Pengertian Sastra
Hasil karya manusia menggunakan bahasabbaik tulisan atau lisan dan membuat
kesan keindahan atau estetik.
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’,
yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang
berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa
Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Menurut KBBI sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan biasa
lainnya, memiliki berbagai ciri keunggulan, keaslian, keartistikan, keindahan, isi dan
ungkapan. Karya sastra sendiri merupakan karangan yang memiliki nilai kebaikan berupa
tulisan dengan bahasa yang indah penuh estetika. Sastra sendiri juga memberikan
pengetahuan dan wawasan umum mengenai manusia, sosial, intelek, dengan gaya yang
khas dan unik. Di mana pembaca sastra dapat menginterpretasikan teks sastra sesuai
dengan pengalamanan dan wawasannya, Semua kembali ke pembaca dan penikmat.
Hasil sastra
1. Puisi
Puisi adalah rangkaian kata yang sangat padu. Kejelasan sebuah puisi sangat
bergantung pada ketepatan penggunaan kata serta kepaduan yang membentuknya
3. Drama
Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para
tokohnya. Drama sebagai karya sastra sebenarya hanya bersifat sementara, sebab
naskah drama ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan. Dengan demikian, tujuan
drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca novel atau puisi. Drama yang
sebenarnya adalah kalau naskah sastra tadi dipentaskan. Tapi bagaimanapun, naskah
tertulis drama selalu dimasukan sebagai karya sastra
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru. Gaya ini
dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki
gaya romantis-idealis karena pada saat itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang
dialami Angkatan ’45. Sementara Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya
perjuangan kemerdekaan memilih gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan
diterima oleh masyarakat. Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari
fungsi sosial mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi
masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil Anwar meninggal, lingkungan
kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah kehilangan vitalitas. Salah satu
alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku
yang terbit. Sejak tahun 1953 , Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit
utama buku-buku sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat
itu aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar
Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang
berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka tak anehlah kalau para pengarangpun lantas
hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138).
Hal itulah yang memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut pendapat
Soeprijadi Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber Kegiatan”1
1. Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.
2. Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-
nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
3. Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4. Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang
mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950 merupakan angkatan yang sepi
oleh karya karena sastra Indonesia yang ada dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas,
kesusasteraan mengalami krisis baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme
dan penggunaan seni ke ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab.
Angkatan 1966
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan
Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa
ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada
tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai
organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”. Sementara
Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan
merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh
orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner
sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan Manifes Kebudayaan
diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu
pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku
yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga
Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling,
Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra,
Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena
mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal
sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan
sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa
memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer,
kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an,
kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut2
1. Kritik Rezim Orde Baru
5. Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman
sekarang
6. Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya
Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra
tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui
pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang
keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki
karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini,
sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk
ke ranah erotika dan absurditas3.
1Ditampilkan oleh presentasi kelompok Angkatan 1950 pada mata kuliah Pengkajian Sastra
Indonesia Tahun 2012
2Ditampilkan oleh presentasi kelompok Angkatan 70-an pada kuliah Pengkembangan Sastra
Indonesia Tahun 2012
3idem
PERIODISASI SASTRA DI INDONESIA
Karangan, baik berupa puisi atau pun prosa disampaikan mulut ke mulut oleh seorang yang
disebut tukang cerita atau pelipur lara. Di daerah Jawa Barat, tukang cerita atau pelipur lara
juga dikenal dengan sebutan Pawang.
Kesusastraan purba dalam bentuk prosa contohnya dongeng, sedangkan dalam bentuk puisi
contohnya mantra dan pantun.
Sejak masa kesusastraan yang dipengaruhi hindu ini mulai dikenal kesusastraan tertulis yang
dibuktikan dari banyaknya ditemukan prasasti-prasasti dalam tulisan India (tulisan Pallawa),
meskipun penyampaian sastra melalui lisan juga masih banyak.
Contohnya dalam bentuk puisi adalah syair, rubai, nazam, dan gazal, sedangkan contoh
dalam bentuk prosa dikenal hikayat seperti Hikayat 1001 malam dan dongeng Abu Nawas.
Ciri-ciri kesusastraan lama secara umum, yakni:
Kesusastraan masa peralihan juga disebut dengan masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Abdullah adalah seorang tokoh sastra yang mempengaruhi perubahan dalam karya sastra
melayu lama yang awalnya bersifat khayal, fantastis dan istana sentris menjadi karya sastra
yang lebih bersifat objektif dan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Misalnya seperti
kisah yang menceritakan perjalanan hidupnya dalam karya Hikayat Abdullah.
Angkatan Balai Pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak
tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit “Bali Pustaka”. Prosa (roman,
novel,cerpen, dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan mulai
menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, hikayat, dan kazhanah sastra di
Indonesia pada masa ini
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari
bacaan cabul dan liar yang dihasilkan sastra melayu rendah yang tidak menyoroti
pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan
karya dalam 3 bahasa yaitu bahasa Melayu tinggi, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda,
dan dalam jumlah yang terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa
Madura.
