Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Poetika Vol. No.

2, Desember 2014

PROSA, RUANG, DAN KOTA PASCAKOLONIAL

Moh. Atikurrahman
Sastra Indonesia Universitas Airlangga
Email: atiqurrahmann@gmail.com

Abstrak
Sampai saat ini kajian mengenai ruang kota pascakolonial dalam kaitannya dengan prosa-prosa
Indonesia modern dapat dikatakan minim. Di lain pihak, sejarah sastra kita dilimpahi penulis-penulis
seperti Armijn Pane, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Budi Darma dst., yang secara
konsisten menulis prosa-prosanya dengan latar kota-kota bekas jajahan. Sayangnya, keberadaan karya-
karya mereka belum diimbangi dengan kajian-kajian yang memadai mengenai perjumpaan antara
penulis prosa kita dengan kota sebagai representasi dari sebuah pengalaman pascakolonial. Tulisan ini
berusaha untuk melacak hubungan integral antara penulis prosa modern Indonesia dan kota dengan
menggunakan pendekatan teori ruang spasial dalam kaitannya dengan kajian sastra pascakolonial
di Indonesia. Pendekatannya menggunakan teori spasial Sara Upstone, khususnya mengenai ruang
(spatial) kota.
Kata kunci: ruang, kota, pascakolonial.
Abstract
Today, the studies on post-colonial urban space in relation with Indonesian modern prose can be said to
be minimal. On the other hand, in the history of Indonesian literature, we are endowed with writers like Armijn
Pane, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Budi Darma etc., who consistently write prose with the
background of the ex-colonial towns. Unfortunately, there is no enough studies of the encounter between those writers
with the city as a representation of a post-colonial experience. This paper tried to track the integral relationship between
Indonesian modern prose writers to the city by using the spatial space theory in relation to the study of post-colonial
literature in Indonesia. This analysis used the spatial theory by Sara Upstone as the approach, especially regarding to
space (spatial) city.
Keywords: spatial, city, postcolonial.

Pendahuluan pada pengolahan alam (tanah). Sebaliknya,


Munculnya kota pertama dalam sejarah penghuni kawasan luar kota dipandang serba
umat manusia terjadi di lembah Sungai Nil kurang beradab dan disebut sebagai barbar. Di
dan Efrat-Tigris. Pada masa itu, kedua tempat kotalah berkembang apa yang disebut sebagai
tersebut memiliki ketercukupan bahan pangan kebudayaan umat manusia. Hal ini tampak pada
yang dihasilkan oleh pedesaan, sehingga terdapat tingginya keterampilan teknis, berkembangnya
orang-orang yang terbebaskan dari pekerjaan gagasan manusia, distribusikannya wacana-
mengolah tanah. Mereka yang tinggal di kedua wacana, majunya berbagai bidang kesenian, dan
kota ini mencukupi kebutuhan hidupnya dengan munculnya segala penemuan baru.
mengembangkan suatu mata pencaharian baru, Sejak kelahiran hingga tumbuh-
yakni perdagangan dan transfortasi, dan bukan kembangnya kesusastraan Indonesia modern
lagi dari sektor pertanian (Budianto, 2001: 108). dapat dikatakan sebagai sastra kota. Ismail
Dalam buku Towns and Cities, Jones (dalam Husein (dalam Malna, 2000:308-309)
Budianto, 2001) menulis bahwa keberadaan menyebutkan, sastra Indonesia dapat dicirikan
kota menunjukkan apa yang disebut The Hight sebagai sastra kota karena bahasa sastranya
of Man’s Achievement. Sebuah kota selalu berkait adalah bahasa Melayu yang kemudian menjelma
erat dengan peradaban (civilization) yang menjadi bahasa Indonesia dan banyak dipakai
mencerminkan kemenangan manusia atas alam, di kota-kota besar. Selain alasan tersebut,
sebab mereka tidak lagi bergantung sepenuhnya tumbuhnya elit baru melalui pendidikan dan

137
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

organisasi-organisasi sosial-politik seperti geografi bernama kota. Dengan demikian, tidak


