Anda di halaman 1dari 14

WayangHUMANIORA

dalam Fiksi Indonesia


VOLUME 15 No. 1 Februari  2003 Halaman 1-14

WAYANG DALAM FIKSI


INDONESIA
Burhan Nurgiyantoro*

Pengantar
terbitnya cerpen panjang Sri Sumarah karya
enulisan fiksi atau secara lebih luas sastra Umar Kayam, dan beberapa tahun sebelum- nya
Indonesia dewasa ini menunjuk- kan Danarto menulis cerpen Nostalgia yang
adanya kecenderungan untuk bersumber pada cerita Abimanyu gugur. Setelah
mengangkat budaya tradisional. Keadaan itu itu karya-karya berikutnya menyusul seperti
sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Burung-
tahun 50-an walau belum seintensif sekarang. burung Manyar dan Durga Umayi
Ayip Rosidi yang mengusulkan adanya (Mangunwijaya), Canting (Arswendo Atmo-
angkatan 50-an dalam sejarah perkembangan wiloto), Para Priyayi (Umar Kayam), Perang
sastra Indonesia memberikan karakteristik sastra (Putu Wijaya), atau bahkan karya yang
angkatan itu yang antara lain adalah berorientasi berangkat dari cerita wayang itu sendiri seperti
Anak Bajang Menggiring Angin
pada budaya daerah (Rosidi, 1977). Ayip
(Sindhunata), Balada Cinta Abimanyu dan
Rosidi sendiri menuliskan kembali dalam
Lady Sundari dan Balada Narasoma (Agusta
bentuk saduran sejumlah cerita lama dan atau
cerita-cerita daerah ke dalam bentuk sastra T. Wibisono), Asmaraloka (Danarto), cerpen
"Karna" dan "Gatotkaca" (Bakdi Sumanto), dan
Indonesia, misalnya Lutung Kasarung,
cerpen-cerpen dalam Baratayuda di Negeri
Candra Kirana, dan Rara Mendut. Rara
Antah Berantah (Pipit RK). Kecuali Putu
Mendut belakangan juga ditulis ulang oleh
Wijaya yang berasal dari Bali, para pengarang
Mangunwijaya dalam bentuk trilogi, yaitu
tersebut adalah beretnis Jawa sehingga boleh
dengan ditambah Genduk Duku dan Lusi
dikatakan bahwa para pengarang dari
Lindri. Budaya daerah (Jawa) yang berupa
Jawalah yang banyak mentransformasikan
kesenian wayang juga telah sedikit disinggung, cerita wayang ke dalam sastra Indonesia.
misalnya dalam cerpen NH. Dini ("Jatayu")
Hal itu menunjukkan betapa lekatnya
pada tahun 50-an. Namun, pemasukan unsur budaya pewayangan pada masyarakat Jawa
cerita wayang tersebut kurang bersifat fungsional sehingga begitu berpengaruh dan menjadi
dalam rangkaian- nya dengan keseluruhan sumber rujukan dan penulisan sastra Indo- nesia.
cerita. Cerita wayang belum dimanfaatkan Pengangkatan cerita wayang tersebut tidak sama
sebagai salah satu sumber penulisan fiksi pada bentuk dan tingkat intensitasnya. Ada karya yang
waktu itu, walau dalam bentuk puisi, mengambil secara samar, tetapi menyangkut inti
misalnya, Gunawan Mohamad (1963) telah hakikat, dan ada pula karya yang secara nyata
menulis- kannya secara lebih intensif dalam memfungsional- kannya dalam jalinan cerita.
"Pari- kesit". Pentransfor- masian pada karya-karya yang
Munculnya unsur cerita wayang dan disebut belakangan bisa jadi menghasilkan
bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi karya yang bersifat campur-aduk, sastra hibrida,
Indonesia secara intensif baru terlihat pada antara sastra Indonesia modern dengan
pertengahan tahun 70-an, yaitu dengan

* Doktor, Staf Pengajar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Humaniora Volume XV, No. 1


1/2003
sastra budaya pewayangan yang tradisional. besarkannya. Sejarah bangsa-bangsa di dunia
Keadaan itu cukup menarik untuk dicermati menunjukkan bahwa bangsa yang maju dan
karena di tengah arus modernisasi yang semakin besar memiliki akar tradisi mitologi yang amat
mengglobal di tingkat dunia, atau menurut panjang, misalnya, bangsa- bangsa Eropa
Mangunwijaya, saat kita telah sampai pada memiliki dan dipersatukan oleh mitologi Yunani.
tahap pascanasional, penulisan sastra Indonesia Demikian pula Bangsa Cina, Jepang, India, dan
justru terlihat banyak berorientasi pada lain-lain. Mitologi itu sendiri pada umumnya
kebudayaan tradisional. Mangunwijaya sendiri diartikan sebagai cerita tentang dewa-dewa atau
menulis novel yang menyangkut tokoh-tokoh tentang kehidupan supernatural yang lain, juga
berwawasan dan berinteraksi pada tingkat sering mengandung sifat pendewaan manusia
nasional dan inter- nasional, tetapi sekaligus juga (Makaryk, 1995:596).
mengangkat unsur pewayangan di dalamnya. Di Indonesia, khususnya Jawa, mitologi
Atau pemertanyaan lain, mengapa baru pada wayang merupakan tradisi dan budaya yang telah
dekade-dekade terakhir ini cerita wayang digarap mendasari dan berperan besar dalam membentuk
dengan intensif ke dalam sastra In- donesia, karakter dan eksistensi Bangsa Indonesia,
padahal budaya itu sudah bereksistensi jauh khususnya yang beretnis Jawa, menjadi bangsa
di masa lalu bahkan sejak zaman prasejarah. NH. sebagaimana yang dapat disaksikan dewasa ini.
Dini misalnya, yang sudah menulis sejak Oleh karena itu, bukan merupakan hal yang aneh
pertengahan tahun 50- an dan pernah sedikit jika nilai- nilai tradisional dan atau mitologi
menyinggung unsur wayang pada salah sebuah pewayang- an juga banyak berpengaruh
cerpennya, baru pada dekade 90-an ini menulis terhadap penulisan karya sastra Indonesia
novel yang berjudul Tirai Menurun yang lebih modern. Sebagai sebuah fakta mitologi
banyak memanfaatkan potensi pewayangan sebagaimana halnya dengan fakta-fakta
sebagai sumber penulisan novelnya. monumental yang lain yang ada dan terjadi di
Sastrawan Indonesia semakin mening- kat masyarakat, misalnya, peristiwa sejarah, cerita
wawasan kebangsaannya, semakin wayang banyak dijadikan sebagai sumber ilham
menasional dan menginternasional. Menurut penulisan karya sastra Indonesia modern.
Budi Darma semakin jauh sastrawan me- Penulisan itu terutama dilakukan oleh penga-
langkah, akan semakin dalam mereka rang yang akrab dengan dunia pewayangan
kembali ke akar daerahnya karena sub- sehingga mereka merasa perlu untuk menyi-
kebudayaan daerah itu merupakan salah satu kapinya sesuai dengan resepsi-estetiknya.
unsur yang membentuk mereka. Mereka yang Menurut Damono (Republika, 29 Oktober
dilahirkan dan dibesarkan dalam kebudayaan 1994), adanya sebuah mitologi sebagai sumber
daerah masing-masing, setelah menjadi manusia atau akar kebudayaan amat diperlu- kan dalam
Indonesia merindukan kembali subkebudayaan pengembangan sastra atau kebudayaan secara
yang telah mem- bentuknya itu. Hal itu umum karena tanpa itu sastra akan berkembang
merupakan kerinduan arketipal yang besar secara kurang wajar.
