Anda di halaman 1dari 13

Modul 1: Sejarah dan Bentuk Sastra Aceh 2

Kegiatan belajar 1
1. Tujuan Kegiatan Pembelajaran

Sastra sebagai pelajaran kehudupan akan memberikan informasi kepada masyarakat untuk


memahami konsep-konsep pejalanan hidup ini. Mulai dari perkembangan teknologi, identitas
suatu masyarakat, hingga dapat memahami masalah yang terjadi di saat ini. Selain itu, manfaat
belajar sejarah juga dapat membangun kewarganegaraan yang lebih baik. Seorang mahasiswa
yang pintar menyusun kata dan memilih diksi biasanya mereka tidak akan kesulitan ketika ingin
memulai menulis sebuah karya. Oleh karena itu, karya sastra akan membantu mahasiswa dalam
mengeksplorasi dirinya dan membantu dalam menyelesaikan skripsinya. Selalu ada cara untuk
mengembangkan diri bagi mereka punya tekad yang kuat untuk mengembangkan dirinya. Itu
karena perubahan tidak bisa terjadi hanya dengan ungkapan “ingin”. Akan tetapi, tekad yang kuat
dan keberanian untuk memulailah yang akan menciptakan perubahan di hidupmu.
2. Uraian Materi
Eksistensi sastra di Aceh dapat dilihat sekitar abad ke-13, Pada saat Aceh masih dalam
bentuk kerajaan.  Sejak Islam masuk ke Aceh pada abad pertama Hijriah, kesusastraan Aceh telah
memegang peranan penting dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara. Hampir semua
karya sastra Aceh ketika itu digunakan untuk kepentingan dakwah Islam. Maka tidak salah jika
dikatakan kebudayaan (kesenian dan sastra) Aceh identik dengan kebudayaan Islam. Pengaruh
ulama di Aceh dulu lebih dominan dalam masyarakat, bahkan para sastrawan Aceh dulu juga
terdiri dari ulama-ulama yang berpengaruh. Ada banyak karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat,
dan sastra tutur. Karya tulisan umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu, dan Arab.
Sedangkan sastra lisan umumnya menggunakan bahasa Aceh karena lebih komunikatif saat
berkomunikasi langsung dengan pendengarnya.
Pada awal musuk Islam karya sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan karya
sastra tutur. Karya sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak
ditulis tetapi dituturkan secara spontan. Penyebab lain mengapa sastra tulisan lebih sedikit adalah
karena orang Aceh lebih suka bertutur daripada menulis. Juga pada masa itu, walaupun semua
orang bisa membaca tulisan Arab atau Melayu Jawi, hanya kalangan yang berpendidikan saja
yang bisa menulis dalam huruf latin di Aceh. Ini salah satu penghambat sedikitnya karya
berbentuk tulisan di Aceh.
Di ujung pulau Sumatera yang dijuluki serambi Mekkah juga asal muasal pembaharuan
sastra Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan terhadap sastra Melayu
Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre (cabang ) sastra klasik (klasik literatur).
Ciri-ciri umum karya sastra klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim
(tidak memiliki nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut
ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d) jika berupa puisi unsur ritma
dan sajak lebih dominan.
Adapun mengenai Tradisi Tulisan Aceh adalah sebagai berikut:
Meskipun tidak mungkin menetapkan tanggal mulanya tradisi tulis Aceh, naskah-naskah
yang ada menunjukkan suatu tradisi yang khususnya kaya dengan syair. Tema-temanya berasal
dari sejarah, dari islam, dan dari cerita rakyat. Syair epik Aceh mencakup beberapa dari karya
sastra terbaik Indonesia.
Bukti tertua naskah Aceh
Pembuktian bahasa tulis Aceh pra Islam yang masih ada, meskipun keberadaan aksara
India dibagian-bagian lain dari Sumatera, dan pada bahasa Chamic dari Vietnam yang serumpun
menyiratkan bahwa bahasa Aceh mungkin telah mempunyai bentuk tertulis sebelum kedatangan
akasara Arab. Tanggal tertua yang membuktikan adanya tradisi naskah Aceh adalah tahu 1069 H
