Anda di halaman 1dari 7

SOAL UTS LITERASI 2021

SENIN 29 MARET 2021 PUKUL 08.00- 09.00 WIB. KERJAKAN TEPAT


WAKTU. JAWABAN DIKIRIMKAN KE SIPDA DAN EMAIL-
joharis@yahoo.co.id sesuai jadual UTS terlambat tdk akan dilayani
dianggap tdk mengikuti UTS.
Bacalah Teks wacana ini dengan serius sungguh- sungguh dan jawab
pertanyaannya. Anda tidak diperkenankan mencontoh (copy paste) dari
teman saudara sekelas sejawat atau yg bersamaan mengambil mata
kuliah ini. Apabila terdapat kesamaan atau hasil Copy Paste dari
teman saudara maka saya nyatakan anda batal mengikutik UTS ini,
terimaksih.lebih diutamakan kerja dgn jujur. Pemahaman sains
seseorang dapat dilihat dari bagaimana cara mereka berargumentasi
terhadap soal – soal yang dikeluarkan oleh PISA. Berdasarkan penilaian.
PISA menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya,
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Shwartz, et
al. (2006) juga menambahkan aspek respon sikap ke dalam domain
literasi sains. Dalam menilai lietrasi sains terdapat keterhubungan antara
masing – masing aspek literasi sains. PISA (Programme for International
Student Assessment) Indonesia memposisikan diri pada tempat yang
tidak begitu menggembirakan.Hasil PISA 2012, dari 65 negara anggota
PISA, pendidikan Indonesia berada di peringkat 64 untuk Sains.
Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Malaysia di urutan
ke 53, Thailand ke 45, Singapura ke 10, Vietnam ke 5, Korea ke 4,
Hongkong China ke 3 dan Shanghai – China urutan pertama. Siswa
Indonesia baru mampu mencapai tingkat 3.Sebagian kecil saja yang
mampu mencapai tingkat 4 dan tingkat 5 (Sulistiawati, 2013). PISA
menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya,
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Shwartz, et
al.(2006).
Mantan Presiden Amerika Serikat James Madison (1751-1836), pernah
berujar: “All governments rest on opinion (semua rezim bergantung pada
opini publik)” (David Pan, 2020).
Peran penting opini publik itu bukan hanya dirasakan dalam sebuah
negara demokratis, dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi
sangat dijamin. Seorang pemimpin totaliter, atau tiran sekalipun, tidak
mungkin dapat bertahan dalam kekuasaan tanpa dukungan opini publik,
yang diikat sebuah kesadaran ideologis bersama. Keberlangsungan
dukungan tersebut sangat bergantung pada kemampuan sang pemimpin
dalam merawat legitimasi idealismenya. Di sini, kebenaran dan kekuasaan
saling berkelindan. Rezim nasional sosialisme (Nazi) Jerman, misalnya,
mempertahankan kekuasaan mereka dengan merujuk pada sebuah
idealisme tentang 'kemurnian ras' Aria; yang tentu saja telah
mendatangkan musibah kemanusiaan bagi jutaan orang Yahudi yang
dibantai. Demikian pun, rezim Orde Baru dapat bertahan dengan terus
merawat memori kolektif bernama hantu komunisme.  
Kompetisi kebenaran Setiap kebenaran, dalam tatanan sosial selalu
berbenturan dan berkompetisi dengan kebenaran-kebenaran lainnya.
Karena itu, relasi kebenaran dengan kekuasaan selalu memicu
perdebatan. Di satu sisi, setiap kebenaran mengklaim absolutisme dalam
tafsiran tentang dunia dan relasi manusia dengan dunia. Di sisi lain,
pluralitas kebenaran justru mencegah adanya kecenderungan monopoli
klaim kebenaran tersebut, yang melahirkan totalitarianisme. Bahkan,
idealisme kebenaran normatif seperti paham universal hak-hak asasi
manusia harus berkompetisi dengan pandangan normatif tatanan global
lainnya.
Untuk menghindari absolutisme dan merawat pluralitas kebenaran, iklim
kebebasan berpendapat harus dijamin di dalam demokrasi. Karena itu,
tanpa kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers, demokrasi akan
mati.
Tanpa kebebasan berekspresi, tidak mungkin terbentuk opini publik yang
merupakan jantung demokrasi. Pemerintah seharusnya tidak perlu takut