sumbangannya terhadap perkembangan Hal itu disebabkan mitologi merupakan
kebudayaan Indonesia (Darma, 1995:171). kristalisasi konsep-konsep, nilai-nilai, dan
Hal itu menunjukkan betapa lekatnya cerita norma-norma yang menjiwai sikap hidup
pewayangan pada masyarakat Jawa sehingga masyarakat selama ini dan menyebabkan
begitu berpengaruh dan menjadi sumber rujukan komunikasi antaranggota masyarakat men- jadi
dan penulisan sastra Indo- nesia. Pengembangan efisien. Cerita wayang merupakan hasil karya
karakter dan atau kebudayaan suatu bangsa tidak seni yang adiluhung, monumental, dan amat
pernah dapat melepaskan diri dari nilai-nilai berharga, bukan saja karena kehebatan cerita,
tradisi (baca: mitologi) yang telah mendasari keindahan penyampaian, ketegasan pola
dan mem- karakter, melainkan juga nilai filosofi dan
"ajaran-ajaran"-nya yang tidak ternilai dan
Wayang dalam Fiksi Indonesia

masih saja relevan dengan keadaan kini bacaan terhadap karya sastra yang berunsur
(Mulyono, 1989).
cerita tradisional dan atau mitologi akan
Berbagai cerita wayang dan karakter para
melibatkan dua macam penerimaan, yaitu
tokohnya banyak yang dijadikan anutan, prinsip
penerimaan terhadap karya itu sendiri
hidup, sumber pencarian nilai-nilai, atau paling
sebagai karya sastra Indonesia modern, dan
tidak mempengaruhi sikap hidup masyarakat
sekaligus juga penerimaan terhadap unsur
penggemar cerita itu. Banyak keadaan dan
pewayangan yang terkandung di dalamnya.
peristiwa di dunia wayang tidak jarang
dipandang sebagai simbol atau bahkan sebagai
Wayang dalam Sastra Indonesia:
ada kemiripannya dengan keadaan dan peristiwa
Masalah Resepsi dan Intertekstual
di dunia nyata. Wayang bukan saja merupakan
suatu bentuk kesenian yang digemari, tetapi telah Pengkajian masuknya seni budaya wayang
menjadi bagian hidup yang dibutuhkan dalam sastra Indonesia paling tidak dapat
masyarakat. Sebagaimana halnya dengan karya dijelaskan lewat teori resepsi dan intertekstual.
seni yang lain, khusus- nya sastra, cerita wayang Teori resepsi dapat diperguna- kan karena
membawa misi sebagai sarana menghibur dan pemasukan unsur itu berkaitan dengan resepsi
sekaligus "mendidik". Atau, sebagaimana yang pengarang terhadap budaya pewayangan.
dikata- kan oleh Horace, cerita wayang berfungsi Sebaliknya, dilihat dari kenya- taan adanya
sebagai dulce et utile, Sweet and useful,
transformasi unsur suatu teks (atau budaya
memberi kenikmatan dan kemanfaatan,
secara lebih ) dalam teks yang lebih kemudian
menunjukkan betapa nilai kepragmatikan cerita
adalah permasalahan hubungan antarteks.
wayang.
Teori resepsi sebenarnya berkaitan dengan
Pengangkatan wayang ke dalam karya
hubungan teks dengan pembaca, baik pembaca
sastra Indonesia modern, bukan saja dapat
sesungguhnya maupun pem- baca bukan
dipandang sebagai salah satu bentuk peles-
sesungguhnya.Transformasi unsur pewayangan
tarian, pemertahanan eksistensi, dan penaf- siran
ke dalam karya fiksi In- donesia modern pada
kembali konsep, nilai, dan norma-norma lama
hakikatnya merupakan resepsi aktif para
secara kontekstual, melainkan juga sebagai salah
satu bentuk upaya, pengenal- an, pengaktualan, pengarang terhadap budaya pewayangan.
dan atau pemopuleran cerita wayang tersebut Pengarang menerima, me- nyambut, memahami,
kepada khalayak yang lebih luas. Karena menanggapi, dan kemudian menuliskan sikap
diresepsi dan ditulis oleh pengarang masa kini dan tanggapan- nya ke dalam karya-karya yang
yang hidup dalam suasana kehidupan masyarakat ditulisnya. Resepsi itu menyebabkan hadirnya
zaman kini pula, pengangkatan cerita wayang ke teks- teks baru yang telah diolah dengan daya
dalam sastra Indonesia modern tentulah kreasinya, dan terjadilah transformasi aspek
membaur dengan suasana kehidupan modern pewayangan ke dalam karya-karya tersebut
pula sehingga bersifat kontekstual. Artinya, (Wiryamartana, 1990:10). Dalam kaitannya
unsur cerita wayang itu telah disesuaikan dengan dengan karya fiksi yang dihasilkan, penga- rang
kondisi sosial budaya masyarakat kini adalah penulis, namun dalam kaitannya dengan
sebagai apresiatornya, walau tidak jarang sikap dan tanggapannya terhadap budaya
bersifat kontroversial. pewayangan mereka adalah pene- rima, dan
Penafsiran kembali cerita wayang lewat bagaimana tanggapan mereka dapat dikenali
penulisan karya sastra akan berpengaruh lewat karyanya itu. Jadi, pengarang sebagai
terhadap penerimaan, tanggapan, sambutan, atau peresepsi bukan dalam pengertian pembaca
resepsi pembaca yang hidup dalam suasana aktual, melainkan pembaca yang ada di balik
kekinian. Hal itu berarti resepsi pembaca teks karya sastra yang ditulisnya.
terhadap (unsur) cerita wayang pada hakikatnya Teori intertekstual memandang bahwa
dijembatani oleh resepsi aktif pengarang. sebuah teks yang ditulis lebih kemudian
Dengan demikian, pem- mendasarkan diri pada teks-teks lain yang

Humaniora Volume XV, No. 3


1/2003
telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah sastra yang meliputi pengarang, pembaca, dan
teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam
konteks sosial budaya. Wujud peng- hipograman
arti penciptaannya dengan konsekuensi
dapat berupa penerusan dan pemerkuatan tradisi,
pembacaannya juga, dilakukan tanpa sama sekali
penyimpangan dan pemberontakan tradisi, atau
berhubungan dengan teks lain yang dijadikan
pemutarbalikan esensi dan amanat serta bentuk
semacam contoh, teladan, kerangka, atau
formal- struktural karya sastra sebelumnya.
acuan (Teeuw, 1984: 145). Karya sastra
Indonesia modern yang mentransformasikan Dengan logika seperti itu, terjadilah transformasi
cerita pewayangan dapat dipandang cerita wayang dalam karya fiksi Indonesia.
mendasarkan diri pada cerita itu. Hal yang
demikian dalam konsep interteks dipandang Wayang dalam Fiksi Indonesia:
sebagai bentuk hipogram 'hypogram' Masalah Penyikapan
(Riffaterre, 1980:23).
Pembaca teks cerita wayang dalam konteks
Dalam kaitannya dengan masalah inter-
karya sastra Indonesia adalah pembaca di balik
tekstual, Frow (dalam Worton dan Still, 1990:
teks. Pembaca itu tidak lain adalah penulis
45-6) mengemukakan sepuluh tesis, yang antara
lain adalah sebagai berikut. (1) Konsep teks sastra yang bersangkutan yang telah
intertekstualitas menuntut agar teks tidak meresepsi cerita wayang. Tiap peresepsi
dipahami sebagai sebuah struktur yang berdiri mempunyai sikap, tanggapan, dan wawasan
sendiri, melainkan sebagai struktur yang estetik yang besar kemungkinan tidak sama.
diferensial dan historikal. (2) Teks bukan Sebagai peresepsi aktif mereka kemudian
merupakan struktur yang terlihat itu saja, menuliskan sikap, tanggapan, dan wawasan
melainkan merupakan struktur jejak dan estetiknya itu ke dalam teks karyanya. Resepsi
pengambilan dari sesuatu yang lain. Ia dibentuk aktif itu menyebabkan hadirnya teks-teks baru
oleh pengulangan dan transformasi struktur teks- yang telah diolah dengan daya kreasinya sebagai
teks lain. (3) Ketidakhadiran struktur teks itu hasil interaksi dengan kondisi sosial budaya
akan merintangi teks yang merepresentasikan, zamannya.
