernyataan. Untuk digunakan

jawaban yang dipilih. Dengan skala Likert, maka variabel yang

akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian

indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak ukur menyusun

item-item instrumen yang berupa pernyataan.

3.4.3 Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan

melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan

47
terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran (Fathoni, 2006: 104).

Adapun dalam penelitian ini yang menjadi objek observasi adalah

keadaan demografis, keadaan kondisi sosial ekonomi budaya

masyarakat, serta potensi wisata yang ada di DWE Nyambu.

3.4.4 Studi Kepustakaan

Studi literature/ kepustakaan menurut Sujarweni (2014:74)

merupakan teknik untuk memperoleh data dengan mempelejari

dokumen-dokumen yang berpengaruh terhadap permasalahan yang

diteliti. Studi kepustakaan didapatkan melalui referensi beberapa

website dan beberapa buku penunjang lainnya. Dalam penelitian ini

studi kepustakaan yang digunakan adalah beberapa jurnal dan thesis

mengenai hambatan partisipasi masyarakat dan website yang memuat

berita tentang DWE Nyambu.

3.4.5 Dokumentasi

Dokumentasi atau analisis dokumen menurut Sujarweni

(2014:74) lebih mengarah pada bukti konkret yaitu memperoleh data

melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitan.

Dokumentasi yang dilakukan pada aat penelitian di lapangan untuk

mengumpulkan semua bukti fisik dalam bentuk foto yang berkaitan

dengan informasi dan data seperti dokumentasi yang akan mendukung

penelitian ini.

3.5 Teknik Analisis Data

48
Analisis data merupakan salah satu proses penelitian yang dilakukan

setelah semua data yang diperlukan guna memecahkan permasalahan yang

diteliti sudah diperoleh secara lengkap. Menurut Mushon (2012) secara garis

besar, teknik analisis data terbagi ke dalam dua bagian, yakni analisis

kuantitatif dan kualitatif. Yang membedakan kedua teknik tersebut hanya

terletak pada jenis datanya. Untuk data yang bersifat kualitatif (tidak dapat

diangkakan) maka analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif,

sedangkan terhadap data yang dapat dikuantifikasikan dapat dianalisis secara

kuantitatif, bahkan dapat pula dianalisis secara kualitatif.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudjana dan Ibrahim (1989 :

64 dalam Margareta) bahwa : “Penelitian deskriptif merupakan penelitian

yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa dan kejadian yang

terjadi pada saat sekarang dimana peneliti berusaha memotret peristiwa dan

kejadian yang menjadi pusat perhatian untuk kemudian digambarkan

sebagaimana adanya.”

Ali (1982:120 dalam Margareta) juga menjelaskan bahwa: “Metode

penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan sekaligus menjawab

permasalahan yang terjadi pada masa sekarang”.

Teknik deskriptif kuantitatif dilakukan dengan menempuh langkah-

langkah pengumpulan, klasifikasi dan analisis atau pengolahan data, membuat

kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran

tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi.. Sedangkan yang

49
dimaksud dengan pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang digunakan

dalam penelitian dengan cara mengukur indikator-indikator variabel penelitian

sehingga diperoleh gambaran diatara variabel-variabel tersebut. Tujuan dari

pendekatan kuantitatif menurut Surakhmad (1998:139 dalam Maragreta)

adalah: ” untuk mengukur dimensi yang hendak diteliti”. Penggunaan metode

deskriptif kuantitatif ini diselaraskan dengan variabel penelitian yang

memusatkan pada masalah-masalah aktual dan fenomena yang sedang terjadi

pada saat sekarang dengan bentuk hasil penelitian berupa angka-angka

memiliki makna. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana (1997:53 dalam

Maragareta) bahwa: ”Metode penelitian deskriptif dengan pendekatan secara

kuantitatif digunakan apabila bertujuan untuk mendeskripsikan atau

menjelaskan peristiwa atau suatu kejadian yang terjadi pada saat sekarang

dalam bentuk angka-angka yang bermakna”. Adapun tujuan penelitian

deskriptif dengan pendekatan kuantitatif ini adalah untuk menjelaskan suatu

situasi yang hendak diteliti dengan dukungan studi kepustakaan sehingga lebih

memperkuat analisa peneliti dalam membuat suatu kesimpulan. Dimana hasil

penelitian diperoleh dari hasil perhitungan indikator-indikator variabel

penelitian kemudian dipaparkan secara tertulis oleh penulis.

Untuk mengukur nilai rata-rata hambatan partisipasi masyarakat lokal

dalam pengembangan DWE Nyambu, maka teknik analisis kuantitatif juga

digunakan pada penelitian ini. Data hambatan partisipasi masyarakat dalam

pengembangan DWE Nyambu dijabarkan secara kualitatif dengan skala

pengukuran yaitu Skala likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap,

50
pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian

atau gejala sosial. Dalam penelitian, gejala sosial ini telah ditetapkan secara

spesifik oleh penulis, yang selanjutnya disebut dengan variable penelitian

Riduwan dan Sunarto, 2012:20-21).

Rentangan skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 (empat)

skala. Skala 4 menunjukkan bahwa responden sangat setuju, skala 3

menunjukkan bahwa responden setuju, skala 2 menunjukkan tidak setuju dan

skala 1 menunjukkan sangat tidak setuju. Menurut Sudjana (1997:77) kriteria

penilaian atau rentang nilai dilakukan dengan:

1. Menentukan nilai tertinggi dan terendah yang mungkin dicapai. Dalam hal

ini , nilai tertinggi adalah 4 dan nilai terendah adalah 1

2. Menentukan besarnya daerah nilai (score range) berdasarkan selisih nilai

tertinggi yang mungkin dicapai dengan nilai terendah yang mungkin

dicapai. Dalam hal ini: Score range (R) = 4-1= 3

3. Menentukan besarnya interval nilai berdasarkan perbandingan antara

daerah nilai dengan jumlah kriteria penilaian yang diperlukan. Dalam hal

ini jumlah kriteria penilaian adalah lima yaitu, sangat setuju, setuju, cukup

setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Dalam hal ini: Interval Nilai =

3/4 = 0,75

4. Menghitung nilai rata-rata data kelompok dengan mengelompokkan data

dalam distribusi frekuensi, sehingga data tersebut akan berbaur dan

keaslian data itu akan hilang bercampur dengan data lain menurut

kelasnya, hanya dalam perhitungan rata-rata kelompok diambil titik

51
tengahnya yaitu setengah dari jumlah ujung bawah kelas dan ujung atas

kelas unutk mewakili setiap kelas interval. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindarikemungkinan data yang ada di setiap interval mempunyai

nilai yang lebih besar atau yang lebih kecil dari titik tengah (Riduwan dan

Sunarto, 2012:39). Perhitungan data rata-rata kelompok dapat dicari

dengan rumus:

∑(𝑡𝑖 . 𝑓𝑖)
𝑥̅ =
∑ 𝑓𝑖

Keterangan: 𝑥̅ = Rata-rata

ti = Titik tengah

fi = Frekuensi

(ti.fi) = Jumlah Frekuensi

5. Menentukan rentang nilai (interval) untuk masing-masing kriteria

penilaian. Berikut adalah nilai interval untuk kriteria penilaian:

1 - 1,74 = Sangat Tidak Setuju

1,75 - 2,49 = Tidak Setuju

2,50 – 3.24 = Setuju

3,25 – 4,00 = Sangat Setuju

6. Menentukan titik tengah (ti) untuk masing-masing interval.

Sebelum melakukan analisis data , penulis melakukan uji validitas dan

reliabilitas terhadap instrument untuk melihat valid atau tidaknya

instrumen yang akan digunakan di lapangan .

1. Uji Validitas

52
Uji validitas digunakan untuk mengukur valid tidaknya suatu

kuisioner. Suatu kuisioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuisioner

mampu megungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisoner tersebut

(Ghozali, 2005 : 45). Untuk mengukur validitas dengan menggunakan

bantuan program SPSS, dapat dilakukan dengan melakukan korelasi antara

skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel (corrected

Item – total correlation). Sedangkan untuk mengetahui skor masing –

masing item pertanyaan alid atau tidak, maka ditetapkan kriteria sebagai

berikut:

a. Jika r hitung > r tabel dan bernilai positif, maka variabel tersebut valid

b. Jika r hitung < r tabel, maka variabel tersebut tidak valid

Sedangkan untuk memperoleh nilai r table digunakan tabel r

product moment, dengan menentukan α = 0,05 kemudian n (sampel) = 30,

sehingga diperoleh nilai r tabel dua sisi sebesar 0,361. Untuk mngetahui

tingkat keabsahan suatu indicator pada kuisioner dari masing –masing

variabel maka akan ditetapkan kriteria statistic, apabila r hitung > r tabel =

Valid dan r hitung <r tabel = Tidak Valid.

2. Uji Reliabilitas

Uji realibilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuisioner yang

mempunyai indicator dari variabel atau konstru. Suatu kuisioner

dinyatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyan

dalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2005 : 41). Uji

reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS, yang

53
akan memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistic

Cronbach’s Alpha (α). Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika

memberikan nilai Cronbach’s Alpha > 0,60 (Ghozali, 2005:41)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Desa Nyambu

Berawal dari kisah keberadaan dua kerajaan pada saat itu, yaitu

kerajaan Mengwi di bawah kekuasaan Anak Agung Ringkus dan Kerajaan

54
Kaba-Kaba di bawah kekuasaan Arya belog. Kedua kerajaan tersebut

menjalin hubungan persahabatan sangat erat, terbukti dengan adanya

hubungan saling mengunjungi antara mereka.

Pada suatu hari, Raja Mengwi beserta rakyatnya berkunjung ke

Kerajaan Kaba-Kaba. Kedatangan mereka disambut pleh rakyat kaba-

Kaba di perbatasan wilayah. Sambil beristirahat, rakyat kedua kerajaan

terlibat dalam pembicaraan santai, termasuk membincangkan keadaan di

masing-masing kerajaan. Masalah kesejahteraan rakyat dan sikap

kepemimpinan raja juga menjadi bahan perbincangan.

Dalam perbincangan, salah seorang rakyat Kaba-Kaba mengatakan

bahwa rajanya adalah seorang raja yang tampan, sementara Raja Mengwi

mempunyai janggut sangat panjang seperti domba. Rakyat Mengwi tidak

terima atas perkataan tersebut dan melaporkan hal ini kepada Anak Agung

ringkus. Wilayah yang saat ini bernama dusun Kebayan adalah

tempat dimana Raja Mengwi di-kabayanin (kena baya), dihina oleh

rakyat Kaba-Kaba.

