Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ISLAM DAN KESUSASTRAAN JAWA

Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah SKI

Dosen Pengampu Hasan Abdul Majid’, S.H.I.,ME.

Disusun Oleh

1. KHABIBURROHMAN
2. LATIVA DWI NUR KHASANAH
3. SITI FAWAKIH SAL SABILA

PROGRAM STUDI SKI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM GROBOGAN 2021 / 2022


A. PENDAHULUAN
Karya sastra menjadi bagian yang amat penting dalam sejarah peradaban umat
manusia. Ia dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengekspresikan gejolak jiwa. Karya
sastra juga dapat mengungkap fakta yang terjadi pada jamannya. Melalui karya sastra,
para raja berusaha mempertahankan pengaruhnya. Sebaliknya, lewat sastra pula dapat
dilontarkan kritik pada para penguasa. Rangkaian kalimat pujangga dapat memberikan
gambaran perkembangan politik, sosial, ekonomi, maupun intelektual pada jamannya.
Dari bait-bait yang disusun oleh pujangga, ikut juga berperan dalam menyebarkan
keyakinan dan agama yang dianutnya. Akan tetapi, dengan karya sastra pula dapat
dijadikan sebagai media untuk ‘menghantam’ pemikiran yang tidak sepaham dengannya.
Dan akhirnya, syair-syair yang didendangkan, tembang-tembang yang dilantunkan, dapat
dijadikan sebagai hiburan masyarakat pada umumnya.
Tidak sedikit karya sastra Jawa, akan tetapi tidak banyak yang mengetahui
kekayaan bangsa tersebut, termasuk orang Jawa sendiri. Kesusastraan Jawa mengalami
puncaknya pada masa kerajaan Mataram, khususnya sekitar tahun 1688-1744. Terdapat
banyak dan beragam karya sastra yang muncul pada saat itu, tidak terkecuali yang
bermuatan ajaran Islam. Dari karya-karya yang berisi ajaran agama Islam, terlihat bahwa
ajaran tentang mistik lebih dominan dibanding dengan bidang lainnya. Kisah-kisah
tentang penyebaran ajaran manunggaling kawulo gusti atau ilmu kasunyatan hampir
dapat ditemukan dalam sebagian besar karya Islam dan Kesusastraan Jawa _137 tersebut,
seperti kisah Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh para Wali, Syekh Among Raga
yang dihukum buang (ditenggelamkan) di Laut Selatan, Ki Baghdad yang dijatuhi
hukuman dengan ditenggelamkan di Sungai, serta Syekh Mutamakin yang hendak
dijatuhi hukuman mati dengan dibakar, akan tetapi akhirnya mendapat ampunan dari raja.
Pada sisi lain, terdapat fenomena yang menarik dalam kebudayaan Islam di Jawa.
Kebudayan ini mempunyai karakteristik tersendiri, dalam arti islamisasi Jawa
mempunyai kekhasan tersendiri. Gelar-gelar Islam, misalnya, disandang oleh para
penguasa, simbol-simbol keislaman dilekatkan pada para pengiring mereka, dan atribut
Islam ditempelkan pada baju kebesaran mereka. Akan tetapi, islamisasi simbolik ini
tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan pandangan mereka.
Pelukisannya terhadap ‘kyai tradisional’ juga sebanding dengan pelukisannya terhadap
para penguasa tersebut, yaitu: bersifat intuitif, personal dan mistis, dan terlihat sangat
kuat bias tradisi pra Islam. Sehingga tidak mengherankan apabila muncul istilah Agama
Islam Jawa, atau Islam Kejawen untuk menyebutkan agama Islam yang berkembang di
Jawa, khususnya di lingkungan keraton.

B. PEMBAHASAN
1. Ruang Lingkup Sastra
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari kata
“sas” yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memebari
arahan, dll. kemudian akhiran “tra” menunjukkan pada alat dan sarana, sehingga
sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diawali degan kata ‘su’ (menjadi susastra), ‘su’ mempunyai arti
baik, indah dll, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang
tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata
lain tulisan yang indah dan sopan. Berbicara tentang karya sastra, jenis-jenis karya
sastra itua ada tiga yang meliputi :
1) karya sastra yang berbentuk prosa
Pada dasrnya prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat oleh kaidah dan
lebih dekat dengan bentuk pemaparan, dan pemaparan dikatakan mengandung
karya sastra apabila; a. pemaparanya tidak berbentuk wacana dan tidak berbentuk
bait dan baris, sehingga akan membentuk sebuah cerita. b, dalam peristiwa itu
perlu seorang tokoh, yang berperan menggerakkan deretan peristiwa. c, peristiwa
dan tokohnya bersifat fiktif.