partai bersamaan dengan tumbuhnya gerakan mengherankan apabila kemudian kesusastraan
nasionalisme, perdagangan dan industri, yang Indonesia tumbuh-berkembang sebagai sastra
kesemuanya berkembang di kota-kota besar. kota. Terhadap kondisi tersebut, Afrizal Malna
Faruk (2007:213) mengatakan, persentuhan (2000: 309) mengatakan, sastra Indonesia yang
masyarakat Indonesia dengan sastra modern tumbuh sebagai ”sastra kota” lebih merupakan
tidak hanya melalui institusi pendidikan dan konsekuensi politik dan linguistik dari proses
penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka. bentukan nasionalisme sastra yang kemudian
Transaksi ekonomi, politik, dan kemasyarakatan dilembagakan sebagai kesusastraan Indonesia
antara kolonialis Belanda dengan masyarakat modern.
Indonesia merupakan situs-situs awal dan Apa yang disebut sebagai sastra kota
penting dari terjadinya persentuhan kultural dalam tulisan ini adalah karya-karya sastra
tersebut. yang merepresentasikan perjumpaan para
Setelah melalui berbagai proses penulis prosa dengan kota, sehingga dalam
negosiasi ekonomi dan politik, pertempuran, karya-karya mereka tersebut terjelma apa yang
penaklukan, dan korban-korban yang besar, disebut sebagai pengalaman pasca-kolonial.
kolonialis Belanda berangsur-angsur berhasil Kalau merujuk pada sejarah resmi kesusastraan
menaklukkan Ambon, Sulawesi Selatan, Jawa, Indonesia, maka perjumpaan para prosais
dan akhirnya seluruh wilayah Indonesia. kita dengan kota telah dimulai sejak era Balai
Akhirnya terbentuk apa yang disebut sebagai Pustaka. Namun, pada masa itu intensitas
masyarakat kolonial Belanda di Indonesia. perjumpaan antara keduanya masih relatif
Wilayah-wilayah yang menjadi pusat minim, bahkan mendua, kota dan desa, atau
pemukiman orang-orang Belanda di Indonesia, bahkan dapat dikatakan lebih berat pada aspek
misalnya Jakarta dan Surabaya, dengan segera yang terakhir. Dalam karya-karya seperti Sitti
menjadi kota-kota besar yang berfungsi sebagai Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Salah
pusat-pusat kekuasaan, perekonomian, dan Asuhan dst., dapat ditemukan gerak-laku tokoh-
kebudayaan, sehingga tidak hanya memancing tokohnya di antara kota dan desa. Namun,
proses urbanisasi masyarakat Indonesia secara keseluruhan karya-karya tersebut masih
menuju ke kota-kota tersebut, melainkan juga dipenuhi dengan romantisme lewat penjabaran
mendorong terjadinya usaha-usaha peniruan panorama pedesaan yang dominan dalam
dan adaptasi mereka terhadap gaya hidup dan narasinya. Dengan demikian, dapat dikatakan
kebudayaan modern Eropa (Faruk, 2007: 213). bahwa pada masa itu perjumpaan para prosais
Sejak kolonialisasi awal mereka dengan kota masih kabur.
di Indonesia, orang-orang Belanda telah Intensitas perjumpaan antara prosais
membawa serta kebudayaan, kesenian, dan dengan kota yang dominan terjadi pada masa
kesusastraan mereka. Kebudayaan kolonialis berikutnya, yakni Pujangga Baru. Armijn
Belanda itulah yang kemudian dijadikan model Pane melalui Belenggu dapat dikatakan sebagai
bagi gagasan mengenai modernitas. Berkenaan tonggak, dan merupakan contoh yang apik
dengan kesusastraan, Faruk (1995:142) dalam mengenai keterkaitan antara seorang prosais
tulisan lain menyatakan bahwa salah satu faktor dengan kota. Berlainan dengan corak karya-
yang dianggap ikut andil dalam menentukan karya para penulis sebelumnya, dalam Belenggu
perkembangan itu adalah kontak sastra Armijn Pane bercerita mengenai tokoh-tokoh
Indonesia dengan karya-karya dan paham- yang memiliki keterkaitan yang intim dengan
paham kesusastraan yang ada di luar Indonesia. latar kejadiannya, sebuah kota. Berbeda dengan
Peniruan dan adaptasi oleh para elit pribumi karya-karya Balai Pustaka yang cenderung
modern awal terhadap model kesusastraan bercerita secara ideal, Belenggu berpretensi untuk
Eropa itu hanya dimungkinkan terjadi dalam bercerita mengenai dunia yang lebih nyata dan

138
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

kacau dalam gerak-laku antar tokoh-tokohnya. tentang penguasaan teritori. Berkaitan dengan
Idrus, berturut kemudian Pramoedya pengertian kolonialisme sebagai penguasaan
Ananta Toer, Iwan Simatupang, Budi Darma, teritori, maka penguasa kolonial ingin
bahkan Afrizal Malna dan Sony Karsono menanamkan kekuasan dan melestarikannya
merupakan segelintir barisan prosais yang dengan berbagai strategi. Strategi penting yang
intens menceritakan perjumpaan mereka digunakan adalah melakukan kontrol terhadap
sebagai prosais dengan kota-kota yang mereka wilayah kekuasaan serta masyarakatnya. Upaya
diami. Demi kepentingan kajian ini, penulis akan kontrol itu dimanfaatkan untuk mewujudkan
melacak hubungan yang kompleks antara para dan melanggengkan wilayah teritori jajahannya,
prosais modern kita dengan kota berdasarkan baik pada tingkat bangsa, ruang publik seperti
objek material cerpen Tunggu Aku Di Simpang kota, bahkan sampai ke ruang-ruang domestik
jalan Itu karya Iwan Simatpang dan Novel Rafilus seperti tempat tinggal dan ruang-ruang pribadi
karya Budi Darma. Penulis hendak mengetahui (seperti individu).
bagaimana representasi keterkaitan antara para Dalam Oxford English Dictionary, diksi
penulis prosa Indonesia modern dengan kota- ‘koloni’ diperikan sebagai ‘not only a community
kota pascakolonial. of settlers, but also ’the territory’ occupied by that
community’. Berdasarkan pengertian tersebut,
Ruang Kota Pascakolonial Upstone yakin bahwa strategi kontol berkaitan
Teori yang digunakan dalam kajian erat dengan konsep batas—wilayah tertentu
ini adalah ruang kota pascakolonial oleh merupakan batas teritori yang digunakan pihak
Sara Upstone. Berkenaan dengan kajian kolonial untuk menguasai koloninya. Dalam
pascakolonial, Upstone dalam Spatial Politics in praktiknya, penerapan pemetaan dilakukan
the Postcolonial Novel menekankan pada politik dengan rigid dan pasti guna melanggengkan
ruang, suatu wilayah yang pernah ditempati kekuasaan kolonial. Konsep ruang berbatas ini
dan dikontrol oleh kolonial, dan kolonial ditanamkan pada masyarakat sebagai sesuatu
telah meninggalkan wilayah tersebut. Bagi yang tetap, terkontrol, absolut, dan natural.
Upstone daerah-daerah bekas jajahan dianggap Dengan adanya konsep batas yang tampak
masih memiliki ruang-ruang kolonial yang absolut, tidak dapat digoyahkan oleh kelompok-
ditinggalkan pada wilayah jajahan itu, meskipun kelompok lokal, wilayah teritori dengan batas-
secara fisik kolonial sudah tidak bercokol lagi batasnya menjadi sesuatu yang keberadaannya
pada ruang terjajah. Ruang-ruang tersebut sah (legitimate entuty), dan statusnya yang
oleh Upstone distratifikasikan dalam bangsa absolut menghancurkan berbagai prefensi dari
(nation), perjalanan (journey), kota (city), rumah masyarakat sebelumnya, serta praktik kesukuan
(home) dan tubuh (body). Pada setiap level ruang yang telah ada (Upstone, 2009: 4-5; dalam
tersebut terdapat unsur politik yang diungkap Suwiwati, 2009: 18). Konsep tentang batas
(Suciawati, 2014: 17). yang ditanamkan pada masyarakat dan memiliki
Dalam telaahnya terhadap novel-novel tujuan untuk kontrol, mempertahankan
pascakolonial, Upstone menguraikan bahwa ‘a stabilitas, serta menghindarkan berbagai
reading of the postcolonial politics novel that is centered resistensi, terjaga dengan adanya penerimaan
upon an alternative concept of spatial politics: one that dan persetujuan masyarakat bahwa batas
is rooted not solely in a politics of the nation, but instead bersifat alamiah. Dengan demikian, seolah-olah
reflects the diverse spaces that construct the postcolonial masyarakat tidak menyadari adanya konstruksi
experience’ (2009: 1). Pengalaman kolonial yang kolonial tentang batas tersebut. Kondisi
dimaksud di sini adalah pengalaman yang inilah yang menjadikan masyarakat homogen
terjadi pada daerah yang pernah diduduki sehingga mudah dikontrol.
atau mengalami kolonialisme Barat. Hal Upstone (dalam Suciati, 2014: 19)
ini berkaitan dengan konsep kolonialisme berpendapat bahwa dalam pandangan