Adanya laporan terkait perkataan rakyat Kaba-Kaba

mengakibatkan Raja Mengwi murka lantaran menganggapnya sebagai

suatu penghinaan. Raja Mengwi kemudian mengirimkan utusan ke

Kerajaan Kaba-Kaba, mengatakan bahwa Raja Mengwi menginginkan 17

penggalan kepala rakyat Kaba-Kaba sebagai tebusan atas hinaan. Apabila

raja Kaba-Kaba menolak keinginan tersebut, Raja Mengwi akan

55
memutuskan hubungan persaudaraan diantara mereka yang berarti mereka

saling bermusuhan.

Raja Kaba-Kaba sangat marah terhadap permintaan Raja Mengwi

dan menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Alasannya, apa yang

dikatakan rakyatnya hanya bercanda. Selain itu memang kenyataan kalau

Raja Mengwi pada waktu itu mempunyai janggut yang panjang seprti

domba.

Karena penolakan permintaan tersebut, singkat cerita, terjadilah

perang di daerah utara sebagai tempat strategis untuk berperang.

Lokasinya merupakan daerah kosong, hanya ditumbuhi padang ilalang.

Daerah ini dulunya bernama Dusun perang, kemudian berubah menjadi

Carik padang. Dusun Carik padang adalah Dusun pertama di Desa

Nyambu, tempat pertama yang digempur Kerajaan Mengwi.

Setelah Carik Padang, perang bersambung ke daerah selatan.

Tempat ini kemudian di kenal dengan dusun Nyambu, berasal dari kata

”nyambung”. Darah ini merupakan pos pertama kerajaan Kaba-Kaba.

Ketika merasa pertahanannya sudah jebol, rakyat Kaba-Kaba di sekitar

Dusun Nyambu dengan gagah berani ikut berperang dan mempertahankan

jiwa raganya. ”ngetohin jiwa”, mempertahankan diri dari serbuan Kerajaan

mengwi. Lama-kelamaan lokasi tersebut dinamakan Dusun Toh Jiwa.

Sementara, Dusun Mundeh dulunya merupakan daerah tertua di

Desa Nyambu. Sebelum ada kerajaan Kaba-Kaba, Mundeh merupakan

wilayah pecahan Tanah Lot. Cerita dimulai ketika Dang Hyang Dwijendra

56
mengirim 15 Peranda dan Pendeta ke daerah itu yang dulu bernama Griya

Beneng Kangin. Dulu, Mundeh dikelilingi alas keben-keben dan kemudian

dikenal dengan nama Desa Kaba-Kaba. Di Dusun Mundeh terdapat Pura

Rsi, tempat penyungsungan bagi para kaum Brahmana tersebut.

Gambar 4.1 Prasasti Desa Nyambu


(Sumber: www.tabloidpendidikan.com)

Para pendeta kemudian mendirikan padukuhan di Selatan Mundeh,

tempat mengajarkan segala hal tentang keagamaan. Sehingga, tempat

tersebut dikenal dengan nama Dusun Dukuh.

Versi lain menceritakan bahwa kata Nyambu berasal dari pohon

nyambu, pohon jambu besar yang ada di Pura Pelet. Pura ini merupakan

pura tertua yang disucikan warga Nyambu. Karena Banjar Nyambu

meupakan inti dari banjar lainnya, maka Nyambu kemudian dijadikan

sebagai nama desa.

4.1.1 Kondisi Geografis Desa Nyambu

57
Gambar 4.2 Peta Desa Nyambu
(Sumber: www.maps.google.com)

Desa Nyambu memiliki luas 348,7 Ha. Secara geografis dan

administratif, wilayah Desa Nyambu berbatasan dengan Desa Abian

Tuwung pada bagian utara, lalu pada bagian timur dibatasi dengan

Tukad Yeh Ulun, pada bagian selatan dibatasi oleh Desa Buwit dan

pada bagian barat dibatasi oleh Tukad Yeh Sungi. Desa Nyambu

meliputi 6 dusun/banjar, yaitu:

a. Banjar Carik padang: 57,1 Ha

b. Banjar Nyambu: 44,1 Ha

c. Banjar TohJiwa: 90,2 Ha

d. Banjar Mundeh: 41,5 Ha

e. Banjar Kebayan: 36,1 Ha

f. Banjar Dukuh: 79,7 Ha

Desa Nyambu dapat diakses menggunakan kendaraan pribadi,

sekitar 6 km dari ibukota Tabanan, atau 3 km dari Terminal Mengwi di

Kabupaten Badung. Desa Nyambu merupakan wilayah yang sangat

58
subur. Berdasarkan hasil pemetaan spasial diketahui bahwa Nyambu

memiliki 22 mata air atu pancoran.

4.1.2 Kondisi Demografis

4.1.2.1 Jumlah Penduduk

Total jumlah Kepala Keluarga di Desa Nyambu adalah 938

KK dengan jumlah masing-masinhg banjar yaitu Banjar Carik Padang

158 KK, Banjar Nyambu 192 KK, Banjar Tohjiwa 141 KK, Banjar

Mundeh 168 KK, Banjar Kabayan 120 KK, dan Banjar Dukuh 159

KK. Jumlah penduduk Desa Nyambu adalah 3411 jiwa dengan,

dengan sebanyak 1661 jiwa adalah laki-laki dan sebanyak 1750 jiwa

adalah perempuan. Seluruh masyarakat di Desa Nyambu memeluk

agama Hindu.

4.1.2.2 Mata Pencaharian

Berdasarkan buku pedoman yang didapat dari Kantor Desa

Nyambu, mayoritas penduduk Desa Nyambu adalah buruh dengan

persentase sebesar 34% lalu petani sebesar 28%. Namun kebutuhan

hidup para petani belum bisa tercukupi jika hanya dari hasil pertanian.

Mereka harus berprofesi ganda untuk mencukupinya, misalnya

menjadi buruh bangunan. Biasanya penduduk Nyambu yang

berprofesi ganda menjadi petani dan buruh pergi ke sawah jam 6 pagi

dan pulang jam 7 pagi untuk menjadi buruh lalu pulang dari menjadi

buruh yaitu jam 6 sore untuk ke sawah, kemudian kembali lagi ke

rumah jam 7 malam. Lalu mata pencaharian selanjutnya adalah

59
sebesar 26% penduduk Nyambu berprofesi sebagai pegawai, sebesar

9% merupakan wiraswasta dan sebesar 2% merupakan pedagang.

Gambar 4.3 Petani di Desa Nyambu


(Sumber: www.jed.or.id)

4.1.2.3 Sosial dan Budaya

Di Desa Nyambu terdapat beberapa perkumpulan

masyarakat atau yang dikenal juga dengan Sekaa. Kelompok-

kelompok itu adalah Kelompok (STT – Sekaa Teruna Teruni),

Kelompok kidung (Sekaa Santi), Kelompok Musik tradisional,

Kelompok pertanian – tani, perikanan dan ternak dan Kelompok

lainya. Berikut adalah daftar seluruh kelompok dalam seluruh

banjar:

Tabel 4.1
Kelompok Adat Desa Nyambu
Sekaa Sekaa Sekaa Kelompok Lainnya
Kelompok Teruna Santi Gong/ Tani/ Ikan

60
Teruni Angklung
Banjar
Carik Padang Kumara Dharma Dwi Darma Ternak
Bumi Gita Kunti Babi
Waraha
Nyambu Putra Sekaa Gong Tari Sari Kelompok
Manggala Kerta Mekar Jimpitan
Buwana, Sumber
Sekaa rejeki
Angklung
Giri Swara
Tohjiwa Citra Widya Putra Tari Sandat Sekaa
Dharma Sabha Winangun Layang-
layang
Kalu
Mundeh Gita Dewasa Sekaa
Suara Merdu Layang-
Swara layang
Anak-anak Baruna
Merdu
Swara
Kebayan Kusuma Gita Suara Ikan Tulus Sekaa
Winangun Winangun Dadi & Layangan
Mina Sari Keber
Dukuh Wira Gita Semara Gita Sekaa
Bhuana Winangun Layangan
Jaya Jatayu
Maruthi
Sumber: Potensi Desa Nyambu Sebagai Desa Wisata, 2016

4.1.3 Kondisi Sarana dan Prasarana di Desa Nyambu

4.1.3.1 Prasarana Air Bersih

Prasarana air bersih di Desa Nyambu saat ini sudah terpebuhi

dengan sumber air yang berasal dari PDAM yang dimana sumbernya

sendiri adalah pancoran dan mata air yang masih jernih. Sungai di Desa

Nyambu saat ini sudah tidak sederas dulu dan sungai kerap dijadikan

tempat pembuangan limbah rumah tangga oleh masyarakat sekitar.

4.1.3.2 Sumber Listrik

61
Kebutuhan masyarakat Desa Nyambu akan listrik sudah dapat

terpenuhi dengan baik. Seluruh rumah penduduk di wilayah Desa Nyambu

sudah mendapatkan aliran daya listrik dari Perusahaan Listrik Negara

(PLN).

4.1.3.3 Telekomunikasi

Jaringan telekomunikasi di Desa Nyambu sudah cukup baik. Desa

ini sudah berada ditengah kota maka dari itu jaringan yang didapat juga

sudah cukup baik. Jaringan telepon seluler juga sudah dapat diakses

dengan baik di Desa Nyambu. Selain bisa menikmati layanan telepon dan

sms dari beberapa provider selular, masyarakat Desa Nyambu juga sudah

dapat menikmati akses internet dari provider yang mereka gunakan.

Namun untuk signal , kondisinya masih cukup baik dengan kecepatan

akses yang tergolong sedang, karena di Desa ini hanya mecapai 3G belum

dapat menangkap signal 4G/LTE.

4.1.3.4 Sarana Lain

Sarana lain yang tersedia yaitu sarana pendidikan dan sarana

kesehatan. Di Desa Nyambu terdapat dua sekolah dasar (SD) yaitu SDN 2

Nyambu berlokasi di Dukuh dan SDN 1 Nyambu di Banjar Nyambu, lalu

terdapat sebuah taman kanak-kanak yaitu TK Kumara Ria di Kantor Desa

Nyambu. Sarana kesehatan di Desa Nyambu cukup tersedia, terdapat tiga

bidan praktek yang tersebar di Desa Carik Padang. Desa Kebayan, dan

Desa Nyambu. Lalu terdapat satu puskesmas yaitu Puskesmas Pembantu

Kaba-Kaba di Banjar Tohjiwa dan satu Puskesdes di Dukuh.

62
4.1.4 Pengembangan Desa Nyambu sebagai Desa Wisata Ekologis

Desa Wisata Ekologis Nyambu adalah implmentasi dari program

“Langgeng Ecotourism” yang digagas oleh British Council dan PT.

