Anda di halaman 1dari 20

SOAL UTS LITERASI 2021

SENIN 29 MARET 2021 PUKUL 08.00- 09.00 WIB. KERJAKAN TEPAT


WAKTU. JAWABAN DIKIRIMKAN KE SIPDA DAN EMAIL-
joharis@yahoo.co.id sesuai jadual UTS terlambat tdk akan dilayani
dianggap tdk mengikuti UTS.
Bacalah Teks wacana ini dengan serius sungguh- sungguh dan jawab
pertanyaannya. Anda tidak diperkenankan mencontoh (copy paste) dari
teman saudara sekelas sejawat atau yg bersamaan mengambil mata
kuliah ini. Apabila terdapat kesamaan atau hasil Copy Paste dari
teman saudara maka saya nyatakan anda batal mengikutik UTS ini,
terimaksih.lebih diutamakan kerja dgn jujur. Pemahaman sains
seseorang dapat dilihat dari bagaimana cara mereka berargumentasi
terhadap soal – soal yang dikeluarkan oleh PISA. Berdasarkan penilaian.
PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya,
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Shwartz, et
al. (2006) juga menambahkan aspek respon sikap ke dalam domain
literasi sains. Dalam menilai lietrasi sains terdapat keterhubungan antara
masing – masing aspek literasi sains. PISA (Programme for International
Student Assessment) Indonesia memposisikan diri pada tempat yang
tidak begitu menggembirakan.Hasil PISA 2012, dari 65 negara anggota
PISA, pendidikan Indonesia berada di peringkat 64 untuk Sains.
Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Malaysia di urutan
ke 53, Thailand ke 45, Singapura ke 10, Vietnam ke 5, Korea ke 4,
Hongkong China ke 3 dan Shanghai – China urutan pertama. Siswa
Indonesia baru mampu mencapai tingkat 3.Sebagian kecil saja yang
mampu mencapai tingkat 4 dan tingkat 5 (Sulistiawati, 2013). PISA
menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya,
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Shwartz, et
al.(2006).
Mantan Presiden Amerika Serikat James Madison (1751-1836), pernah
berujar: “All governments rest on opinion (semua rezim bergantung pada
opini publik)” (David Pan, 2020).
Peran penting opini publik itu bukan hanya dirasakan dalam sebuah
negara demokratis, dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi
sangat dijamin. Seorang pemimpin totaliter, atau tiran sekalipun, tidak
mungkin dapat bertahan dalam kekuasaan tanpa dukungan opini publik,
yang diikat sebuah kesadaran ideologis bersama. Keberlangsungan
dukungan tersebut sangat bergantung pada kemampuan sang pemimpin
dalam merawat legitimasi idealismenya. Di sini, kebenaran dan kekuasaan
saling berkelindan. Rezim nasional sosialisme (Nazi) Jerman, misalnya,
mempertahankan kekuasaan mereka dengan merujuk pada sebuah
idealisme tentang 'kemurnian ras' Aria; yang tentu saja telah
mendatangkan musibah kemanusiaan bagi jutaan orang Yahudi yang
dibantai. Demikian pun, rezim Orde Baru dapat bertahan dengan terus
merawat memori kolektif bernama hantu komunisme.  
Kompetisi kebenaran Setiap kebenaran, dalam tatanan sosial selalu
berbenturan dan berkompetisi dengan kebenaran-kebenaran lainnya.
Karena itu, relasi kebenaran dengan kekuasaan selalu memicu
perdebatan. Di satu sisi, setiap kebenaran mengklaim absolutisme dalam
tafsiran tentang dunia dan relasi manusia dengan dunia. Di sisi lain,
pluralitas kebenaran justru mencegah adanya kecenderungan monopoli
klaim kebenaran tersebut, yang melahirkan totalitarianisme. Bahkan,
idealisme kebenaran normatif seperti paham universal hak-hak asasi
manusia harus berkompetisi dengan pandangan normatif tatanan global
lainnya.
Untuk menghindari absolutisme dan merawat pluralitas kebenaran, iklim
kebebasan berpendapat harus dijamin di dalam demokrasi. Karena itu,
tanpa kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers, demokrasi akan
mati.
Tanpa kebebasan berekspresi, tidak mungkin terbentuk opini publik yang