( 1658-1659 M) tulisan-tulisan pada naskah lain berasal dari paruh kedua abad ke 17 dan awal
abad ke 18. Semua naskah awal ini merupakan tulisan keagamaan, ditulis dengan huruf Arab
tradisional.
Bahasa Lisan dan Tulisan di Aceh
Kemampuan membaca dan menulis bahasa Aceh dalam huruf tradisional hanya di
dapatkan secara tak langsung. Tahap pertama dimulai waktu kecil,ketika anak-anak belajar
mengaji Qur’an. Tahap berikutnya dalam pembelajaran ilmu baca tulis secara tradisional dicapai
oleh sebagian kecil saja, melibatkan pembelajaran bahasa Jawoe ( Jawi), yakni bahasa Melayu
ditulis dengan huruf Arab. Ini bahasa yang lazim di pakai untuk prosa tertulis dalam masyarakat
Aceh tradisional. Buku pelajaran keagamaan, serta surat dokumen lain seperti paspor, undang-
undang, kontrak, dan stempel penguasa semua dibuat dalam bahasa jawi, kini ditulis dalam
turunan bahasa Melayu, bahasa Indonesia.
Melalui kemampuan bahasa jawi, orang Aceh menguasai keterampilan membacakan
bahasa Aceh dari naskah tertulis. Meskipun sistem penulisan Aceh tradisional sangat tidak
fonetis, Ia cocok jadi penutur asli bahasa Aceh yang terlatih dalam huruf Jawi serta dasar-dasar
bahasa arab. Kecenderungannya mengeja banyak kata dalam bahasa melayu se asal yang mudah
dikenali atau dalam bentuk asli bahasa Arab, meskipun pengucapan cara Acehnya cukup berbeda.
Rima dan irama syair Aceh juga mempermudah pembacaan. Dengan kekecualian yang
jarang terjadi, bahasa tulisan Aceh ada dalam benttuk syair, dengan matra puitissanjak. Ini
bersajak dalam dua cara, dengan keduanya bersajak di khir dan sajak-sisispan pada baris terpisah.
Pola persajakan akhir mungkin dipinjam dari bahasa Melayu melalui hubungan yang berabad-
abad dengan bahasa itu. Sajak sisipan mengikuti pola yang umum di Asia Tenggara, dan dirunut
ke asal-usul bahasa Aceh di tanah daratan. Pola dasar sajak sisipan adalah satu suku kata di akhir
sepenggal syair bersajak dengan suku kata di tengah bagian berikutnya dari syair yang sama
panjang penggalannya.
Dipertengahan abad ke-20, penggunaan huruf-huruf Romawi bagi bahasa Aceh telah
cukup tersebar luas. Meskipun ada usaha-usaha dari para sarjana terkemuka di Banda Aceh,
mereka tak berhasil memaksakan ejaan Romawi baku yng disarankan. Ada cukup banyak ragam
perseorangan pada kaidah-kaidah ejaan, dan perbedaan dialek cenderung mempengaruhi bentuk
tulisan dalam sistem-sistem ejaan Romawi.
Kebanyakan naskah tulis berbahasa Aceh digambarkan sebagai hikayat. Istilah ini juga
digunakan dalam bahasa Melayu untuk karya panjang bergaya epik. Penggunaan istilah itu dalam
bahasa Aceh dan bahasa Melayu mirip, yaitu hikayat untuk pertunjukan lisan yang panjang
dengan menggunakan melodi, umumnya tertulis. Bedanya adalah hikayat Melayu berbentuk
prosa. Hikayat Aceh dikelompokkan berdasarkan sifat pokok bahasanya.
 Teks penghinaan
Jenis ini membentuk kelompok yang relatif kecil dan langka. Mereka dikhususkan untuk
penghinaan dan cukup singkat.
 Syair Cerita Rakyat
Jenis ini membentuk kelompok lain naskah langkah, terdiri atas bahan yang biasanya
disampaikan secara lisan dalam bentuk dongeng-dongeng rakyat, namun yang diubah menjadi
syair oleh pengarang.
 Dongeng Kepahlawanan Rakyat
Menceritakan tentang tokoh suci atau berkekuatan gaib dari masa lalu di Aceh. Yang terkenal
adalah Hikayat Malem Diwa. Jenis hikayat ini tergantung bahan dongeng pra-Islam, banyak yang
yang sama dengan daerah lain di Sumatera.
 Epik Perang
Melukiskan pertempuran dan gerakan sejarah. Beberapa cerita kepahlawanan menguraikan
konflik masa pendudukan Belanda, yang lain menceritakan gerakan pertahanan melawan Jepang,
perang saudara, Prang Cumbok, yang terjadi setelah Perang Dunia II.
       Epik yang Lebih Tua
Berhubungan dengan masa lalu Aceh yang lebih awal, membentuk sekelompok kecil cerita
