Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI BUDAYA BALI DALAM CERPEN TOGOG

KARYA NYOMAN MANDA

Cultural Reflection in Nyoman Manda’s Togog

Cokorda Istri Sukrawati

Balai Bahasa Provinsi Bali Jalan Trengguli I No. 34 Denpasar Timur 80238
Telepon: (0361) 461714, Faksimile (0361) 463656
Pos-el: sukrawaticok@yahoo.co.id

Naskah masuk: 29 April 2015, disetujui: 9 November 2015,


revisi akhir: 16 Desember 2015

Abstrak: Karya sastra memegang peranan penting dalam memahami kebudayaan suatu komunitas.
Demikian pula halnya dengan sebuah cerpen berjudul “Togog” buah karya Nyoman Manda, seorang
penulis dari Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Untuk itu, tulisan ini bertujuan mendeskripsikan bentuk
budaya Bali dan mengungkap maknanya dalam cerpen “Togog” dengan menggunakan pendekatan
antropologi sastra dan teori semiotika. Melalui pendekatan dan teori tersebut, cerpen “Togog” mampu
menampilkan atau mengenalkan beberapa budaya Bali melalui rangkaian peristiwa yang terdapat di
dalamnya. Refleksi unsur budaya agama dalam cerpen “Togog” disajikan secara terkait dengan adat
istiadat sebagai sistem atau unsur budaya yang lain. Kemudian secara semitioka, cerpen “Togog” sebagai
sebuah tanda merupakan indeks bagi situasi sosio-kultural dalam masyarakat Bali yang sedang berinteraksi
dengan kehidupan dunia kepariwisataan. Setiap unsur budaya dalam cerpen “Togog” mengandung makna
sesuai dengan konteksnya dalam keseluruhan cerita. Selain itu, cerita ini juga menunjukkan bahwa
masyarakat Bali pada umumnya merupakan masyarakat yang berjiwa seni.
Kata kunci:Togog, refleksi budaya, antropologi sastra

Abstract: Literary works play an important role in understanding the culture of a community.
Similarly, it can be found in short story entitling Togog by Nyoman Manda, an author from Gianyar,
Bali Province. Based on the fact, this paper aims at describing the form of Balinese culture and
revealing its meaning in the short story “Togog” using anthropological approach of literature and
theory of semiotics. Through the approach and the theory, the short story “Togog” is capable of
displaying or introducing some Balinese cultures through a series of events depicted in the story.
Reflection of religious cultural elements in the short story “Togog” is presented closely to a cus-
tom as a system or another culture element. Then by semiotic, the short story “Togog” as a sign of
an index for socio-cultural situation in the Balinese society who are interacting with the life of the
tourism field. Each element of culture in the short story “Togog” has a meaning related to its
context in the whole story. In addition, this story also shows that the Balinese are generally good at
art.
Key words: Togog, cultural reflection, anthropological literature

1. Pendahuluan
Sastra Bali Modern (selanjutnya kuantitas maupun kualitasnya. Dilihat dari
disingkat SBM) sejak kelahirannya hingga segi kuantitas, jumlah karya SBM,
kini menunjukkan perkembangan yang khususnya dalam bentuk cerita pendek
cukup menarik, baik dilihat dari segi (cerpen), yang ditulis dan diterbitkan terus

249
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 249—260

bertambah dari waktu ke waktu. Dilihat dari Secara antropologis sastra memang
segi kualitas, tema-tema dan teknik memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan
penceritaan yang diungkapkan dalam kultural suatu masyarakat. Terdapat
karya-karya SBM juga menunjukkan pilihan hubungan timbal-balik antara sastra dan
tema yang beragam. Sebagaimana masyarakat.Berkaitan dengan hal itu, Putra
dikemukakan oleh Putra (2010: 90), sejak (2010: 90) mengatakan cerpen-cerpen karya
kelahirannya tahun 1910-an sampai I Made Pasek dan Mas Nitisastro yang terbit
perkembangannya pada tahun 2000-an dalam buku-buku bacaan Sekolah Dasar
SBM didominasi oleh tema-tema cerita yang tahun 1910-an dan 1920-an, misalnya
kontekstual dengan isu-isu yang hangat banyak berurusan dengan isu kontemporer
dalam masyarakat. zaman itu, seperti pentingnya pendidikan
Perkembangan SBM selanjutnya bagi anak-anak, propaganda agar
muncul tema-tema yang berkaitan dengan masyarakat anti opium atau madat, dan
dampak pariwisata.Tema-tema demikian esensialnya hukum karma dalam sistem
muncul sejalan dengan bangkitnya industri kepercayaan masyarakat. Isu adat atau
pariwisata di Bali mulai akhir 1960-an. Saat tradisi, seperti kawin paksa yangmuncul
itulah pengarang-pengarang SBM aktif tahun 1930-an dalam roman Nemoe Karma
merespons perubahan sosial sebagai efek karya Wayan Gobiah. Tema konflik
bangkitnya industri jasa pariwisata itu antarwangsa terbaca dalam novel
sendiri. Mlantjaran ka Sasak karya I Gde Srawana.
Lebih lanjut dikatakannya pula bahwa
Salah satu di antaranya adalah cerpen
Gobiah dan Srawana dianggap sebagai
“Togog”. Unsur-unsur budaya Bali sangat
wakil-wakil kaum terdidik pada zamannya
kental dituangkan dalam cerpen itu, seperti
dan menjadi bagian dalam wacana
kesenian tari tradisional, mata pencaharian
masyarakat yang daerahnya merupakan transformasi budaya Bali awal abad ke-20,
sehingga soal pro-kontra kawin paksa dan
salah satu tujuan atau objek wisata, agama,
konflik kewangsaan dalam karya-karya
dan adat istiadatnya.
mereka merupakan refleksi konflik antara
Cerpen karya Nyoman Manda tersebut nilai-nilai tradisi dengan modern atau antara
dapat dikatakan sebagai salah satu cermin generasi tua dengan generasi muda.
masyarakat di Bali yang daerahnya
merupakan salah satu tujuan wisata. Salah Sebagai produk budaya, karya SBM
satu di antaranya adalah adanya usaha mengandung ide besar, buah pikiran yang
luhur tentang sifat baik dan buruk,
membuat karajinan patung. Unsur ini
bagaimana menghormati orang lain, tentang
dilakoni oleh seorang tokoh bernama I
sikap bijaksana, dan berbagai pandangan
Wayan Tamba. Melalui peristiwa-peristiwa
tinggi mengenai kemanusian. Berkaitan
yang terdapat dalam cerpen tersebut,
pengarang melukiskan seluruh kegiatan I dengan hal itu, karya sastra memegang
Wayan Tamba sebagai pemahat, mulai peranan penting dalam memahami
kebudayaan suatu komunitas. Demikian
mencari bahan/kayu, membuat rangka
pula halnya dengan sebuah cerpen SBM
hingga menjadi sebuah patung, kemudian
berjudul “Togog”. Selain menggambarkan
memasarkannya dari satu toko seni ke toko
kepariwisataan, cerpen itu juga berisi tarian
seni lainnya. Semuanya adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. tradisional, perkumpulan para remaja, serta
Selain itu, dilukiskan pula ketika pemahat kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
masyarakat Bali, misalnya melakukan ritual-
itu menurunkan harga patungnya apabila
ritual keagamaan sesuai dengan hari-hari
kunjungan wisata sangat sepi, sedangkan
suci yang terdapat dalam agama Hindu.
kehidupan mereka harus berjalan.
Semua itu terjalin satu dengan lainnya
Semuanya merupakan budaya masyarakat
Bali hingga saat ini sebagai aspek budaya Bali dalam karya
sastra tersebut.