Langgeng Kreasi Jaya Prima (Diageo) dengan pemerintah dua tahun lalu

sebelum diresmikan. PT. Langgeng Kreasi Jaya Prima (LKJP) adalah anak

perusahaan dari Diageo yaitu perusahaan minuman asal Inggris yang juga

berada dibawah organisasi British Council, perusahaan ini terletak di Desa

Nyambu. Melihat keindahan alam di desa ini, PT. LKJP dan British

Council tergerak untuk menjadikan Desa Nyambu menjadi Desa Wisata

lalu mengajak pemerintah serta masyarakat desa setempat untuk

membicarakan program ekowisata tersebut. Pemerintah dan masyarakat

Desa Nyambu menyambut baik rencana tersebut. Karena memang saat itu

sudah ada kehawatiran dari para tokoh masyarakat desa, karena sudah

dibangunnya villa-villa milik swasta, dan karena letaknya yang dekat

dengan destinasi wisata Tanah Lot, besar kemungkinan, Desa Nyambu

dilirik oleh banyak pengembang property dan akan ada terjadinya alih

fungsi lahan. Sebelum hal-hal tersebut terjadi, maka Desa Nyambu setuju

dengan adanya program “Langgeng Ecotourism” yang menjadikan Desa

Nyambu sebagai Desa Wisata.

British Council telah melakukan pendataan dan survey awal serta

sosialisasi di Desa Nyambu. Survey dan pendataan ini difasilitasi oleh

Sugi Lanus, seorang peneliti sejarah dan lontar-lontar Bali. Terungkap

Desa Nyambu memiliki pura-pura sangat tua yang telah ada dari masa Bali

63
Kuno dan periode Kerajaan Gelgel. Tradisi Bali Kuno masih terjaga di

desa ini, salah satunya tradisi Permas dan beberapa tradisi kuno di Desa

Adat Mundeh, Dukuh dan Kebayan yang menjadi wilayah Desa Nyambu.

Dinilai sangat unik dan edukatif. Desa ini juga menyimpan potensi

berbagai cabang kesenian, seperti patung, lukis kaca, seni pewayangan,

tari dan gambelan, yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Warga

Nyambu menjaga warisan leluhur mereka dengan baik, termasuk 67 pura

yang dibangun mulai abad delapan pada zaman Kerajaan Kediri hingga

abad ke-13 pada zaman Kerajaan Majapahit. Pura-pura itu tersebar di

enam banjar di Desa seluas 380 hektare. Tiga banjar berada di Desa Adat

Mundah, sementara tiga lainnya masuk kawasan Desa Adat Kaba-Kaba.

Selain itu dikatakan juga bahwa 60% wilayah Nyambu adalah sawah.

Masih terdapat banyak sawah terasering yang sangat indah dan masih

menggunakan system subak yang telah ditetapkan UNESCO sebagai

warisan budaya dunia.

Gambar 4.4 Bupati Tabanan Meresmikan DWE


Nyambu (Sumber: www.jayapos.com)

64
Akhirnya Desa Nyambu diresmikan menjadi Desa Wisata Ekologis pada

29 April 2016 oleh Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti dan dihadiri juga oleh

Muspida Tabanan, DPRD Tabanan, Pelingsir Puri Kaba-kaba, Perbekel Se-

Kecamatan Kediri, Biro Perjalan Wisata serta undangan lain yang mewakili

berbagai lembaga masyarakat. Pada acara ini juga terjadi penandatanganan

kerjasama antara pemerintah Kabupaten Tabanan dengan British Council.

Sebelum diresmikan, program “Langgeng Ecotourism” diawali dengan

pengenalan ekowisata serta pelatihan Bahasa Inggris, pelatihan pengelolaan Desa

Wisata, dan berbagai pelatihan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan

pariwisata. Perencanaan dan pengelolaan dilakukan secara partisipatif oleh

masyarakat sendiri, dan British Council hanya menjadi fasilitator. Selanjutnya

akan terus didampingi oleh British Council selama dua setengah tahun, sampai

akhirnya DWE Nyambu bisa mandiri. Diharapkan hasilnya bisa memberi

kontribusi untuk dana pendidikan, memelihara lingkungan dan kebersihan,

pembinaan kesenian, serta pemberdayaan warga Desa Nyambu.

Adapun produk ekowisata yang dijual oleh DWE Nyambu adalah Susur

Desa Bersepeda, Susur Sawah, dan Susur Budaya. Susur desa bersepeda yaitu

wisatawan diajak menjelajahi suasana pedesaan khas Bali dengan bersepeda

menelusuri jalur pendek maupun panjang yang melewati sawah-sawah,

pemukiman dan pura sambl menikmati keindahan Desa Nyambu. Jalur-jalur yang

ada dapat dipilih sesuai kemampuan agar perjalanan menyenangkan.

65
Gambar 4.5 Susur Sepeda
(Sumber: www.jed.or.id)

Selanjutnya susur sawah yaitu kegiatan menelusuri persawahan

Desa Nyambu untuk melihat keberhasilan warga Nyambu dalam menjaga

keberlanjutan kedaulatan pangan, budaya, dan lingkungan. Saat

menelusuri pematang sawah dan sungai akan diceritakan mengenai asal

usul terbentuknya persawahan di Desa Nyambu, serta bagaimana cara

masyarakat desa memelihara persawahan mereka hingga sekarang. Di

akhir tur, wisatawan diaja untuk membnuat jaja Bali, panganan olahan dari

tepung beras, yang merupakan bagian dari banten yang dipersembahkan

kepada alam dan Sang Pencipta.

66
Gambar 4.6 Susur Sawah
(Sumber: www.jed.or.id)

Lalu Susur budaya adalah kunjungan ke banjar atau dusun-

dusun tertua di Desa Nyambu, yang akan mengungkap lembar

demi lembar sejarah Bali. Dalam kegiatan ini wisatawan diajak

melacak perjalanan Dang Hyang Nirartha, seorang guru spiritual

dari kerajaan Majaphit yang pernah mengunjungi Desa Nyambu

untuk mengajarkan ajaran Hindu. Proses panjang dari interaksi

budaya yang membentuk keunikan Bali saat ini dapat diamati dari

rumah-rumah, pura-pura dan hutan-hutan uang ada di Desa

Nyambu. Wisatawan juga diajak membuat Banten, sesaji yang

dipersembahkan sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan

bagi semua makhluk demi menjaga keseimbangan kehidupan.

67
Gambar 4.7 Susur Budaya
(Sumber: www.jed.or.id)

Setiap paket tersebut diberi harga Rp 750.000/orang untuk

wisatawan mancanegara, sedangkan untuk wisatawan lokal adalah

setengah dari harga tersebut yaitu Rp 325.000/orang. Harga tersebut sudah

termaasuk snack dan makan siang yang dibuat langsung oleh ibu-ibu dari

Desa Nyambu. Selain paket-paket wisata yang ditawarkan diatas,

wisatawan juga dapat memilih aktivitas lain yang dapat dilakukan,

misalnya melihat Sendratari Ratu Nyoman, memainkan permainan-

permainan taradisional, belajar membuat canang atau ketupat, belajar

melukis, atau mengunjungi para pengrajin kayu. Semua dapat disesuaikan

dengan kemauan wisatawan.

4.1.5 Kondisi Kepariwisatan Desa Nyambu

Suatu wilayah dapat dikatakan sebagai destinasi wisata yang

baik jika telah memenuhi kriteria 4A (atraksi, aksesibilitas, amenitas dan

ancillaries). Dengan status sebagai desa wisata, Desa Belandingan,

seharusnya juga telah memenuhi keempat kriteria tersebut, karena kriteria

4A dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kualitas suatu

68
destinasi wisata. Penjabaran kriteria 4A di Desa Wisata Ekologis Nyambu

adalah:

4.1.5.1 Atraksi

a. Keanekaragaman Hayati

Desa Nyambu memiliki banyak keragaman hayati mulai dari

jenis tanaman-tanaman yang memiliki fungsi sebagai obat, buah-

buahan, pertanian dan tanaman yang di budidaya. Tanaman yang

dapat dijadikan obat antara lain adalah kunyit, mahkotadewa, piduh,

lidah buaya, kayu manis, dll. Dan ragam jenis buah-buahan yang

terdapat di Desa Nyambu seperti alpukat, pisang, papaya, sirsak,

manggis, jambu biji dan jambu mete, dll. Selain padi, banyak juga

masyarakat yang membudidayakan kelapa, pisang, coklat dan kopi.

Gambar 4.8 Jalur trekking DWE Nyambu


(Sumber: www.jed.or.id)

Selain tanaman, di Desa Nyambu juga terdapat banyak

hewan-hewan yang sudah jarang bisa ditemui di daerah perkotaan

atau daerah yang padat penduduk seperti burung gagak, burung

wallet, lebah hutan, monyet, trenggiling, luwak, landak, ular piton

69
dan jenis ular lainnya. Selain hewan-hewan tersebut, banyak pula

hewan-hewan ternak milik masyarakat seperti babi, ayam, bebek,

kambing dan sapi.

b. Ritual dan Kesenian

Seperti Bali pada umumnya, Desa Nyambu juga memiliki

dan menjalankan banyak ritual yang hamper sama dengan daerah

lain di Bali. Namun ada ritual khusus yang hanya di miliki Desa

Nyambu, yaitu :

1. Mebanten meprani setiap sasih keenam (Nangkluk Merana),

banten caru dihaturkan di perempatan, perbatasan banjar, dan

bale banjar.

2. Setiap Hari Kuningan, Pura Duwur mendak tirta ke Pura Dalem

Sakenan di Serangan dan Pura Mertasari di Belanjong.

3. Melancaran (Nangkluk Merana) adalah ritual yang di lakukan di

Desa Adat Mundeh pada pertengahan sasih kelima dan keenam,

pada rahinan Kliwon sampai Kajeng Kliwon dalam rentang

waktu 15 hari (nyejer). Di akhir acara Nangkluk Merana di

adakan sesolahan di Pura Pesamuan.

70
Gambar 4.9 Mebanten (Sumber: www.jed.or.id)

Desa Nyambu juga memiliki beberapa jenis kesenian, sebagian

besar di antaranya bersifat sakral, seperti; Barong Bangkung yang

diadakan pada hari penampahan galungan, galungan, penampahan

kuningan dan kuningan. Biasanya diselenggarakan oleh anak-anak, remaja

dan orang tua serta pemangku/penyarikan di Pura Dalem. Tarian Rejang

yang ditarikan oleh anak-anak yang belum akil balig (saat piodalan),

Tarian Masenau (penutup piodalan), Topeng Pajegan, Topeng Sidakarya,

Barong ket, Rangda, Rejang Rentet, Tari Leko, Sesolahan Pinggel (gelang

kecil), sesolahan ini ditarikan oleh Bajang Daha Sari (remaja perempuan

yang belum akil balig). Selain kesenian yang sacral terdapat juga kesenian

hiburan seperti; Prembon, Tari Penyanggra, Tari Pependetan, Tari

Payembrahma, dan Wayang kulit Nyambu.

c. Permainan Tradisional

Anak-anak di Desa Nyambu kebanyakan masih memainkan

permainan tradisional, dimana pada saat wisatawan berkunjung, banyak

juga wisatawan yang diajak untuk bermain permainan tradisional seperti:

71
1. Megala-galaan

Permainan ini dimainkan oleh 2 (dua) kelompok yang

terdiri dari beberapa orang. Satu kelompok menjadi kelompok

yang menjaga perbatasan dan kelompok lainnya berusaha

melalui daerah yang dijaga tersebut. Kelompok dinyatakan

memang apabila dapat melewati wilayah yang dijaga musuh

atau kelompok yang menjaga mampu menangkap seluruh

kelompok yang menjaga mampu menangkap seluruh kelompok

yang akan melewati wilayahnya.