kepahlawanan namun sangat penting artinya. Dua contoh besar, yakni Hikayat Meuketa Alam,
melukiskan peristiwa semasa Iskandar Muda, dan Hikayat Pocut Muhammad
       Cerita Roman
Satu kelompok yang sangat besar dan beragam, mengandung unsur mitos yang kuat. Beberapa
diantaranya belatar Aceh serta mempunyai kandungan sejarah. Jenis ini boleh disebut roman
sejarah, termasuk Hikayat Nun Parisi, yang berlatar kerajaan bandar tuaPase. Namun,
kebanyakan cerit roman berlatar mitos atau waktu dan tempat, serta tidak memiliki kandungan
sejarah sama sekali. Banyak nama tempat tidak benar-benar ada. Lainnya berlatar seperti
Abyssinia, India, Yaman, Hindustan, Persia, Siam, Syria, Srilanka, kerajaan Jens dan Cina.
Banyak bahan ceritanya dipinjam dari kesustraan lain, termasuk sejumlah besar dari Persia,
melalui bahasa Melayu.
    Cerita Kepahlawanan Suci
Sebuah kelompok yang besar dan tidak disukai, khususnya melibatkan wali-wali Islam dan
tokoh-tokoh suci dari masa lalu Islam yang lebih tua (termasuk masa pra-Islam). Cerita-ceritanya
tidak ditempatkan di Aceh, misalnya, Hikayat Nabi Usah, cerita tentang Jusuf, dan Hikayat
Hasan Husen, berkenaan dengan cerita mati syahidnya cucu-cucu Nabi, Hasan dan Husen.
    Dongeng Pribadi
Jenis ini membentuk kelompok yang kecil namun menarik, dan kurang terwakili dalam koleksi
umum disebabkan oleh sifatnya yang agak pribadi. Cerita yang diterbitkan tentang perjalanan
keliling dunia penyair terkenal Abdullah Arif dalam rangkaian Seumangat Aceh-nya termasuk
dalam kelompok ini.
   Dongeng Peringatan dan Pengobaran Semangat
Mempunyai kandungan keagamaan yang kuat. Termasuk di dalamnya, misalnya,Teungku Tiro’s
Lessons on the Holy War (Ajaran Teungku Tiro tentang Perang Suci) serta Hikayat Prang Sabi,
yang mendorong pendengar untuk ambil bagian dalam perang Suci. Dongeng-dongeng
peringatan singkat telah memberi bahan bagi penerbitan syair selama 30 tahunan terakhir ini.
3. Rangkuman
Sastra Aceh telah memainkan peran penting seiring perkembangan peradaban dan sejarah
dari abad ke abad, dan baru dikenal (disalin) pada abad ke 13, namun sastra lisan telah
berkembang sejak Aceh dikenal pada abad ke 9. Jika ditilik perbedaan sejarah sangat jauh jangka
panjang antara lisan dan tulisan. Namun, belum tentu hal tersebut benar, mengingat tidak ada satu
sejarapun mencatat perjalanan sastra tersebut secara detail dan rapi, kita hanya dihadapkan pada
naskah Manuskrip Sejarah raja-raja Pasai yang menggambarkan keberadaan Kesultanan
Pasai.Bisa disebutkan bahwa Aceh merupakan daerah pusat kebudayaan Islam sebab dari negeri
ujung Sumatera pada awal menyebarkan Islam di seluruh Nusantara, termasu didalamnya
Malaysia dan Pathani, paling tidak masih ditemukan di dua negara tersebut karya-karya para
ulama-ualam Aceh. Maka tak pelak, jika bumi Seuramoe Mekkah ini banyak mewariskan
beragam corak sastra Islami. Dari bumi serambi Mekkah juga asal muasal pembaharuan sastra
Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan terhadap sastra Melayu
Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre (cabang ) sastra klasik (classic literature).
Ciri- ciri umum karya sastra klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim
(tidak memiliki nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut
ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d) jika berupa puisi unsur ritma
dan sajak lebih dominan.
Hikayat Aceh dikelompokkan berdasarkan sifat pokok bahasanya.
 Teks penghinaan
 Syair Cerita Rakyat
 Dongeng Kepahlawanan RakyatEpik Perang
 Epik yang Lebih Tua
 Cerita Roman
 Cerita Kepahlawanan Suci
 Dongeng Pribadi
 Dongeng Peringatan dan Pengobaran Semangat
4. Tes Formatif 1
1. Jelaskan keterkaitan Agama Islam dengan kesusastraan Aceh?
2. Mengapa rakyat Aceh suka mendalami seni sastra?