139
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

pascakolonial ruang disadari lebih bersifat cair, ruang kota (bagi kepentingan kolonialisasi)
berbeda dengan harmonisasi dan idealisasi merupakan salah satu konstruksi yang berperan
ala kolonial. Oleh karena itulah ia kemudian untuk menjalankan fungsi politis dalam
menawarkan gagasan bahwa penulis-penulis menegakkan nilai-nilai kolonial, dan peran ini
pascakolonial menciptakan ruang sebagai ditampilkan melalui etalase pada sebuah kota.
tempat berbagai kemungkinan dan resistensi, Ruang kota berada dalam level
dengan merebut kembali kecairan ruang yang ruang setelah ruang bangsa (nation) dan
telah ditolak oleh konsep kolonial dalam perjalanan (journey). Bagi Upstone (2009: 85)
gagasan ruang berbatasnya dan dengan kota merupakan sebuah ruang yang identik
memberikan lokasi fungsi-fungsi politis. Hal dengan representasi yang secara metonimik
ini berarti bahwa penulis pascakolonial ingin merefleksikan ketegangan ruang nation yang
mengungkapkan chaos yang ada, dan membuka sekaligus menawarkan sebuah gagasan
peluang untuk perlawanan atau resistensi geopolitik yang khas. Berkenaan dengan ruang
terhadap konstruksi kolonial. kota, Upstone melihat keterkaitan yang erat dan
Dikatakan pula bahwa pandangan kompleks antara para novelis dengan geograf
ruang pascakolonial menolak konstruksi itu dalam wujud bagaimana kota itu hadir
teritori, memberi penawaran bahwa ruang (nyata) dan bagaimana kota itu dibayangkan.
seharusnya direklamasi, suatu pandangan yang Terdapat beragam model kota yang disebut
pada awalnya mengandung berbagai perbedaan dalam bukunya, yaitu Utopian Cities, Desired City,
dan melihat ruang di luar pemikiran kolonial, Nowhere City, dan Carnival City.
dimana ruang menjadi lokasi, bukan sebagai
negasi atas apa yang telah berlalu melainkan Utopian Cities
negosiasi (Upstone, 2009:13). Berbeda dengan Gagasan mengenai ‘kota utopia’ selalu
pandangan kolonial, pandangan pascakolonial berkait erat dengan ‘utopia’ dalam bahasa
melihat ruang berisi suara-suara heterogen yang Yunani Kuno, ‘not a place’. Bagi Upstone kota
memiliki berbagai pengalaman yang memberi secara inhern selalu terikat dengan wacana
penekanan pada perbedaan dan subjektifitas utopia—terejawantahkan dalam ruang urban.
(Upstone, 2009:13). Suara-suara heterogen Ruang-ruang urban ini dibayangkan bukan
dan pengalaman inilah yang memunculkan sebagaimana kota itu hadir (nyata), melainkan
chaos. Penyikapan chaos tersebut tidak untuk sebagai suatu mimpi atau impian. Lebih
menghilangkan semua stabilitas yang ada, lanjut Upstone mengatakan, “Despite various
melainkan lebih pada upaya pemanfaatannya representations of the horrors of the industrialised
dalam membongkar pandangan yang dianggap city, the city has also been at the same time a space of
tetap dan menanamkan pola-pola pemahaman projection: of personal desires and communal hopes.”
dan pengalaman-pengalaman yang baru (2009:85).
sehingga dibutuhkan fluiditas ruang yang tidak Bagi Upstone wacana utopia sangat
bisa didapatkan dalam konsep kolonial maupun relevan untuk melacak bagaimana para novelis
tradisi, atau pula dari konsep Barat dan Timur pascakolonial menafsirkan ruang urban kota.
yang sudah dibatasi-batasi tersebut. Hal ini, pada Upstone mengatakan, “As the colonist justifies
akhirnya, memunculkan post-space. Menurut imperial seizure of territory in ideal terms of adventure
Upstone (2009:15) post-space merupakan konsep and freedom so the city-utopia is often the focus for
yang berada di luar batas-batas kolonial maupun similar yearnings. In both cases these ideals are in stark
batas-batas tradisi, bahkan melampaui dan contrast to lived reality. As colonial space overwrites the
berada sebelum batas-batas tersebut muncul; freedom necessary for territorial expansion with ordering
ia juga bisa dikatakan suatu ruang yang hibrid, and division, so the utopian city succumbs to similiar
cair dan bergerak, sehingga tidak memiliki processes” (2009: 85-86).
batas-batas lagi. Dalam teritori yang lebih kecil,