2. Tekong-tekongan

Dimainkan oleh beberapa orang yang berlomba

memasukkan koin (bongkar tembikar) ke dalam lingkarangan

yang telah dibuat sebelumnya. Orang terakhir yang

memasukkan koinnya akan bertugas sebagai pencari, sementara

yang lainnya bersembunyi.

3. Benteng-bentengan

Dimainkan oleh 2 (dua) kelompok yang

mempertahankan benteng masing-masing. Setiap kelompok

berusaha untuk menaklukan benteng lainnya.

4. Macepet-cepetan:

Dimainkan oleh 2 (dua) orang dan masing-masing

berlomba menyentuh kepala/kaki masing-masing lawan.

72
5. Mecingklak

Dilakukan oleh satu orang atau lebih. Menggunakan

beberapa batu, pemain berusaha mengambil batu-batu tersebut

dengan cara tertentu.

6. Dul-dulan

Dimainkan oleh 2 (dua) kelompok, semua kelompok

menyusun potongan tembikar sesuai dengan jumlah petani.

Kedua kelompok berlomba melempar batu ke susunan tembikar

agar jatuh. Kelompok yang berhasil menjatuhkan berlari untuk

bersembunyi, sementar kelompok yang tidak berhasil

menjatuhkan bertugas menyusun kembali tumpukan tembikar

dan mencari kelompok yang bersembunyi. Kelompok yang

bersembunyi berusaha menjatuhkan lagi susunan tembika tanpa

sepengetahuan kelompok yang mencari. Jika ketahuan, pemain

tidak boleh ikut permainan lagi dironde tersebut.

d. Kuliner Tradisonal

Saat wisatawan berkunjung ke DWE Nyambu,

wisatawan akan disuguhkan makanan tradisional yang ada di

Desa Nyambu.

73
Gambar 4.10 Makanan Tradisonal Nyambu
(Sumber: www.jed.or.id)
1. Jukud Bebiyah

Bahan untuk membuat makanan ini adalah bebiyah,

kelapa parut bakar dengan bumbu yang diperlukan adalah

bawang putih, kencur, dan garam. Cara membuatnya adalah

dengan membersihkan lalu merebusnya. Ulek bumbu yang

sudah disebutkan, lalu campur bebiyah, bumbu dan kelapa

parut.

2. Jukud Pusuh Biu

Bahan yang diperlukan adalah jantung pisang dan kelapa

parut bakar. Sedangkan untuk bumbunya adalah kencur, bawang

putih dan garam. Cara membutanya yaitu buang beberapa

kelopak jantung pisang, potong sesuai selera lalu direbus,

sementara itu ulek bumbu-bumbu. Selanjutnya campurkan

jantung pisang dengan bumbu dan kelapa.

74
3. Be Lindung Mecakcak

Makanan ini hanya membutuhkan belut sebagai

bahannya, dan bumbu yang diperlukan adalah bawang putih,

kencur dan garam. Cara membuatnya adalah terlebih dahulu

belut harus dibersihkan lalu direbus. Setelah matang, pipihkan

belut dengan cara dipukul-pukul, ulek bumbu lalu campurkan

bumbu dengan belut.

4. Jukut Kakul

Bahan yang diperlukan adalah kakul dengan bumbu

yaitu bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, lengkuas,

kencur, ketumbar, cabai terasi, garam, dan daun salam. Cara

membutanya jukud kakul yang harus dilakukan pertama kali

adalah menghaluskan semua bumbu, lalu bersihkan kakul

namun cangkang nya tidak perlu dihilangkan, selanjutnya adalah

rebus kakul bersama bumbu. Lalu kakul siap dihidangkan.

5. Pesan Tlengis

Bahan utama adalah tlengis yaitu ampas santan sisa

pembuatan minyak kelapa yang sudah disaring, faun kayu

manis, dan daun pisang. Bumbu yang diperlukan adalah bawang

putih, bawang merah kunyit, kencur, cabai dan garam. Cara

membuatnya yaitu iris semua bumbu, kemudian diremas,

campur dengan tlengis dan daun kayu manis, setelah itu

75
bungkus dengan daun pisang, bentuk memanjang (bentuk

pepes), lali panggang diatas api sampai matang.

e. Usada/ Pengobatan

Usada adalah pengetahuan pengobatan tradisional Bali,

termasuk semua tata cara untuk menyembuhkan penyakit, cara

pengobatan, pencegahan, diagnose/memperkirakan jenis

penyakit, perjalanan penyakit dan pemulihannya.

Balian adalah pengobatan Bali, orang yang mempunyai

kemampuan mengobati orang sakit. Ada beberapa jenis balian,

salah satu diantaranya adalah Balian Usada, yaitu seseorang

dengan sadar belajar tentang ilmu pengobatan. Ada beberapa

cara yang digunakan dalam pengobatan, yaitu dengan

menggunakan ramuan dari tumbuhan, balian lung (patah

tulang), kacekel/limpun (pijat), apun (lulur), wuut (urut), manak

(melahirkan), dan lain-lain.

Ada beberapa jenis pengobatan tradisional di Desa

nyambu, diantaranya adalah:

a. Pijat keseleo : Dadong Anom, I Wayan Supleg/Pekak Nyon

b. Pijat refleksi : Pak De Restu

c. Balian urut : Jero Widi

d. Balian tamba : Mangku Suandari, Jero Trevy, Jero Anom,

Made Sandi Adnyana, Ratu Aji Mangku

e. Balian usada: Dasaran Budi/I nyoman Semprog

76
f. Usaha dan Produk Masyarakat

Sebagian besar wilayah Nyambu masih dikelola masyarakatnya,

yaitu sawah seluas 213.2 Ha, kebun/hutan campuran seluas 51,5 Ha dan

pemukiman sebesar 44 ha. Beberapa produk dan usaha lokal yang

berkembang diantaranya adalah kebutuhan upacara seperti jaje bali,

begina, sirat, ayam upacara, dan pandan. Lalu banyak juga masyarakat

yang mempunyai ternak sebagai usaha mereka seperti ternak ayam, bibit

babi, bebek, belut, lele, dan kolam pancing.

Gambar 4.11 Peternakan Lele dan Belut


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Ada pula masyarakat yang mempunyai penyosohan beras. Untuk

olahan pangan, banyak masyarkat yang memproduksi kue basah (jaje

giling-giling, ketan, injin), olahan ikan tuna (pepes dan tum), olahan

daging ayam, babi , dan bebek. Ada juga masyarakat yang bergerak dalam

produksi sanggah seperti memproduksi kayu cempaka dan ukiran. Lalu

terdapat juga masayarakat yang memproduksi ukiran kayu pintu/gebyok,

kerajinan kayu dan interior, serta terdapat pande besi yang menghasilkan

sabit, pisau, dan cangkul.

77
4.1.5.2 Aksesibilitas

Gambar 4.12 Kondisi Jalan Desa Nyambu


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Desa Nyambu dapat diakses menggunakan kendaraan

pribadi, sekitar enam kilometer dari Ibukota Tabanan atau 21

kilometer dari Kota Denpasar. Jalan menuju desa Nyambu beraspal

dengan kondisi baik, namun jalan yang ada di dalam desa masih

dalam kondisi rusak. Sebelumnya jalan untuk mengakses desa yang

merupakan jalan kabupaten juga rusak parah, namun sebelum

diresmikan pemerintah memperbaiki jalan tersebut.

4.1.5.3 Amenitas

Di Desa Nyambu sudah terdapat beberapa penginapan dari

sebelum desa ini dijadikan Desa Wisata Ekologis. Penginapan tersebut

antara lain adalah Villa Batu Sangging dan Villa Arjuna di Banjar

Nyambu, Villa Lila Cita dan Villa Arsana Estate di Banjar Tohjiwa,

Villa Pondok Damai, Villa Burung Raja dan Villa Uma Sari di Banjar

Mundeh, Villa Nyambu, Villa Mr. rico, Villa Swarga Mandala di

Banjar Kebayan, lalu Villa Tebing dan Villa Dukuh di Banjar Dukuh.

78
Selain penginapan tersebut, beberapa rumah masyarakat juga disiapkan

sebagai penginapan atau homestay.

Gambar 4.13 Pemiliki homestay di Desa Nyambu


(Sumber: www.jed.or.id)

4.1.5.4 Ancillaries

Saat ini Desa Nyambu sudah memiliki lembaga pengelolaan yang

berasal dari masyarakat sendiri, yang sebelumnya sudah diberi

pelatihan terkait pengelolaan desa wisata, dan sukarela dalam

mengembangkan Desa Wisata Ekologis Nyambu ini. Adapun visi misi

yang dimiliki Desa Nyambu adalah:

Visi: “Menjadi desa wisata ekologis yang berkelanjutan, mandiri,

mengikuti perkembangan zaman, dan sejahtera dengan tetap berpegang

pada nilai dan budaya dan sraddha bhakti.

Misi:

a. Meningkatkan dan memantapkan rasa bhakti kepada Ida Sang

Hyang Widhi Wasa

b. Mempertahankan kelestarian lingkungan dan budaya di Desa

79
Nyambu

c. Mengembangkan seni dan budaya (warisan leluhur)

d. Meningkatkan wawasan, iptek, dan keterampilan masyarakat Desa

Nyambu

e. Membangun jaringan dengan desa wisata ekologis lainnya dan

industry pariwisata

Gambar 4.14 Kantor DWE Nyambu


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Selain Pengelola, DWE Nyambu juga didukung oleh beberapa

lembaga:

a. British Council

British Council adalah organisasi asal Inggris yang

menawarkan kesempatan pendidikan dan hubungan budaya.

British Council dalam hal ini membantu mengembangkan

potensi dan sumber daya di Desa Nyambu serta

mengembangkan Desa Nyambu sebagai Desa Wisata Ekologis.

British Council berkontribusi dalam bentuk memberikan

pelatihan-pelatihan kepada masyarakat. Biritish Council juga

80
menyumbangkan 11 unit sepeda yang digunakan untuk

kegiatan susur sawah di DWE Nyambu.