tetapi struktur teks itu merupakan prasyarat dan Dengan demikian, dapat dipahami jika
waktu teks ter- sebut. (4) Bentuk kehadiran sebuah cerita wayang yang sama, jika
strutkur inter- tekstual melebar dari ditanggapi, disikapi, dan diolah dengan daya
kemungkinan eksplisit ke implisit, khusus ke kreativitas oleh pengarang yang berbeda, yang
umum, tersusun atas isi pesan atau kode. Teks notabene masing-masing memiliki konsep
tersusun atas norma ideologis dan kultural, estetikanya sendiri itu, akan meng- hasilkan
konvensi genre, style dan ungkapan, bentuk karya yang berbeda. Oleh karena itu, dapat
konotasi dan kolokatif, dan lain-lain yang berasal dipahami pula jika terdapat berbagai bentuk
dari teks lain. (5) Proses referensi intertekstual transformasi cerita wayang dalam karya sastra
diatur oleh kaidah pembentukan diskursif yang Indonesia modern walau karya- karya tersebut
sesuai dengan tempat kejadian. Dalam kasus teks sama-sama mendasarkan diri pada epos
kesastraan, juga pembacaannya, hubungan Mahabarata dan Ramayana.
diskursif yang umum dijembatani oleh sistem Lewat penelitian kecil yang telah dilaku-
struktur dan otoritas norma kesastraan. kan, ditemukan beberapa macam sikap,
Namun, bagaimana pemerlakuan cerita penerimaan, dan perlakuan pengarang ter- hadap
wayang itu dalam karya sastra tergantung pada cerita wayang, yaitu (1) wayang disi- kapi
tanggapan, penyikapan, dan wawasan estetik sebagai budaya yang bernilai tinggi dan sakral;
pengarang. Konsep interteks itu sendiri dapat (2) wayang disikapi secara main-main dan
berupa hubungan intratekstual dan didesakralkan (parodial); (3) wayang disikapi
ekstratekstual, yaitu yang memandang adanya
secara apa adanya, secara biasa- biasa saja,
hubungan antara sebuah teks kesastraan
dalam arti tidak disakralkan atau sebaliknya
dengan "teks-teks" yang di luar
didesakralkan.
Pertama, kelompok pengarang yang secara bertentangan dengan pakem, tetapi ia
menyikapi dan memperlakukan wayang sebagai tetap terlihat menyikapi dan menerima wayang
suatu bentuk budaya yang bernilai tinggi, secara baik dan menempatkannya dalam posisi
bersifat "sakral", serta dapat diaktual- kan secara terhormat. Transformasi yang dilakukannya
kontekstual, yang mencerminkan pandangan adalah akibat pergulatan yang suntuk dan
perenialistik karena menganggap penting nilai- usahanya melakukan penafsiran kembali
nilai konservatif. Sikap, pene- rimaan, dan terhadap cerita wayang. Transfor- masi yang
perlakuan tersebut terlihat pada dilakukan tetap saja memberikan kesan
Y.B. Mangunwijaya lewat Burung-burung kesungguhan dan kecintaannya terhadap
Manyar dan Durga Umayi, Umar Kayam lewat wayang sebagai hasil budaya yang bernilai tinggi
"Sri Sumarah", "Parta Krama", dan Para yang pantas diperlakukan secara "sakral". Di
Priyayi, dan Bakdi Sumanto lewat "Karna" dan pihak lain, Danarto me- ngembangkan alur dan
"Tumpeng". Namun, karya-karya itu tidak hanya penokohan dengan mendasarkan diri pada cerita
mengandung pandangan perenialistik saja, wayang, atau paling tidak cerita wayang itu
melainkan juga pandangan progresif. Walau dijadikan pijakan pengembangan cerita novel.
dengan cerita yang berbeda, Danarto dalam Kisah tokoh novel Arum-Busro dikembangkan
cerpen "Asmarandana" dan novel Asmaraloka berdasarkan kisah wayang Sawitri-Setiawan
tampaknya juga dapat dikate- gorikan ke dalam (Danarto juga pernah menulis cerpen berjudul:
kelompok ini. "Savitri" yang juga mengisahkan cerita
Wayang dijadikan salah satu sumber bahan wayang itu). Bahkan, khas Danarto yang sering
penulisan cerita modern, baik dengan mengaburkan logika cerita, ada- kalanya
mengangkat cerita dari dunia manusia mod- ern pasangan Arum-Busro dan Sawitri- Setiawan
maupun dunia wayang. Pada Mangun- wijaya berganti menjadi Arum-Setiawan dan Sawitri-
dan Umar Kayam cerita, tokoh, dan nilai-nilai Busro. Bagaimanapun juga, perujukan Danarto
wayang dijadikan simbol, model, dan rujukan terhadap salah satu cerita wayang pada novel itu
kultural dalam pengisahan cerita yang ditulisnya menunjukkan kere- levansian dan kecintaannya
sehingga cerita, tokoh, dan nilai-nilai itu kepada cerita tradisional tersebut.
muncul kembali dalam bentuk transformasinya Walau sama-sama menempatkan wa- yang
dalam karya fiksi. Esensi filsafat dan nilai-nilai dalam posisi yang tinggi dan "sakral", antara
wayang itu sendiri tidak berubah, sedang yang Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Bakdi
berubah adalah ber- bagai bentuk manifestasinya Sumanto terlihat ada perbedaan dalam menyikapi
dalam kehidup- an yang dimunculkan secara dan menempatkan diri lewat karya-karya itu.
kontekstual sesuai dengan zaman kehidupan Nilai-nilai wayang yang di- ungkapkan
modern. Cerita, tokoh, dan nilai-nilai wayang Mangunwijaya dan Bakdi Sumanto sekaligus
secara sadar dijadikan sumber dan model mencerminkan sikap dan pandangannya, sedang
pendidik- an dan atau penyampaian pesan. Umar Kayam lebih terlihat menunjukkan
Pen- transformasian cerita wayang secara pemahamannya tentang apa yang menjadi
kontekstual dalam karya itu menunjukkan keyakinan masyarakat Jawa. Umar Kayam
bahwa cerita dan nilai-nilai wayang dapat bermaksud melakukan interpretasi dan
dimunculkan dalam bentuk lain tanpa sekaligus justifikasi terhadap kehidupan
kehilangan hakikat nilai-nilai dan kesakralan- masyarakat Jawa. Ia juga bermaksud
nya. Hal itu tidak lepas dari sikap dan pene- menunjukkan — yang sekaligus mencerminkan
rimaan Mangunwijaya dan Umar Kayam sikap dan pandangannya—adanya perbenturan
terhadap cerita wayang sebagai budaya tinggi nilai- nilai wayang dengan nilai-nilai aktual-
yang pantas dilestarikan. Nilai-nilai itu modern dalam kehidupan yang mencermin- kan
dipandang esensial dan diyakini kebenaran- nya proses kebudayaan.
karena sudah terbukti oleh ujian-ujian dan Kedua, kelompok pengarang yang
sejarah yang panjang (Amir, 1994: 94-6). Bakdi menyikapi dan memperlakukan wayang
Sumanto menulis karya yang
mentransformasikan alur dan perwatakan
(terkesan) secara menyikapi wayang secara kan" cerita wayang, tetapi pada karya yang lain
main-main seenaknya, bersifat parodial, dan
"mendesakralkan" atau tidak keduanya. Jadi,
mendesakralkan, serta menekankan nilai- nilai
dalam hal sikap pengarang ter- hadap wayang,
aktual yang mencerminkan pandangan
terdapat perbedaan sikap, dan penerimaan —
progresivisme. Namun, karya pengarang
walau pembedaan itu haruslah dilakukan secara
kelompok ini pun pada hakikatnya bersifat
hati-hati— antara pengarang yang lebih tua
eklektik, yaitu yang mengandung unsur
dengan pengarang yang lebih muda; dan atau
perenialisme dan progresivisme dengan unsur
antara pengarang yang dilahirkan, dibesarkan,
progresivisme yang lebih dominan.