dengan rakyat mereka, yang secara terbuka mengungkapkan ke publik
kebenaran dan kebohongan dalam penyelenggaraan negara. Karena itu,
niat pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) dapat disambut sebagai kedipan cahaya lilin, harapan di
ujung terowong kelam menurunnya indeks demokrasi di Indonesia.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan indeks
demokrasi Indonesia pada 2020 berada pada level terendah dalam 14
tahun terakhir dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
kategori demokrasi cacat (flawed democracy).
Skor indeks demokrasi Indonesia sekarang sebesar 6,30 atau berada
pada peringkat ke-64 dari 167 negara (Media Indonesia, 24/3/2021).  
Negasi atas kebenaran Kebebasan berpendapat merupakan unsur
esensial dalam demokrasi. Demokrasi mengandaikan partisipasi dan
deliberasi publik dalam penyusunan regulasi dan mekanisme kontrol
terhadap pemerintah. Proses deliberasi publik tersebut mengandaikan
adanya pertukaran argumentasi yang berpijak pada kebenaran fakta
empiris dan normatif. Seluruh proses ini hanya mungkin terjadi dalam
kebebasan.Tanpa titik pijak kebenaran, deliberasi publik tidak lebih dari
ekspresi kepentingan ekonomi, identitas sektarian, dan pertarungan kelas.
Ada dua pandangan yang menolak dimensi epistemologis deliberasi
demokratis. Pertama, anggapan kaum libertarian atau neoliberal bahwa
debat politik hanya menciptakan kegaduhan. Karena itu, harus
ditranformasi dan dikendalikan rasionalitas ekonomi. Paradigma libertarian
menggantikan politik dengan pasar (Julian Nida-Ruemelin, 2020). Hukum
berperan untuk memastikan pasar berfungsi dengan baik. Kecenderungan
pemerintah Indonesia untuk menghindari 'kegaduhan' demi iklim investasi
yang kondusif sesungguhnya merupakan ekspresi netralisasi negara dan
tindakan politik oleh kekuatan pasar. Hal itu tak jarang berujung pada aksi
represif aparat keamanan terhadap masyarakat sipil dengan
menggunakan UU ITE. Southeast Asia Freedom of Expression Network
(Safenet) melaporkan bahwa sejak 2008 hingga 2021 UU ITE telah
menjerat 375 warganet (Kompas, 23/2/2021). Sulit untuk percaya bahwa
pemerintah tidak melakukan abuse of power dalam penerapan UU ITE
sebab mayoritas korban penerapan pasal karet undang-undang itu ialah
jurnalis, aktivis, dan warga kritis yang selalu menyuarakan kritik terhadap
kekuasaan.
Masih segar dalam memori publik kasus yang menimpa peneliti
independen kebijakan publik, Ravio Patra. Ravio dikenal getol mengkritisi
kebijakan pemerintahan Jokowi. Ia akhirnya ditangkap polisi, setelah satu
hari sebelumnya akun Whatsapp Ravio dibajak. Kedua, paradigma politik
identitas. Di sini corak deliberatif diskursus politik dipandang sebagai
kamuflase untuk menutupi kepentingan-kepentingan identitas sektarian.
Polarisasi radikal, antara pendukung dan kelompok oposisi terhadap
Jokowi, pengerahan buzzer di ruang publik telah memperkuat fragmentasi
politik berbasis identitas. Akibatnya, argumentasi politik tidak lagi berpijak
pada fakta empiris dan rujukan normatif, tapi pada
sentimen like dan dislike.  
Demokrasi deliberatif
Pada 2.500 tahun silam, seorang filsuf Yunani Kuno, Plato (424 BC- 348
BC), mengutuk kebohongan politik dan menekankan urgensi kebenaran.
Dalam Republik, Plato menulis, 'Jika para filsuf tidak menjadi raja di
negara-negara, atau para raja dan pemangku kekuasaan politik tidak
mempelajari filsafat secara serius dan mendasar, dan keduanya, yakni
filsafat dan kekuasaan negara, tak berkelindan satu sama lain, bencana
tanpa akhir akan menimpa negara-negara dan juga seluruh umat manusia'
(Republik, 473c-d). Awasan Plato tidak keliru. Menguatnya politik identitas
dan tampilnya pemimpin populis yang menyebar kebohongan dan