merupakan jantung demokrasi. Pemerintah seharusnya tidak perlu takut
dengan rakyat mereka, yang secara terbuka mengungkapkan ke publik
kebenaran dan kebohongan dalam penyelenggaraan negara. Karena itu,
niat pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) dapat disambut sebagai kedipan cahaya lilin, harapan di
ujung terowong kelam menurunnya indeks demokrasi di Indonesia.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan indeks
demokrasi Indonesia pada 2020 berada pada level terendah dalam 14
tahun terakhir dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
Skor indeks demokrasi Indonesia sekarang sebesar 6,30 atau berada
pada peringkat ke-64 dari 167 negara (Media Indonesia, 24/3/2021).  
Negasi atas kebenaran Kebebasan berpendapat merupakan unsur
esensial dalam demokrasi. Demokrasi mengandaikan partisipasi dan
deliberasi publik dalam penyusunan regulasi dan mekanisme kontrol
terhadap pemerintah. Proses deliberasi publik tersebut mengandaikan
adanya pertukaran argumentasi yang berpijak pada kebenaran fakta
empiris dan normatif. Seluruh proses ini hanya mungkin terjadi dalam
kebebasan.Tanpa titik pijak kebenaran, deliberasi publik tidak lebih dari
ekspresi kepentingan ekonomi, identitas sektarian, dan pertarungan kelas.
Ada dua pandangan yang menolak dimensi epistemologis deliberasi
demokratis. Pertama, anggapan kaum libertarian atau neoliberal bahwa
debat politik hanya menciptakan kegaduhan. Karena itu, harus
ditranformasi dan dikendalikan rasionalitas ekonomi. Paradigma libertarian
menggantikan politik dengan pasar (Julian Nida-Ruemelin, 2020). Hukum
berperan untuk memastikan pasar berfungsi dengan baik. Kecenderungan
pemerintah Indonesia untuk menghindari 'kegaduhan' demi iklim investasi
yang kondusif sesungguhnya merupakan ekspresi netralisasi negara dan
tindakan politik oleh kekuatan pasar. Hal itu tak jarang berujung pada aksi
represif aparat keamanan terhadap masyarakat sipil dengan
menggunakan UU ITE. Southeast Asia Freedom of Expression Network
(Safenet) melaporkan bahwa sejak 2008 hingga 2021 UU ITE telah
menjerat 375 warganet (Kompas, 23/2/2021). Sulit untuk percaya bahwa
pemerintah tidak melakukan abuse of power dalam penerapan UU ITE
sebab mayoritas korban penerapan pasal karet undang-undang itu ialah
jurnalis, aktivis, dan warga kritis yang selalu menyuarakan kritik terhadap
kekuasaan.
Masih segar dalam memori publik kasus yang menimpa peneliti
independen kebijakan publik, Ravio Patra. Ravio dikenal getol mengkritisi
kebijakan pemerintahan Jokowi. Ia akhirnya ditangkap polisi, setelah satu
hari sebelumnya akun Whatsapp Ravio dibajak. Kedua, paradigma politik
identitas. Di sini corak deliberatif diskursus politik dipandang sebagai
kamuflase untuk menutupi kepentingan-kepentingan identitas sektarian.
Polarisasi radikal, antara pendukung dan kelompok oposisi terhadap
Jokowi, pengerahan buzzer di ruang publik telah memperkuat fragmentasi
politik berbasis identitas. Akibatnya, argumentasi politik tidak lagi berpijak
pada fakta empiris dan rujukan normatif, tapi pada
sentimen like dan dislike.  
Demokrasi deliberatif
Pada 2.500 tahun silam, seorang filsuf Yunani Kuno, Plato (424 BC- 348
BC), mengutuk kebohongan politik dan menekankan urgensi kebenaran.
Dalam Republik, Plato menulis, 'Jika para filsuf tidak menjadi raja di
negara-negara, atau para raja dan pemangku kekuasaan politik tidak
mempelajari filsafat secara serius dan mendasar, dan keduanya, yakni
filsafat dan kekuasaan negara, tak berkelindan satu sama lain, bencana
tanpa akhir akan menimpa negara-negara dan juga seluruh umat manusia'
(Republik, 473c-d). Awasan Plato tidak keliru. Menguatnya politik identitas
dan tampilnya pemimpin populis yang menyebar kebohongan dan
memanipulasi kebencian rakyat demi dukungan elektoral ialah musibah,