250
COKORDA ISTRI S.: REFLEKSI BUDAYA BALI DALAM CERPEN TOGOG KARYA NYOMAN MANDA

Penelitian atau kajian mengenai karya- mendeskripsikan wujud atau bentuk budaya
karya SBM sudah banyak dilakukan oleh Bali, dan kedua, mengungkap makna yang
para pemerhati atau para pakar terkandung dalam wujud budaya Bali
kesusastraan, diantaranya oleh Ginarsa dalam cerpen “Togog”.
(1985), yaitu: “Stuktur Cerpen Bali Mod- Berkenaan dengan tulisan ini, penulis
ern”, I Dewa Gede Windhu Sancaya (1985) telah melakukan kajian pustaka yang
“Struktur dan Sosiologis beberapa Karya digunakan sebagai bahan acuan. Kajian
Jelantik Santha”, Nyoman Tusti Eddy (1991) pustaka dilakukan terhadap tulisan Salmah
“Sejumlah Tema dalam Cerpen-Cerpen Bali Djirong, berjudul “Kajian Antropologi
Modern”, Budiasa, dkk. (2000) “Warna Sastra Cerita Rakyat Datumuseng dan
Lokal Bali dalam Novel Sukreni Gadis Bali Maipa Deapati”, dalam Sawerigading, Jurnal
Karya Anak Agung Pandji Tisna”, Mandala Bahasa dan Sastra Volume 20, Nomor 2,
Putra, dkk. (2003) “Tinjauan Sosiologi Sastra Agustus 2014. Tulisan tersebut berisikan
Novel I Swasta Setahun di Bedahulu Karya unsur-unsur budaya masyarakat, pola pikir
Anak Agung Pandji Tisna”, Budiasa, dkk. masyarakat, tradisi pewarisan dari waktu
(2006) “Aspek Kestilistikaan dan Kritik ke waktu dan masih dilakukan sampai saat
Sosial dalam Sastra Bali Modern Gita Ning ini yang tercermin dalam cerita rakyat
Nusa Alit Karya Jelantik Santha”, Aryani, Makasar, berjudul Datumuseng dan Maipa
dkk. (2006) “Inventarisasi Cerpen Bali Mod- Deapati.
ern”, dan Nyoman Darma Putra (2011)
Berdasarkan analisis yang telah
“Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Penelitian-
dilakukan, ditemukan unsur-unsur budaya
penelitian tersebut lebih banyak melihat
Makassar dalam cerita bersangkutan, di
struktur karya-karya dan serta
antaranya bahasa, religi, pola pikir
hubungannya dengan kemasyarakat dalam
masyarakat, dan adat istiadat. Hal yang
karya SBM.
berbeda dilakukan dengan penelitian kali ini
Namun demikian, kajian tentang SBM adalah penentuan objek yang dikaji, yaitu
dalam kaitannya dengan aspek-aspek antara cerita rakyat dengan cerpen.
budaya secara khusus perlu ditambah Meskipun demikian, penelitian terdahulu
karena keberadaan budaya Bali sangat bermanfaat dalam memberi arah dan
banyak dan beragam bentuknya. Aspek- wawasan yang lebih luas dalam penelitian
aspek budaya Bali itu dapat digali melalui ini.
karya sastra. Dengan kata lain, karya sastra
Selain itu, penulis juga melakukan
memegang peranan penting dalam
kajian pustaka terhadap tulisan Widana,
memahami kebudayaan suatu komunitas.
berjudul “Hukum Adat Mengenai Hak Waris
Dalam upaya menambah atau memperkaya
pada Masyarakat Bali dalam Novel Sukreni
khazanah penelitian SBM, khususnya yang
Gadis Bali Karya Pandji Tisna (Tinjauan
berkaitan dengan budaya, penulis tertarik
Sosilogi Sastra)”, yang dimuat dalam Multi-
mengkaji refleksi atau cermin budaya Bali
lingual, Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan Vol-
dalam salam satu cerpen SBM, berjudul
ume 2, Tahun X, Desember 2011. Tulisan
“Togog” buah karya Nyoman Manda,
tersebut berisikan hukum waris bagi warga
seorang penulis dari Kabupaten Gianyar,
desa adat yang beralih agama, bahwa
Provinsi Bali.
warga adat yang telah meninggalkan
Berdasarkan latar belakang tersebut, agamanya akan dikenakan sanksi tidak
permasalahan dalam tulisan ini adalah mendapatkan warisan dari orang tuanya.
wujud-wujud budaya Bali apa saja yang Kaitannya dengan penelitian kali ini adalah
terkandung dalam cerpen “Togog” dan sama-sama melakukan kajian mengenai hal
makna apa yang terdapat di balik wujud yang berhubungan dengan budaya Bali.
kebudayaan itu sendiri? Berdasarkan Dalam cerpen “Togog” juga dibicarakan
masalah yang ada, tujuan yang ingin unsur budaya adat istiadat atau kebiasaan
dicapai dalam tulisan ini yaitu, pertama yang dilakukan oleh masyarakat Bali.

