Anda di halaman 1dari 5

Modernisasi dalam Kesusasteraan Indonesia

Perdana Gemilang Manurung


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan, Jl. Wiliem
Iskandar, Medan, 20371, Indonesia
E-mail : perdanagemilang6@gmail.com

Abstrak

Sastra Indonesia dapat memantapkan peran sastra Indonesia modern dalam menghadapi budaya global atau
modernisasi. Salah satu alternatif sebagai penangkal budaya global itu adalah mengapresasi bahasa dan sastra
Indonesia modern. Dalam bahasa dan sastra Indonesia modern menampakkan adanya multikulturalisme. Hal itu
jelas mencerminkan adanya perbedaan aspirasi, perbedaan budaya, perbedaan agama, perbedaan suku bangsa,
dan perbedaan wawasan yang tetap dipersatukan dengan laras bahasa Indonesia sebagai sarana pengucapan
sastra Indonesia modern dan sikap menghormati perbedaan itu. Jadi, peran bahasa dan sastra Indonesia dalam
konteks masyarakat multikultural adalah belajar hidup bersama dalam perbedaan.
Kata Kunci : Sastra, Modernisasi, Kesusasteraan

PENDAHULUAN

    Karya sastra Indonesia (Nusantara) lama itu sudah dimulai sejak abad ke-16 pada zaman Hamzah Fansuri,
Nuruddin Ar-Raniry, dan Syamsuddin Al-Sumatrani hingga periode para wali di Jawa yang banyak
menghasilkan suluk sebagai pengaruh budaya Islam. Namun, di Jawa jauh sebelum Islam masuk pun sudah
memiliki karya sastra kakawin yang mendapat pengaruh dari India. Kesusastraan asing yang paling berpengaruh
dalam kesusastraan Indonesia lama adalah kesusastraan Arab dan Parsi (Persia). Jejaknya itu dapat kita baca
pada naskah lama yang ditulis dalam aksara Arab Melayu dan tersebar luas hingga ke seluruh wilayah
Nusantara.  Karya sastra dari Arab dan Parsi itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu serta
meninggalkan bentuk hikayat, syair, gazal, rubai, gurindam,  masnawi, dan barzanzi dalam khazanah sastra
Indonesia lama.

    Sesudah berlalunya tradisi pernaskahan di Indonesia, pengarang Indonesia modern, yang dimulai oleh
penulis  Cina Peranakan, masih menulis syair dan pantun  dalam karya cetak. Pada tahun 1912, misalnya, sudah
mulai ditemukan cerita pendek yang awal dalam buku cerita Warna Sari yang terbit di Surabaya. Cerita pendek
yang dimuat itu berjudul “Si Marinem” karya H.F.R. Kommer dan ditulis dalam ragam bahasa Melayu rendah
(Sastri, 2012).

    Pada masa Angkatan Pujangga Baru perkenalan para penulis dan pembaca karya sastra dengan karya sastra
Eropa, khususnya Belanda, semakin mudah diperoleh, baik melalui buku pelajaran di sekolah maupun melalui
karya saduran. Jika sebelumnya karya sastra asing,  seperti Arab dan Parsi, diperoleh melalui hubungan
perdagangan, karya sastra Eropa diperoleh melalui dunia pendidikan pada masa Hindia- Belanda.

     Pada zaman Jepang, pengaruh modernisasi, seperti Jepang, tidak terlalu banyak berarti dalam kesusastraan
Indonesia. Hal itu disebabkan singkatnya masa pendudukan Jepang dan tidak adanya upaya penerjemahan karya
sastra Jepang ke dalam bahasa Indonesia pada saat itu. Penerjemahan karya sastra Jepang ke dalam bahasa
Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Anas Ma’ruf menerjemahkan novel Yukiguni karya
YasunariKawabata ke dalam versi Indonesia dengan judul Negeri Salju (Pustaka Jaya, 1972).
    Sesudah kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an, pengaruh modernisasi dalam karya sastra Indonesia lebih
disebabkan pengaruh ideologi, seperti komunisme dari Uni Soviet. Hal itu dapat kita temukan pada karya para
penulis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang banyak menerjemahkan karya sastra Rusia yang beraliran
kiri.  

