Pengantar
terbitnya cerpen panjang Sri Sumarah karya
enulisan fiksi atau secara lebih luas sastra Umar Kayam, dan beberapa tahun sebelum- nya
Indonesia dewasa ini menunjuk- kan Danarto menulis cerpen Nostalgia yang
adanya kecenderungan untuk bersumber pada cerita Abimanyu gugur. Setelah
mengangkat budaya tradisional. Keadaan itu itu karya-karya berikutnya menyusul seperti
sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Burung-
tahun 50-an walau belum seintensif sekarang. burung Manyar dan Durga Umayi
Ayip Rosidi yang mengusulkan adanya (Mangunwijaya), Canting (Arswendo Atmo-
angkatan 50-an dalam sejarah perkembangan wiloto), Para Priyayi (Umar Kayam), Perang
sastra Indonesia memberikan karakteristik sastra (Putu Wijaya), atau bahkan karya yang
angkatan itu yang antara lain adalah berorientasi berangkat dari cerita wayang itu sendiri seperti
Anak Bajang Menggiring Angin
pada budaya daerah (Rosidi, 1977). Ayip
(Sindhunata), Balada Cinta Abimanyu dan
Rosidi sendiri menuliskan kembali dalam
Lady Sundari dan Balada Narasoma (Agusta
bentuk saduran sejumlah cerita lama dan atau
cerita-cerita daerah ke dalam bentuk sastra T. Wibisono), Asmaraloka (Danarto), cerpen
"Karna" dan "Gatotkaca" (Bakdi Sumanto), dan
Indonesia, misalnya Lutung Kasarung,
cerpen-cerpen dalam Baratayuda di Negeri
Candra Kirana, dan Rara Mendut. Rara
Antah Berantah (Pipit RK). Kecuali Putu
Mendut belakangan juga ditulis ulang oleh
Wijaya yang berasal dari Bali, para pengarang
Mangunwijaya dalam bentuk trilogi, yaitu
tersebut adalah beretnis Jawa sehingga boleh
dengan ditambah Genduk Duku dan Lusi
dikatakan bahwa para pengarang dari
Lindri. Budaya daerah (Jawa) yang berupa
Jawalah yang banyak mentransformasikan
kesenian wayang juga telah sedikit disinggung, cerita wayang ke dalam sastra Indonesia.
misalnya dalam cerpen NH. Dini ("Jatayu")
Hal itu menunjukkan betapa lekatnya
pada tahun 50-an. Namun, pemasukan unsur budaya pewayangan pada masyarakat Jawa
cerita wayang tersebut kurang bersifat fungsional sehingga begitu berpengaruh dan menjadi
dalam rangkaian- nya dengan keseluruhan sumber rujukan dan penulisan sastra Indo- nesia.
cerita. Cerita wayang belum dimanfaatkan Pengangkatan cerita wayang tersebut tidak sama
sebagai salah satu sumber penulisan fiksi pada bentuk dan tingkat intensitasnya. Ada karya yang
waktu itu, walau dalam bentuk puisi, mengambil secara samar, tetapi menyangkut inti
misalnya, Gunawan Mohamad (1963) telah hakikat, dan ada pula karya yang secara nyata
menulis- kannya secara lebih intensif dalam memfungsional- kannya dalam jalinan cerita.
"Pari- kesit". Pentransfor- masian pada karya-karya yang
Munculnya unsur cerita wayang dan disebut belakangan bisa jadi menghasilkan
bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi karya yang bersifat campur-aduk, sastra hibrida,
Indonesia secara intensif baru terlihat pada antara sastra Indonesia modern dengan
pertengahan tahun 70-an, yaitu dengan
* Doktor, Staf Pengajar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
masih saja relevan dengan keadaan kini bacaan terhadap karya sastra yang berunsur
(Mulyono, 1989).
cerita tradisional dan atau mitologi akan
Berbagai cerita wayang dan karakter para
melibatkan dua macam penerimaan, yaitu
tokohnya banyak yang dijadikan anutan, prinsip
penerimaan terhadap karya itu sendiri
hidup, sumber pencarian nilai-nilai, atau paling
sebagai karya sastra Indonesia modern, dan
tidak mempengaruhi sikap hidup masyarakat
sekaligus juga penerimaan terhadap unsur
penggemar cerita itu. Banyak keadaan dan
pewayangan yang terkandung di dalamnya.