140
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

Bagi Upstone sendiri, para penulis Melayu dan Arab. Jalan-jalan utama di
pascakolinial terlibat dalam gagasan mengenai pemukiman ini adalah Handelstraat,
ihwal yang ideal mengenai kota. Dia berujar, Chinesevoorstraat, Chineshe Breestraat,
Chinesche Buitenweg, Chinesche
“This connection between colonial cities and the utopian Heerenstraat, Chinesche Tempelstraat,
ideal city presents oppurtinies to explore how postcolonial dan lain-lain. Adapun jalan-jalan di
novelists engage with urban space of idealised desire to daerah pemukiman orang Arab dan
investigate whether the the relationship between colonial Melayu antara lain Kampemenstraat,
Ampel ,dan sekitarnya.
nation and postcolony is replicated on urban scale” Pola yang kedua adalah yang terletak
(2009:87). di daerah bagian selatan kota yang
Representasi yang dihadirkan Budi merupakan daerah perumahan dan
Darma sebagaimana tampak dalam novelnya, pemukiman baru. Jaringan jalan di
kawasan ini sengaja direncanakan untuk
Rafilus, menunjukkan corak sebagaimana keperluan perumahan orang-orang
disebutkan Upstone di atas. Dengan kata lain, Eropa. Nama-nama Belanda terletak di
novel Budi Darma tersebut menggambarkan perumahan-perumahan Eropa, kawasan
bagaimana si penulis novel terlibat secara pelabuhan, serta daerah perdagangan.
Jalan-jalan yang berada di kawasan elit
langsung dengan gagasan mengenai sebuah Darmo misalnya, diberi nama yang
kota yang ideal. Dalam Rafilus, banyak ditemui merujuk nama para gubernur jenderal
penyebutan nama-nama jalan, seperti Jl. Raya Belanda yang pernah memerintah
Darmo, Jl. Dr. Soetomo, Jl. Diponegoro, Jl. Panghela, di Indonesia, seperti Altingstraat,
Baudstraat, van den Boschlaan, Coen
Jl. Bronggalan, Jl. Tambangboyo, Jl. Pandegeling, Boulevard, van Heutzstraat, van
Jl. Ambengan, Jl. Perak, Jl. Tunjungan, dst. Hoogendorplaan dsb. Meskipun di
Untuk pembaca Surabaya atau mereka yang kawasan ini memakai nama Belanda,
mengetahui seluk-beluk kota ini, penyebutan Jalan Raya Darmo yang merupakan jalan
utama dan strategis tidak mengalami
nama-nama jalan tersebut memiliki konteks pergantian, tetapi hanya ditambah
tertentu. menjadi Darmo Boulevard.
Sarkawi B. Husein sejarawan dari Atas nama nasionalisme dan
Universitas Airlangga dalam bukunya, Negara penghargaan atas jasa pahlawan, maka
nama-nama jalan setempat yang sudah
Di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme lama melekat dalam memori masyarakat
Perkotaan (Surabaya 1930-1960), menguraikan harus diganti dengan nama-nama
bahwa penamaan jalan-jalan di kota itu pahlawan yang justru tidak dikenal
selalu terikat dengan simbol kekuasaan. Ia masyarakat. Altingstraat diubah menjadi
Jalan Trunojoyo, Bothstraat menjadi
memaparkan bahwa nama-nama jalan itu Jalan Dr. Wahidin, Carpentierstraat
menunjukkan bagaimana simbol-simbol di menjadi Jalan Untung Suropati, Coen
Kota Surabaya, khususnya nama jalan itu, Boulevard menjadi Jalan Dr. Soetomo,
merefleksikan keseimbangan kekuasaan, dan Daendelstraat diubah menjadi Jalan
Imam Bonjol, van Heutzstraat diganti
bagaimana dinamika kekuasaan membawa dengan nama musuhnya Jalan Teuku
perubahan pada sebuah simbol sebagaimana Umar” (Husein, 2010:85).
dijelaskan berikut.
Dalam bab Sepanjang Jalan Kenangan:
“Pola jalan dalam kota Surabaya sampai Makna dan Perebutan Simbol Nama Jalan Di
tahun 1900-an dapat dikelompokkan
ke dalam dua pola. Pertama, pola jalan Kota Surabaya, Sarkawi secara khusus memberi
yang tidak direncanakan dan timbul ulasan yang cukup rigid mengenai sejarah jalan-
sebagai akibat kegiatan ekonomi serta jalan di Kota Surabaya. Nama sebuah jalan
hubungan sosial pendudukanya. Jika dapat berganti nama lain tergantung siapa
di sebelah barat Jembatan Merah
dihuni oleh orang-orang Eropa, yang berkuasa, baik Belanda hingga pada era
maka di sebelah timurnya dihuni oleh kemerdekaan. Khusus mengenai pendudukan
orang-orang Cina serta orang-orang