251
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 249—260

Walaupun berbeda dalam landasan teori, dengan lainnya membentuk sebuah


tulisan tersebut bermanfaat dalam kebulatan sehingga menghasilkan sebuah
memperluas wawasan mengenai adat- cerita yang utuh. Dilihat dari segi ekstrinsik,
istiadat yang berlaku dalam masyarakat Bali. cerpen “Togok” berisikan aspek-aspek
Penelitian sastra pada dasarnya budaya dalam masyarakat Bali. Kehidupan
memanfaatkan dua macam penelitian, yaitu masyarakat yang digambarkan di dalamnya
penelitian lapangan dan kepustakaan. merupakan hal-hal nyata yang terdapat di
Prosedur penelitian lapangan ilmu sastra salah satu daerah pariwisata yang ada di
hampir sama dengan ilmu sosial, keduanya Bali, yaitu Kabupaten Gianyar sebagai pusat
memanfaatkan instrumen yang sama dan produksi dan penjualan patung (bahasa Bali
dengan sendirinya metode dan teknik yang togog) terbanyak di Provinsi Bali. Selain seni
sama pula. Pada umumnya penelitian tari, patung merupakan produk andalan
kepustakaan secara khusus meneliti teks, untuk menarik wisatawan ke daerah
baik lama maupun modern. Sampai saat ini, Gianyar. Saat ini bisa dilihat bermacam
penelitian kepustakaan terbatas patung dengan berbagai ukuran terpajang
memanfaatkan teknik kartu data, baik kartu di sepanjang jalan mulai memasuki daerah
data primer maupun sekunder (Ratna, 2004: Kabupaten Gianyar, yaitu Tegal Tamu,
39). Batubulan, Silakarang, Mas, hingga Ubud.
Berdasarkan pandangan tersebut,
metode yang diterapkan dalam penelitian ini 2. Teori
adalah metode kajian pustaka, mengingat
2.1 Antropologi Sastra
data yang digunakan adalah berupa data
tertulis. Pengumpulan data dilakukan Secara definitif antropologi sastra berarti
melalui perpustakaan sebagai instrumen studi mengenai karya sastra dengan
atau alat. Seluruh data yang terkumpul relevansi manusia. Antropologi
kemudian dianalisis dengan metode diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu
deskriptif, yaitu memerikan, antropologi fisik dan antropologi kultural.
menggambarkan, menguraikan, Antropologi sastra dibicarakan dalam
menjelaskan, dan menginteprestasi atau kaitannya dengan antropologi kultural, yaitu
memberi makna terhadap objek kajian, karya-karya yang dihasilkan oleh manusia,
yaitu cerpen “Togog” berdasarkan teori- seperti bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum,
teori yang digunakan. Guna melancarkan adat istiadat, dan karya seni (khususnya
seluruh proses pengumpulan data , metode sastra). Berkaitan dengan tiga macam bentuk
tersebut dibantu dengan teknik catat, yaitu kebudayaan yang dihasilkan manusia, yaitu
mencatat seluruh temuan data yang kompleks ide, kompleks aktivitas, dan
dijadikan model dalam analisis data. kompleks benda-benda, antropologi sastra
Data yang digunakan dalam penelitian memusatkan perhatian pada kompleks ide
ini adalah sebuah cerpen Bali modern, (Ratna, 2004: 351).
berjudul “Togog”. Cerpen itu ditulis oleh Sastra secara harfiah merupakan alat
seorang sastrawan Bali bernama Nyoman untuk mengarahkan, mengajar, memberi,
Manda. Cerpen tersebut dikeluarkan oleh dan instruksi yang baik. Pada sisi lain,
sanggar Pondok Tebawutu, Kabupaten kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas
Gianyar tahun 2000 dalam sebuah manusia, termasuk pengetahuan,
kumpulan cerpen dengan judul Togog. kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat,
Jumlah cerpen yang tergabung di dalamnya dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
ada tiga, yaitu “Togog” (sekaligus menjadi dengan cara belajar, termasuk pikiran dan
judul buku), “Mangku Nodia”, dan “Gusti tingkah laku. Dengan demikian, sastra dan
Ayu Anjang Sari”. Dilihat dari segi kebudayaan berbagi wilayah yang sama,
instrinsik, cerpen “Togog” memiliki tema, aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang
latar, penokohan, dan alur yang satu berbeda. Sastra melalui kemampuan