dan berdomisili di daerah di mana wayang
Pemermainan dan pendesakralan
masih menjadi kegemaran masyarakat luas
wayang itu berupa pengubahan dan penjung-
dengan pe- ngarang yang dilahirkan, dibesarkan,
kirbalikan karakter tokoh secara kontroversial
dan bertentangan dengan karakter pakem, dan berdomisili di daerah di mana wayang kurang
pengubahan, penciptaan cerita, dan peng- gunaan menjadi tontonan kegemaran. Pengarang
sebagai lambang tokoh fiksi secara tidak tepat. golongan pertama menyikapi wayang sebagai
Sikap itu terlihat pada Yudhistira dalam Arjuna budaya yang bernilai tinggi dan sakral yang
Mencari Cinta, Putu Wijaya dalam Perang, perlu dilestarikan, sedang pengarang golong- an
Seno Gumira Ajidarma dalam "Segitiga Emas", kedua menyikapinya secara main-main,
Pipit R.K dalam "Aku Sengaja Tidur Melulu, parodial, dan mendesakralkannya.
karena Aku Pengen Netral", dan Yanusa Munculnya karya sastra yang mentrans-
Nugroho dalam "Sugriwo-Subali". formasikan unsur cerita wayang secara
Pemermainan dan pende- sakralan wayang itu kontroversial dan menyimpang dari pakem pada
berupa pencampur- adukan karakter tokoh dekade 1990-an tampaknya berkaitan dengan
wayang dengan yang bukan karakternya, sikap penerimaan masyarakat terhadap
pengubahan dan penjung- kirbalikan karakter pertunjukan wayang dewasa ini yang lebih
tokoh secara kontroversial dan bertentangan terbuka. Masyarakat mau mene- rima
dengan karakter pakem, pengubahan, pertunjukan wayang yang mengandung unsur
penciptaan cerita, dan peng- gunaan sebagai pembaharuan dan perubahan- perubahan
lambang tokoh fiksi secara tidak tepat. Sikap itu yang sebenarnya justru tidak lagi sesuai dengan
terlihat pada Yudhistira dalam Arjuna Mencari pola pertunjukan selama ini. Misalnya,
Cinta, Putu Wijaya dalam Perang, Seno masyarakat terutama generasi muda mau
Gumira Ajidarma dalam "Segitiga Emas", Pipit menerima pertunjukan Ki Dalang Enthus
R.K dalam "Aku Sengaja Tidur Melulu, karena Susmana dan Ki Djoko Hadiwidjojo yang
Aku Pengen Netral", Yanusa Nugroho dalam banyak melakukan penyimpangan. Masyarakat
"Sugriwo- Subali", Danarto dalam "Balairung", juga mau menerima pertunjukan wayang yang
dan Agusta T. Wibisono dalam Balada Cinta bersifat campur aduk dengan pertunjukan yang
Abimanyu dan Lady Sundari dan Balada lain seperti munculnya pelawak, penyanyi, dan
Narasoma. penari di tengah pertunjukan wayang kulit
Ketiga, kelompok pengarang yang sebagaimana yang dapat dilihat di televisi. Jadi,
menyikapi dan memperlakukan wayang secara terlihat adanya kesejajaran sikap antara sikap
apa adanya, tidak menyakralkan dan juga tidak masyarakat yang mau menerima perubahan-
mendesakralkan. Wayang tidak ditonjolkan penyimpang- an pola pertunjukan wayang kulit
sebagai sesuatu yang bernilai tinggi atau dengan sikap pengarang dalam
sebaliknya juga tidak dipermain- kan secara
mentransformasikan unsur pewayangan dalam
seenaknya, tetapi tetap dijadikan sumber bahan
karya sastra. Keberanian pengarang
dan rujukan kultural dalam penulisan. Namun,
mentransformasikan cerita wayang secara
sejumlah pengarang misalnya Danarto,
kontroversial tampak- nya diprakondisikan oleh
Yudhistira, dan Seno Gumira tampak
sikap masyarakat yang tidak lagi memandang
memperlihatkan sikap "dua wajah": pada satu
karya bersikap "menyakral- pertunjukan wayang sebagai sesuatu yang
statis.
Wayang dalam Fiksi Indonesia: Masalah masikan dari model pengabdian Sumantri.
Pemfungsian Keteladanan Sumantri, Karna, dan Kumba-
Dalam fiksi Indonesia aktualisasi cerita karna itu banyak dijadikan model keteladan- an
wayang paling tidak memiliki tiga fungsi, yaitu dan acuan kultural oleh masyarakat Jawa pada
(1) sebagai rujukan kultural; (2) menyampai- kan waktu itu, misalnya lewat Serat Tripama
humor dan kritik; (3) sarana berekspresi. -nya Mangkunegara IV.
Pertama, sebagai referensi kultural cerita dan Kedua, cerita dan tokoh wayang dipakai
tokoh wayang sengaja diambil untuk sebagai sarana untuk menyampaikan kritik dan
dipergunakan sebagai lambang, model, humor, kritik yang disampaikan secara humor,
simbolisasi karakter tokoh fiksi, pengaktual- an atau humor yang mengandung kritik. Hal itu
filsafat dan nilai-nilai wayang, dan lain- lain. terlihat pada karya-karya Putu Wijaya, Danarto,
Cerita dan tokoh wayang sengaja dijadikan Yudhistira, Agusta T Wibisono, Pipit RK, dan
sebagai salah satu referensi kultural dalam Seno Gumira Ajidarma. Pada umum- nya mereka
penulisan sastra karena dipandang masih relevan menampilkan alur dan tokoh wayang secara
dalam kehidupan dewasa ini walau harus campur aduk antara alur cerita wayang dengan
dilakukan secara kontekstual sesuai dengan latar alur tokoh bukan wayang yang sengaja
belakang kehidupan masyarakat. Hal itu dikreasikannya. Transformasi tersebut
misalnya dilakukan oleh Mangunwijaya dan dimaksudkan untuk menyampaikan kritik sosial
Umar Kayam. lewat tokoh- tokoh wayang itu. Kritik yang
Dalam Durga Umayi Mangunwijaya dikemas dan diungkapkan lewat tokoh wayang
menampilkan masalah pokok dan tema tentang akan menjadi tidak langsung, "aman", dan mem-
keterombang-ambingan kepribadian tokoh antara berikan kesan objektif. Namun, penyampaian
tindakan benar dan tidak benar yang kritik itu pada umumnya dilakukan dengan cara
dilambangkan dengan karakter Dewi Umayi dan yang lucu. Jadi, mereka bermaksud menulis
Batari Durga. Tarik-menarik antara dua hal karya kritik yang mengandung hu- mor atau atau
tersebut dimaksudkan sebagai simbolisasi karya humor yang mengandung kritik.
perjalanan hidup bangsa Indone- sia yang Ketiga, wayang sengaja dipilih sebagai
mempunyai kepribadian terbelah dan dilematik. sarana untuk berekspresi. Pemilihan cara
Hal itu diisyaratkan oleh nama Iin Sulinda berekspresi lewat cerita wayang dimaksud- kan
Pertiwi yang ditransformasikan dari kata agar sesuatu yang ingin disampaikan dapat
"Insulinde" dan "pertiwi" yang keduanya berarti diterima pembaca dengan baik karena—
'tanah air'. Insulinde adalah sebutan tanah air sebagaimana dikatakan oleh Putu Wijaya—
Indonesia oleh penjajah Belanda. Bahkan, dalam wayang amat populer di Indonesia, khususnya di
Burung-burung Manyar, rujukan terhadap Jawa dan Bali. Selain itu, menurut Kuntowijoyo
wayang itu juga mencakup pengembangan alur (1984:131) pengarang sebagai pewaris budaya
dan penokohan. Tepat- nya, dalam novel ini ia kolektif juga merasa berkepentingan untuk
ingin menulis novel simbolis tentang kehidupan memilih sarana yang telah diketahui umum
manusia lewat simbol-simbol dari cerita wayang, seperti lewat penokoh- an yang bersifat tipologis
menulis wayang modern, menulis fiksi agar keabsahannya sebagai pengarang diakui.