141
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

Jepang yang secara resmi menduduki Surabaya lain lain mereka juga demikian. Mereka
pada 8 Maret 1942, tidak ada perubahan masih ingin menganggap Indonesia
terhadap nama-nama jalan sekalipun jalan surga dunia, namun Pemerintah
Belanda sudah kehabisan gigi. Mau
itu menggunakan nama Belanda. Di samping tidak mau tidak mugkin lagi mereka
singkatnya periode pendudukan mereka, demi berlagak seperti penjajah. Indonesia
kelangsungan kekuasannya, Jepang lebih tertarik sudah merdeka. Mareka hanyalah orang
memobilisasi massa dengan cara kekerasan atau asing di negeri asing...
Jumlah orang Belanda pada waktu itu
cara yang lebih simpatik. Untuk menghapus masih sangat besar. Mereka tinggal
memori kolonialisasi Belanda, Jepang merusak di daerah-daerah terhormat, antara
situs-situs seperti patung-patung dan tugu- lain di Jl. Raya Darmo. Tentu saja
tugu peninggalan Belanda. Selama periode mereka tidak tinggal di gang-gang dan
kampung-kampung... Tapi ingat, tidak
pendudukannya, Jepang hanya mengubah semua orang Belanda banar-benar
sebuah nama jalan, yakni Jalan Prambanan Belanda. Kulit mereka tidak putih, tapi
menjadi Jalan Kempetai (2010: 87-88). hitam. Sementara itu, rambut mereka
Dalam kesimpulannya, Sarkawi kebanyakan tidak tidur dan tidak pula
tegak. Mereka menganggap diri mereka
menuliskan bahwa klasifikasi nama jalan benar-benar Belanda dan meminta hak
menunjukkan adanya kebijakan segresi etnik untuk diperlakukan sebagai Belanda
dan status sosial masyarakat. Jalan yang tulen... Menjelang berakhirnya masa
menggunakan nama-nama Belanda misalnya penjajahan Belanda, jumlah mereka
membunting. Mungkin mereka nampak
dipergunakan untuk kawasan elite yang dihuni lebih banyak karena Belanda yang
oleh orang-orang Belanda, sedangkan nama benar-benar Belanda sudah melesat,
jalan Cina dipakai untuk kawasan perdagangan dan menghirup udara negerinya sendiri.
yang memang banyak dihuni oleh orang-orang Begitu Belanda-Belanda putih
meninggalkan Surabaya, mereka yang
Tionghoa. Untuk kawasan yang dihuni oleh sebenarnya bukan Belanda ini beramai-
penduduk pribumi, nama-nama jalannya banyak ramai masuk ke bekas rumah Belanda
memakai nama-nama tumbuhan, hewan, dan putih. Sebelum mereka melahap
nama-nama lokal lainnya. Ketika Indonesia kesempatan ini, sebetulnya mereka sudah
tinggal di daerah-daerah terhormat,
merdeka, kecenderungan segresi di atas tetapi bukan kelas satu. Andaikata dulu
tampaknya tidak bergeser. Nama-nama jalan mereka tinggal di kampung-kampung,
di kawasan elite yang dahulunya menggunakan tidak mungkin mereka mendapat
nama-nama Belanda diganti dengan nama-nama perlakuan sebagai orang Belanda. Tidak
mungkin Pemerintah Belanda memberi
Indonesia yang juga elite (baca: pahlawan), kesamaan derajat kepada Belanda-
sedangkan di kawasan Pecinan diubah dengan Belanda hitam ini, andaikata mereka
nama komoditi perdagangan seperti Jl. Kopi, Jl. menjadi koki, kuli, atau jongos. Dan
Karet, dan lain-lain. koki, kuli, serta jongos tidak mungkin
tidak tinggal di kampung” (Darma,
Dalam novel Rafilus pada bagian 3 2008: 38).
(khususnya 3.2 dan 3.3) terdapat sub-judul
Van der Klooning dan Jaan Van Kraal yang Narasi di atas mengungkapkan banyak
secara tak langsung membenarkan pernyataan hal terkait kota bernama Surabaya. Lewat narasi
Sarkawi di atas dan sekaligus menunjukkan seorang opas pos bernama Munandir yang
bagaimana penulis novel ini terlibat secara aktif bercerita tentang pengalamannya pada masa
dalam persentuhannya dengan kota yang ideal silam (sekitar tahun 50-an), tampak bagaimana
tersebut. etalase kota hadir dan dibayangkan dengan latar
masa peralihan. Di situ juga tampak bagaimana
“Pada tahun-tahun lima puluhan, orang- terdapat sekat-sekat ruang yang sengaja
orang Belanda di Surabaya sudah merasa
tidak tentram. Saya yakin di kota-kota dibangun oleh kolonial untuk membedakan

142
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

antara kelas atas, menengah, dan bawah. Sekat “Demikianlah, saya terus mengontel
itu hadir bersinergi dengan nama-nama jalan. sepeda tanpa lelah. Sebentar lagi saya
Seperti diungkap Sarkawi di atas, keberadaanya akan melewati rumah besar di Jl. Raya
Darmo no. 54. Setiap kali melewati
merupakan segresi etnik dan status sosial. rumah itu, saya tertarik untuk menengok
Sejarah kolonialisasi Kota Surabaya patung manusia di pekarangan rumah.
cukup panjang. Pendudukan kolonial Belanda Saya berhenti, kemudian memandang
terhadap Surabaya berlangsung selama kurang- patung itu. Patung itu terbuat dari besi,
dan sangat kokoh. Sinar lampu kedua
lebih 200-an tahun. Sepanjang pendudukan itu trem itu membuat patung nampak
Surabaya disulap sedemikian rupa. Berkenaan berkilat-kilat. Pikiran saya mau tidak
dengan tata ruang, apa yang diterima sebagai mau meloncat kembali ke Van der
Surabaya hari ini tak lebih dari Surabaya Klooning. Sekarang patung itu sudah
tidak ada. Mungkin orang Belanda yang
sebagaimana dibayangkan kolonial. Dalam novel tinggal di situ sudah memboyongnya
Rafilus, banyak ruang-ruang kota Surabaya yang ke Negeri Belanda. Saya masih ingat
disebutkan di dalamnya. Namun, secara khusus benar, betapa jahanamnya Belanda itu.
kawasan elite Darmo diceritakan dengan cukup Namanya Jaan van Kraal. Sekarang
rumah itu menjadi Markas Komando
panjang-lebar (dua sub-bab). Pemulihan dan Penertiban Keamanan
Seperti diceritakan novel tersebut, Wilayah Indonesia Timur” (Darma,
terdapat dua orang ”Belanda-Belanda hitam” 2008: 48).
bernama Van der Kooning dan Jaan Van Kraal
yang tinggal di kawasan elite Darmo. Seperti Dari tingkah-polah Munandir saat
disebutkan di atas, pada masa kolonial kawasan melintasi Jalan Raya Darmo, jelas tampak
ini merupakan kawasan elite tempat tinggal adanya konsep batas yang tampak absolut,
tentara Belanda. Kedua orang ”Belanda- tidak dapat digoyahkan oleh kelompok-
Belanda hitam” ini digambarkan melalui tokoh kelompok lokal. Seperti disebut Upstone
Munandir kepada tokoh ‘saya’ sebagai sosok yang (2009: 4-5) teritori tersebut hadir dengan batas-
kabur. Dalam bercerita, Munandir cenderung batas yang menjadikannya sebuah keberadaan
memberikan deskripsi-deskripsi panjang lebar, yang sah (legitimate entuty), dan statusnya yang
dengan nada yang khusus, sinis namun juga absolut menghancurkan berbagai prefensi dari
was-was. Sehingga, melalui pembayangan masyarakat sebelumnya, serta praktik kesukuan
tokoh opas pos itu, dapat dipahami bagaimana yang telah ada. Kawasan bernama Darmo telah
penulis hendak menembus kecairan ruang dan tertanam dalam masyarakat dan mengontrol
menciptakan ruang kemungkinan resistensi. mereka. Dalam masa 200-an tahun, kolonial
Dengan menggambarkan Darmo sebagai Belanda telah mempertahankan stabilitas, serta
kawasan elite yang angkuh dan tak ramah bagi menghindarkan berbagai resistensi, disemai
seorang opas pos semacam Munandir, penulis dengan adanya penerimaan dan persetujuan
bergerak dalam merebut kembali kecairan masyarakat bahwa batas bersifat alamiah.
ruang yang telah ditolak oleh konsep kolonial Ketika Munandir hanya mampu terheran-heran
dalam gagasan ruang berbatasnya dan dengan menyaksikan patung besi di pekarangan rumah
memberikan lokasi fungsi-fungsi politis. itu, seolah-olah dia tidak menyadari adanya
Ketika Munandir, misalnya, melintasi konstruksi kolonial tentang batas tersebut.
Jalan Darmo di depan rumah bernomor 54, Pada alinea berikutnya diceritakan
dia dihinggapi halusinasi-halusinasi yang Munandir berhenti di depan rumah besar milik
membayangkan keberjarakannya dengan ruang Jaan van Kraal.
tersebut beserta penghuninya. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut. “Saya bergerak lagi, kemudian berhenti
tepat di depan rumah Jaan van Kraal.
Kemudian saya mengambil batu
besar. Dengan sangat berhati-hati saya