252
COKORDA ISTRI S.: REFLEKSI BUDAYA BALI DALAM CERPEN TOGOG KARYA NYOMAN MANDA

imajinasi dan kreativitas (sebagai Dalam tulisan ini akan digunakan teori
kemampuan emosional), sedangkan semiotik yang kemukakan oleh Charles Sand-
kebudayaan lebih banyak melalui ers Peirce. Menurut Charles Sanders Peirce
kemampuan akal sebagai kemampuan tanda (sign) terdiri atas tiga unsur, yaitu
intelektualitas. Kebudayaan mengolah alam ground, object dan interpretant (Zoest, 1991:
hasilnya adalah perumahan, pertanian, 55; Zaimar, 2014: 3). Tanda (sign) dalam
hutan, dan sebagainya, sedangkan sastra pengertian Semiotik Charles Sanders Peirce
mengolah alam melalui kemampuan adalah: a sign, or representamen, is something
tulisan.Hasilnya adalah berbagai jenis karya which stands to somebody for something in some
sastra (Ratna, 2011: 7). respects or capacity (Noth, 1990: 42). Tanda
Hal utama dalam kajian antropologi atau representamen mengacu pada sesuatu
sastra adalah mengamati bagaimana sastra yang lain. Yang diacu oleh tanda adalah
itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam objek atau denotatum. Bila hubungan antara
tindakan bermasyarakat. Penelitian tersebut tanda dan obyeknya disadari, terdapat suatu
merupakan celah baru penelitian satra yang akibat langsung, yaitu membuat interpretant
memadukan dua disiplin ilmu, yaitu dalam pikiran seseorang atau orang yang
antropologi dan sastra. Penelitian menginterpretasi. Akibat inilah yang disebut
antropologi sastra menitikberatkan dua hal, dengan interpretasi (van Zoest, 1991: 55—
pertama membicarakan karya sastra sebagai 56).
pantulan, refleksi; dan kedua melihat aspek Charles Sanders Peirce
yang terjadi dalam masyarakat yang mengklasifikasikan tanda menjadi tiga
berpengaruh terhadap karya sastra (Ratna, trikotomi, yaitu trikotomi pertama, trikotomi
2011: 11). kedua, dan trikotomi ketiga (Noth, 1990: 44;
Zaimar, 2014: 6—7). Trikotomi (trichotomy)
2.2 Semiotika
yang Pertama terdiri atas qualisign, sinsign,
Sastra tidak dapat diteliti dan dipahami dan legisign. Qualisign adalah sesuatu yang
secara ilmiah tanpa mengikutsertakan aspek mempunyai kualitas untuk menjadi tanda.
kemasyarakatan, yaitu tanpa Ia tidak dapat berfungsi sebagai tanda
memandangnya sebagai tindak komunikasi, sampai ia berbentuk sebagai tanda; sinsign
tanpa mendekati sastra sebagai tanda (sign), adalah sesuatu yang sudah dapat dianggap
yaitu sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984: sebagai representamen (tanda), namun
43). Studi semiotik yang sistematik telah belum berfungsi sebagai tanda; legisign
dimulai sejak munculnya Charles Sanders adalah sesuatu yang sudah menjadi
Peirce, seorang filsuf Amerika abad XX. representamen dan berfungsi sebagai tanda.
Semiotik berkaitan erat dengan Trikotomi yang Kedua
strukturalisme yang dikembangkan oleh mengklasifikasikan tanda berdasarkan
Ferdinand de Saussure. Konsep tanda (sign) hubungan antara representamen dan objek,
pada semiotik merupakan kerangka teoritis. yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah
Semiotika adalah bidang ilmu yang hubungan objek dengan representamen
menyelidiki semua bentuk komunikasi yang berdasarkan kemiripan; indeks adalah
terjadi dengan penggunaan tanda dan hubungan antara representamen dengan
berdasarkan pada sistem tanda. objek yang memiliki jangkauan eksistensial,
Sebagaimana diketahui karya sastra dan simbol adalah tanda yang didasarkan
menggunakan bahasa sebagai medium, pada konvensi.
sedangkan bahasa itu sendiri merupakan Trikotomi yang Ketiga adalah klasifikasi
sistem tanda yang sangat kompleks. tanda yang didasarkan pada hubungan
Semiotik didefinisikan oleh van Zoest (1991: antara representamen dengan interpretan,
54) sebagai studi penggunaan tanda dan yaitu rheme (rema) discent (disen) dan argu-
proses tanda, atau juga dikatakannya ment (argumen). Rhema adalah segala
sebagai studi interpretasi. sesuatu yang bisa dianggap sebagai tanda,