modern dengan inti hakikat cerita wayang. Perujukan aspek- aspek tertentu pewayangan
Umar Kayam, di pihak lain misalnya, akan memper- singkat penuturan (dari sudut
menampilkan masalah pokok dan tema tentang penulis) dan mempercepat pemahaman (dari
kesetiaan seorang istri kepada suami dengan sudut pembaca), dan karenanya komunikasi
model kesetiaan Wara Sembadra dalam "Sri men- jadi lebih efisien. Selain itu, sarana peng-
Sumarah" dan Para Priyayi, serta tekad ucapan lewat cerita wayang itu dapat mem-
penghambaan, kewajiban, kesetiaan, dan berikan nada keseriusan dalam suasana
pengabdian kepada negara dan orang yang telah nonformal.
membantu. Model pengabdian tokoh tersebut
sengaja ditransfor-
Cerita wayang banyak dipergunakan alur cerita dikembangkan berdasarkan cerita
sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial wayang. Alur cerita, tokoh, dan berbagai
dan humor karena dianggap sebagai sarana yang persoalan dan konflik yang dikisahkan pada
aman dan terkesan objektif. Aman karena tidak umumnya berasal dari cerita wayang.
ada orang yang merasa secara langsung merasa Pengarang menceritakan kembali cerita itu sesuai
dikritik, dan objektif karena terkesan kritik dengan tanggapan, penerimaan, hara- pan dan
diberikan oleh pihak luar yang tidak secara pandangan estetiknya. Pengisahan kembali cerita
langsung terlibat dalam persoalan aktual. Putu wayang itu mungkin sekali mengandung unsur-
Wijaya misal- nya, sengaja memilih wayang unsur "penyimpangan" dari cerita aslinya, yang
sebagai bentuk pengucapan karena wayang antara lain disebab- kan adanya tafsir baru secara
telah begitu populer di masyarakat Indonesia, kontekstual atau keyakinannya.
khusunya Jawa dan Bali, sehingga masya- rakat
Pengaktualan cerita wayang dalam jenis ini,
merasa akrab, tidak takut, dan terbuka. Wayang
paling tidak dapat dibedakan ke dalam tiga
adalah jembatan untuk sampai ke hati pembaca.
kategori. Pertama, secara umum peng- aktualan
Dengan wayang pula, ia merasa bebas untuk
unsur-unsur cerita wayang masih
mengungkapkan ber- bagai hal yang tidak dapat
mempertahankan cerita asli, baik yang
diungkapkan dengan cara-cara biasa. Wayang
menyangkut cerita, plot, tokoh, pokok perma-
dengan mudah dipergunakan sebagai sarana
salahan, konflik, dan lain-lain. Peran
untuk menyampaikan kritik karena jika
pengarang boleh dikatakan sebagai "penulis
disampai- kan dengan cara biasa akan sulit
ulang" cerita wayang itu. Namun, sebagai
menembus sensor. Cerita wayang penuh dengan
pengarang kreatif, ia juga mempunyai
simbol, asosiasi, dan penafsiran, maka dengan
"kekuasaan" untuk menciptakan kembali cerita
wayang itu ia ingin menyalakan seluruh simbol,
yang dikisahkan itu. Misalnya, kreati- vitas
asosiasi, dan penafsiran itu pada pembaca.
dalam pembuatan adegan-adegan, peristiwa,
Pengekspresian dengan cara seperti itu akan
dialog, dan style. Karya yang dapat digolongkan
memberikan kesan yang kurang lebih sama
ke dalam kelompok ini misalnya novel Anak
kepada pembaca, dan kritik pun menjadi
Bajang Menggiring Angin (Sindhunata) dan
terselubung karena pengritik dan yang dikritik
cerpen "Gatutkaca" (Bakdi Sumanto) dan
adalah para tokoh dari dunia wayang yang
"Savitri" (Danarto).
mempermainkan dan menertawakan diri mereka
Kedua, pengaktualan cerita dan tokoh
sendiri.
wayang dengan penyimpangan alur cerita dan
karakter tokoh. Hal itu misalnya, terlihat pada
Model Pengaktualan Unsur Cerita cerpen "Karna" (Bakdi Sumanto) yang yang
Tradisional dikembangkan berdasarkan kisah Karna
Ada beberapa model pengaktualan unsur Tanding. Cerpen itu sengaja ditampilkan untuk
cerita wayang ke dalam karya fiksi Indonesia melukiskan gejolak batin Karna sewaktu
yang masing-masing menunjukkan tingkat harus bertempur menghadapi adiknya
intensitas yang tidak sama. Model- model yang sendiri, Arjuna, di medan perang Baratayuda. Di
sementara teramati adalah yang masuk ke dalam awal kisah, cerita masih agak setia pada pakem
unsur-unsur intrinsik seperti cerita, penokohan, cerita wayang, tetapi pada akhir kisah terjadi
alur, masalah pokok dan tema, latar, dan nilai- penyimpangan, yaitu berupa mbalela-nya
nilai. Model yang dibicarakan berikut tidak Karna ke pihak Pandawa, Duryudana yang
melibatkan ke seluruh unsur intrinsik tersebut. berniat meng- hentikan perang karena diam-diam
cinta perdamaian dibunuh oleh Sengkuni dan
a. Pengembangan Cerita Durna yang kemudian mengambil alih
komando perang. Jadi, penyimpangan itu
Cerita dalam karya ini difungsikan mecakup esensi cerita dan karakter tokoh,
sebagai pusat pengembangan cerita. Atau, termasuk pengubahan karakter wayang yang
umumnya sederhana menjadi kompleks.
Cerpen itu sengaja ditafsirkan oleh Bakdi bertokoh manusia bukan wayang dan bahkan
Sumanto demikian untuk menunjukkan
merujuk tokoh sungguhan, misalnya Cak
betapa beratnya beban batin Karna yang secara
Asmuni dan Bu Bariyah (dalam Balada
psikologis sebenarnya tidak seseder- hana
Narasoma).
sebagaimana yang sering dimainkan dalam
Cerpen "Segitiga Emas", misalnya,
pertunjukan wayang kulit yang lebih mengejar
berangkat dari cerita wayang Sumantri
meriahnya.