yang tengah melanda umat manusia. Musibah datang ketika politik dusta
merebak dan kebenaran dijauhi dari arena politik. Saatnya politik kembali
kepada kebenaran. Di dalam demokrasi, proses belajar berarti
mendengarkan suara rakyat. Demokrasi deliberatif memungkinkan
partisipasi publik secara substantif dan membentuk kultur politik yang
egalitarian, bebas, dan bermartabat. Deliberasi publik membuka ruang
bagi warga negara untuk turut menentukan arah kebijakan publik dan
melakukan kontrol atas proses pembuatan regulasi dan tindakan eksekutif.
Lewat proses deliberasi publik, kebenaran menjadi unsur hakiki dalam
demokrasi. Perdebatan demokratis di ruang publik bukan sekadar ekspresi
dari kepentingan ekonomi, atau pertarungan politik identitas.
Dari perspektif demokrasi deliberatif, diskursus di ruang publik sungguh-
sungguh berpijak pada landasan epistemis dan normatif. Artinya, apa yang
diperdebatkan memiliki rujukan pada fakta empiris dan norma tentang apa
yang seharusnya dijalankan. Dengan merujuk pada kebenaran, demokrasi
tidak akan terperangkap di dalam bahaya tirani mayoritarian, seperti
dipromosikan para pemimpin populis yang mengudeta demokrasi untuk
kepentingan dukungan politik elektoral, dan mengabaikan substansi
demokrasi, yakni penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik warga
negara (liberalisme). Agar kebenaran dapat bersemi di dalam demokrasi,
iklim kebebasan berpendapat dan berekspresi harus dijamin negara dan
watak antiintelektualisme dan antisains harus dijauhi. Deliberasi publik
ialah pertukaran argumentasi untuk mendukung keyakinan politik. Dengan
demikian, keyakinan politik tidak sekadar preferensi subjektif, tapi juga
berpijak pada fakta politis yang objektif baik secara empiris maupun
normatif. Karena itu, perbedaan keyakinan politik akan melahirkan
perdebatan politik di ruang publik, di parlemen dan komisi-komisi, pada
level partai politik dan masyarakat sipil, di media massa dan ruang privat.
Di dalam demokrasi perbedaan-perbedaan tersebut biasa dan tidak
bereskalasi menjadi tindakan kekerasan dan perang sebab demokrasi
berpijak pada prinsip kooperasi dan penentuan diri kolektif setiap individu
yang bebas dan setara. Formasi deliberali publik itu membutuhkan kerja
sama antara politik, media massa, dan masyarakat sipil. Dari pihak politik,
dituntut transparansi tingkat tinggi dan kewajiban menyampaikan
argumentasi publik rasional untuk setiap kebijakan.
Pengerahan buzzer ialah racun bagi ruang publik, memperkuat
fenomena echo chambers dan polarisasi diskursus publik.
Kontribusi media massa ialah menyediakan platform diskusi bagi
masyarakat luas serta tidak membiarkan pandangan mereka
diinstrumentalisasi untuk kepentingan kekuasaan. Sementara itu,
masyarakat sipil dituntut untuk menaruh minat dan berpartisipasi aktif
dalam diskusi publik.  
Epistemologi falibilisme
Kebenaran yang dimaksud dalam demokrasi deliberatif ialah kebenaran
yang berpijak pada epistemologi falibilisme (Nida-Ruemelin, 2020).
Sebuah epistemologi, yang tidak pernah melahirkan jawaban final dan
membungkam kebebasan berpendapat. Sebaliknya klaim kebenaran
sebagai sesuatu yang falibel hidup dari kebebasan berpendapat dan
membuka kemungkinan koreksi dalam proses diskursus (Habermas,
2005). Dengan demikian, komunikasi dan diskursus dalam politik tak
pernah berakhir. Epistemologi falibilisme berkelindan erat dengan konsep
toleransi sebagai respek sebagai landasan sebuah masyarakat plural.
Respek berarti saya menerima sebuah argumentasi kendatipun
argumentasi itu tidak sesuai dengan penilaian-penilaian pribadi yang saya
yakini benar. Itulah paradoks realisme keyakinan dunia kehidupan kita,
yang menyusup masuk hingga ke politik dan ilmu pengetahuan.