253
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 249—260

tetapi tidak bisa dinyatakan benar atau dalam cerpen ini adalah salah satu daerah
salah; discent adalah tanda yang mempunyai wisata yang terdapat di Kabupaten Gianyar.
eksistensi yang aktual (hanya menyatakan Sejak pagi hingga sore hari I Wayan Tamba
kehadiran objek); dan argument adalah menekuni pekerjaannya agar dapat
tanda yang sudah menunjukkan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
perkembangan dari premis ke kesimpulan, berdua dengan ibunya. Sang ibu dengan
dan cenderung mengarah kepada kebenaran setia menyiapkan minuman, yaitu segelas
kopi dan kue seadanya, seperti dalam
3. Hasil dan Pembahasan kutipan berikut.
Iteh ia ngukir togog, tuah ento mula gaginane
Berdasarkan masalah yang telah utama. Uling semengan nganti sanje tuah
dikemukakan, berikut ini dideskripsikan pangotok teken paat dogen gisina.Bungkut
aspek dan makna budaya Bali yang bungker tundune noktok kayu eben. Sedek ia
terkandung dalam cerpen “Togog”. Cerpen ngukir togog teka memene ngaba kopi misi
tersebut berisi kisah tentang pemuda yang jaja gina lungsuran (Togog, hal. 1)
berprofesi sebagai tukang pahat, bernama
Wayan Tamba. Sesuai dengan nama depan, ‘Asyik dia mengukir patung, hanya itu
yaitu Wayan, menandakan bahwa dia memang pekerjaan utamanya. Sejak pagi
adalah anak pertama dalam keluarganya. hingga sore hanya palu dan pisai pahat
Dahulu di Bali dikenal hanya ada empat yang dia pegang. Hingga bugkuk
urutan nama, yaitu Wayan/putu (anak punggungnya menggetok kayu eben.
pertama), Made/Kadek (anak kedua), Sedang ia mengukir patung, datang
Nyoman/Komang (anak ketiga), dan Ketut ibunya membawa segelas kopi dan jajan
(anak keempat). Sesuai dengan renggina bekas kue upacara agama.’
perkembangan zaman dan saran
Pariwisata memang menjadi salah satu
pemerintah untuk mengikuti program KB
bagian terpenting bagi masyarakat Bali.
(Keluarga Berencana), urutan nama tersebut
Banyak masyarakat Bali menggunakan
jarang digunakan lagi. Selain budaya
dunia pariwisata sebagai sumber mata
penamaan, aspek-aspek budaya Bali lainnya
pencahariannya, seperti menjadi pemahat
yang terkandung dalam cerpen “Togog”
yang terdapat dalam cerpen “Togog”.
dideskripsikan sebagai berikut.
Wayan Tamba (tokoh utama) dalam cerpen
tersebut adalah seorang pemahat dan hal
3.1 Mata pencaharian itu merupakan pekerjaan utamanya. Patung-
Dahulu mata pencaharian pokok orang patung hasil pahatannya dijual ke toko-toko
Bali kebanyakan adalah bertani. Sejalan kerajinan atau galeri. Pada zaman modern
dengan perkembangan pariwisata, kini ini, selain menjual barang-barang budaya
sektor-sektor kehidupan yang lain banyak seperti itu, masyarakat Bali juga menjual
dipengaruhi oleh kemajuan perkembangan dirinya dalam bentuk artifisial, seperti
dunia pariwisata. Selain itu, ada beternak, menjadi penari, model, dan bintang
berdagang, menjadi buruh, dan menjadi reklame.
pegawai pemerintah. Sektor-sektor itu Makna yang terdapat di balik mata
tergantung atau berhubungan dengan pencaharian sebagai pemahat, khususnya
perbedaan lingkungan alam dan iklim di adalah mendeskripsikan bahwa masyarakat
berbagai tempat di Bali. Mata pencaharian Bali secara umum adalah masyarakat yang
yang menonjol terpantul dalam cerpen memiliki jiwa seni. Selain seni pahat atau
“Togog” adalah perajin (dalam hal ini ukir, di Bali juga terkenal akan seni musik
pemahat atau tukang ukir). Hal itu dan tari tradisional. Hal itulah yang menjadi
berkaitan dengan isi cerpen, yaitu kisah cinta salah satu nilai jual dalam perkembangan
seorang pemahat patung bernama Wayan dunia pariwisata yang ada di Bali hingga
Tamba. Lokasi atau latar yang dilukiskan kini.

254
COKORDA ISTRI S.: REFLEKSI BUDAYA BALI DALAM CERPEN TOGOG KARYA NYOMAN MANDA

3.2 Seni Pertunjukan Tradisional dalam pertunjukannya diiringi dengan


gambelan tingklik bambu berlaraskan
Bali merupakan salah satu daerah di selendro, disebut gegrantangan (Bandem,
Indonesia yang memiliki berbagai bentuk 2004: 139—140).
kesenian. Selain seni pahat yang telah
Tarian Joged Bumbung terimplentasi
dikemukakan, ada juga seni tari. Hingga
dalam cerpen “Togog” sebagai berikut.
saat ini, seni tari memang sangat menonjol
dalam masyarakat Bali. Hal ini terlihat Rame pesan di bale banjare, ade joged
dengat adanya seni pertunjukkan tari yang bungbung. Wayan Tamba negak seg
dipertontonkan setiap hari, baik di dagang kopine, tongos ia biasa nganggeh.
panggung-panggung terbuka maupun ho- Biasane yen suba laku togogne mara
tel-hotel besar yang ada di Bali sebagai bayaha cepokan. Karana ia tuon mayah
hiburan. Selain itu, hampir di setiap dusun akuda ja ia nganggeh gugune duen teken
di Bali memiliki sanggar tari yang memberi Men Toya.
kesempatan bagi anak-anak atau generasi
muda untuk belajar menari sebagai generasi Gambelan jogede suba nyumunin nabuh liu
penerus bagi seniman tari di Bali. Kegiatan pesan anake mebalih. Bajang teruna membah
tersebut mereka lakukan ketika hari libur, teka ngebekin bale banjare (Togog, hal. 2).
seperti hari Minggu dan liburan sekolah.
’Ramai sekali di balai dusun, ada
Berkaitan dengan hal itu, jenis seni tari pertunjukan Joged Bumbung. Wayan
yang terefleksi dalam cerpen “Togog” adalah Tamba duduk di sebuah dagang kopi,
satu tari pergaulan, yaitu tari Joged tempat yang biasa dia hutangi. Biasanya
Bumbung. Tarian tradisional Joged jika patungnya sudah laku, barulah
Bumbung pertama kali muncul di daerah dibayar sekalian. Karena rajin membayar,
Bali utara sekitar tahun 1946 dan kemudian berapa pun berutang, dia dipercaya oleh
berkembang ke seluruh pelosok pulau Bali. Bu Toya.
Tari Joged Bumbung ditarikan atau Bunyi gambelan Joged baru dimulai.
dipentaskan pada hari-hari bergembira Penontonnya sangat banyak. Para muda-
misalnya sehabis panen, hari raya galungan, mudi berdatangan memenuhi balai
kuningan, serta hari bergembira lainya dusun.’
sebagai luapan kegembiraan. Secara umum,
tari Joged Bumbung dibawakan oleh lima Pertunjukan tari Joged Bumbung
hingga enam penari wanita. Tarian Joged tersebut dilakukan oleh muda-mudi di
Bumbung menampilkan pola-pola gerak sebuah banjar atau dusun yang ada di Desa
bebas, lincah, dinamis, dan dibawakan Lod Tungkang. Makna yang terdapat di balik
secara improvisasi. Dikatakannya pula pertunjukan Joged Bumbung adalah adanya
bahwa tari Joged Bumbung mirip dengan suatu kebiasaan dalam masyarakat Bali
tari Tayub (di Jawa Tengah) dan tari merayakan keberhasilan dalam usaha atau
Ronggeng (di Jawa Barat) (Dibia, 1999: 39— kegiatan yang dilakukan secara berkala,
40). misalnya bazar, kesuksesan dalam
melaksanakan upacara pernikahan, atau
Busana yang digunakan para penari
kesuksesan dalam hal pertanian. Dalam
jogged sangat sederhana, meliputi kain
cerpen togog, kebiasaan itu ditunjukkan
panjang, stagen, baju kebaya, oncer (yaitu
dengan pagelaran tari Joged Bumbung.
selendang yang diikatkan di pinggang) dan
Pagelaran tari Joged Bumbung dalam cerpen
gelungan (sebagai hiasan kepala). Selain
“Togog” berlangsung saat perayaan tahun
busana tersebut, sarana yang tidak kalah
baru. Dikisahkan bahwa perayaan tahun
pentingnya bagi penari Joged adalah sebuah
baru sudah menjadi kebiasaan para pemuda-
kipas yang nantinya digunakan oleh penari
pemudi dan hal itu dilakukan secara bergilir
untuk menepuk para pengibing yang ingin
di antara dusun-dusun yang ada di wilayah
menari dengannya. Tarian Joged Bumbung
desa. Biasanya sebuah desa adat di Bali