Gambar 4.15 Penandatanganan Kerjasama dengan British


Council
(Sumber: www.kabarnusa.com)

b. PT. Langgeng Kreasi Jaya Prima

Sama halnya dengan British Council, PT LKJ juga

membantu untuk mengambankgkan segala potensi dan sumber

daya yang ada di Desa Nyambu. PT. Langgeng Kreasi

Jayaprima adalah sister company dari DIAGEO yang

merupakan Perusahaan Minuman yang Memproduksi Beer,

Wine and Whiskey yang Pusat Markasnya berada di London,

Inggris dengan Jumlah Pekerja 22.333 Pekerja. Adapun Anak

Perusahaan dari DIAGEO adalah Hennessy, Sterling

Vineyards, Beaulieu Vineyard.

c. Yayasan Wisnu

Yayasan Wisnu adalah organisasi nirlaba independen

yang berbasis di Indonesia yang mengkhususkan diri dalam

81
pengelolaan sumber daya masyarakat. Area fokus organisasi

secara aktif memfasilitasi pendekatan akar rumput, bekerja

secara langsung dengan masyarakat lokal untuk mengelola

sendiri sumber daya alam dan sosial mereka secara lestari.

Wisnu membangun kapasitas dan kesadaran dengan

mengkatalisasi penatalayanan lokal dan aksi masyarakat

sambil memberikan dukungan kepemimpinan dan organisasi.

Yayasan ini mengkhususkan diri pada program pemberdayaan

masyarakat, perencanaan desa strategis, jaringan ekowisata

desa dan sistem pengelolaan limbah terpadu.

Yayasan Wisnu telah mengumpulkan banyak

pengetahuan dan pengalaman selama 24 tahun terakhir,

bertindak sebagai fasilitator yang transparan dan akuntabel

untuk menjembatani kesenjangan antara lembaga pemberi

hibah dan kebutuhan masyarakat lokal di Indonesia. Organisasi

tersebut telah menerima hibah dan bekerja sama dengan donor

seperti Dana Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI),

Institut Samdhana, British Council, Asosiasi Ahli Geografi

Amerika, Bank Mandiri dan Institut Ekonomi Energi

Indonesia.

Misi Wisnu Foundation adalah 'menjadi lembaga sosial

yang mandiri, memiliki reputasi baik dan terpercaya atas

pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat yang

82
berkelanjutan'.

Tindakan Yayasan tersebut ditetapkan dengan kuat

berdasarkan prinsip-prinsip sosial, yang menggabungkan

penghormatan non-diskriminatif terhadap hak asasi manusia,

kesetaraan jender, pelestarian lingkungan dan pelestarian

kearifan lokal. Jaringan desa penyangga utama Wisnu saat ini

mencakup 18 desa di Bali, sementara organisasi tersebut telah

bekerja sama dengan 30 desa di Bali dan pada tahap awal

program pendekatan terumbu karang dengan lima desa di

Halmahera Timur, Maluku Utara. Organisasi ini telah terlibat

dengan desa-desa dan pejabat pemerintah kabupaten dalam

lokakarya, pertukaran pembelajaran dan kegiatan penelitian di

seluruh Indonesia (dari timur ke barat) dan juga regional di

Asia Tenggara (Jepang, Malaysia, Timor Leste dan Thailand).

Selain itu, Wisnu telah menjamu para siswa dan magang dari

seluruh dunia di pusat pembelajaran organisasi yang berkantor

pusat di Bali.

Peran dari yayasan wisnu adalah membantu dalam

memberikan pelatihan-pelatihan dan juga pendampingan bagi

masyarakat Nyambu, sampai akhirnya nanti DWE Nyambu

bisa swadaya atau mandiri dalam mengatur atau mengelola

desa wisatanya.

83
d. Jaringan Ekowiata Desa (JED)

Jaringan Ekowisata Desa (JED - desa jaringan ekowisata)

diluncurkan pada tahun 2002 sebagai tanggapan terhadap trend

pariwisata di Bali. Ini dirancang dan dimiliki oleh masyarakat empat

desa di Bali - Kiadan Pelaga, Dukuh Sibetan, Tenganan Pegringsingan

dan Pulau Ceningan - dengan bantuan administratif dari Yayasan

Wisnu, salah satu LSM lingkungan tertua di Bali.

JED adalah keinginan kuat dari empat komunitas yang ingin

menentukan sendiri masa depan rakyatnya, budaya dan lingkungannya.

Mengajak pengunjung ke desa mereka adalah cara tidak hanya untuk

mengumpulkan dana untuk kegiatan budaya dan konservasi, tetapi

juga untuk meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap aset ini.

Ini adalah kesempatan bagi warga desa untuk berbagi kebanggaan

mereka di Bali dengan pengunjung, dan saat ini Bali mengetahui dan

mencintainya, kepada dunia. Hasilnya adalah kesempatan unik bagi

wisatawan untuk langsung merasakan kehidupan desa dan melihat apa

Bali.

Jaringan Ekowisata Desa membantu menjual atau

mempromosikan DWE Nyambu dengan memuat paket-paket wisata,

atraksi dan harga serta kontak yang harus dihubungi jika ingin

berkunjung ke Desa Nyambu.

84
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum keseluruhan data dikumpulkan, terlebih dahulu dilakukan 2

(dua) uji terhadap kuesioner yang digunakan sebagai alat pengumpul data

yaitu uji validitas dan uji reliabilitas. Setiap pertanyaan pada kuesioner

dianggap valid apabila r hitung (item dikoreksi total korelasi) menunjukkan

hasil yang lebih besar dibandingkan dengan r tabel yaitu 0,361. Uji reliabilitas

terhadap variabel dalam penelitian ini menggunakan metode Cronbach’s

Alpha (α). Bila hasil dari uji reliabilitas melebihi Cronbach’s Alpha (α) yaitu

0,60, maka indikator yang digunakan pada kuesioner dinyatakan handal atau

dapat dipercaya sebagai alat ukur variabel.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 32 indikator yang

merupakan gabungan dari tiga variable yaitu hambatan operasional, hambatan

strukrural, dan hambatan kultural. Setelah diuji terdapat 6 indikator yang tidak

valid karena memiliki r hitung atau item-dikoreksi total korelasi kurang dari

0,361, selanjutnya indikator yang tidak valid tersebut dihilangkan dan

menyisakan 26 indikator. Sebelumnya indikator-indikator dalam kuesioner

tersebut terbagi menjadi dua jenis kalimat, yaitu pernyataan negative dan

pernyataan positif sehingga peneliti kesusahan dalam memasukan nilai-nilai

yang didapat. Oleh karena itu dilakukan persamaan untuk seluruh indikator

yaitu seluruh kalimat dibuat dalam bentuk kalimat pernyataan positif agar

85
memudahkan peneliti dalam memasukan dan menganalisis data. Berikut

adalah paparan hasil uji validitas dan reliabilitas keseluruhan indikator:

Tabel 5.1
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Variabel Hambatan Operasional
Item Dikoreksi- Nilai Alpha
No Item Pernyataan Total Kolerasi Cronbach
1 Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pengambilan .704 .898
keputusan untuk menjadikan Desa Nyambu sebagai
DWE.
2 Masyarakat didengar dan diterima pendapatnya oleh .824 .894
stakeholder pada pertemuan untuk mengambil
keputusan dalam pengembangan DWE Nyambu.
3 Masyarakat dilibatkan secara rutin dalam implementasi .767 .895
program dari kegiatan pengembangan DWE Nyambu
4 Masyarakat memperoleh pembagian hasil atas kegiatan .687 .896
pengembangan DWE Nyambu.
5 Masyarakat didlibatkan dalam kegiatan monitoring .651 .897
(pengawasan) dan evaluasi terhadap pengembangan
DWE Nyambu.
6 Masyarakat tahu dan dilibatkan dalam menjadikan .746 .896
Desa Nyambu sebagai DWE.
7 Pengelola DWE sering berkoordinasi dengan .797 .895
masyarakat dalam kegiatan pengembangan DWE
8 Terdapat pertemuan rutin antara penglola dengan .443 .901
masyarakat untuk membahas permasalahan DWE.
9 Masyarakat kurang memahami (kurang informasi) .151 .906
tentang potensi wisata yang ada di DWE Nyambu.
10 Masyarakat jarang memperoleh informasi tentang .414 .901
program dan kegiatan DWE.
11 Pengelola jarang menginfromasikan kepada masyarakat .626 .897
tentang dampak pengembangan Desa Nyambu sebagai
DWE.
12 Masyarakat memahami dengan baik tentang DWE .615 .898
Nyambu karena sering diinformasikan/
dikomunikasikan oleh pengelola dalam pertemuan-
pertemuan di banjar
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2017

Tabel 5.1 merupakan paparan hasil uji validitas dan reliabilitas dari

variable hambatan operasional, yang memiliki 12 turunan indikator.

Seluruh indikator memiliki nilai alpha conbrach >0.60 yang berarti seluruh

indikator dinyatakan reliabel. Namun terdapat satu indikator yang tidak

valid karena memiliki nilai item dikoreksi total korelasi di bawah 0.361.

Indikator terebut adalah ‘masyarakat kurang (kurang informasi) tentang

potensi wisata yang ada di DWE Nyambu’, lalu indikator tersebut

86
dihilangkan karena dinyatakan tidak valid.

Tabel 5.2
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Variabel Hambatan Struktural
Item Dikoreksi- Nilai Alpha
Item Pernyataan
Total Kolerasi Cronbach
1 Pengelola beranggapan bahwa mereka saja yang mampu .517 ,899
memecahkan persoalan DWE Nyambu sehingga
maasyarakat tidak perlu dilibatkan
2 Masyarakat hanya menjalankan program/kegiatan yang -.346 .914
sepenuhnya disusun oleh stakehoders.
3 Masyarakat sudah biasa berkomunikasi dengan .581 .898
wisatawan yang datang ke DWE Nyambu
4 Masyarakat sudah biasa memberikan pelayanan .401 .901
pariwisata kepada wisatawan yang mengunjungi DWE
Nyambu
5 Aspirasi masyarakat sudah terwakilkan oleh pengelola .116 .905
DWE.
6 Seluruh kegiatan dalam pengembangan DWE Nyambu .543 .899
hanya melibatkan stakeholders
7 Desa Nyambu sudah memiliki lembaga yang mendorong .381 .902
masyarakat agar lebih aktif berpartisipasi dalam
pengembangan DWE
8 Desa Nyambu memiliki peraturan yang mewajibkan .420 .901
masyarakat berpartisipasi dalam pengembangan DWE
9 Masyarakat diberikan pelatihan terkait program yang .657 .897
akan dilaksanakan di DWE Nyambu.
10 Masyarakat kurang memiliki pengetahuan dibidang .183 .905
kepariwisataan
11 Masyarakat mampu mengatasi masalah yang terkait .368 .903
pariwisata di DWE Nyambu.
12 Waktu dan tenaga yang dimiliki masyarakat sudah habis -.071 .901
untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan sehari-hari
13 Ikut berpartisipasi berarti akan meninggalkan pekerjaan .680 .896
rutin yang membuat masyarakat merasa rugi.
14 Pekerjaan utama Masyarakat lokal lebih memberikan .374 .903
manfaat dibanding ikut berpartisipasi dalam
pengembangan DWE Nyambu.
15 Pengembangan DWE Nyambu saat ini membutuhkan .567 .899
lebih banyak dana
16 Sumber pendanaan untuk pengembangan DWE Nyambu .451 .901
bukan berasal dari masyarakat melainkan organisasi luar
yang terlibat
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2017

Selanjutnya dalam Tabel 5.2 dapat dilihat paparan hasil uji

validitas dan reliabilitas indikator dari variable hambatan structural. Pada

variable ini terdapat 16 turunan indikator. Seluruh indikator memiliki nilai

alpha conbrach lebih dari 0.60 sehingga dinyatakan reliable. Lalu terdapat

empat indikator yang memiliki nilai item dikoreski total kurang dari 0.361,

87
yaitu ‘Masyarakat hanya menjalankan program/kegiatan yang sepenuhnya

disusun oleh stakehoders’, ‘Aspirasi masyarakat sudah terwakilkan oleh

pengelola DWE’, ‘Masyarakat kurang memiliki pengetahuan dibidang

kepariwisataan’, dan ‘Waktu dan tenaga yang dimiliki masyarakat sudah

habis untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan sehari-hari’. Selanjutnya

empat indikator tersebut dikeluarkan dari kuesioner sehingga untuk

variable hambatan structural menyisakan 12 indikator.