“Nur Sultan Iskandar” dapat disebut sebagai “raja angkatan balai pustaka”
karna karya-karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran
para pengarang, dapat dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada
angkatan ini adalah novel Sumatera dengan Minangkabau sebagai titik
pusatnya.Pada masa ini novel “Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan” menjadi karya cukup
penting, keduanya mengkritik adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
2. PUJANGGA BARU
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan
oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama
terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran
kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan elistik.
3. ANGKATAN 1945
4. ANGKATAN 1950-1960-an
Angkatan ’50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah Asuhan H.B.
Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan
kompulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan
dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Beberapa sastrawan pada angkatan ini antara lain : Umar Kayam, Ikranegara,
Leon Agusta, Arifin C.Noer, Darmanto Jatman, Arif Budiman, Goenawan Muhamad,
Budi Darma, Hamsat Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail,
DLL. berikut karya sastra periode sastra indonesia angkatan 66
Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai
dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada
masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada angkatan ini tersebar luas
di berbagai majalah dan penerbitan umum.
5. ANGKATAN REFORMASI
6. ANGKATAN 2000-an
2. Marah Roesli
Siti Nurbaya (1922), Laihami (1924), Anak dan Kemanakan (1956)
3. Muhammad Yamin
Tanah Air (1922),Indonesia Tumpah Darahku (1928), Kalau Dewi Tara Sudah
Berkata, Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
6. Djamaluddin Adinegoro
Dara Muda (1927), Asmara Jaya (1928), Abas Soetan Pamoentjak, Pertemuan
(1927)
7. Abdul Muis
Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933)
4. PUJANGGA BARU
Pada masa ini dua kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu :
1. Kelompok “Seni Untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir
Hamzah.
2. Kelompok “Seni Untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan
Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Rustam Effendi.
• Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
1. Sutan Takdir Alisjabana
- Dian Tak Kunjung Padam (1932)
- Tebaran Mega- kumpulan sajak (1935)
- Layar Terkembang (1936)
- Anak Perawan di Sarang Penyuman (1940)
2. Hamka
- Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
- Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939)
- Tuan direktur (1950)
- Di Dalam Lembah Kehidupan (1940)
3. Armijn Pane
- Jiwa Berjiwa Gamelan Djiwa- kumpulan sajak (1960)
- Djinak-djinak Merpati- sandiwara (1950)
- Kisah Antara Manusia (1953)
4. Sanusi Pane
- Pancaran Cinta (1926)
- Puspa mega (1927)
- Sandhykala Ning Majapahit (1933)
- Kertajaya (1932)
5. Tengku Amir Hamzah
- Nyanyi Sunyi (1937)
- Begawat Gita (1933)
- Setanggi Timur (1939)
5. ANGKATAN 1945
• Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
1. Chairil Anwar
- Kerikil Tajam (1949)
- Deru Campur Debu (1949)
2. Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
- Tiga Menguak Takdir (1950)
3. Idrus
- Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
- Aki (1949)
- Perempuan Dan Kebangsaan
4. Achdiat K. Mihardja
- Atheis (1949)
5. Trisno Sumardjo
- Katahati dan Perbuatan (1952)
6. Utuy Tatang Sontani
- Suling (drama) (1948)
- Tambera (1949)
- Awal dan Mira – drama satu babak (1962)
7. Suman Hs
- Kasih ta’ Terlarai (1961)
- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
- Pertjobaan Setia (1940)
6. ANGKATAN 1950-1960-an
• Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 – 1960-an
1. Pramoedya Ananta Toer
- Keranji dan Bekasi Jatuh (1947)
- Bukan Pasar Malam (1951)
- Di Tepi Kali Bekasi (1951)
- Keluarga Gerilya (1951)
- Mereka Yang Dilumpuhkan (1951)
- Cerita Dari Blora (1952)
- Gadis Pantai (1965)
2. Nh. Dini
- Dunia Dunia (1950)
- Hati Jang Damai (1960)
3. Sitor Situmorang
- Dalam Sadjak (1950)
- Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
- Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
- Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
- Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
4. Muchtar Lubis
- Tak Ada Esok (1950)
- Jalan Tak Ada Ujung (1952)
- Tanah Gersang (1964)
- Si Djamal (1964)
5. Marius Ramis Dayoh
- Putra Budiman (1951)
- Pahlawan Minahasa (1957)
6. Ajip Rosidi
- Tahun-tahun Kematian (1955)
- Di Tengah Keluarga (1956)
- Sebuah Rumah Untuk Hari Tua (1957)
- Cari Muatan (1959)
- Pertemuan Kembali (1961)
7. Ali Akbar Navis
- Robohnya Surau Kami- 8 cerita pendek pilihan (1955)
- Bianglala- kumpulan cerita pendek (1963)
- Hujan Panas (1964)
- Kemarau (1967)