2) karya sastra yang berbentuk puisi

Karya sastra puisi merupakan karya sastra yang paling dominan digemari banyak
orang, karna dengan bentuk kata-kata indah dan juga menghibur, puisi (modern)
lebih bersifat bebas, tanpa harus terikat dengan pola tertentu, Pada saat ini juga
sering terungkap dalam bait-bait lagu, sehingga sangat mudah untuk diserap.
Sedangkan Puisi tradisional itu ada pakemnya (misal perbait aturanya 4 baris), dan
puisi tradisional ini terdiri dari tiga bagian yaitu; kakawin, kidung dan tembang.

➢ kakawin
Kakawin berasal dari kata sansekerta kawi “penyair” serta mendapat afiks jawa
(kuno) ka-dan-an, yang seacra keseluruhan kata itu berarti karya seorang penyair
atau syair karya penyair. Kakawin merupakan genre puisi yang ditulis dalam bahasa
jawa kuno, dan aturan-aturan dalam kakawin itu seperti;

a) Jumlah suku kata tiap baris yag cenderung sama untuk baris-baris dalam
satu bait.
b) Bait-bait dalam satu pupuh memiliki jumlah baris yang sama.
Pola guru lagu, bunyi vokal panjang dan bunyi vokal pendek dalam suku kata yang
berlaku untuk tiap baris dan baik.
Contoh : Stuti nira tan tulus sinahuran paramarta siwa (pangawit)

Anaku huwus katon abimatan ta temun ta kabeh (pangenter)

Ana panganu grahang ku cadusakti winimba sara (Pangumbang)

Pasupati sastra kastu pangarannia nihan wulati (pamada).

➢ kidung

Puisi yang menganut pola persajakan Jawa asli (seperti terikat oleh guru
wilangan, guru lagu, guru gatra) dan cenderung mempergunakan bahasa Jawa Tengahan.

Contoh: Purwa kaning angripta rum, ning wana ukir kahadang labuh, kartika
panedenging sari, angayon tangguli ketur, angring-ring jangga mure. (kidung wargasari).

➢ Tembang
Sama dengan pengertian kidung, tapi memperguanakan bahasa jawa baru. Tembang
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

a) Tembang macapat,dan bagian dari tembang ini adalah;


o Dhandanggulo, untuk mengekspresikan perasaan senang, pelajaran yang baik,
ungakapan rasa kasih.
o Sinom, untuk menyampaikan amanat, ekspresi ceria dan ramah.
o Asmaradana, untuk ekspresi sedih (rindu).
o Durma, untuk ungkapan kemarahan, suasana peperangan, atau nasehat yang
keras.
o Pungkur, untuk ekspresi tentang kesungguhan, atau puncak dendam rindu asmara.
o Mijil, untuk ekspresi ungkapan rasa sedih dan perasaan kasih yang sendu.
o Kinanthi, untuk ekspresi yang mesra, rayuan, dan cumbu rayu.
o Maskumambang, untuk ekspresi derita, prihatin, dan iba.
o Pucung, untuk ekspresi santai, kejenakaan, dan nasehat yang ringan.
o Gambuh, untuk menyampaikan nasehat dalam lingkungan yang akrab, karna
watak gambuh sendiri adalah akrab.
o Megatruh, untuk ekspresi sendu, kemeranaan hati dan penyesalan.
b). Tembang tengahan, dan bagian ini adalah;
o Jurudemung, untuk ekspresi memuji.
o Wirangrong, untuk ekspresi sedih yang bukan di sebabkan oleh asmara.
o Balabak, untuk ekpresi jenaka (lelucon).
c). Tembang Gedhe, dan bagian tembang ini hanya satu yaitu Girisa dengan ekspresi
atau watak yang penuh harap.
3). karya sastra yang berbentuk cerita (drama).
Karya sastra (drama) ditentukan dengan adanya sebuah dialog antar tokoh, dan
biasanya mengisahkan sebuah cerita.