memanipulasi kebencian rakyat demi dukungan elektoral ialah musibah,
yang tengah melanda umat manusia. Musibah datang ketika politik dusta
merebak dan kebenaran dijauhi dari arena politik. Saatnya politik kembali
kepada kebenaran. Di dalam demokrasi, proses belajar berarti
mendengarkan suara rakyat. Demokrasi deliberatif memungkinkan
partisipasi publik secara substantif dan membentuk kultur politik yang
egalitarian, bebas, dan bermartabat. Deliberasi publik membuka ruang
bagi warga negara untuk turut menentukan arah kebijakan publik dan
melakukan kontrol atas proses pembuatan regulasi dan tindakan eksekutif.
Lewat proses deliberasi publik, kebenaran menjadi unsur hakiki dalam
demokrasi. Perdebatan demokratis di ruang publik bukan sekadar ekspresi
dari kepentingan ekonomi, atau pertarungan politik identitas.
Dari perspektif demokrasi deliberatif, diskursus di ruang publik sungguh-
sungguh berpijak pada landasan epistemis dan normatif. Artinya, apa yang
diperdebatkan memiliki rujukan pada fakta empiris dan norma tentang apa
yang seharusnya dijalankan. Dengan merujuk pada kebenaran, demokrasi
tidak akan terperangkap di dalam bahaya tirani mayoritarian, seperti
dipromosikan para pemimpin populis yang mengudeta demokrasi untuk
kepentingan dukungan politik elektoral, dan mengabaikan substansi
demokrasi, yakni penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik warga
negara (liberalisme). Agar kebenaran dapat bersemi di dalam demokrasi,
iklim kebebasan berpendapat dan berekspresi harus dijamin negara dan
watak antiintelektualisme dan antisains harus dijauhi. Deliberasi publik
ialah pertukaran argumentasi untuk mendukung keyakinan politik. Dengan
demikian, keyakinan politik tidak sekadar preferensi subjektif, tapi juga
berpijak pada fakta politis yang objektif baik secara empiris maupun
normatif. Karena itu, perbedaan keyakinan politik akan melahirkan
perdebatan politik di ruang publik, di parlemen dan komisi-komisi, pada
level partai politik dan masyarakat sipil, di media massa dan ruang privat.
Di dalam demokrasi perbedaan-perbedaan tersebut biasa dan tidak
bereskalasi menjadi tindakan kekerasan dan perang sebab demokrasi
berpijak pada prinsip kooperasi dan penentuan diri kolektif setiap individu
yang bebas dan setara. Formasi deliberali publik itu membutuhkan kerja
sama antara politik, media massa, dan masyarakat sipil. Dari pihak politik,
dituntut transparansi tingkat tinggi dan kewajiban menyampaikan
argumentasi publik rasional untuk setiap kebijakan.
Pengerahan buzzer ialah racun bagi ruang publik, memperkuat
fenomena echo chambers dan polarisasi diskursus publik.
Kontribusi media massa ialah menyediakan platform diskusi bagi
masyarakat luas serta tidak membiarkan pandangan mereka
diinstrumentalisasi untuk kepentingan kekuasaan. Sementara itu,
masyarakat sipil dituntut untuk menaruh minat dan berpartisipasi aktif
dalam diskusi publik.  
Epistemologi falibilisme
Kebenaran yang dimaksud dalam demokrasi deliberatif ialah kebenaran
yang berpijak pada epistemologi falibilisme (Nida-Ruemelin, 2020).
Sebuah epistemologi, yang tidak pernah melahirkan jawaban final dan
membungkam kebebasan berpendapat. Sebaliknya klaim kebenaran
sebagai sesuatu yang falibel hidup dari kebebasan berpendapat dan
membuka kemungkinan koreksi dalam proses diskursus (Habermas,
2005). Dengan demikian, komunikasi dan diskursus dalam politik tak
pernah berakhir. Epistemologi falibilisme berkelindan erat dengan konsep
toleransi sebagai respek sebagai landasan sebuah masyarakat plural.
Respek berarti saya menerima sebuah argumentasi kendatipun
argumentasi itu tidak sesuai dengan penilaian-penilaian pribadi yang saya
yakini benar. Itulah paradoks realisme keyakinan dunia kehidupan kita,
yang menyusup masuk hingga ke politik dan ilmu pengetahuan.

