Disusun Oleh
1. KHABIBURROHMAN
2. LATIVA DWI NUR KHASANAH
3. SITI FAWAKIH SAL SABILA
B. PEMBAHASAN
1. Ruang Lingkup Sastra
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari kata
“sas” yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memebari
arahan, dll. kemudian akhiran “tra” menunjukkan pada alat dan sarana, sehingga
sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diawali degan kata ‘su’ (menjadi susastra), ‘su’ mempunyai arti
baik, indah dll, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang
tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata
lain tulisan yang indah dan sopan. Berbicara tentang karya sastra, jenis-jenis karya
sastra itua ada tiga yang meliputi :
1) karya sastra yang berbentuk prosa
Pada dasrnya prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh kaidah dan
lebih dekat dengan bentuk pemaparan, dan pemaparan dikatakan mengandung
karya sastra apabila; a. pemaparanya tidak berbentuk wacana dan tidak berbentuk
bait dan baris, sehingga akan membentuk sebuah cerita. b, dalam peristiwa itu
perlu seorang tokoh, yang berperan menggerakkan deretan peristiwa. c, peristiwa
dan tokohnya bersifat fiktif.
Karya sastra puisi merupakan karya sastra yang paling dominan digemari banyak
orang, karna dengan bentuk kata-kata indah dan juga menghibur, puisi (modern)
lebih bersifat bebas, tanpa harus terikat dengan pola tertentu, Pada saat ini juga
sering terungkap dalam bait-bait lagu, sehingga sangat mudah untuk diserap.
Sedangkan Puisi tradisional itu ada pakemnya (misal perbait aturanya 4 baris), dan
puisi tradisional ini terdiri dari tiga bagian yaitu; kakawin, kidung dan tembang.
➢ kakawin
Kakawin berasal dari kata sansekerta kawi “penyair” serta mendapat afiks jawa
(kuno) ka-dan-an, yang seacra keseluruhan kata itu berarti karya seorang penyair
atau syair karya penyair. Kakawin merupakan genre puisi yang ditulis dalam bahasa
jawa kuno, dan aturan-aturan dalam kakawin itu seperti;
a) Jumlah suku kata tiap baris yag cenderung sama untuk baris-baris dalam
satu bait.
b) Bait-bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama.
Pola guru lagu, bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam suku kata yang
berlaku untuk tiap baris dan baik.
Contoh : Stuti nira tan tulus sinahuran paramarta siwa (pangawit)
➢ kidung
Puisi yang menganut pola persajakan Jawa asli (seperti terikat oleh guru
wilangan, guru lagu, guru gatra) dan cenderung mempergunakan bahasa Jawa Tengahan.
Contoh: Purwa kaning angripta rum, ning wana ukir kahadang labuh, kartika
panedenging sari, angayon tangguli ketur, angring-ring jangga mure. (kidung wargasari).
➢ Tembang
Sama dengan pengertian kidung, tapi memperguanakan bahasa jawa baru. Tembang
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Karya sastra jawa pengaruh Hindu tidak terlepas dari kehidupan dan peran penguasa
pemerintah, dan sastra jawa selalu hadir dalam lingkungan istana dan atas dasar lisensi raja.
menurut perjalanan sejarah kesusatraan jawa mengalami perkembangan akibat peran
isatana, karna kekuasaan masalah politik dan ekonomi terdesak dengan adanya campur
tangan Belanda. Dengan demikian karena tugas politik dan ekonomi raja dapat dikatakan
‘tidak ada lagi’ maka kegiatan mereka dialihkan pada bidang kesusastraan. Kemudian
karya-karya sastra pada masa itu ditulis oleh pujangga-pujangga kerajaan dengan dalih
untuk mempersatukan masyarakat dibawah naungan raja atau dengan kata lain untuk
menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan. Pengaruh raja terhadap karya sastra
sangat berkaitan erat, misal dalam karya sastra muncul sebagai ajaran, petunjuk, dan
tingkah laku yang sesuai dengan ajaran atau petunjuk yang berasal dari raja.
Kayra sastra pada zaman pengaruh Islam sebagian besar berupa sastra suluk. Sastra suluk
adalah karya yang memuat ajaran yang berupa usaha seseorang dalam mencapai
kesempurnaan hidup atau lebih mengarah pada filsafat Islam “manunggaling kawulo gusti”
, seperti suluk sukarsa (berbentuk seloka). Masuknya pengaruh Islam dalam budaya dan
sastra jawa disertai juga oleh munculnya cerita-cerita jawa yang bersumber pada negara
yang mayoritas islam atau dari Arab.