255
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 249—260

terdiri atas 5 hingga 10 banjar atau dusun. saat ada pertemuan penting muda-mudi di
Dengan demikian, dapat dibayangkan daerah mereka masing-masing. Semua hal
padatnya penonton dari banjar lain apabila tersebut memberi inspirasi pengarang
salah satu banjar yang menyelenggarakan dalam karya cerpen “Togog”.
perayaan tahun baru dan mementaskan Makna yang dapat dipetik dari aspek
tarian Joged Bumbung. Hal tersebut budaya tarian Joged Bumbung dalam cerpen
terimplementasi dalam cerpen “Togog” “Togog” adalah sebagai makhluk sosial,
sebagai berikut. manusia pastilah mengadakan hubungan di
Gambelan jogede suba nyumuin nabuh. Liu antara mereka. Salah satunya adalah
pesan anake mabalih. Bajang teruna membah dengan mengadakan silahturahmi. Melalui
teka ngebekin bale banjare. Mula tuah seka pertunjukkan Joged Bumbung, mereka
terunane ane ngupah jogede nyelametin tahun berharap dapat saling bertemu atau
baru. Jani adane seka pemuda-pemudi. Dugas menyapa untuk mempererat tali
ane atiban Banjar Tonja Kelod Kauh ane persahabatan atau persaudaraan.
nyelametin tahun baru. Jani pemuda-
pemudine dini tusing nyak kalah hawa, bareng 3.3 Agama
masi ngae karamian nyelametin tahun baru,
kone pang lebih semangat ngalih gae. Sebagian besar orang Bali menganut
Makenyem ia di kenehne jani zaman maju, agama Hindu. Selain penganut Hindu, di
ngalih duen jalaran apang sida bajang Bali juga terdapat penganut agama Islam,
terunane macepuk (Togog, hal. 2). Kristen, Buddha, dan Konghucu. Penganut
‘Tabuh pembuka sudah dimulai. Ramai Islam biasanya terdapat di daerah pinggir
sekali orang menonton. Kaum muda- pantai dan beberapa daerah pedalaman,
mudi berlimpah memenuhi balai dusun. seperti Karangasem, Klungkung, dan
Memang para muda-mudi yang Denpasar, penganut Kristen dan Budha
menanggap pertunjukan joged itu untuk terutama terdapat di daerah Denpasar,
merayakan tahun. Sekarang namanya Jembrana, dan Singaraja, sedangkan
perkumpulan muda-mudi. Tahun lalu penganut Konghucu ada di daerah-daerah
Banjar Tonja Selatan yang merayakan yang berpenduduk keturunan Tionghoa.
tahun baru. Hari ini pemuda-pemudi di Tempat-tempat pemujaan mereka tersebar
sini tidak mau kalah saing, ikut pula hingga ke desa-desa seperti di Batur,
merayakan tahun baru, ikut pula Blahbatuh, dan Bedugul.
meramaikan perayaan tahun baru, konon Dalam kehidupan beragama, orang
agar lebih semangat lagi mencari Hindu percaya akan adanya satu Tuhan
pekerjaan. Ia tersenyum dalam hati yang memiliki tiga kekuatan utama yang
sekarang zaman sudah maju, ada saja disebut Trimurti. Ketiga bentuk/wujud
celah atau alasan agar kaum muda bisa kemahakuasaan Tuhan itu, yaitu Brahma
saling bertemu.’ sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara,
Ada hal menarik dari kutipan tersebut dan Siwa sebagai pelebur yang ada. Salah
bahwa terdapat tujuan diadakannya satu manifestasi tersebut tercemin dalam
pertunjukkan Joged Bumbung tersebut, cerpen “Togog” ketika tokoh Wayan Tamba
selain merayakan tahun baru adalah melihat ibunya usai menghaturkan sesajen
sebagai sarana bagi mereka untuk saling dalam rangka perayaan hari suci tilem ka
bertemu atau bersilahturahmi dan sebagai pitu. Hari tersebut merupakan salah satu
penyemangat dalam mencari pekerjaan. Hal hari suci dalam umat Hindu di Bali untuk
itu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi menyembah Siwa sebagai pelebur. Dalam
dalam dunia nyata, bahwa di zaman mod- persembahnyangan itu, umat biasanya
ern ini banyak pemuda-pemudi mencari memohon agar Tuhan memberi maaf atau
pekerjaan di kota. Biasanya mereka pulang melebur segala dosa yang telah dilakukan
ke kampung halaman saat hari raya tiba atau selama menjalani kehidupan di dunia.