Tabel 5.3
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Variabel Hambatan Kultural
Item
Nilai Alpha
No Item Pernyataan Dikoreksi-
Cronbach
Total Kolerasi
1 Masyarakat peduli akan keberadaan kegiatan .523 .899
pariwisata di Desa Nyambu
2 Masyarakat sadar bahwa ia bertanggung jawab .656 .897
atas keberlangsungan desanya.
3 Masyarakat menyadari adanya manfaat dari .743 .896
kegiatan pariwisata di desa ini.
4 Banyak masyarakat yang terbatas dalam segi -.025 .910
finansial, sehingga kurang berpartisipasi dalam
pengembangan DWE
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2017

Pada Tabel 5.3, terlihat seluruh indikator yang mewaikili hambatan

kultural reliable untuk digunakan sebagai indikator dalam penelitian ini

karena memiliki nilai alpha conbrach lebih dari 0.60. Namun terdapat satu

indikator yang tidak valid yaitu ‘Banyak masyarakat yang terbatas dalam

segi finansial, sehingga kurang berpartisipasi dalam pengembangan DWE

Nyambu. Maka dari itu dalam penyebaran kuesioner selanjutnya indikator

tersebut dihilangkan dan tersisa tiga indikator yang mewakili hambatan

kultural.

88
5.2 Karakteristik Responden

Penentuan responden pada penelitian partisipasi masyarakat lokal dalam

pengembangan DWE Nyambu di Kabupaten Tabanan menggunakan teknik

sampling berupa proportional random sampling. Berdasarlan teknik sampling

tersebut, peneliti membagi responden berdasarkan jumlah persebaran

masyarakat disetiap banjar sehingga menghasilkan jumlah yang proporsional

dan merata. Didapatkan jumlah responden adalah 15 responden dari banjar

Carik Padang, 19 responden dari banjar Nyambu, 14 responden dari banjar

Tohjiwa, 16 responden dari banjar Mundeh, 12 responden dari banjar

Kebayan, dan 14 responden dari banjar Dukuh, dengan seluruh total

responden adalah 90 orang. Adapun profil dari 90 masyarakat lokal yang

menjadi responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada table 5.4 berikut:

89
Tabel 5.4
Karakteristik Responden
No Keterangan Responden Persentase
(Orang) (%)
1 Jenis Kelamin
Laki-laki 56 62.2
Wanita 34 37.8
2 Status Perkawinan
Lajang 28 31.1
Menikah 61 67.8
Bercerai 1 1.1
3 Usia
<20 Tahun 4 4.4
21 – 30 Tahun 31 34.4
31 - 40 Tahun 27 30
41 – 50 Tahun 22 24.4
> 50 Tahun 6 6.7
4 Pendidikan Terakhir
SD 6 6.7
SMP 14 15.6
SMA/ SMK 54 60
Sarjana 10 11.1
Lainnya 6 6.7
5 Pekerjaan
Pelajar 5 5.6
PNS 5 5.6
Petani 13 14.4
Pengrajin 5 5.6
Pedagang 12 13.3
Wiraswasta 10 11.1
Buruh 10 11.1
Pegawai 19 21.1
Ibu Rumah Tangga 10 11.1
Lainnya 1 1.1
6 Pendapatan Perbulan (ribu)
< Rp 1.000 15 16.7
Rp 1.100 – 2.000 46 51.1
Rp 2.100 – 3.000 13 14.4
Rp 3.100 – 4.000 7 7.8
Rp 4.100 – 5.000 7 7.8
> Rp 5.000 2 2.2
Sumber: Hasil Penelitian, 2017 (Data Diolah)

90
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam

penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 56 orang dengan

persentase 62.2%, sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan

berjumlah 34 orang dengan persentase 37.8%. Selanjutnya responden

digolongkan kedalam tiga kategori yaitu responden yang masih lajang,

sudah menikah dan responden yang bercerai. Tabel 5.4 menunjukkan

bahwa sebagian besar responden sudah menikah yaitu berjumlah 61 orang

atau 67.8%, sedangkan responden yang masih lajang berjumlah 28 orang

atau dengan persentase 31.1%. Lalu berdasarkan usia, responden yang

berusia 21-30 tahun yaitu berjumlah 31 orang atau 34.4%, lalu responden

yang berusia 31-40 yang berjumlah 27 responden atau 30%, selanjutnya

terdapat 24.4% responden yang berumur 41-50 tahun atau berjumlah 22

orang, kemudian terdapat 6 orang yang berusia lebih dari 50 tahun atau

setara dengan 6.7%, dan haya 4.4% responden yang berusia dibawah 20

tahun atau berjumlah 4 orang.

Selanjutnya berdasarkan pendidikan terakhir, dapat dilihat bahwa

lebih dari setengah total responden memiliki pendidikan terakhir pada

jenjang SMA/SMK yaitu berjumlah 54 orang atau 60%, lalu responden

yang memiliki pendidikan terakhir SMP berjumlah 14 orang atau 15.6%.

Terdapat 10 orang yang memliki pendidikan terakhir Sarjana atau 11.1%,

namun adapula responden yang memiliki pendidikan terakhir SD yaitu

sejumlah 6 orang atau 6.7%, kemudian responden yang memiliki

91
pendidikan terakhir lainnya berjumlah 10 orang atau 11.1%, dengan

keterngan pendidikan responden adalah kebanyakan D1, D2 dan D3. Lalu

pada Table 5.4 dapat dilihat keberagaman profesi responden, yang paling

banyak adalah responden yang menjadi pegawai yaitu berjumlah 19 orang

atau 21.1%, lalu responden yang merupakan petani adalah 13 orang

dengan perentase 14.4% dan pedagang dengan jumlah 12 orang atau

13.3%. Kemudian terdapat masing-masing 10 responden atau 11.1% yang

berprofesi menjadi wiraswasta, buruh, dan ibu rumah tangga. Lalu untuk

responden yang berprofesi sebagai pengrajin, PNS, dan Mahasiswa

berjumlah 5 orang atau 5.6%. Dan terdapat satu orang atau 1% yang

berprofesi sebagai lainnya yaitu merupakan tenaga medis di puskesmas.

Mayoritas masyarakat yang bekerja sebagai pegawai juga memiliki

pekerjaan lain seperti pedagang, atau memiliki usaha sambilan lainnya.

Hal tersebut menyebabkan waktu yang dimiliki masyarakat tidak terlalu

banyak, sehingga hanya beberapa saja masyarakat yang tertarik untuk

berpartisipasi aktif.

Selanjutnya berdasarkan pendapatan per bulan, menunjukkan

bahwa setengah dari total responden yaitu 46 orang atau 51.1% memiliki

pendapatan Rp 1.100.000 – 2.000.000 per bulan. Lalu sebanyak 15 orang

atau 16.7% memiliki pendapatan dibawah Rp 1.000.000, selanjutnya

masing-masing responden berjumlah 7 orang atau 7.8% memiliki

pendapatan Rp 3.100.000-4.000.000 dan Rp 4.100.000-5.000.000

perbulannya. Hanya terdapat 2 orang atau 2.2% responden yang memiliki

92
pendapatan diatas lima juta rupiah perbulannya. Dari paparan data di atas,

masih banyak masyarakat Nyambu yang memiliki pendapatan setara

dengan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota), bahkan terdapat pula

masyrakat yang memiliki pendapatan di bawah UMK Kabupaten Tabanan

yaitu Rp 2.059.965. Hal tersebut membuat masyarakat memiliki pekerjaan

sampingan, sehingga tidak memilik banyak waktu. Kalaupun masyarakat

tersebut memiliki banyak waktu, kebanyakan mereka akan

mempertimbangkan segalanya berdasarkan keuntungan materiil yang akan

didapat jika melakukan kegiatan tersebut.

Selanjutnya penulis menanyakan pengetahuan responden mengenai

pengelolaan DWE di desanya, pengetahuan responden mengenai desa

wisata, pengetahuan repsonden mengenai ekowisata, serta menanyakan

apakah responden aktif dalam berpartisipasi dan apakah responden

menemukan hambatan dalam berpartisipasi.

Tabel 5.5
Pertanyaan Bebas Tentang Partisipasi Masyarakat
NO Pertanyaan Jawaban
Responden (%)
Ya Tidak
1 Apakah anda mengetahui pengelolaan 98 2
pariwisata Desa Nyambu sebagai DWE?
2 Apakah anda mengetahui yang dimaksud 86 14
dengan Desa Wisata?
3 Apakah anda mengetahui yang dimaksud 67 33
dengan Ekowisata?
4 Apakah anda aktif dalam berpartisipasi? 96 4
5 Apakah anda menemui hambatan dalam 63 37
berpartisipasi?
Sumber: Hasil Penelitian, 2017 (Data Diolah)

93
Dari Tabel 5.5 dapat dilihat sebanyak 98% responden

mengetahui jika Desa Nyambu dikelola menjadi Desa Wisata

Ekologis, namun terdapat 2% responden tidak mengetahui hal

tersebut. Sebanyak 98% responden mengetahui pengelolaan Desa

Wisata Ekologis Nyambu karena melihat desa nya dikunjungi

wisatawan, mengetahui adanya peresmian Desa Nyambu sebagai Desa

Wisata Ekologis oleh bupati Tabanan, dan mengikuti program-

program pariwisata yang dicanangkan oleh pengelola. Sedangkan 2%

yang tidak mengetahui mengatakan baru tiba di desanya setelah pergi

jauh untuk bekerja.

Selanjutnya Serbanyak 86% responden yang tahu mengenai

desa wisata dikarenakan sering mengikuti seminar atau pelatihan yang

diselenggarakan oleh British Council, Yayasan Wisnu maupun

pemerintah. Sedangkan 14% nya tidak mengetahui hal tersebut karena

tidak pernah mengikuti seminar dan tidak aktif dalam kegiatan

pariwisata di Desa Nyambu.