Karya sastra jawa sebelum abad ke-19 diciptakan oleh pegawai istana atau pujangga
keraton yang diangkat oleh raja dan lebih cenderung sebagai sastra istana dari pada sebagai
sastra masyarakat dan didukung pula dengan belum adanya penerbitan sehingga dilakukan
dengan bentuk nadhak “menulis kembali”. Pada awal abad 19 karya-karya sastra tidak
hanya dari keraton tapi juga perseorangan dan teks sastra jawa cetak mulai muncul pada
masa ini, keadaan ini menunjukkan bahwa sastra jawa sudah mulai berorientasi sebagai
sastra rakyat sebagai bentuk pengaruh Eropa. Cerita dalam sastra jawa masih dominan
menampilkan latar yang bersifat tradisional, terutama latar waktu. Keterangan waktu yang
bercorak tradisional, terutama latar waktu, dan hal itu tampak pada deskripsi waktu yang
memakai keterangan seperti; “ing jaman biyen” (pada zaman dahulu), “ing sawijining dino”
(pada suatu hari), “kacarito ing jaman kuno” (tercerita pada zaman dahulu), dan lain
sebagainya.
Setalah masa itu, kesusastraan jawa modern mulai lahir pada abad ke-20 yang
mengahasilkan karya sastra terbaru, seperti novel, cerpen, yang sebelumnya tidak begitu
dikenal pada zaman sastra jawa klasik, dan pada saat itu pula balai pustaka mulai
menerbitkan karya sastra dari kalangan masyarakat, namun sebagian masyarakat
menganggap karya sastra jawa terbitan balai pustaka yang berupa prosa dan dikemas
sebagai bentuk bacaan perseorangan bukanlah susastra, anggapan itu di pengaruhi oleh
tradisi yang masih bertahan bahwa sastra jawa bersifat kolektif (bersama/gabungan) untuk
di dengarkan, dan bukan untuk perseorangan. Pada awal kebangkitan sastra jawa banyak
karya sastra atau cerita yang diterbitkan dengan huruf jawa, dan penerbitan menggunakan
huruf latin, mulai ada pada tahun 1917.
4. Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram
➢ Periode kerajaan demak
Dari perjalanan sejarah pengalaman dijawa tampak bahwa islam sulit diterima dan
menembus lingkungan budaya jawa istana dan dengan keadaan yang demikian tampaknya
para penyebar agama islam lebih menekankan agamanya pada daerah pedesaan, dan
masyarakat menerima dengan sangat baik.
Berdiri dan berkembanganya kesulatanan demak menyebabkan para priyayi jawa
diceritakan dalam sebuah karya sastra, dan hal ini menunjukkan bahwa sastra pada masa itu
memang sudah sangat tanggap dan para pujangganya pun sangat kreatif, dengan measukkan
cerita-cerita dalam sastra, semisal dalam sastra babad tanah jawa diceritakan Jaka Tingkir
pergi ke demak lalu berguru kepada sunan kudus dan ahirnya menjadi menantu sultan. Jaka
tingkir yang menjadi menantu sultan justru kemudian bisa menjadi sultan dan kemudian
memindahkan kerajaan ke pajang yakni daerah pedalaman lagi. Hal ini dilakukan guna
menghindari perlawanan masyarakat yang dipimpin arya jipang. Perselisihan politik yang
dilatar belakangi perbedaan budaya antara masyarakat pesantren dan kejawen ini berlanjut
hingga beralihnya ksultanan pajang ke keseulatanan mataram.
➢ Periode kerajaan pajang
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang hanya meliputi sebagian Jawa
Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Trenggana. Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati
sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda
ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa
Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga
berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias
Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.
Perkembangan sastra pada masa pajang merupakan perkembangan yang tak bisa
dipisahkan dari kerajaan demak. Periode ini diprakarsai oleh Sultan Hadiwijaya. Pada
periode ini ditandai dengan pergeseran kebudayaan pesisir menjadi kebuudayaan
pedalaman. Selama pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang. Kesusasteraan dan
kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak lambat laun dikenal di
pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua abad ke-16 pangeran Karang Gayam menulis
sajak moralistic Jawa nitisruti atau disebut dengan ‘serat nitisruti’ Dalam cerita tutur
sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga PaJang”.
➢ Periode kerajaan mataram
Kerajaan mataram pada sub bab ini yang di maksud adalah mataram islam, karena
ada dua kerajaan mataram yaitu kerajaan mataram islam dan kuno, yang mana kerajaan
mataram kuno itu berdiri sekitar abad ke-8 an, sedangkan mataram islam berdiri pada
abad ke-16 an.