2. Perkembangan Sastra pada Masa Hindu Budha


Pada dasarnya masyarakat jawa menganut sistem budaya terbuka terhadap pengaruh
budaya luar atau asing. Pada masa awalnya munculnya sastra jawa dalam hal ini khusus
sastra jawa tertulis, pengaruh sastra Hindu dari india yang di ilhami oleh ajaran agama
Hindu tampak dalam karya sastra jawa kakawin dan kitab-kitab Parwa. Bahkan karya sastra
pada masa itu banyak menggunakan bahasa Sansekerta. Orang-ornag Hindu sengaja ingin
mengembangkan agamanya melalui kitab-kitab sastra yang banyak memuat ajaran agama
Hindu.

Karya sastra jawa pengaruh Hindu tidak terlepas dari kehidupan dan peran penguasa
pemerintah, dan sastra jawa selalu hadir dalam lingkungan istana dan atas dasar lisensi raja.
menurut perjalanan sejarah kesusatraan jawa mengalami perkembangan akibat peran
isatana, karna kekuasaan masalah politik dan ekonomi terdesak dengan adanya campur
tangan Belanda. Dengan demikian karena tugas politik dan ekonomi raja dapat dikatakan
‘tidak ada lagi’ maka kegiatan mereka dialihkan pada bidang kesusastraan. Kemudian
karya-karya sastra pada masa itu ditulis oleh pujangga-pujangga kerajaan dengan dalih
untuk mempersatukan masyarakat dibawah naungan raja atau dengan kata lain untuk
menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan. Pengaruh raja terhadap karya sastra
sangat berkaitan erat, misal dalam karya sastra muncul sebagai ajaran, petunjuk, dan
tingkah laku yang sesuai dengan ajaran atau petunjuk yang berasal dari raja.

3. Perkembangan Sastra Hasil Interelasi Islam dan Jawa


Maksud dari keterkaitan islam dengan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang bersifat
imperatif (memberi komando) moral, dan mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-
karya sastra jawa baru, sedangkan bentuk seperti puisi (tambang / sekar macapat) dipakai
untuk sarana memberikan berbagai petunjuk yang secara substansial merupakan nasehat
yang bersumber pada ajaran islam. Bentuk puisi jawa yang dipakai dalam membuat karya-
karya sastra para pujangga keraton surakarta adalah puisi jawa yang memiliki sisi keislaman
yaitu seperti; mijil, kinanthi, pucung, sinom, asmaradana, dhandanggulo, pangkur,
maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh.

Kayra sastra pada zaman pengaruh Islam sebagian besar berupa sastra suluk. Sastra suluk
adalah karya yang memuat ajaran yang berupa usaha seseorang dalam mencapai
kesempurnaan hidup atau lebih mengarah pada filsafat Islam “manunggaling kawulo gusti”
, seperti suluk sukarsa (berbentuk seloka). Masuknya pengaruh Islam dalam budaya dan
sastra jawa disertai juga oleh munculnya cerita-cerita jawa yang bersumber pada negara
yang mayoritas islam atau dari Arab.