peristiwa di dunia wayang tidak jarang
dipandang sebagai simbol atau bahkan sebagai
Wayang dalam Sastra Indonesia:
ada kemiripannya dengan keadaan dan peristiwa
Masalah Resepsi dan Intertekstual
di dunia nyata. Wayang bukan saja merupakan
suatu bentuk kesenian yang digemari, tetapi telah Pengkajian masuknya seni budaya wayang
menjadi bagian hidup yang dibutuhkan dalam sastra Indonesia paling tidak dapat
masyarakat. Sebagaimana halnya dengan karya dijelaskan lewat teori resepsi dan intertekstual.
seni yang lain, khusus- nya sastra, cerita wayang Teori resepsi dapat diperguna- kan karena
membawa misi sebagai sarana menghibur dan pemasukan unsur itu berkaitan dengan resepsi
sekaligus "mendidik". Atau, sebagaimana yang pengarang terhadap budaya pewayangan.
dikata- kan oleh Horace, cerita wayang berfungsi Sebaliknya, dilihat dari kenya- taan adanya
sebagai dulce et utile, Sweet and useful,
transformasi unsur suatu teks (atau budaya
memberi kenikmatan dan kemanfaatan,
secara lebih ) dalam teks yang lebih kemudian
menunjukkan betapa nilai kepragmatikan cerita
adalah permasalahan hubungan antarteks.
wayang.
Teori resepsi sebenarnya berkaitan dengan
Pengangkatan wayang ke dalam karya
hubungan teks dengan pembaca, baik pembaca
sastra Indonesia modern, bukan saja dapat
sesungguhnya maupun pem- baca bukan
dipandang sebagai salah satu bentuk peles-
sesungguhnya.Transformasi unsur pewayangan
tarian, pemertahanan eksistensi, dan penaf- siran
ke dalam karya fiksi In- donesia modern pada
kembali konsep, nilai, dan norma-norma lama
hakikatnya merupakan resepsi aktif para
secara kontekstual, melainkan juga sebagai salah
satu bentuk upaya, pengenal- an, pengaktualan, pengarang terhadap budaya pewayangan.
dan atau pemopuleran cerita wayang tersebut Pengarang menerima, me- nyambut, memahami,
kepada khalayak yang lebih luas. Karena menanggapi, dan kemudian menuliskan sikap
diresepsi dan ditulis oleh pengarang masa kini dan tanggapan- nya ke dalam karya-karya yang
yang hidup dalam suasana kehidupan masyarakat ditulisnya. Resepsi itu menyebabkan hadirnya
zaman kini pula, pengangkatan cerita wayang ke teks- teks baru yang telah diolah dengan daya
dalam sastra Indonesia modern tentulah kreasinya, dan terjadilah transformasi aspek
membaur dengan suasana kehidupan modern pewayangan ke dalam karya-karya tersebut
pula sehingga bersifat kontekstual. Artinya, (Wiryamartana, 1990:10). Dalam kaitannya
unsur cerita wayang itu telah disesuaikan dengan dengan karya fiksi yang dihasilkan, penga- rang
kondisi sosial budaya masyarakat kini adalah penulis, namun dalam kaitannya dengan
sebagai apresiatornya, walau tidak jarang sikap dan tanggapannya terhadap budaya
bersifat kontroversial. pewayangan mereka adalah pene- rima, dan
Penafsiran kembali cerita wayang lewat bagaimana tanggapan mereka dapat dikenali
penulisan karya sastra akan berpengaruh lewat karyanya itu. Jadi, pengarang sebagai
terhadap penerimaan, tanggapan, sambutan, atau peresepsi bukan dalam pengertian pembaca
resepsi pembaca yang hidup dalam suasana aktual, melainkan pembaca yang ada di balik
kekinian. Hal itu berarti resepsi pembaca teks karya sastra yang ditulisnya.
terhadap (unsur) cerita wayang pada hakikatnya Teori intertekstual memandang bahwa
dijembatani oleh resepsi aktif pengarang. sebuah teks yang ditulis lebih kemudian
Dengan demikian, pem- mendasarkan diri pada teks-teks lain yang