Ngenger, tetapi cerita berkembang menjadi
Ketiga, pengaktualan cerita wayang dengan
konkret sehingga tokoh-tokoh wayang dapat
tambahan cerita dan tokoh yang sengaja
dikreasikan oleh pengarang. Di satu sisi berinteraksi langsung dengan manusia bukan
pengarang mempertahankan cerita dan tokoh wayang, dan bahkan Sumantri berubah menjadi
wayang, tetapi di sisi lain menambah dan manusia berdasi yang adalah seorang pialang
mencampuradukkannya dengan cerita dan tokoh tanah. Pada awal pemuncul- annya tokoh
ciptaannya yang bukan wayang. Karya yang Sumantri dalam cerpen ditampilkan sebagai
dihasilkan terkesan campur aduk antara cerita orang yang keras hati dan bersedia melakukan
dan tokoh wayang dengan cerita dan tokoh di apa saja demi diterimanya penghambaannya
luar wayang. Keadaan itu secara sepintas kepada raja, tetapi kemudian berubah menjadi
memberikan kesan tidak masuk akal karena dua seorang pialang tanah yang licik, penipu, dan
tokoh yang berbeda dunia- nya, misalnya yang kejam. Jadi, pada awal pemunculannya tokoh
satu tokoh yang berasal dari dunia wayang dan Sumantri masih mencerminkan karakter
yang lain tokoh dari dunia bukan wayang, dapat Sumantri tokoh wayang dan baru kemudian
bergabung dalam setting yang juga campur mengalami perubahan, sejalan dengan
aduk. Pengangkat- an cerita wayang pada karya perubahan penampilannya yang dicampur-
ini mirip model kedua di atas, tetapi dengan adukkan dengan situasi kehidupan dunia nyata,
penyimpangan karakter tokoh, alur cerita, dan yaitu ketika diminta untuk memindah- kan
setting yang lebih ekstrem. Contoh karya jenis kawasan Segitiga Emas Jakarta ke Kerajaan
ini misal- nya adalah novel Perang (Putu Maespati oleh Prabu Arjuna- sasrabahu karena
Wijaya), Balada Cinta Abimayu dan Lady permintaan Dewi Citra- wati. Perubahan karakter
Sundari dan Balada Narasoma (Agusta T. Sumantri dapat dilihat dari dua latar, yaitu ketika
Wibisono), Asmaraloka (Danarto) cerpen masih menjadi tokoh wayang dalam dunia
"Segitiga Emas" (Seno Gumira Ajidarma), wayang dan sesudah dicampuradukkan
cerpen "Aku Sengaja Tidur Melulu, karena Aku dengan kehidupan dunia manusia modern secara
Pengen Netral" dan cerpen-cerpen lain konkret. Ketika masih berlatar dunia wayang,
dalam Baratayuda di Negeri Antah karakter Sumantri masih mencerminkan karakter
Berantah (Pipit RK), dan lain-lain. tokoh wayang, tetapi setelah di- campuradukkan
Balada Cinta Abimayu dan Lady dengan situasi kehidupan nyata, karakternya pun
Sundari dan Balada Narasoma menampilkan berubah. Perubahan karakter tokoh-tokoh itu
cerita dan tokoh wayang, tetapi tokoh-tokoh itu juga menyebabkan pembedaan karakter secara
hidup dalam situasi dan peradaban kehidupan literer juga berubah, yaitu yang semula tokoh
modern sebagaimana yang terjadi saat cerita itu protagonis menjadi antagonis, dan dari tokoh
ditulis (yaitu 1989). Jadi, pakem cerita wayang yang cenderung berwatak sederhana berubah
secara relatif masih diikuti, tetapi tingkah laku menjadi antagonis dan kompleks.
tokoh-tokoh wayang itu tidak berbeda dengan
tingkah laku manusia bukan wayang yang dalam b. Penokohan
latar kekinian. Misalnya, Abimayu yang suka
naik GL-Pro, berlatih keras memanah karena Pengangkatan cerita wayang ke dalam
akan mengikuti Olimpiade Barcelona 1992, dan karya sastra Indonesia modern juga terdapat
lain-lain. Selain itu, cerita itu sendiri dibungkus, dalam aspek penokohan. Dalam penelitian kecil
yaitu diawali dan diakhiri dengan cerita yang yang dilakukan, pengaktualan peno-
kohan itu paling tidak meliputi (1) pengambil- an Kedua, pengaktualan tokoh pewayangan
tokoh wayang; (2) penghipograman yang berwujud penghipograman perwatakan dan
perwatakan dan penamaan sekaligus; (3) penamaan sekaligus dapat dijumpai misalnya
penghipograman perwatakan tanpa pena- maan; pada novel Burung-burung Manyar, yaitu
(4) penghipograman penamaan tanpa tokoh Setadewa, Larasati, Janaka- tamsi,
perwatakan. Brajabasuki, dan Antana, dan Para Priyayi,
Pertama, pengambilan tokoh-tokoh yaitu tokoh Harimurti. Namun, intensitas
wayang ke dalam karya fiksi terjadi pada karya penghipograman perwatakan tokoh-tokoh
yang mengembangkan alur cerita pada cerita tersebut dari karakter wayang tidak sama. Tokoh
wayang. Tokoh-tokoh wayang yang diangkat Setadewa dan Larasati jauh lebih intensif
ada yang tetap mempertahankan karakter daripada tokoh Janaka- tamsi, Brajabasuki,
pakem, tetapi lebih banyak lagi yang bersifat Antana, dan Harimurti.
campur aduk. Artinya, sebagian karakter Nama Setadewa berhipogram pada nama
pakem dipertahankan, tetapi sebagian Baladewa, yaitu dengan mengambil kata
karakter yang lain merupakan penyimpangan "Dewa". Baladewa dikenal sebagai makhluk
dari karakter pakem itu, misalnya dengan cara seta, yang artinya 'putih' karena berkulit putih,
menambah, meng- kreasikan, atau menyimpangi berwatak jujur, dan luput dari kesalahan. Nama
esensinya. Tokoh-tokoh wayang dalam Setadewa berasal dari gabungan "Seta" dan
kelompok ini adalah tokoh-tokoh fiksi "Dewa" yang keduanya milik tokoh Baladewa.
sebagaimana yang disebut dalam pengembangan Kata "Dewa" adalah sebagian nama tokoh itu
cerita di atas. Tokoh-tokoh yang berkarakter dan "Seta" adalah salah satu ciri karakternya.
"setia" pada pakem itu misalnya adalah tokoh- Perwatakan Setadewa juga banyak
tokoh dalam Anak Bajang Menggiring ditransformasikan dari karakter Baladewa, baik
Angin (Sindhunata) dan cerpen "Gatotkaca" yang menyangkut unsur fisik, tingkah laku, dan
(Bakdi Sumanto) dan "Savitri" (Danarto), sedang mental. Namun, sebagai tokoh manusia biasa
yang menyimpang dan atau campur aduk itu Setadewa mengalami perkembangan karakter
misalnya dalam "Karna" (Bakdi Sumanto), karena setelah setengah tua berkepribadian
"Segitiga Emas" (Seno Gumira Ajidarma), matang berubah menjadi berpembawaan tenang,
pintar mengendalikan perasaan, dan mene-
Perang (Putu Wijaya), Balada Cinta
nangkan emosi orang lain. Karena jati dirinya
Abimanyu dan Lady Sundari dan Balada
lebih banyak terungkap, Setadewa lebih
Narasoma (Agusta T. Wibisono), dan lain-lain.
berkarakter bulat, sedang Baladewa yang telah
Ada kesejajaran antara "kesetiaan" dan
memiliki pola karakter pasti berkarakter
penyimpangan dari pengembangan cerita
sederhana.
wayang dengan "kesetiaan" dan penyim-
Sikap Setadewa yang berpendirian walau
pangan pengkarakteran tokoh. Jika secara
bekerja pada perusahaan asing, tetapi tetap
cerita fiksi itu secara relatif "setia" dengan mencintai Indonesia, selain berhipo- gram
cerita wayang, secara karakter pun karakter kepada Baladewa juga kepada Karna, dan Prabu
tokoh-tokoh itu juga "setia" dengan karakter Salya yang ditransformasikan secara kontekstual.
tokoh wayang yang diperankannya. Sebalik- Kecintaan Baladewa yang mengasuh Parikesit
nya, jika secara cerita fiksi itu menyimpang pasca Perang Baratayuda ditransformasikan ke
dari cerita wayang yang dihipogramkannya, dalam tekad dan kecintaan Setadewa untuk me-
secara karakter pun perwatakan para tokoh itu ngasuh ketiga anak Larasati yang telah menjadi
juga menyimpang dari perwatakan tokoh yatim piatu.
wayang yang dihipogramkannya. Jauh dekat- nya Nama Larasati berhipogram kepada nama
penyimpangan karakter dari karakter tokoh Rarasati atau Larasati putri Buyut Antagopa, dan
wayang yang dihipogramkannya biasanya hal perwatakan juga berhipo- gram kepada Sri
sejalan dengan jauh dekatnya penyimpangan Kandi dan Kleting Kuning, tokoh cerita Panji.
cerita dari cerita-cerita Jika dalam cerita wayang
wayang yang dikisahkannya.