METODE

Penelitian ini menggunakan kajian pustaka, kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu
bagian penting dari keseluruhan langkah-langkah metode penelitian. Cooper dalam Creswell mengemukakan
bahwa kajian pustaka memiliki beberapa tujuan yakni; menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian
lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan penelitian dengan literatur-
literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teori Konsep Sastra


Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1988, halaman 786, disebutkan bahwa sastra mengandung pengertian
sebagai berikut:

a. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari)
b. Kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan,
seperti keaslian, keartisikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik.
c. Kitab suci (Hindun), (kitab) ilmu pengetahuan
d. Pustaka, kitab primbon (berisi) ramalan, hitungan, dan sebagainya
e. Tulisan, huruf.

Pengertian lain juga disampaikan oleh Rene Wellek dan Austin Warren bahwa sastra adalah segala sesuatu
yang tertulis atau tercetak. Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sastra adalah sebuah
tulisan yang ditulis oleh seseorang dengan menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari.

 Jejak Kesusastraan Eropa dalam Kesusastraan Indonesia Modern

Ketika percetakan mulai masuk ke Hindia Belanda, kesusastraan asing semakin mudah diakses oleh kaum
terpelajar bumiputra. Kehadiran buku sastra dunia ditemukan dengan mudah dan menjadi bahan bacaan yang
disampaikan di sekolah Belanda pada masa lalu. Sebelum periode Balai Pustaka, kita telah mengenal sebuah
karya yang fenomenal dari Multatuli yang berjudul Max Havelaar (1860). Sastrowardojo (1989: 138)
menyebutkan bahwa karya Multatuli itu pernah diakui mendapatkan ilham dan pengaruh setelah membaca
Pondok Paman Tom (Uncles’s Tom Cabin, 1852) karya Harriet BeecherStowe. Penerjemahan cerita pendek
Eropa dalam surat kabar awal di Hindia Belanda, baik yang dilakukan oleh penulis Indo-Eropa maupun Cina
Peranakan dan Pribumi, turut berkontribusi dalam masuknya pengaruh bacaan Eropa dalam kesusastraan
Melayu-Indonesia pada masa itu. Salah satunya adalah masuknya genre cerpen, seperti yang telah disinggung di
atas. 

Satu pengaruh negatif dari proses sadur-menyadur karya asing ke dalam bahasa Indonesia ini adalah
munculnya polemik terhadap karya sastra hasil saduran itu dengan tudingan sebagai karya plagiat. Kasus itu
muncul pada novel Tenggelamnya Kapal vanderWijck (1938) karya Hamka. Sebagai pengarang yang banyak
membaca karya sastra dalam bahasa Arab, Hamka sangat mengagumi karya seorang penulis Mesir yang
bernama Mustafa Lutfi al-Manfaluthi yang hidup dari tahun 1876-1942. Penulis dari Mesir itu pernah
menerbitkan sebuah novel saduran dari Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls karya Jean-
BaptisteAlphonseKarr yang diberinya judul dalam bahasa Arab  Madjulin. Ketika novel Tenggelamnya Kapal
vanderWijck mengalami cetakan yang ketujuh, seorang penulis bernama Abdullah S.P. menulis tudingan bahwa
karya Hamka menjiplak karya saduran Al-Manfaluthi. Karya saduran Al-Manfaluthi kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Melayu dengan judul Magdalena. Berapa bagian dari karya itu setelah dibandingkan dengan
karya Hamka ternyata memang memiliki persamaan. Akan tetapi, menurut Teeuw (1980: 105), persamaan itu
dapat timbul karena penerjemahan ke dalam bahasa Melayu dan jelas karya Hamka memiliki isi yang sama
sekali berbeda dengan karya saduran Al-Manfaluthi tersebut. Bahkan, ada kesan novel Tenggelamnya Kapal
vanderWijck merupakan semi autobiografi dari penulisnya yang berbeda sama sekali dengan akhir dari novel
Madjulin yang disadur oleh Manfaluthi.

    Masalah tuduhan plagiarisme juga pernah dihadapi oleh Chairil, yakni dituduh sebagai plagiat ketika
melakukan penyaduran karya asing ke bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan minat Chairil yang sangat tinggi
terhadap karya penyair Eropa, seperti J. Slauerhoff (Belanda), Hendrik Marsman (Belanda), dan Rainer Maria
Rilke (Jerman), sehingga amat memengaruhi sajaknya. Sajak J. Slauerhoff yang berjudul “WoningLooze”
memengaruhi puisi Chairil Anwar yang berjudul “Rumahku”, kemudian “Karawang-Bekasi” dituduh
plagiarisme dari The Young DeadSoldier karya ArchibaldMadeisch. Tudingan itu tidak dapat dibuktikan. Akan
tetapi, karena tuntutan ekonomi, tindakan plagiarisme memang pernah dilakukan oleh Chairil pada beberapa
tulisan yang lain, bukan pada sajak Karawang-Bekasi yang autentik milik Chairil. Pengucapan puitik Chairil
dianggap memiliki nilai baru dalam struktur dan pilihan katanya yang sama sekali berbeda dan bahkan dianggap
lebih baik dari sajak penyair Eropa, khususnya Belanda, yang disadurnya.