256
COKORDA ISTRI S.: REFLEKSI BUDAYA BALI DALAM CERPEN TOGOG KARYA NYOMAN MANDA

Berkaitan dengan peristiwa dalam cerita 3.4 Adat Kebiasaan dan Tradisi
tersebut, selesai sembahyangan, tokoh Keagamaan
Wayan Tamba mendapat inspirasi untuk
membuat sebuah patung yang Adat kebiasaan atau tradisi dalam
mencerminkan Siwa, seperti yang terdapat masyarakat Hindu di Bali disebut dengan
dalam kutipan berikut. sima. Sebagaian besar adat kebiasaan yang
Wayan Tamba inget ia teken tutur Batara Siwa ada didasari oleh agama Hindu. Dalam
matriwikrama ento. Bengong ia makelo, cerpen “Togog”, adat kebiasaan tercermin
makesieng kenehne, makita ia ngae togog pada beberapa peristiwa, di antaranya
mapinda Bathara Siwa. Laut ia nyemak damar kebiasaan umat Hindu melakukan
ganjrenge ngalantas ka rompok dangin paone persembahnyangan bersama, membuat
(Togog, hal. 8). acara bazzar amal, membunyikan
‘Wayan Tamba ingat pada cerita Bhatara kentongan (kulkul) untuk menandakan
Siwa yang memperlihatkan sesuatu yang terjadi, dan pergi ke dapur
keagungannya itu. Dia lama melamun, mohon perlindungan kepada Sang Pencipta,
hatinya berdebar, dia ingin membuat seperti tertuang dalam beberapa kutipan
patung mirip Bhatara Siwa. Dia berikut.
mengambil lampu minyak, kemudian ia Dadi sima di desane ngenem bulan di
pergi ke bangunan bagian timur Galungane para trunane sebarengan mabakti
dapurnya.’ ka pura. Suud mabakti makejang suba pada
nuju bale banjar karana sekaa trunane ngae
Umat Hindu memiliki tempat suci yang bar. Biasane nganti macekan rame suba di
disebut pura. Pura merupakan bangunan banjar. Truna-truni banjar lenan pada teka
suci sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu ngebar, saling undang keto mula simane ane
guna menyembah Tuhan sebagai pencipta, suba majalan, nyen ja ane ngae bar pasti
pemelihara, dan pelebur di bumi ini.Ketika pemuda banjar lenan teka mablanja (Togog,
peringatan atau perayaan hari suci, seperti hal. 9).
Galungan yang datangnya setiap 210 hari
sekali, umat Hindu selalu menyempatkan ‘Sudah menjadi kebiasaan di desa setiap
diri untuk datang ke pura lengkap dengan enam bulan sekali ketika hari raya
peralatan persembahyangan dan busana Galungan tiba para muda-mudi
adatnya. Semua itu bermakna sebagai sembahyang ke pura. Selesai sembahyang
sebuah bentuk penghormatan dan puji semuanya menuju balai dusun karena
syukur dari mereka kepada Tuhan yang muda-mudi itu mengadakan bazaar.
telah menciptakan alam beserta seluruh Biasanya hal itu berlangsung sampai
isinya. Refleksi budaya tersebut terdapat perayaan macekan di balai dusun sangat
dalam kutipan berikut. ramai. Para muda-mudi dusun yang lain
Dadi sima di desane ngenem bulan di datang menghadiri bazaar. Mereka saling
Galungane para trunane sebarengan mabakti mengundang memang menjadi kebiasaan
ka pura. Suud mabakti makejang suba pada seperti dari waktu ke waktu, jika dusun
nuju bale banjar karana sekaa trunane ngae yang satu membuat atau
bar (Togog, hal. 9). menyelenggarakan bazaar, dusun
‘Sudah menjadi kebiasaan di desa setiap lainnyalah yang datang berbelanja.’
enam bulan sekali ketika hari raya
Galungan tiba para muda-mudi Semua yang terjadi dalam kutipan
sembahyang ke pura. Selesai sembahyang tersebut merupakan kebiasaan yang sudah
semuanya menuju balai dusun karena terjadi bertahun-tahun dan hingga kini
muda-mudi itu mengadakan bazaar.’ masih dilakukan oleh kaum muda-mudi
Bali. Dalam kegiatan itulah para muda-
mudi berkesempatan saling mengenal dan
menambah kuatnya silahturahmi di antara