143
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

membidik patung. Setelah bidikan saya seperti dikatakannya. Namun sejak kepergiannya,
tepat, saya lemparkan batu itu kuat- istrinya tidak pernah melihatnya lagi. Baru
kuat. Patung itu penjelmaan Van der sepuluh tahun berselang, suami kembali. Istrinya
Klooning. Saya menghajarnya.... Batu
menggampar patung, menciptakan masih menunggu di pojok jalan itu. Pada suatu
bunyi kelontang sangat keras. Dengan sore, mereka bertemu di ‘pojok jalan itu’. Istrinya
cepat anjing-anjing herder di dalam menyapa terlebih dahulu, “Selamat sore” yang
rumah menyalak ganas. Saya cepat-cepat dibalas suaminya dengan teguran yang sama,
naik sepeda, kemudian menggenjotnya
lebih cepat daripada kilat. Anjing-anjing ”Selamat sore”. Setelah teguran itu, istrinya tak
herder di dalam rumah menyalak makin hendak melanjutkan sapaannya, yang diam-diam
ganas. Saya mengayuh terus, tanpa justru diharapkan oleh suami.
sempat menoleh” (Darma, 2008: 49). Alih-alih melanjutkan sapaan tadi,
istrinya justru berpaling ke arah laki-laki lain
Adegan ini memberi penyataan kepada yang kebetulan lewat. Sekali lagi, istrinya
kita bahwa penulis pascakolonial hendak menyapa laki-laki itu dengan teguran yang persis
mengungkapkan chaos dan membuka peluang sama, ”Selamat sore”, ditambah muka manis
untuk melakukan perlawanan atau resistensi sebagaimana ia tunjukkan kepada suaminya.
terhadap konstruksi kolonial. Meskipun dengan Untuk beberapa saat suami menyaksikan; laki-
menanggung konsekuensi bahwa dia berpotensi laki yang baru datang itu menghampiri namun
menjadi mangsa anjing-anjing herder dalam tanpa membalas teguran istrinya. Malah dengan
rumah Jaan van Kraal. genitnya, laki-laki tersebut menjentik pipi
Cerita Munandir kepada ‘saya’ tentang istrinya, bercakap barang sebentar, berpegangan
pengalamannya pada masa silam dapat dilihat tangan, sebelum akhirnya meninggalkan
sebagai ihwal yang mengikat representasi suaminya seorang diri di ‘pojok jalan itu’.
penulis novel kota. Dalam hal ini, gambaran Oleh karena tak mengerti betul dengan
Munandir mengenai kawasan elit Darmo apa yang terjadi barusan, suaminya memburu
beserta penghuninya sebagai kawasan yang istri dan laki-laki asing tersebut. Istrinya
tidak ramah, tak lebih merupakan pandangan menoleh, sekali lagi menegur dengan “selamat
individu pascakolonial yang terkonstruksi sore”. Namun dalam “selamat sore” kedua
sejak masa kolonial. Bahwa hal itu diceritakan untuk suaminya ini, istri menggunakan intonasi
oleh Munandir sebagai kenangan atau masa yang sudah familiar bagi suami. Istrinya terusik.
silam, hal tersebut mengukuhkan konstruksi Akhirnya suami berhenti, dan kembali ke hotel
kota bernama Surabaya saat ini tak pernah setelah beberapa saat lamanya termangu ‘di
terpisahkan dari masa lalunya. bawah lentera pojok jalan itu’.
Cerpen “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu” Di hotel suaminya mandi dan istirahat.
karya Iwan Simatupang dapat dibaca sebagai Sebelum memasuki kamar hotel, ia sempat
sebuah representasi penulis prosa mengenai berbasa-basi tentang beberapa hal dengan
perjumpaannya dengan ruang kota, dalam hal pemilik hotel, seorang janda gemuk berusia lebih
ini sebuah sudut kota bernama ‘pojok jalan’. dari lima puluh tahun, yang olehnya dianggap
Cerpen ini bercerita tentang sepasang suami- berlebihan dalam memperlakukan dirinya
istri, yang entah bagaimana muasalnya, suami sebagai tamu hotel. Esoknya, dan kebetulan
berkata pada istrinya, “Tunggu aku di pojok (atau mungkin memang disengaja) juga sore
jalan itu”. Kalimat pembuka cerpen itu begitu hari, suaminya kembali ke tempat kemarin, ‘di
lugas. Mengapa suami menyuruh istri menunggu pojok jalan itu’. Seperti halnya kemarin, istrinya
di pojok jalan itu? Dikatakan selanjutnya, “Aku telah berada di sana. Saat suami menghampiri,
beli rokok dulu ke warung sana.” istrinya menyapanya lagi; ”selamat sore”, yang
Dalam alinea selanjutnya disebutkan dijawab oleh suaminya dengan sapaan selamat
suami pergi ke warung untuk mencari rokok sore juga.