Larasati adalah putri Antagopa, Larasati dalam karakter tokoh Srikandi yang adalah seorang
novel adalah putra Antana. Nama "Antana" juga prajurit wanita yang sering berjuang di samping
ditransformasikan dari nama "Antagopa". suaminya, Arjuna. Kepribadian Iin juga
Terjadilah pentransformasian dalam hubungan dimaksudkan sebagai simbolisasi
kekeluargaan yang berupa hubungan anak dan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu kepri-
ayah. Kesejajaran hubungan tersebut juga badian yang terbelah.
terdapat pada hubungan antara Setadewa dan
Pengaktualan karakter tokoh wayang yang
Brajabasuki dengan Baladewa dan Basudewa.
lain ditemui pada tokoh Sastrodarsono dan
Nama Brajabasuki ditransformasikan dari nama
Lantip dari tokoh Sumantri sebagaimana terlihat
tokoh wayang Basudewa. Basudewa adalah ayah
pada lakon Sumantri Ngenger. Tekad dan
Baladewa dan Brajabasuki adalah ayah
semangat pengabdian Sumantri pada cerita itu
Setadewa.
dijadikan referensi kultural orang Jawa untuk
Tokoh lain yang secara nama dan karakter menggambarkan semangat untuk mencapai cita-
diaktualkan dari wayang adalah Harimurti pada cita dan pengabdian terhadap raja. Tokoh Siti
novel Para Priyayi. Nama "Harimurti" diambil Aisah, Sri Sumarah, Bu Bei, dan Pariyem terlihat
dari nama Harimurti, nama lain tokoh Kresna. berhipogramkan kepada tokoh wayang Dewi
Pengaktualan karakter Harimurti dari Kresna Wara Sembadra.
meliputi aspek fisik, perilaku, dan mental
Penokohan yang secara watak dan nama
walau tidak banyak. Bayi Harimurti oleh
atau secara watak saja diaktualkan dari tokoh
ayahnya dinamai "Harimurti" karena sewaktu
wayang menyebabkan tokoh- tokoh fiksi
lahir kulitnya agak hitam dan ayahnya berharap
menjadi bersifat tipologis. Hal itu merupakan
agar anak itu kelak bersikap bijaksana seperti
contoh kuat dan mempertegas pendapat
Kresna. Setelah dewasa Harimurti mem- punyai
Kuntowijoyo (1984:127-8) yang mengatakan
ciri karakter Kresna, yaitu cerdas, pandai
bahwa penokohan dan perwatakan dalam
berbicara, berperasaan halus, suka membantu,
sastra Indonesia tidak mempersoalkan
dan merasakan dan memrihatin- kan penderitaan
personalitas pelaku, tetapi merupakan penokohan
rakyat kecil.
dan perwatakan yang sudah mempunyai tradisi
Ketiga, pengaktualan perwatakan tokoh tipologisme. Hal itu menunjukkan bahwa tradisi
wayang tanpa disertai penamaan misalnya pewayangan masih kuat berakar dalam sastra
ditemui dalam novel Durga Umayi dengan modern Indonesia. Semua tokoh wayang
tokoh Iin Sulinda Pertiwi, Para Priyayi dengan telah memiliki pola perwatakan yang pasti, dan
tokoh Sastrodarsono, Lantip, dan Siti Aisah, Sri karenanya bersifat tipologis. Jika tokoh fiksi
Sumarah dengan tokoh Sri Sumarah, Canting Indonesia cenderung tipologis, hal itu
dengan tokoh Bu Bei, Pengakuan Pariyem berkaitan dengan latar belakang sosiokultural
dengan tokoh Pariyem, dan lain- lain. Indonesia dulu dan masa kini yang juga menjadi
Tokoh Iin, misalnya, digambarkan seba- gai latar belakang sosiokultural penga- rang. Hal itu
seorang wanita yang berkepribadian terbelah juga sesuai dengan apa yang dikemukakan
(split personality), yaitu antara kepribadian Chatman (1980:26), yaitu bahwa apa yang
yang berkonotasi baik dan buruk. Sifat baik dan dikemukakan oleh pengarang akan
buruk tersebut disimbolkan dengan dua tokoh diprakondisikan oleh latar belakang sosiokultural
wayang, yaitu Dewi Umayi yang cantik dan yang membesarkannya.
Batari Durga yang raseksi berwajah buruk. Keempat, pengaktualan penamaan
Kedua tokoh wayang itu dijadikan referensi tokoh wayang tanpa perwatakan kepada tokoh
kultural untuk meng- gambarkan karakter baik fiksi misalnya dijumpai pada novel Arjuna
dan buruk sese- orang. Selain itu, keiikutsertaan Mencari Cinta (Yudhistira) dengan tokoh-tokoh
Iin ke front perang revolusi kemerdekaan
seperti Arjuna, Kresna, Palgu- nadi, Setyawati,
bersama ayahnya merupakan Anggraeni, dan Arimbi, "Sugriwo-Subali"
pengaktualan ciri
(Yanuar Nugraha) dengan tokoh Sugriwo,
Subali, dan Hanoman, dan "Wawancara
dengan Rahwana" (karya
Yudhistira) dengan tokoh Sanjaya. Tokoh- tokoh tokoh (Setadewa dan Larasati), masa
fiksi tersebut adalah manusia biasa ciptaan dewasa, dan masa setengah tua kedua tokoh itu.
pengarang dari latar kehidupan dewasa ini. Model ini sebenarnya wujud peng- hipograman
Tokoh Hanoman, Sugriwo, dan Subali adalah alur pertunjukan wayang kulit yang dibagi
para gelandangan pengemis yang sengaja diberi menjadi tiga bagian. Bagian pertama dengan
nama tokoh wayang, tetapi dengan karakter gending pathet nem, kedua dengan gending
pengemis. Hanoman dalam cerpen memperoleh pathet sanga, dan ketiga dengan gending
nama itu karena kebetulan berkulit putih yang manyura. Bagian pertama merupakan
mempunyai kesamaan fisik dengan Anoman simbolisasi manusia ketika masih kecil,
tokoh wayang yang berbulu putih. Sebaliknya, bagian kedua masa dewasa, dan bagian ketiga
Sugriwo dan Subali dalam cerpen adalah anak masa tua. Dengan demikian, simbolisasi
temuan Hanoman, yang secara begitu saja proses kehidupan manusia dalam pola alur
dinamai Sugriwo dan Subali karena ia juga pertunjukan wayang itu ditransformasikan secara
bernama seperti nama tokoh wayang. konkret ke dalam kehidupan tokoh cerita novel.
Tokoh-tokoh novel Arjuna Mencari Cinta Kedua, pengaktualan alur per cerita wayang
sebenarnya ada yang secara karakter juga ke dalam alur fiksi antara lain ditemui pada novel-
ditransformasikan dari karakter tokoh wayang novel yang dikemukakan di atas. Novel
yang secara penamaan disandangnya. Burung-burung Manyar selain
Misalnya, tokoh Arjuna yang dikisahkan sebagai mengandung aktualisasi alur pertunjukan
anak yang bersifat play boy, mudah berganti wayang, juga mengandung aktualisasi alur per
pacar, sebagaimana karakter yang sering cerita wayang, yaitu cerita Banjaran
ditimpakan kepada Arjuna tokoh wayang. Ke- Kakrasana. "Biografi" Setadewa yang dikisah-
playboy-an Arjuna tokoh wayang sebenarnya kan dalam novel itu merupakan aktualisasi
merupakan simbol, simbol bahwa dirinya "biografi" tokoh wayang Kakrasana secara
merupakan lelananging jagad, suka membantu kontekstual dalam kehidupan modern.