    Pengaruh asing dalam sajak Chairil dapat juga kita temukan pada isi sajaknya,  misalnya pada kata ahasveros
dan sisipus, yang menggambarkan pengetahuannya mengenai kebudayaan Eropa. Beberapa diksi dalam
sajaknya juga tidak terlepas dari pengaruh kata Belanda, seperti baris sajaknya yang berbunyi: Hilang sonder
pusaka, sonder kerabat. Semangat individualisme yang masih asing pada masa Chairil juga menjadi ciri
pembeda sajaknya dengan pendahulunya, seperti Amir Hamzah, yang masih kuat terikat pantun  dan syair.
Kedua sastrawan itu mewariskan syair dan pantun sebagai bagian puisi lama yang banyak dipakai pada awal
kehadiran sastra Indonesia baru. Gaya itu kemudian ditinggalkan sama sekali oleh Chairil Anwar dalam
sajaknya sehingga ia dianggap sebagai tokoh pendobrak zaman lama tersebut.

    Sesudah Chairil Anwar tiada, pengaruh kesusastraan asing pada karya sastra Indonesia semakin dipertajam
melalui beberapa karya penyair Indonesia modern yang notabene mendapat pendidikan Barat. Sapardi (1983:5)
menyebutkan beberapa nama pengarang Indonesia yang karyanya memperlihatkan pengaruh asing (sastra
Barat), seperti Pramoedya Ananta Toer, Basuki Gunawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi,
W.S. Rendra, Mochtar Lubis, dan P. Sengodjo. Namun, penulis lebih cenderung memberikan pilihan lain yang
tidak disinggung oleh Sapardi dalam tulisannya itu, di antaranya Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad,
Darmanto Jatman, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono. Pengaruh asing pada karya Subagio
Sastrowardoyo terlihat, antara lain, dalam esai dan sajaknya. Karyanya itu memperlihatkan kuatnya nilai
keagamaan dan kerohanian yang menjadi argumen dasar dalam tulisannya.

    Pernah  pada satu masa, penyair  W.S. Rendra, sangat menyukai menulis sajak dalam bentuk balada. Sebagai
contoh, tulisan itu dapat kita temukan pada sajaknya yang berjudul “Bersatulah Para Pelacur Ibukota”, “Balada
Terbunuhnya AtmoKarpo”, Balada Anak Mencari Bapa”, dan “Balada Suku Naga”. Bentuk balada atau ballade
dalam sajak Rendra tersebut memperlihatkan pengaruh modernisasi, khususnya pengaruh dari karya balada
penyair Federico Garcia Lorca yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1950-an.

    Pada Darmanto Jatman, pengaruh kesusastraan asing, terutama Inggris, terlihat dalam kumpulan sajaknya
Bangsat. Darmanto telah mencapai gaya pribadi sendiri, tetapi ia tidak terlepas dari pengaruh sajak Inggris yang
umumnya bercorak arif (sophisticated), cendikia (intellectual), dan jenaka (witty). Dengan mengambil gaya
pengucapan yang demikian, Darmanto telah meninggalkan suasana romantik saja yang menjadi ciri umum
persajakan Indonesia (Sastrowardoyo, 1989:206).