Pada gambar 5.5 dapat dilihat bahwa sebanyak 60 orang atau

66.7% masyarakat mengetahui definisi dari ekowisata, sedangkan

sebanyak 30 orang atau 33.3% tidak mengetahui definisi dari

ekowisata.Kebanyakan responden yang mengetahui tentang ekowisata

menjawab bahwa ekowisata adalah potensi asli, berbasis lingkungan,

dan lain-lain yang berhubungan dengan lingkunga, namun terdapat

juga responden yang mengatakan bahwa ekowisata adalah program

94
yang berkaitan dengan ekonomi, dan banyak jawaban lainnya, yang

tidak sesuai dengan yang arti ekowisata. Sebanyak 67% yang

mengetahui tentang ekowisata mengetahuinya setelah mengikuti

seminar atau pelatihan yang diselenggarakan, dan 33% yang tidak

mengetahui mungkin tidak memperhatikan secara seksama saat ikut

pelatihan atau tidak pernah mengikuti pelatihan.

Tabel 5.5 juga menunjukkan keaktifan masyarakat dalam

berpartisipasi untuk pengembangan DWE nyambu. Sebanyak 71

orang mengaku berpartisipasi dalam pengembangan DWE Nyambu

atau setara dengan 78.9%, lalu sebanyak 19 orang atau 21.1%

responden tidak berpartisipasi dalam pengembangan DWE

Nyambu.Sebanyak 96% responden yang berpartisipasi menyebutkan

berpartisipasi dalam bentuk menjadi anggota pengelola, lalu para

wirausaha seperti pemilik peternakan, pemilik galeri lukir, maupun

kayu ukir mengaku berpartisipasi dalam menerima tamu ke

tempatnya. Lalu ada pula responden yang bekerja untuk menyediakan

makanan untuk wisatawan dan bahkan terdapat pula masyarakat yang

berpartisipasi dalam bentuk menjaga kebersihan lingkungan

Lalu selanjutnya pada Tabel 5.5 dapat dilihat juga jumlah

masyarakat yang menemukan hambatan dalam berpartisipasi, yaitu

sebanyak 57 orang atau 63.3% menemukan hambatan, sedangkan

sisanya yaitu 33 oramg atau 36.7% tidak menemukan hambatan dalam

berpartisipasi.

95
5.3 Hambatan Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan DWE

Nyambu

Hambatan partisipasi dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga jenis

hambatan menurut Tosun (2000), yaitu hambatan operasional, hambatan

structural, dan hambatan kultural. Selanjutnya untuk menganalisa hambatan

apa yang terjadi, responden memberi nilai pada setiap indikator pernyataan

yang disiapkan. Bobot penilaian yaitu 1= Sangat Tidak Setuju; 2= Tidak

Setuju; 3= Setuju; dan 4= Sangat Setuju. Pernyataan dibuat dalam kalimat

positif, sehingga pernyataan yang memiliki nilai rata-rata paling rendah adalah

hambatan partisipasi yang dirasakan masyarakat di DWE Nyambu.

96
5.3.1 Hambatan Operasional
Tabel 5.6
Hasil Hambatan Operasional
Indikator Pernyataan Rata-rata
HO 1 Masyarakat dilibatkan dalam memutuskan 3.55
Desa Nyambu sebagai DWE
HO 2 Masyarakat didengar dan diterima 3.55
pendapatnya oleh stakeholder pada
pengambilan keputusan dalam
pengembangan DWE Nyambu.
HO 3 Masyarakat dilibatkan secara rutin dalam 3.48
implementasi program dari kegiatan
pengembangan DWE Nyambu
HO 4 Masyarakat memperoleh pembagian hasil 3.13
atas kegiatan pengembangan DWE Nyambu
HO 5 Masyarakat dilibatkan dalam kegiatan 2.80
monitoring dan evaluasi pengembangan
DWE Nyambu
HO 6 Masyarakat tahu dan dilibatkan langsung 3.55
dalam menjadikan Nyambu sebagai DWE
HO 7 Pengelola DWE sering berkoordinasi dengan 3.52
masyarakat dalam kegiatan pengembangan
DWE
HO 8 Terdapat pertemuan rutin antara masyarakat 3.53
dengan msyarakat untuk membahas
permasalahan DWE Nyambu
HO 9 Masyarakat memperoleh infromasi 3.13
mengenai program dan kegiatan DWE
HO 10 Pengelola menginformasikan kepada 3.25
masyarakat tentang dampak pengembangan
Desa Nyambu sebagai DWE
HO 11 Masyarakat memahami dengan baik tentang 3.26
DWE Nyambu karena sering
diinformasikan/ dikomunikasikan oleh
pengelola dalam pertemuan-pertemuan di
banjar
Rata-rata 3.34
Sumber: Hasil Penelitian, 2017

Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa terdapat 11 indikator yang

mewakili penilaian hambatan operasional. Hambatan operasional

dinyatakan tidak menjadi penghambat utama karena memiliki nilai rata-

97
rata yang paling tinggi dibanding dua hambatan lainnya yaitu dengan nilai

rata-rata adalah 3.34.

Dari kesebelas indikator, yang memiliki nilai rata-rata paling

rendah adalah indikator HO 5 dengan pernyataan masyarakat dilibatkan

dalam kegiatan monitoring dan evaluasi pengembangan DWE Nyambu

yaitu dengan rata-rata 2.80. Hal tersebut berarti banyak masyarakat yang

tidak telibat dalam proses monitoring dan evaluasi dalam pengembangan

DWE Nyambu. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan

kepada kepala pengelola DWE Nyambu, kegiatan monitoring atau

evaluasi bersifat internal atau dilakukan oleh anggota pengelola saja,

namun jika ada sesuatu yang sangat penting yang mengharuskan

masyarakat tahu, pihak pengelola akan menginformasikan kepada

masyarakat.

Lalu indikator lain yang memiliki nilai rata-rata paling rendah

adalah HO 4 dan HO 9 dengan nilai rata-rata masing-masing adalah 3.13.

HO 4 adalah indikator dengan pernyataan bahwa masyarakat memperoleh

pembagian hasil atas kegiatan pengembangan DWE Nyambu. Hal tersebut

berarti beberapa masyarakat merasa belum mendapatkan manfaat dari

adanya DWE Nyambu. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti

lakukan kepada pengelola hal tersebut terjadi karena hasil atas DWE

nyambu belum terlalu terlihat karena masih sangat baru dirintis, selain itu

habsil dari DWE Nyambu dibagi rata ke seluruh banjar, dan dikelola oleh

98
banjar, lalu dana itu digunakan untuk kebutuhan upacara-upacara adat di

masing-masing banjar.

HO 9 adalah indikator dengan pernyataan masyarakat memperoleh

informasi mengenai program dan kegiatan DWE Nyambu. Dengan nilai

rata-rata 3.13 menunjukkan bahwa beberapa masyarakat masih ada yang

tidak memperoleh informasi mengenai program dan kegiatan DWE

Nyambu. Pengelola sendiri beranggapan sudah memberikan informasi

yang sangat lengkap dan rutin mengenai program dan kegiatan apa saja

yang berlangsung di DWE Nyambu. Namun menanggapi hasil dari

indikator ini, pengelola mengatakan bahwa ada kemungkinan masyarakat

tidak menerima informasi dengan baik, atau mengacuhkan informasi yang

disampaikan pengelola.

Adapun tiga indikator yang memperoleh nilai rata-rata paling tinggi

adalah HO 1 dengan pernyatan ‘masyarakat dilibatkan dalam memutuskan

Desa Nyambu sebagai DWE’, HO 2 dengan pernyataan ‘masyarakat

didengar dan diterima pendapatnya oleh stakeholders pada pengambilan

keputusan dalam pengembangan DWE Nyambu’, dan HO 3 dengan

pernyataan ‘masyarakat tahu dan dilibatkan langsung dalam menjadikan

Nyambu sebagai DWE’. Ketiga indikator tersebut memiliki nilai rata-rata

3.55. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju

dengan dibentuknya Desa Nyambu sebagai Desa Wisata Ekologis dan setuju

untuk menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga eksternal yang dalam

hal ini disebut stakeholders.

99
5.3.2 Hambatan Struktural

Tabel 5.7
Hasil Hambatan Struktural
Indikator Pernyataan Rata-rata
HS 1 Pengelola mengajak masyarakat untuk 3.12
membicarakan dan menyelesaikan persoalan
yang ada di DWE Nyambu.
HS 2 Masyarakat diberikan pelatihan terkait 3.13
program yang akan dilakukan di DWE
Nyambu
HS 3 Masyarakat mampu mengatasi masalah yang 3.27
terkait pariwisata di Desa Nyambu
HS 4 Masyarakat terbiasa berkomunikasi dengan 2.86
wisatawan yang ada di DWE Nyambu
HS 5 Masyarakat terbiasa memberikan pelayanan 2.55
pariwisata kepada wisatawan yang
mengunjungi DWE Nyambu
HS 6 Seluruh kegiatan dalam pengembangan 3.13
DWE nyambu tidak hanya melibatkan
stakeholders, namun juga msayarakat
dilibatkan.
HS 7 Desa Nyambu sudah memiliki lembaga yang 3.53
mendorong masyarakat agar lebih aktif
berpartisipasi dalam pengembangan DWE
HS 8 Desa Nyambu sudah memiliki peraturan 2.40
yang mewajibkan masyarakat berpartisipasi
dalam pengembangan DWE Nyambu
HS 9 Ikut berpartisipasi tidak membuat 1.87
masyarakat rugi, walaupun akan
meninggalkan pekerjaan rutin
HS 10 Ikut berpartisipasi akan lebih memberikan 1.73
manfaat dibanding pekerjaan utama
masyarakat
HS 11 Pendanaan untuk pengembangan DWE 1.47
sudah cukup terpenuhi
HS 12 Sumber pendanaan pengembangan DWE 3.34
Nyambu bukan berasal dari masyarakat
melainkan dari organisasi luar yang terlibat
Rata-rata 2.70
Sumber: Hasil Penelitian, 2017

Untuk mengukur hambatan struktural dalam partisipasi

masyarakat, terdapat 12 indikator yang mewakili. Berdasarkan tabel

100
5.7 rata-rata hambatan structural adalah 2.70 yang berarti hambatan

yang paling utama dalam pengembangan DWE nyambu adalah

hambatan strktural karena memiliki nilai rata-rata paling rendah

dibanding dua hambatan lainnya.

Dari keduabelas indikator, yang memperoleh nilai rata-rata

paling rendah adalah HS 11 dengan pernyataan ‘Pendanaan untuk

pengembangan DWE sudah cukup terpenuhi’. Nilai rata-rata dari

indikator HS 11 adalah 1.47 yang berarti masyarakat merasa

pendanaan untuk pengembangan DWE Nyambu saat ini belum cukup

terpenuhi. Beberapa responden memang mengeluhkan masih

buruknya infrastruktur penunjang pariwisata di Desa Nyambu, seperti

kondisi jalan yang buruk, belum tersedianya toilet umum disekitar

wilayah yang dilalui wisatawan, dan masih banyak lagi lainnya yang

belum dibenahi. Saat ini beberapa lembaga eksternal yang membantu

seperti British Council dan Yayasan Wisnu memberikan bantuan

dalam bentuk pelatihan-pelatihan maupun benda fisik seperti sepeda,

baju seragam untuk para pengelola DWE dan kebutuhan lainnya.