Falibilisme mendorong toleransi, sedangkan fundamentalisme kebenaran


menciptakan intoleransi yang membahayakan kehidupan bersama dalam
sebuah masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Analisis
pemahaman...............................................................................................
Pertanyaan sikap terhadap sains terdapat dalam beberapa tema-tema
wacana di atas. Dampak literasi rendah Berdasarkan laporan UNESCO
yang berjudul “The Social and Economic Impact of Illiteracy” yang dirilis
pada tahun 2010, tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau
penurunan produktivitas, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan
proses pendidikan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial
dan terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan
politik. Pertanyaan ;
1. Kesimpulan apa yang bias anda peroleh dari teks wacana di atas
2. Kemampuan literasi sain yang bagaimana seharusnya kita terapkan
kedepan untuk peningkatan pengetahuan literasi mahasiswa dan
siswa, guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah .
3. Orang dengan tingkat literasi rendah sulit menjadi mandiri atau
berdaya, dan tergantung secara ekonomi pada pada keluarga,
kerabat, dan negara, .bagaiman membantah pernyataan ini
4. Tuliskan sebuah esassay dari Literasi Baca Tulis, Literasi
Numerasi ,Literasi Sains, Literasi Finansial, Literasi Digital dari teks
wacana di atas

JAWABAN

1. Berdasarkan teks wacana di atas, kesimpulan yang

dapat saya peroleh adalah setiap aspek masyarakat

harus mampu meningkatkan kemampuan literasi nya,

terutama di dalam bidang sains. Untuk kemudian

mampu mengkolaborasikan semua literasi dalam

kehidupan sehari-hari.

2. Kemampuan literasi sains yang harus ditingkatkan

adalah sesuai dengan definisinya sendiri yaitu

kemampuan menggunakan pengetahuan sains,mengidentifikasi 

pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-

bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan berke
naan dengan alam dan perubahan yang

dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia

(Firman, 2007:2). 

Setiap aspek masyarakat harus dapat memahami

bagaimana penerapan literasi sains dalam kehidupan

sehari-hari. Agar ilmu tersebut berguna dan dapat

diteruskan kepada generasi penerus nya.

3. Memangnya kenapa bila tingkat literasi masyarakat

rendah?

Jujur, sebenarnya agak fatal bila tingkat literasi suatu

bangsa rendah. Masyarakat yang tidak literat cenderung

percara pada informasi yang salah, hoaks, bahkan gemar

merendahkan orang lain. Masyaralat yang tidak literat itu

berarti sulit memahami realitas, di samping tidka punya

kesadaran untuk mencari solusi dari setiap masalah yang

timbul.

Setidaknya, ada 6 (enam) dampak fatal bila tingkat literasi

rendah, yaitu:
1. Kebodohan masyarakat yang tidak berujung dan terus-

menerus.

2. Tingkat produktivitas manusia yang rendah jadi sebab

sulit untuk maju.

3. Mudahnya pendidikan berhenti atau masih tingginya

angka putus sekolah anak.

4. Contoh essay ;

Pendahuluan

Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi (IPTEK) menjadi tuntutan zaman yang tidak

dapat dihindari. Hal tersebut merupakan bentuk

perubahan zaman yang memengaruhi kehidupan

masyarakat. Namun, generasi dahulu telah membuktikan

kepada kita, bahwa walaupun dalam keadaan

terbelenggu oleh keterbatasan media, tapi semangat

militansi dan tunak dalam berliterasi tak pernah surut.


Sehingga jejak karya agungnya (masterpiece) masih

dapat kita nikmati dan pelajari hingga saat ini.

Seiring dengan perjalanan waktu ketika dunia memasuki

zaman milenial saat masyarakat terjebak dalam lingkar

masyarakat multimedia (cyber society). Akibatnya daya

pengaruh cukup kuat terhadap perubahan perilaku sosial

yang mendasar pada skala makro dalam kehidupan kita.