Falibilisme mendorong toleransi, sedangkan fundamentalisme kebenaran


menciptakan intoleransi yang membahayakan kehidupan bersama dalam
sebuah masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Analisis
pemahaman...............................................................................................
Pertanyaan sikap terhadap sains terdapat dalam beberapa tema-tema
wacana di atas. Dampak literasi rendah Berdasarkan laporan UNESCO
yang berjudul “The Social and Economic Impact of Illiteracy” yang dirilis
pada tahun 2010, tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau
penurunan produktivitas, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan
proses pendidikan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial
dan terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan
politik. Pertanyaan ;
1. Kesimpulan apa yang bias anda peroleh dari teks wacana di atas
2. Kemampuan literasi sain yang bagaimana seharusnya kita terapkan
kedepan untuk peningkatan pengetahuan literasi mahasiswa dan
siswa, guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah .
3. Orang dengan tingkat literasi rendah sulit menjadi mandiri atau
berdaya, dan tergantung secara ekonomi pada pada keluarga,
kerabat, dan negara, .bagaiman membantah pernyataan ini
4. Tuliskan sebuah esassay dari Literasi Baca Tulis, Literasi
Numerasi ,Literasi Sains, Literasi Finansial, Literasi Digital dari teks
wacana di atas

JAWABAN
1. Kebebasan berpendapat sering disalahgunakan oleh orang tertentu,
mengkritik kebijakan pemerintah bukan demi kepentingan bersama
melainkan untuk menimbulkan rasa ketidaksukaan terhadap
pemerintah tersebut. Demokrasi yang diterapkan tidak sesuai
dengan yang seharusnya, memanfaatkan kebencian rakyat untuk
kepenting pribadi atau segelintir orang bukanlah solusi untuk
memecahkan masalah apalagi hanya untuk menarik simpati
masyarakat.
2. Kemampuan literasi yang menguasai dibidang sains dan teknologi
mampu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip dan juga
memiliki kemampuan dalam berpikir kritis dalam menghadapi
masalah, merumuskan hipotesis dan merancang serta melakukan
suatu penelitian.
3. Tidak semua orang yang memiliki tingkat literasi rendah akan sulit
menjadi mandiri dan terus bergantung dengan yang lain, tidak
sedikit orang yang tidak berpendidikan bahkan tidak mengenal apa
itu dunia pendidikan akan terus bergantung dengan yang lain.
Semua bergantung cara pemikiran orang tersebut apakah dia akan
terus hidup seperti itu atau dia mau mencoba untuk melakukan
sesuatu yang akan membuat hidupnya mandiri dan tidak
bergantung dengan yang lain. Tetapi bukan berarti literasi itu tidak
penting, seseorang dengan literasi yang tinggi akan lebih mudah
untuk berinovasi dan melakukan hal-hal yang baru yang menunjang
kehidupannya untuk jauh lebih baik lagi.

4. Peran opini publik sangat penting bagi semua rezim pemerintahan.


Tanpa kebebasan berekspresi tidak mungkin terbentuk opini publik
yang merupakan jantung demokrasi. Dengan merujuk kebenaran,
demokratis tidak akan terperangkap dalam bahaya
tiranimayoritarian.

Agar kebenaran dapat bersemi didalam demokrasi, iklim kebebasan


berpendapat dan bereksprfesi harus dijamin negara dan watak anti
intelektualisme dan anti sains harus dijauhi.

Didalam demokrasi perbedaan-perbedaan tersebut biasa dan tidak


beresklasi menjadi tindakan kekerasan dan perang sebab
demokrasi berpijak pada prinsip kooperasi dan penentuan diri
kolektif setiap individu yang bebas dan setara.

Kontirbusi media massa ialah menyediakan platform diskusi bagi


masyarakat luas serta tidak membiarkan pandangan mereka
diinstrumentalisasi untuk kepentingan kekuasaan.

Seluruh proses ini hanya mungkin terjadi dalam kebebasan. Tanpa


titik pijak kebenaran deliberasi publik tidak lebih dari kepentingan
ekonomi dan politik.

Nama : Grace Debora Br Sembiring


Nim : 2203111050
Kelas : Reguler C
Prodi : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

Anda mungkin juga menyukai