Kegiatan belajar 2
1. Tujuan Kegiatan Pembelajaran
karya sastra akan membantu mahasiswa dalam mengeksplorasi dirinya dan membantu dalam
menyelesaikan skripsinya. Selalu ada cara untuk mengembangkan diri bagi mereka punya tekad
yang kuat untuk mengembangkan dirinya. Itu karena perubahan tidak bisa terjadi hanya dengan
ungkapan “ingin”. Akan tetapi, tekad yang kuat dan keberanian untuk memulailah yang akan
menciptakan perubahan di hidupmu.  (1) memberikan motivasi kepada mahasiswa; (2) memberi
akses pada latar belakang budaya; (3) memberi akses pada pemerolehan bahasa; (4) memperluas
perhatian mahasiswa terhadap bahasa; (5) mengembangkan kemampuan interpretatif mahasiswa.

2. Uraian Materi

Menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul Kesusastraan Aceh, dikenal beberapa
jenis sastra klasik yaitu: Narit Maja (peribahasa), Neurajah (mantra), Hiem (teka-teki),
dan Panton (pantun). Semua genre sastra tersebut merupakan jenis sastra tertua dan purba dalam
sejarah perkembangan sastra Aceh.
1. Narit Maja (Peribahasa)
Tradisi masyarakat Aceh Narit Maja berfungsi sebagai pengendalian pranata sosial
(control sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral.
Narit Maja  juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam narit
maja berikut: Hana patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila.Terjemahan
bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak tentu gila. Demikianlah
peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Untuk lebih jelas mengenai nilai-nilai yang
terkandung dalam narit maja, ada beberapa contoh berikut:
 Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam bidang berdagang, seperti berikut:
Tulak tong tinggai tem. Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Peribahasa ini mengandung
pengertian bahwa dalam usaha dagang–jual beli–setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini
tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya mencukupi modal saja.
Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam bidang kriminalitas, seperti berikut:
gop pajoh boh panah/ tanyo yang meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang makan
nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang mendapat efek dari
kriminalitas tersebut.
2. Neurajah (Mantra)
Neurajah merupakan jenis sastra tertua setelah Narit Maja. Jika ada orang yang bertanya
siapakah pemilik puisi jenis mantra ini? Maka jawabannya adalah pawanglah yang menjadi
penyair genre mantra, karena pada mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra untuk
menjinakkan harimau, gajah, tawon, dan lain-lain.
3. Hiem (Teka – Teki)
Masyarakat Aceh dalam keseharian sering kumpul bersama sanak keluarga dan kerabat
untuk berteka – teki sejenak. Teka – teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga
menjadi arena asah otak, karena dalam teka – teki juga mengandung unsur pendidikan. Walaupun
unsur humor lebih domoan.
4.Panton (Pantun)
Bagian terakhir dari sastra klassik Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri atas
sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke empat dan lima namanya
isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab. Sama halnya
dengan narit maja, neurajah, dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam konteks ke-
Indonesia-an sastra. Ini ada salah satu contoh pantun dalam corak sastra ke-Aceh-an. Pantun
perjuangan untuk meraih dan menaklukkan hati wanita idaman.
Contoh pantun:
limong limong kapai jitamong
dua go limong kapai jibungka/
nyo hantrok lon cot ngon reunong
nyan bungong lon pupo geulawa
Arti bebas pantun tersebut adalah lima lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat, kalau tak
bisa saya ambil pakai galah, ini bunga akan saya lempar supaya jatuh kepelukan saya.  Dari segi
umur pemakai terdapat bermacam jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan
pantun dewasa.  Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian dikenal pantun nasehat, pantun
jenaka, dan pantun kawala muda.
5.Cae’ atau syair adalah jenis prosa liris.