Tren sosial rupanya lebih mudah diterima dari pada

nasihat orang tua yang terlanjur dianggap klasik di

kalangan remaja. Tren sosial yang ditandai dengan era

kecanggihan teknologi memang menjadi bumerang jika

tidak bijak dalam menyikapinya. Di era serba digital

saat ini, yang menjadi daya tarik bagi anak-anak kita

bukan lagi kegiatan literasi (baca tulis), namun gawai dan

televisi.
Hasil survei tahun 2016 yang dilakukan US Agency For

International Development (USAID) cukup

mencengangkan. Rata-rata orang Indonesia menonton

tayangan televisi selama 300 menit per hari (5 jam per

hari), bandingkan dengan rata-rata negara maju, yang

penduduknya hanya butuh waktu 60 menit (1 jam per

hari). Di sisi lain, anak-anak yang dulu gemar membaca,

kini lebih asik merunduk khusyuk bermain game dan aktif

di dunia media sosial (medsos) melalui gawainya. Selain

itu hasil survei yang dilakukan oleh United Nations

Educational, Scientific And Cultural Organization

(UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru

mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya

ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat

di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per

tahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan

dengan warga Amerika Serikat yang terbiasa membaca

10-20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang

membaca 10-15 buku dalam setahun (Republika, 29 April

2016).
Pada Maret 2016 lalu, Most Literate Nations in the World,

merilis Indonesia berada di urutan ke-60 di antara total 61

negara. Kondisi yang sama juga terjadi pada peringkat

pendidikan Indonesia di dunia yang dari tahun ke tahun

belum beranjak dari papan bawah dalam berbagai survei

internasional. Akan tetapi, tidak ada diskusi panjang di

media mengkritisi fenomena ini. Tidak ada dialog dengan

mengundang berbagai pakar untuk membahasnya. Data

itu hanya dibaca sebagai berita setengah menit yang

berlalu begitu saja. Mungkinkah memang tidak ada yang

peduli? Fenomena termarjinalkannya budaya literasi dari

diskusi publik? Jika masyarakat malas membaca mau jadi

apa bangsa Indonesia di masa depan?

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan

pengetahuan. Kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan

oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat,

sedangkan ilmu pengetahuan diperoleh dari informasi


lisan maupun tulisan. Namun, ironisnya jumlah terbitan

buku di Indonesia tergolong rendah tidak sampai 18.000

judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah

dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku

per tahun. (Sumber: Majalah Oase Edisi April 2014).

Sebagai warga Indonesia, tentu hal ini sangat

menyedihkan.

Budaya literasi sangat berperan dalam menciptakan

masyarakat yang cerdas yang mana nantinya akan

membentuk bangsa berkualitas. Oleh karena itu, sebuah

kesalahan besar meminggirkan isu ini dari perbincangan

publik, apalagi meninggalkannya dalam proses

perumusan kebijakan publik.

Pembahasan

Secara sederhana literasi dapat diartikan sebagai sebuah

kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya


dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun,

sekarang ini literasi memiliki arti luas sehingga

keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan

mengandung beragam arti (multi literacies). Ada

bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya

literasi komputer, literasi media, literasi teknologi, literasi

ekonomi, dan literasi informasi. Jadi keberaksaraan atau

literasi dapat diartikan melekteknologi, melek informasi,

berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan.

Salah satu yang perlu diperhatikan secara khusus di

zaman sekarang yaitu literasi media khususnya medsos.

Apa itu medsos? Medsos merupakan salah satu sarana

melakukan komunikasi antar manusia di zaman modern

ini. Munculnya medsos memang berwajah ganda. Satu

sisi media ini bisa meningkatkan hubungan pertemanan

yang lebih erat, bisnis, dan beragam layanan jasa daring

lainnya. Namun, pada wajahnya yang lain medsos juga

sering menjadi pemicu munculnya beragam persoalan.

Maraknya berita bohong, ujaran kebencian, hasutan, caci


maki, dan adu domba telah mengancam persatuan dan

ideologi bangsa.

Sungguh ironi, ketika era digital dengan segala tawaran

potensialnya di gadang-gandang dapat mempermudah

akses informasi dan bacaan malah berbalik arah menjadi

darurat minat baca. Padahal minat baca adalah kunci

utama dalam keberaksaraan. Seperti pendapat

Ratnasari (2011:16) yang mengatakan bahwa minat

adalah suatu perhatian yang kuat terhadap kegiatan

membaca sehingga dapat mengarahkan seorang untuk

membaca dengan kemauannya sendiri. Namun, pada

kenyataannya minat baca saat ini telah pudar. Tergusur

oleh tren gawai budaya instan yang berakibat fatal dapat

menurunkan minat baca dalam berliterasi.

Banyak pengguna medsos yang tidak mampu memilah

mana informasi yang benar dan mana pula yang palsu

(hoax). Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya orang


yang tergantung pada medsos. Mayoritas mereka tidak

memahami bagaimana menggunakan medsos yang bijak.

Sebagai dampak dari ketergantungan pada medsos

adalah terjadinya penurunan literasi (the decline of

literacy).

Salah satu hal yang serius dari akibat penggunaan

medsos yang kurang bijak dapat menyebabkan

penurunan kemampuan berbicara di muka publik.