kesusahan orang lain dan suka berguru, namun Misalnya; (1) Kakrasana bersama dua
oleh sebagian orang diartikan ke dalam makna adiknya (Narayana dan Dewi Lara Ireng)
yang sebenarnya. Karakter Arjuna yang telah diungsikan ke Widara Kandang di rumah
"didangkalkan" maknanya itulah yang kemudian Antagopa, orang tua Larasati, karena
dihipo- gramkan kepada tokoh Arjuna novel. ancaman Kangsa. Setadewa diungsikan ke rumah
Antana, orang tua Larasati (Atik), karena
c. Pengaluran ancaman Jepang terhadap ayahnya yang tentara
Belanda; (2) Dengan alasan pribadi, yaitu terikat
Pengaktualan cerita tradisional ke janji kepada istri dan mertua, Kakrasana
dalam karya sastra Indonesia modern juga dapat memihak Kurawa, sedang Larasati yang
ditemui dalam pengembangan alur. Dalam dunia menjadi istri Arjuna memihak Pandawa.
pewayangan terdapat dua alur, yaitu alur Setadewa yang juga dengan alasan pribadi, yaitu
pertunjukan wayang dan alur per cerita wayang. Jepang yang menodai ibunya dan menangkap
Novel yang secara alur, tentu saja tidak ayahnya, memihak Belanda, Larasati yang
seluruhnya, mengandung unsur aktualisasi alur menjadi sekretaris Syahrir memihak republik; (3)
pewayangan misalnya adalah Burung-burung Setelah Perang Baratayuda, Kakrasana
Manyar, Para Priyayi, Durga Umayi, Sri mengasuh Parikesit keturunan Pandawa karena
Sumarah, Asmaraloka, "Segitiga Emas", dan kecintaannya kepada Pandawa tidak pernah
lain-lain. sirna. Setadewa mengasuh ketiga anak Larasati
Pertama, pengaktualan alur pertunjukan demi cintanya yang juga tidak pernah padam.
wayang kulit sejauh ini baru ditemukan dalam Aktualisasi alur per cerita wayang juga
novel Burung-burung Manyar. Novel tersebut terlihat pada Para Priyayi (juga: "Segitiga
dibagi ke dalam bagian yang masing-masing Emas"), yaitu cerita Sumantri Ngenger yang
mengisahkan masa kecil sampai remaja
diaktualkan ke alur kehidupan sastrodarsono dan akan menjadi salah satu sumber penulisan sastra
Lantip. Sebagaimana halnya Sumantri, kedua yang banyak dipilih.
orang tersebut juga menghamba untuk
Jika pada dekade 80-an dan 90-an banyak
meningkatkan derajat hidupnya. Jika tokoh
pengarang yang mentransformasikan cerita
Sumantri menghamba kepada Prabu Arjuna-
wayang secara kontroversial dalam karya fiksi,
sasrabahu, Sastradarsono menghamba kepada
tampaknya hal itu dipengaruhi oleh kondisi
gupermen (dan secara tidak langsung kepada zaman yang berani memper- lakukan cerita
Ndoro Seten) dan Lantip kepada keluarga wayang dan pertunjukan wayang kulit sebagai
Sastrodarsono dan pemerintah. Sebagaimana sesuatu yang tidak bersifat statis dan mengalami
Sumantri yang bertekad bulat untuk mengabdi, "keterbukaan". Pertunjukan wayang kulit oleh
dan setelah diterimanya pengabdian itu begitu para dalang tertentu dewasa ini cenderung
berbakti kepada raja, hal yang kurang lebih dicampur- adukkan dengan pertunjukan seni
sama, namun secara kontekstual sesuai dengan yang lain walau cerita wayang itu sendiri
latar kehidupan modern, juga dilakukan oleh masih dijadikan pegangan.
Sastrodarsono dan Lantip. Sebagaimana halnya
Selain apa yang dikemukakan di atas, untuk
pengon- kretan alur kehidupan Kakrasana yang
masa ke depan kiranya dapat diharap- kan bahwa
tokoh wayang menjadi alur kehidupan Setadewa
penulisan karya kreatif yang bersumber dari atau
yang tokoh manusia bukan wayang, alur
berhipogram pada cerita wayang akan menjadi
kehidupan Sastrodarsono dan Lantip juga
salah satu alternatif yang banyak dipilih jika
merupakan pengonkretan alur kehidupan tokoh
didukung oleh para pengarang yang menjiwai
Sumantri yang tokoh wayang.
budaya wayang ingin mengangkat akar
Keadaan tersebut juga terlihat pada novel budayanya itu ke dalam penulisan sastra,
Asmarandana yang dikembangkan dari cerita penerbit yang mem- bantu, dan sambutan
wayang Sawitri-Setiawan. Alur cerita Sawitri- pembaca yang ber- semangat. Sebaliknya, jika
Setiawan ditranfromasikan secara konkret salah satu pen- dukung tersebut kurang
dalam alur kehidupan Arum-Busro. Kisah mendukungnya penulisan yang bersumber dari
perjuangan Sawitri si pengantin baru mengejar budaya pewayangan itu tidak lagi menjadi
Dewa Yamadipati yang mencabut nyawa alternatif yang banyak dipilih.
suaminya, Setiawan, agar nyawa suami itu Sebagai manusia berbudaya, jika tidak
dikembalikan, ditranformasikan menjadi kisah menjadi pengarang, dan bukan pula menjadi
perjuangan Arum yang juga pengantin baru pihak penerbit, tentulah kita menjadi pem-
mengejar malaikat yang mencabut nyawa bacanya, apresiatornya. Orang yang ber- budaya
suaminya, Busro, dengan tuntutan yang sama. tentulah tidak merasa sia-sia untuk sedikit
Namun, jika dalam cerita wayang perjuangan meluangkan waktu mengapresiasi berbagai
Sawitri merebut kembali nyawa suaminya bentuk hasil kreativitas seni budaya, terutama
berhasil, tidak demikian halnya dalam dan khususnya yang bernama karya sastra.
Asmaraloka karena bagaimanapun juga kisah
manusia berbeda dengan kisah wayang. Kisah DAFTAR PUSTAKA
cinta dalam Asmaraloka berkembang menjadi
kisah perjuangan Arum yang penuh dengan Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam
muatan religius. Wayang. Jakarta: Sinar Harapan.

Penutup Chatman, Seymour. 1980. Story and Dis-


course, Narrative Structure in Fiction
Terlihat ada keterkaitan antara kehidupan and Film. Itacha: Cornell University Press.
budaya pewayangan di masyarakat dengan Darma, Budi. 1995. Harmonium. Yogyakarta:
penulisan sastra yang bersumber dari budaya Pustaka Pelajar.
pewayangan itu. Jika budaya pewayangan tetap
hidup subur di masyarakat, budaya itu
Kuntowijoyo. 1984. "Penokohan dan Perwa-
takan dalam Sastra Indonesia". Dalam Rosidi, Ajip. 1977. Langit Biru Laut Biru.
Andy Zoeltom (ed). Budaya Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jakarta: Rajawali. Riffaterre, Michael. 1980. Semiotic of Poetry.
Makaryk, Irena R. 1995. Encyclopedia of London: Metheun & Co Ltd.
Contemporary Literary Theory. Toronto: Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of
University of Toronto Press. Literary Texts. Lise: The Peter De Ridder
Mulyono, Sri. 1989. Wayang, Asal-usul, Press.
Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra,
CV Haji Masagung. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Pustaka Jaya.
Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indo- Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjuna-
nesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni- wiwaha, Transformasi Teks Jawa Kuna
versity Press. lewat Tanggapan dan Penciptaan di
Republika. 29 Oktober 1994. “Sapardi Djoko Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta:
Damono”. Penyair Berkewajiban Ciptakan Duta Wacana University Press.
Bahasa. Worton, Michael & Judith Still (eds). 1990.
Ryan, Michael. 1999. Literary Theory, a Prac- Intertextuality Theories and Practices.
New York: Manchester University Press.
tical Introduction. Malden, Massachu-
setts: Blackwell Publishers Inc.

Anda mungkin juga menyukai