257
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 249—260

mereka. Kegiatan secara bergantian itu pergi ke dapur memohon kesembuhan


mengandung makna bahwa mereka masih kepada Tuhan. Bagi umat Hindu di Bali,
menjaga toleransi dan belajar berderma dapur dipercaya sebagai salah satu tempat
karena hasil atau keuntungan yang mereka bersemayam Batara Brahma (Tuhan sebagai
dapat adalah kembali untuk keperluan pencipta alam semesta). Dengan kata lain,
upacara di dusun mereka masing-masing. dapur merupakan sebuah simbol
Selain itu, banyak di antara mereka persemayaman Brahma sebagai salah satu
mendapat jodoh dalam kegiatan tersebut. manifestasi Tuhan. Dalam keadaan darurat,
Berikut adalah kebiasaan membunyikan mereka akan segera pergi ke dapur untuk
kentongan di balai dusun apabila sesuatu mencari penawar, yaitu dengan mengambil
telah terjadi, misalnya ada kebakaran dan abu dapur yang nantinya dioleskan pada
kerusuhan biasanya kentongan dipukul kening penderita, seperti yang dapat
keras secara bertubi-tubi tanpa jeda. disimak dalam kutipan berikut.
Sebaliknya, apabila ada kematian salah Bapa Ketut Sembrog ngorahin buin nyimbuh
seorang warga dusun, suara kentongan muane Wayan Nerti.Ada masi ane gati
perlahan dan dipukul hanya tiga kali. nunasang penawar di paon, laut coleka muan
Dalam masyarakat Bali, sarana kentongan Wayan Nertine tur misi kemik-kemik masi
masih digunakan dan dipelihara sampai bedik (Togog, hal. 24).
saat ini. Setiap dusun yang ada di Bali
‘Bapak Ketut Sembrog kembali menyuruh
pastilah memiliki kentongan yang
mengolesi parem wajah Wayan
tergantung di balai dusun. Apabila mereka
Nerti.Ada juga yang gesit mencari
ingin mengadakan pertemuan, salah satu
penawar di dapur, dan kemudian
petugas pasti akan memukul kentongan itu.
mengolesi pada wajah Wayan Nerti,
Jumlah pukulannya disesuaikan dengan
sembari berkomat-kamit.’
kesepakatan yang telah dibuat. Dalam
cerpen “Togog” kebiasaan tersebut Makna yang terkandung dalam kutipan
tercermin dalam kutipan berikut. tersebut adalah adanya kepercayaan
Rame anake nutur di tentene semengan. Ping terhadap kebesaran Tuhan sebagai pencipta
telu kulkul telung kelentungane munyi, di seluruh alam ini. Tidak ada yang
Desa Lodtungkang yen ada anak mati menandingi kekuatan Yang Maha Kuasa.
kacihnaang baan kulkul telung kelentungan Berkaitan dengan kutipan tersebut, dalam
(Togog, hal. 27). keadaan tidak berdaya, di samping
berusaha, seseorang akan kembali memohon
‘Ramai sekali orang bercicara ketika dan berserah diri kepada Tuhan dengan
bangun pagi. Tiga kali suara kentongan jalan berdoa. Kebiasaan itu hingga kini
berbunyi, di Desa Lontungkang apabila masih ditemukan dalam kehidupan
ada yang meninggal ditandai dengan masyarakat Bali.
bunyi kentongan sebanyak tiga kali.’
Kebiasaan yang lain dan masih 4. Simpulan
dilakukan saat ini adalah berdoa dan mohon
petunjuk kepada salah satu Dewa, yaitu Berdasarkan kajian yang telah
Brahma (kekuatan Tuhan sebagai pencipta) dilakukan, menunjukkan bahwa sastra
atas apa yang dialami seseorang. Berkaitan dapat memberikan ruang dan waktu untuk
dengan hal ini, dalam cerpen “Togog” memahami dan mengapresiasi semua hal
tercermin ketika tokoh Wayan Nerti pingsan yang terkandung dalam budaya
setelah melihat makhluk aneh dan masyarakat. Dalam cerpen “Togog” karya
menyeramkan di pekarangan rumahnya. Nyoman Manda terkandung beberapa
Semua warga panik berusaha membuat aspek budaya masyarakat Bali di dalamnya.
Wayan Nerti sadar kembali.Ada yang Cerpen “Togog” mampu menampilkan
mengolesinya dengan parem dan ada yang budaya Bali melalui rangkaian peristiwa

258
COKORDA ISTRI S.: REFLEKSI BUDAYA BALI DALAM CERPEN TOGOG KARYA NYOMAN MANDA

yang terdapat di dalamnya, seperti mata dengan kehidupan dunia kepariwisataan.


pencaharian, adat kebiasaan dan tradisi Setiap unsur budaya dalam cerpen “Togog”
keagamaan masyarakat Bali, serta tari mengandung makna sesuai dengan
tradisi. Refleksi unsur budaya agama dalam konteksnya dalam keseluruhan cerita. Selain
cerpen “Togog” disajikan secara terkait itu, cerita ini juga menunjukkan bahwa
dengan adat istiadat sebagai sistem atau masyarakat Bali pada umumnya merupakan
unsur budaya. Semua aspek budaya itu masyarakat yang berjiwa seni. Jiwa seni
hingga kini masih dipelihara dan yang dimiliki oleh masyarakat Bali, tercermin
dilaksanakan oleh masyarakat Bali, di segala aspek kehidupan, seperti tertuang
khususnya yang beragama Hindu. dalam lukisan, ukiran, motif tenun, motif
Secara semitioka cerpen “Togog” dan tipe rumah tradisional, bahkan sarana
sebagai sebuah tanda merupakan simbol pemujaan (sesajen) persembahan kepada
dan indeks bagi situasi sosio-kultural dalam Tuhan.
masyarakat Bali yang sedang berinteraksi

Daftar Pustaka
Djirong, Salmah. 2014. “Kajian Antropologi Sastra Cerita Rakyat Datumuseng dan Maipa Deapati”.Dalam
Sawerigading, Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 20, Nomor 2, Agustus 2014. Makassar: Balai
Bahasa Prov. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Bandem, I Made. 2004. Kaja dan Kelod Tarian Bali dalam Transisi. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Yogyakarta: MSPJ.
Manda, I Nyoman. 2000 Togog. Gianyar: Pondok Tebawutu.
Noth, Wilfred. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Van Zoest, Aart. 1991. “Refleksi Atas Semiotik”. Dalam Jurnal Filsafat Th. I No. 1. Jakarta: Lembaga
Studi Filsafat FSUI.
Widana, Ida Bagus Gede. 2011. “Hukum Adat Mengenai Hak Waris pada masyarakat Bali dalam Novel
Sukreni Gadis Bali Karya Panji Tisna (Tinjauan Sosiologi Sastra).” Dalam Multilingual, Jurnal
Kebahasaan dan Kesastraan, Volume 2, Tahun X, Desember 2011.
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Depok: Komodo Book.

259
METASASTRA, Vol. 8 No. 2, Desember 2015: 249—260

260

Anda mungkin juga menyukai