Dampak ini dapat saja terjadi karena dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat Indonesia cenderung lebih suka

bermain dengan medsos dari pada melakukan interaksi

langsung antar sesama. Untuk itu penulis mengajak

masyarakat Indonesia supaya bijak dalam menggunakan

medsos melalui gerakan 4M, diantaranya yaitu;

Menjaga privasi dan keamanan akun pengguna media.

Hal ini dilakukan supaya tidak mudah memberikan

informasi data diri pengguna media sosial ke orang lain


dan membuat kata kunci (password) yang cukup sulit

untuk ditebak serta mengubahnya secara berkala.

Menghindari hoax. Hal ini dilakukan supaya tidak

mudahnya percaya dengan berita atau informasi yang

diterima sebelum dilakukan klarifikasi yang benar sesuai

dengan fakta yang terjadi.

Menyebarkan informasi positif. Hal ini dilakukan supaya

pengguna menyebarkan informasi baik itu gambar, video,

foto, maupun teks yang bersifat positif.

Menggunakan media sosial seperlunya. Hal ini dilakukan

supaya tetap menggunakan media sosial sebagai sarana

membantu meningkatkan produktifitas diri dan sadar diri

jika telah mengalami ketergantungan.

Sering kita bertanya dalam hati, mengapa negara kita

susah bersaing dengan negara-negara lain? Apa ada

yang salah dalam sistem berkehidupan rakyat kita?

Padahal potensi bangsa Indonesia sangat besar. Namun,

demikian potensi yang begitu besar secara kuantitas itu

perlu diimbangi dengan kualitas yang dimiliki. Badan


Program Pembangunan di bawah PBB, United Nations

Development Programme (UNDP) dalam laporan Human

Development Report 2016 mencatat, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2015

berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 di 2014

(www.cnnindonesia.com). Salah satu faktor penyebab

rendahnya IPM di Indonesia adalah rendahnya kualitas

pendidikan, yang juga berpengaruh langsung pada sektor

ekonomi dan kesehatan.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh International

Education Achievement (IEA) pada awal tahun 2000

menunjukkan bahwa kualitas membaca anak-anak

Indonesia menduduki urutan ke 29 dari 31 negara yang

diteliti di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Dengan

demikian tidaklah mengherankan bila Indeks kualitas

sumber daya manusia (Human Development Index/HDI)

di Indonesia juga rendah. Tentu saja ini merupakan berita

yang menyedihkan bagi Negara berkembang yang ingin

maju.
Untuk itu penulis memiliki beberapa program solusi yang

layak dijalankan dalam meningkatkan daya baca

masyarakat Indonesia sehingga akan terbentuk budaya

literasi yaitu :

Memperbaiki kualitas dan pemerataan pendidikan. Hal ini

dilakukan agar bisa mendorong tingkat melek huruf yang

lebih tinggi.

Memperbanyak perpustakaan di semua daerah. Hal ini

dilakukan sebagai tempat yang nyaman untuk membaca,

jumlah koleksi buku yang banyak, dan menawarkan

kegiatan yang menarik.

Dibutuhkan program berkelanjutan. Hal ini dilakukan

untuk lebih memperkenalkan buku dan mendorong minat

baca buku ke sekolah serta masyarakat umum.

Mendorong bagi penerbit buku. Hal ini dilakukan agar

semakin banyak buku diterbitkan, terutama buku-buku

yang berkualitas dari berbagai bidang.


Mendukung kekuatan masyarakat madani. Hal ini

dilakukan kerjasama antara pemerintah dan semua pihak

dalam membangun peradaban membaca buku.

Merangkul para aktivis media sosial. Hal ini dilakukan

untuk lebih sering mengunggah rangsangan membaca

buku. Selain itu diharapkan membaca tidak lagi terpaku

pada membaca kertas karena segala informasi terkini

telah tersedia di dunia maya/internet dan media elektronik

lainnya.

Penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan

memang menjadi tulang punggung kemajuan peradaban

suatu bangsa. Karena itulah sudah saatnya, budaya

literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak

bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-

menulis.

PENUTUP
Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat

kemajuan pendidikan suatu bangsa. Kegiatan membaca

merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu

bangsa. Belajar selalu identik dengan kegiatan membaca

karena dengan membaca akan bertambahnya

pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang.

Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh.

Fenomena pengangguran intelektual tidak akan terjadi

apabila masyarakat memiliki semangat membaca yang

membara. Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang

haus akan ilmu pengetahuan, maka semakin tinggi

kualitasnya. Kualitas suatu bangsa biasanya berjalan

seiring dengan budaya literasi.

Anda mungkin juga menyukai