Lembaga-lembaga eksternal tidak pernah memberi bantuan berupa

dana. Untuk segala sarana dan prasarana Desa Nyambu masih

memanfaatkan fasilitas yang sudah ada. Dan untuk memperbaiki

jalan, Desa Nyambu meminta bantuan kepada pemerintah Kabupaten

Tabanan, karena perbaikan tersebut membutuhkan biaya yang sangat

101
besar dan merupakan tanggung jawab dari pemerintah kabupaten

Tabanan.

Selanjutnya indikator kedua yang memiliki nilai terrendah

adalah HS 10 dengan pernyataan ‘Ikut berpartisipasi akan lebih

memberikan manfaat dibanding pekerjaan utama masyarakat’. Nilai

rata-rata dari indikator ini adalah 1.73, yang berarti hampir seluruh

masyarakat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Masyarakat

merasa ikut berpartisipasi tidak lebih memberikan manfaat

dibanding pekerjaan utama mereka. Hal tersebut sangat wajar

karena saat ini sektor pariwisata di Desa Nyambu belum menbjadi

sektor utama. Manfat yang dirasakan juga belum cukup besar,

bahkan masih ada masyarakat yang merasa tidak mendapatkan hasil

dari adanya pengembangan DWE nyambu (HO 4). Sedangkan

masing-masing masyarakat memiliki kebutuhan yang harus

dipenuhi, dan pasti akan memperhitungkan segala manfaat yang

didapat dari segala kegiatan yang sudah dilakukan.

Indikator ketiga yang memiliki nilai rata-rata terendah adalah

HS 9 dengan pernyataan ‘Ikut berpartisipasi tidak membuat

masyarakat rugi, walaupun akan meninggalkan pekerjaan rutin’.

Nilai rata-rata dari indikator ini adalah 1.87, yang berarti

masyarakat merasa rugi jika harus meninggalkan pekerjaan utama

mereka untuk berpartisipasi. Kebanyakan masyarakat memang

akan mengutamakan pekerjaan utamanya dibanding ikut

102
berpartisipasi. Karena masyarakat juga memiliki tanggung jawab

dan keperluan masing-masing yang harus dipenuhi. Kerugian yang

dirasakan masyarakat ini disebut cost of participation, dimana

harus ada yang masyarakat korbankan untuk berpartisipasi, seperti

waktu, tenaga, buah pikiran dan dana.

Adapaun yang memiliki nilai rata-rata paling tinggi yaitu

HS 7 dengan pernyataan ‘Desa Nyambu sudah memiliki lembaga

yang mendorong masyarakat agar lebih aktif berpartisipasi dalam

pengembangan DWE’. Indikator ini memiliki nilai rata-rata 3.53

yang berarti sebagian masyarakat setuju dengan pernyataan

tersebut dan mengetahui adanya lembaga khusus yang dibentuk

untuk mengelola DWE Nyambu. Pengelola DWE Nyambu

memang sudah dibentuk dari sebelum DWE Nyambu diresmikan.

Sebelum dibentuk, pihak British Council juga memberikan

pelatihan mengenai pengelolaan ekowisata. Pada saat itu masing-

masing banjar diminta mengirimkan tiga perwakilan masing-

masing banjar untuk menjadi anggota dalam pengelolaan DWE,

namun selama pelatihan berlangsung, jumlah peserta berkurang,

hingga akhirnya hanya ada satu orang yang mewakili dari masing-

masing banjar. Seluruh anggota pengelola DWE masih berharap

semakin berkembangnya DWE Nyambu, semakin bertambah pula

masyarakat atau khususnya generasi muda tertarik untuk masuk

dalam keanggotaan lembaga pengelola DWE Nyambu.

103
5.3.3 Hambatan Kultural

Tabel 5.8
Hasil Hambatan Kultural
Indikator Pernyataan Rata-rata
HK 1 Masyarakat peduli akan keberadaan kegiatan 3.40
pariwisata di Desa Nyambu
HK 2 Masyarakat sadar bahwa ia bertanggung 3.25
jawab atas keberlangsungan desanya
HK 3 Masyarakat menyadari adanya manfaat dari 2.90
kegiatan pariwisata di desa ini
Rata-rata 3.18
Sumber: Hasil Penelitian, 2017

Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa rata-rata dari ketiga indikator yang

mewakili hambatan kultural adalah 3.18. Indikator yang memiliki nilai rata-rata

paling rendah adalah HK 3 dengan pernyataan ‘Masyarakat menyadari adanya

manfaat dari kegiatan pariwisata di desa ini’. Indikator ini memperoleh

nilai rata-rata 2.90, yang berarti masih terdapat beberapa masyarakat yang

tidak menyadari adanya manfaat dari kegiatan pariwisata di Desa Nyambu.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada pengelola terkait hasil dari

indikator ini, hal tersebut wajar karena memang pariwisata merupakan hal

yang baru di Desa Nyambu. Manfaat yang didapatpun terbilang masih

kecil, dan umur satu tahun untuk Desa Wisata masih terbilang sangat

muda. Maka dari itu pengelola berharap seiring berjalannya waktu,

semakin banyaknya wiatawan yang datang dan memberikan banyak

manfaat, dan semakin banyak pula masyarakat yang sadar akan besarnya

manfaat pariwisata dan partisipasi masyarakat untuk Desa Wisata

Ekologis Nyambu.

104
Indikator yang memiliki nilai rata-rata paling tinggi adalah HK 1

dengan pernyataan ‘Masyarakat peduli akan keberadaan kegiatan

pariwisata di Desa Nyambu’. Indikator ini memiliki nilai rata-rata 3.40,

yang berarti sebagaian besar masyarakat peduli dengan kegiatan pariwisata

di DWE Nyambu, dan menginginkan kegiatan pariwisata berkembang

baik dan memberikan banyak manfaat bagi seluruh masyarakat Desa

Nyambu.

105
BAB VI

PENUTUP

6.1 Simpulan

Dari ketiga jenis hambatan yang disebutkan oleh Tosun (2000)

yaitu hambatan operasional, hambatan structural, dan hambatan kultural,

hambatan yang memperoleh nilai rata-rata paling rendah adalah hambatan

structural dengan nilai rata-rata 2.70. Nilai rata-rata tersebut tidak

membuat hambatan struktural dinyatakan sebagai jenis hambatan yang

dialami oleh masyarakat karena nilai rata-rata 2.70 masih masuk dalam

keterangan rentang nilai “setuju”. Sehingga dapat dikatakan tidak ada

jenis hambatan yang dialami oleh masyarakat dalam pengembangan DWE

Nyambu.

Adapun indikator yang memiliki nilai rata-rata paling rendah yaitu

pernyataan ‘Pendanaan untuk pengembangan DWE Nyambu sudah

terpenuhi’ dengan nilai rata-rata 1.47, ‘Ikut berpartipasi akan lebih

memberikan manfaat dibanding pekerjaan utama masyarakat dengan nilai

rata-rata 1.73, dan ‘Ikut Berpartisipasi tidak membuat masyarakat rugi

walaupun harus meninggalkan pekerjaan rutin’ dengan nilai rata-rata 1.87.

6.2 Saran

Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam

pengembangan Desa Nyambu sebagai desa wisata ekologis, maka terdapat

beberapa hal yang dapat disarankan, yaitu:

6.2.1 Untuk Masyarakat

106
Masyarakat adalah elemen paling penting dalam sebuah Desa

Wisata maupun Ekowisata karena masyarakatlah yang menjadi

atraksi dari sebuah Desa Wisata, yang juga berlaku untuk DWE

Nyambu. Adapun saran yang diberikan untuk masyarakat

mengenai hasil hambatan yang terjadi adalah:

a. Masyarakat hendaknya sadar bahwa sekecil apapun partisipasi

yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sangat penting bagi

keberlangsungan DWE Nyambu, karena DWE Nyambu akan

besar jika seluruh masyarakat bekerja sama tanpa terkecuali.

b. Mengingat manfaat yang didapat masih dirasa kecil,

hendaknya masyarakat memahami keadaan tersebut

dikarenakan DWE Nyambu adalah desa wisata yang baru

dirintis, maka dari itu hendaknya masyarakat berpartisipasi

dengan tulus tanpa memikirkan manfaat materiil yang akan

didapat saat ini.

c. Diterapkan peraturan yang mengharuskan masyarakat untuk

berpartisipasi sehingga jika ia tidak berpartisipasi, timbul

sanksi sosial yang membuat ia merasa dikucilkan dilingkungan

dan menimbulkan rasa malu dan kesadaran diri untuk

berpartisipasi.

6.2.2 Untuk Pengelola dan Lembaga Eksternal Yang Membantu

Pengelola dan lembaga eksternal seperti British Council,

Yayasan Wisnu, dan PT. Langgeng Kreasi Jaya Prima memiliki

107
andil yang besar dalam pengembangan DWE Nyambu sampai saat

ini. Adapun syarat yang dapat diberikan mengenai hambatan yang

terjadi di DWE Nyambu adalah:

a. Hendaknya para pengelola memberikan insentif bagi

masyarakat yang akan berpartisipasi, sehingga masyarakat

tidak merasa rugi jika harus berpartisipasi.

b. Pengelola dapat memberikan reward (perhatian khusus) kepada

masyarakat yang sudah berpartisipasi, sehingga mereka yang

sudah berpartisipasi merasa dihargai dan masyarakat yang

belum berpartispasi akan lebih tertarik untuk berpartisipasi.

c. Pengelola hendaknya membuka donasi kepada organisasi atau

individu yang memang peduli terhadap keberlangsungan DWE

Nyambu dan tertarik untuk menjadi donatur. Donasi tersebut

ditujukan untuk pengembangan DWE Nyambu dan harus ada

pengelolaan yang baik dan transparan kepada masyarakat serta

seluruh stakeholders yang terlibat.

6.2.3 Pemerintah Kabupaten Tabanan/ Dinas Pariwisata Daerah

Tabanan

Peran pemerintah dalam pengembangan DWE Nyambu juga tidak

kalah penting, karena pemerintah sangat mendukung berdirinya DWE

nyambu. Adapun saran yang dapat diberikan untuk pemerintah adalah

memberikan fasilitas berupa pendanaan selain pendampingan berupa

pelatihan, karena banyak infrastruktur yang harus diperbaiki maupun

108
dibangun, dan masyarakat sendiri merasa pengembangan DWE

Nyambu saat ini masih membutuhkan dukungan pemerintah.

109

Anda mungkin juga menyukai