144
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

Kebetulan tidak ada orang lain selain tetap memiliki signifikasi dalam pemaknaan
mereka ‘di pojok jalan itu’. Mereka akhirnya atas pengalaman sebagai prosa pascakolonial.
bercakap. Waktu itu, apa yang terjadi selama ‘Pojok Jalan Itu’ adalah sesuatu yang
sepuluh tahun berusaha diurai. Mulai dari subtansial pada cerpen ini dalam kaitannya
bagaimana keduanya menilai perubahan dengan pembacaaan prosa pascakolonial. Suami
pada diri masing-masing, hingga banyak hal menyuruh istrinya untuk menunggu di ‘pojok
sentimental lainnya. Mereka menyudahi hal jalan itu’. Istrinya menunggu. Dan dilihatnya,
yang sentimental itu dengan berpelukan satu memang, sepuluh tahun berselang ia masih
sama lain. berdiri di situ, tetap menunggu, “setia”. Sekilas
Sejurus kemudian, suami menggiring seperti tak ada perbedaan antara suami dan istri
istrinya pergi dari ‘pojok jalan itu’. Suaminya mengenai dimensi ‘pojok jalan itu’. Namun
mengajak, “mari”, namun dijawab istrinya, ketika istrinya berkata, sebelum diajak kencan
“ke mana?”. Hal tersebut terjadi berulangkali. suaminya, ”Tarifku dua ratus sampai tengah
Sampai akhirnya, mereka pergi dari ‘pojok malam. Sampai pagi, dobel....”, maka gugurlah
jalan itu’. Di tengah perjalanan, istrinya tiba- anggapan tersebut. Sebab bagi keduanya, apa
tiba menghentikan langkah, “Tunggu dulu!” yang dianggap sebagai ‘pojok jalan itu’ ternyata
kata istrinya, “Tarifku dua ratus sampai tengah memiliki dimensi yang berbeda.
malam. Sampai pagi, dobel....” Sontak saja Suami menyuruh istrinya menunggu
suaminya kaget. Benar-benar tidak terpikirkan, di pojok jalan itu. Ketika ia menyuruh istrinya
tidak juga terantisipasi. Lalu, esok harinya berdiri di situ, yang tak ternyatakan oleh suami
suami meninggalkan kota tersebut dengan pada istrinya adalah: kamu (istri) menunggu. Di
menggunakan kereta pertama yang berangkat situ. Dipojokkan jalan itu. Kamu adalah istriku.
subuh. Mencari ‘kota lain’ sebagai tempat Kamu harus setia. Dan berdiri di situ. Sedangkan
tinggalnya. apa yang disebut sebagai sepuluh tahun itu
Cerita tersebut memusat pada peristiwa tidak berarti bagi suami. Dalam hal ini, suami
antara suami-istri. Dari sebuah ‘pojokan menganggap ‘pojok jalan itu’ adalah sesuatu
jalan’ suami-istri ini berpisah, sepuluh tahun yang fisikal. Sebaliknya, bagi istri, apa yang
kembali bertemu lalu berpisah lagi. Sebagian dimaksudkan sebagai ‘pojok jalan itu’ berbeda
besar narasi menggarap peristiwa-peristiwa dengan anggapan suaminya. Baginya ‘pojok
yang terjadi antara kedua tokoh utamanya. jalan itu’ adalah sesuatu yang konseptual. Maka
Sementara ruang, persoalan yang fokus dari tidak mengheran jika kemudian ia meminta
tulisan ini seperti terabaikan begitu saja. Dalam tarif untuk berkencan. Apa yang dimaksudkan
narasi cerpen ia sekadar disebutkan ‘pojok sebagai menunggu dan kesetiaan dalam maksud
jalan itu’, dan tak terjelaskan. Anonim, seperti suaminya adalah berbeda sama sekali dalam
menyarankan dirinya untuk tidak diperhatikan pengertian istrinya.
oleh pembacanya (Muhtarom, 2013). Chaos pun tak terhindarkan. Hal ini
Namun, pendekatan Upstone mengenai berawal dari pertemuan hari pertama, lalu
wacana pascakolonial terhadap prosa melalui disusul pada hari berikutnya, dan puncaknya
pembacaannya atas keruangan tidak didasarkan adalah ketika istrinya berkata kepada suaminya
dominasinya dalam narasi-narasinya. Yang tentang tarifnya. Apa yang dapat dimaknai
fundamental dalam pendekatan ini justru dari perkataan istri tersebut adalah bahwa
penyikapan terhadap ruang yang mengungkung istri sedang melakukan suatu gerakan over-
tokoh-tokoh di dalamnya. Seperti disebutkan writting mengenai hubungan suami-istri. Bagi
sebelumnya, bahwa terdapat perbedaan istri, hubungan antara seorang suami dengan
mengenai pemahaman latar cerita yang fisikal istrinya tak sekadar hubungan emosional, tapi
dan konseptual. Dalam cerpen itu meskipun juga hubungan transaksional (tarifku sekian).
‘pojok jalan itu’ tampak sebagai sampiran, ia Pikiran-pikiran istri mengenai hubungan