Karya sastra jawa sebelum abad ke-19 diciptakan oleh pegawai istana atau pujangga
keraton yang diangkat oleh raja dan lebih cenderung sebagai sastra istana dari pada sebagai
sastra masyarakat dan didukung pula dengan belum adanya penerbitan sehingga dilakukan
dengan bentuk nadhak “menulis kembali”. Pada awal abad 19 karya-karya sastra tidak
hanya dari keraton tapi juga perseorangan dan teks sastra jawa cetak mulai muncul pada
masa ini, keadaan ini menunjukkan bahwa sastra jawa sudah mulai berorientasi sebagai
sastra rakyat sebagai bentuk pengaruh Eropa. Cerita dalam sastra jawa masih dominan
menampilkan latar yang bersifat tradisional, terutama latar waktu. Keterangan waktu yang
bercorak tradisional, terutama latar waktu, dan hal itu tampak pada deskripsi waktu yang
memakai keterangan seperti; “ing jaman biyen” (pada zaman dahulu), “ing sawijining dino”
(pada suatu hari), “kacarito ing jaman kuno” (tercerita pada zaman dahulu), dan lain
sebagainya.
Setalah masa itu, kesusastraan jawa modern mulai lahir pada abad ke-20 yang
mengahasilkan karya sastra terbaru, seperti novel, cerpen, yang sebelumnya tidak begitu
dikenal pada zaman sastra jawa klasik, dan pada saat itu pula balai pustaka mulai
menerbitkan karya sastra dari kalangan masyarakat, namun sebagian masyarakat
menganggap karya sastra jawa terbitan balai pustaka yang berupa prosa dan dikemas
sebagai bentuk bacaan perseorangan bukanlah susastra, anggapan itu di pengaruhi oleh
tradisi yang masih bertahan bahwa sastra jawa bersifat kolektif (bersama/gabungan) untuk
di dengarkan, dan bukan untuk perseorangan. Pada awal kebangkitan sastra jawa banyak
karya sastra atau cerita yang diterbitkan dengan huruf jawa, dan penerbitan menggunakan
huruf latin, mulai ada pada tahun 1917.
4. Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram
➢ Periode kerajaan demak
Dari perjalanan sejarah pengalaman dijawa tampak bahwa islam sulit diterima dan
menembus lingkungan budaya jawa istana dan dengan keadaan yang demikian tampaknya
para penyebar agama islam lebih menekankan agamanya pada daerah pedesaan, dan
masyarakat menerima dengan sangat baik.
Berdiri dan berkembanganya kesulatanan demak menyebabkan para priyayi jawa
diceritakan dalam sebuah karya sastra, dan hal ini menunjukkan bahwa sastra pada masa itu
memang sudah sangat tanggap dan para pujangganya pun sangat kreatif, dengan measukkan
cerita-cerita dalam sastra, semisal dalam sastra babad tanah jawa diceritakan Jaka Tingkir
pergi ke demak lalu berguru kepada sunan kudus dan ahirnya menjadi menantu sultan. Jaka
tingkir yang menjadi menantu sultan justru kemudian bisa menjadi sultan dan kemudian
memindahkan kerajaan ke pajang yakni daerah pedalaman lagi. Hal ini dilakukan guna
menghindari perlawanan masyarakat yang dipimpin arya jipang. Perselisihan politik yang
dilatar belakangi perbedaan budaya antara masyarakat pesantren dan kejawen ini berlanjut
hingga beralihnya ksultanan pajang ke keseulatanan mataram.
➢ Periode kerajaan pajang
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang hanya meliputi sebagian Jawa
Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Trenggana. Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati
sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda
ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa
Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga
berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias
Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Hadiwijaya.
Perkembangan sastra pada masa pajang merupakan perkembangan yang tak bisa
dipisahkan dari kerajaan demak. Periode ini diprakarsai oleh Sultan Hadiwijaya. Pada
periode ini ditandai dengan pergeseran kebudayaan pesisir menjadi kebuudayaan
pedalaman. Selama pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang. Kesusasteraan dan
kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak lambat laun dikenal di
pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua abad ke-16 pangeran Karang Gayam menulis
sajak moralistic Jawa nitisruti atau disebut dengan ‘serat nitisruti’ Dalam cerita tutur
sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga PaJang”.
➢ Periode kerajaan mataram
Kerajaan mataram pada sub bab ini yang di maksud adalah mataram islam, karena
ada dua kerajaan mataram yaitu kerajaan mataram islam dan kuno, yang mana kerajaan
mataram kuno itu berdiri sekitar abad ke-8 an, sedangkan mataram islam berdiri pada
abad ke-16 an.

Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik


menjadi Bupati di Mataram sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas
Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh
Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya
diangkat menjadi bupati di Mataram. Setelah menjadi bupati, Sutawijaya ternyata tidak
puas dan ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah
peperangan sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Hadiwijaya mangkat.
Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan
Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari Pajang.
Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya) menyerahkan takhtanya
kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke kotagede
pada tahun 1568 M. hal itu merupakan cikal bakal berdirilah Kerajaan Mataram islam.

Perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup


terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam
dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam. Sultan Agung sebagai raja
pada masa itu menuliskan kitab sastra gendhing yang serupa dengan kitab filsafat yang
memuat filsafat Jawa pada umumnya. Sastra gending, karya sultan agung merupakan
contoh nyata perkembangan tersebut, sultan agung tokoh raja jawa yang pertama-tama
menyempurnakan internalisasi antara kebudayaan jawa dengan ajaran islam.

Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut


Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan
ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang

Anda mungkin juga menyukai