    Dalam sajak Sapardi, pengaruh kesusastraan asing itu dapat dilihat bukan hanya pada struktur luar (bentuk),
melainkan juga pada isi sajaknya. Pengaruh kesusastraan asing terekam dalam sajak awalnya yang
memperlihatkan struktur haiku, ‘sajak pendek’ Jepang. Sweeney  dalam percakapan langsung dengan penulis
pernah mengomentari bahwa Sapardi sesungguhnya menulis puisi barat, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. 
Sastrowardoyo (1989: 191) melihat sajak Sapardi, terutama dalam antologi Mata Pisau, secara keseluruhan
boleh dikatakan bertolak dari pertanyaan tentang makna dan tujuan akhir dari hidup. Pertanyaannya itu
bersentuhan dengan masalah dasar yang pernah dirumuskan oleh Paul Gauguin sewaktu melukis di Haiti. Di
sebuah kanvas yang besar—yang disangkanya akan merupakan lukisannya yang terakhir sebelum pelukis
Prancis itu berniat menghabisi nyawanya sendiri—dibubuhkan judul berupa pertanyaan “Dari mana kita datang?
Siapakah kita? Ke mana kita pergi?” Kesadaran akan masalah hidup yang inti itu biasanya timbul dalam
kemelut, suatu situasi krisis yang bisa dialami suatu kelompok masyarakat atau manusia orang-seorang.
Pertanyaan yang menyangkut pangkal hidup yang pernah menghantui jiwa Gauguin itu telah melahirkan sajak
Sapardi dalam Mata Pisau.

PENUTUP

Simpulan

Pengaruh modernisasi dalam karya sastra Indonesia merupakan hasil sintesis pergaulan dan pergulatan
sastrawan Indonesia dari masa ke masa. Hal itu juga menunjukkan keluasan pengetahuan dan minat penulis
Indonesia terhadap karya sastra dunia. Pengaruh asing dalam kesusastraan Indonesia (Melayu Nusantara) dapat
terjadi berkat adanya hubungan perdagangan, seperti yang terlihat dalam puisi lama/tradisional Melayu karya
Hamzah Fansuri hingga Amir Hamzah. Pada masa Pujangga Baru pengaruh itu dimungkinkan terjadi melalui
dunia pendidikan Hindia Belanda yang mengenalkan karya sastra Eropa dan Belanda khususnya. Sesudah
perang kemerdekaan, pengaruh kesusastraan asing terjadi melalui indoktrinasi ideologi komunis, seperti yang
terlihat dalam karya sastra zaman Lekra dan juga melalui pergaulan internasional, seperti yang diperlihatkan
dalam karya WS. Rendra, sajak pendek (haiku) Sapardi, atau dalam pemikiran ajaran Kristen sebagaimana yang
digambarkan oleh Darmanto Jatman dan Subagio Sastrowardoyo.

Saran

Setiap perubahan pasti membawa dampak negatif dan dampak positif. Salah satu contohnya ketika
kesusasteraan Indonesia dipengaruhi modernisasi dan kesusasteraan asing, membawa perubahan positif dan
negatif. Jadi, penulis berharap kita sebagai generasi muda yang mampu untuk memfilter dan menyaring
kebudayaan dan pengaruh positif tersebut demi perkembangan sastra di Indonesia menjadi lebih baik lagi. Baik
dalam pemahaman teori-teorinya dan tidak lupa penerapan nya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan
kebudayaan, dalam membangun kebudayaan di Indonesia, seorang sastrawan dalam penciptaan karyanya
hendaknya memadukan segala aspek yang ada di masyarakat ke dalam karyanya, sehingga karya yang disajikan
tidak hanya sekedar menghibur tapi dapat berkonstribusi dalam perbaikan bangsa ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Braginsky, Vladimir. 2009. “Jalinan dan Khazanah Kutipan: Terjemahan dari Bahasa Parsi
    dalam Kesusastraan Melayu, Khususnya yang Berkaitan dengan “Cerita-Cerita Parsi,”
hal. 59-111, dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. (ed) Henri Chambert-Loir. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.  

Damono, Sapardi Djoko.1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta.


 Gramedia

Djamaris, Edwar. 1983. Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nur Muhammad, dan Hikayat Darma
    Tasiya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mohammad, Goenawan. 2001. Sajak-Sajak Lengkap: 1961-2001. Jakarta: MetaphorPublishing.

Sastrowardoyo, Subagio. 1989. Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas


    Catatan Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Sunarti, Sastri. 2012. “Romantisisme Puisi-Puisi Indonesia tahun 1935-1939 dalam Majalah
Pujangga Baru” Jurnal Puitika, No.1.Volume 8. Februari 2012. hal. 19-40. Padang: FIB Universitas Andalas
Padang.

Suyono dkk.  2008. “Cerita Pendek Indonesia”  Penelitian Tim Subbidang Pengkajian Sastra,    Badan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional,  Jakarta.

Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

----------- 1983.  Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

----------- 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka.

Anda mungkin juga menyukai