145
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

suami-istri adalah wujud dari pikiran-pikiran jalan itu’ sebagai sesuatu yang konseptual
yang materialistik. Jika dirunut kembali, dimiliki si istri. ‘Pojok jalan itu’ adalah ruang
pikiran-pikiran transaksional dan materialistik terbuka dimana terjadi banyak perjumpaan dan
mengenai suatu hubungan suami-istri di sini perpisahan, sekaligus dipahami oleh istri secara
tidaklah khas Timur tapi merupakan pikiran- kognitif. Hal tersebut membangun kesadaran
pikiran yang diwariskan secara turun-temurun pada istri untuk menentukan bagaimana model
semenjak zaman kolonial. relasi yang harus ditunjukkan. Dengan kata lain,
Pikiran-pikiran Timur mengenai istri dikontruksi oleh ruang itu sendiri untuk
sebuah hubungan suami-istri adalah dominan menjalani takdirnya sebagai pelacur.
persoalan emosional. Hal yang menyangkut
material adalah sampiran. Maka, ketika Kesimpulan
berbicara mengenai hubungan ini, istri Novel Rafilus dan cerpen “Tunggu
cenderung dinaifkan; ia harus tunduk dan Aku di Pojok Jalan Itu” menunjukkan adanya
patuh, sementara suami harus selalu menang. keterikatan antara cerita tersebut dengan latar
Namun, dalam cerpen ini tidaklah demikian. cerita kota yang mengiringinya. Keterikatan
Istri meminta ongkos dalam urusan senggama. tersebut menunjukkan adanya representasi
Mungkin, selama ini suami selalu merasa perjumpaan antara kedua pengarang tersebut
superior. Ketika suami menyuruh begini, dia dengan geografi bernama ruang kota sebagai
tunduk. Ketika suami meminta itu, dia harus sebuah pengalaman pascakolonial. Kota
mengabulkan. Oleh karenanya, memasang tarif dalam imajinasi kedua prosais tersebut hadir
untuk sekali kencan (tidak peduli dia adalah sebagai sesuatu yang inhern, dan merefleksikan
suaminya), tak lain pernyataan istri bahwa dia ketegangan dalam perjumpaan dengan ruang-
bisa hidup mandiri tanpa keberadaan seorang ruang yang telah hadir sejak masa kolonialisasi.
suami. Lebih jauh lagi, istri menunjukkan ada Ketegangan itu berupa sikap resistensi yang
tindakan emansipasi. Istri ingin menunjukkan mengarah pada sebuah chaos. Sikap resistensi itu
kodrat yang setara dengan suami. sengaja diambil disebabkan kehendak penulis
Apa yang dapat disimpulkan dari untuk menciptakan post-space terhadap ruang-
perbedaan suami-istri mengenai dimensi latar ruang warisan kolonial tersebut.
(fisikal dan konseptual) adalah bahwa masing- Dalam Rafilus, kota bernama Surabaya
masing mempengaruhi bagaimana tokoh- digambarkan sebagai kota yang masih identik
tokoh dalam cerpen itu bergerak. Suami dengan masa lalunya (baca: kolonial). Dari
memahami ‘pojok jalan itu’ sebagai fisikal, seorang opas pos Munandir yang bercerita
sehingga ketika istrinya meminta tarif padanya, tentang kawasan elite Darmo, Surabaya tampak
istrinya telah melabrak sesuatu yang selama ini sebagai teritori yang hadir dengan batas-
diyakininya mengenai hubungan suami-istri. batasnya yang menjadikan keberadaannya
Pandangan suami di sini mewakili bagaimana sah (legitimate entuty), dan statusnya yang
pandangan primordial seorang Timur, pribumi. absolut menghancurkan berbagai prefensi
Sebaliknya, istri dengan pandangannya tentang dari masyarakat sebelumnya. Kawasan elite
hubungan suami-istri tak cukup didasarkan bernama Darmo telah tertanam dalam benak
atas keterikatan emosional adalah pribadi yang seorang opas pos sebagai kawasan yang
menyikapi ‘pojok jalan itu’ sebagai ruang yang selalu mengingatkan pada masa lalunya, dan
tak terbatas. Di sini istri mewarisi pandangan- ia mengontrol Munandir tentang bagaimana
pandangan khas kolonial mengenai hubungan seharusnya berlaku sebagai opas pos (orang
suami-istri. kecil). Ketika Munandir terheran-heran pada
‘Pojok jalan itu’ adalah latar cerita di patung besi di pekarangan rumah Jaan van
sebuah sudut kota entah dimana, tak terjelaskan. Kraal, di situ tampak dia tidak menyadari adanya
Dalam cerpen ini, kesadaran terhadap ‘pojok konstruksi kolonial tentang batas status dirinya

146
Jurnal Poetika Vol. II No. 2, Desember 2014

dengan status penghuni rumah tersebut. Dalam The God Of Small Things Karya
Cerpen “Tunggu Aku di Pojok Jalan Arundhati Roy. Yogyakarta: FIB UGM.
Itu” tampil dengan cara yang sangat berbeda Upstone, Sara. Spatial Politics in The Postcolonial
dibandingkan dengan novel Rafilus. Dengan Novel. Surrey, UK: ASGATE.
tidak memberi informasi yang spesifik mengenai
lokasi cerita, hanya ‘pojok jalan’, dengan
sendirinya cerpen itu menyarankan bahwa
ia dapat terjadi di kota mana saja. Cerpen ini
hadir dengan keumumannya, sehingga ia dapat
lebih leluasa mengolah persoalan apa yang
hendak diungkapkan oleh ceritanya, dalam hal
ini cerita berlatar kota. Dari keumumannya itu,
cerpen ini memanfaatkan kecairan ruangan;
mengungkapkan bahwa persoalan hubungan
relasional antar suami-istri di kota-kota besar
tidak hanya terjalin lewat hubungan emosional
tetapi juga transaksional. Hal itu ditunjukkan
oleh istri yang menjelma menjadi pelacur karena
tiadanya ketercukupan sandang-pangan dan
kebutuhan biologis yang seharusnya dipenuhi
oleh suami.

Daftar Pustaka
Berger, Peter L. 1986. Revolusi Kapitalis. Jakarta:
LP3ES.
Darma, Budi. 2008. Rafilus. Yogyakarta:
Jalasutra.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni
dan Resistensi dalam Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faruk. 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai:
Sastra, Politik, Dekonstruksi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Husein, Sarkawi B. 2010. Negara Di Tengah
Kota: Politik Representasi dan Simbolisme
Perkotaan (Surabaya 1930-1960). Jakarta:
LIPI Press.
Koestoer, Raldi Hendro. 2001. Dimensi Keruangan
Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: UIPress.
Malna, Afrizal. 2000. Sesuatu Indonesia.
Yogyakarta: Bentang.
Muhtarom, Imam. 2013. Kulminasi: Teks, Konteks,
dan Kota. Yogyakarta: Kasim Press.
Simatupang, Iwan. 1982. Tegak Lurus Dengan
Langit. Jakarta: Sinar Harapan.
Suciati, Endang. 2014. Ruang Pascakolonial

147

Anda mungkin juga menyukai