Cae’  atau syair adalah salah satu contoh dari prosa lama.
Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan prosa liris (hikayat),
legenda, fabel, haba jameun (cerita rakyat/kabar zaman).
1. Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa
hikayat itu jenis puisi liris,karena tipografinya seperti syair dan bersajak.
Jika dilihat dari unsur intrinsiknya hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat
lebih dominan ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya
hikayat bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat adalah anonim (tidak
memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama lainnya. Ada juga beberapa hikayat
yang memiliki nama pengarang seperti hikayat Perang Sabil karya Teungku Syiek Pantee Kulu.
Di Aceh sarat akan hikayat warisan indatu misalnya : hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat
Malem Diwa.
2. Legenda adalah jenis cerita turun temurun bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal
nama daerah, asal mula sebuah pulau dan sebagainya).
Contoh:  Legenda Ahmad Rhangmanyang yang menjadi Pulau Batu di Aceh Besar atau legenda
Raja Bakoi (di Aceh Utara), puteri Pukes, Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di dataran Tinggi
Gayo, Takengon), dan legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan).
3. Fabel adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang.
Jikapun melibatkan tokoh manusia, namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih dominan.
Binatang menjadi aktor utama walaupun tanpa disutradarai oleh manusia cerita tetap berjalan
sukses demikianlah sebuah fabel dikisahkan. Contoh fabel yang terkenal adalah Sang Kancil dan
Harimau, Lutung Kasarung, dan Kera Sakti.
4. Haba Jameun (cerita rakyat) adalah kabar zaman yang diriwatkan dari mulut ke mulut. Secara
turun temurun. Jika ada cerita rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik
penghimpun. Melainkan milik semua masyarakat di mana cerita rakyat tersebut berkembang.
Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau editor buku
tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman Dari Aceh karya LK. Ara. Cerita rakyat yang
terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh. Tetapi LK.Ara sangat berjasa
dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam Bahasa Indonesia.
Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti berikut ini: bak jameun dile, na
sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep… na saboh kisah, yang
artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama kelamaan rusak
rumah tinggal panggang… ada sebuah kisah. Contoh haba jameun : Abu Nawas dan Aneuk
Yatim.
3. Rangkuman
Jenis Sastra Klasik di Aceh
1. Narit Maja (Peribahasa)
2. Neurajah merupakan jenis sastra tertua setelah Narit Maja.
3. Hiem (Teka – Teki)dalam teka – teki juga mengandung unsur pendidikan.
4. Pantun Puisi empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut
sampiran. Baris ke empat dan lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki
ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab.
5. Cae’ atau syair adalah jenis prosa liris: Hikayat, Legenda, fabel dan haba Jameun.
4. Tes Formatif 2
1. Jelaskan fungsi dari Neurajah!
2. Jelaskan Apa yang dimaksud dengan Legenda?
 Kunci Jawaban

1. Tes Formatif 1

1. Dari paparan tersebut titik temu agama dan sastra tidak hanya bermuara pada klaim
pencerahan. Agama dan sastra juga sejatinya sama-sama bermuara pada jiwa. Sastra dengan
chatarsis-nya adalah cara bagi manusia untuk membebaskan jiwa dari kegelisahan-kegelisahan
atas kesemrawutan tatanan sosial dan kaburnya kemanusiaan di dunia. Manusia mencari kembali
kemanusiaan-nya yang hilang dengan sastra, memuaskan diri dengan bersajak atau berprosa,
mencari ketenangan darinya. Sama halnya dengan agama, agama menuntun manusia untuk
membersihkan dirinya, menyucikan dirinya dari segala keruwetan jiwa. Meskipun agama
memberikan berbagai aturan formal bagi pemeluknya, namun agama juga sekaligus memberikan
sentuhan jiwa. Peran sastra sebagai penggugah jiwa yang tidak jauh berbeda dengan peran agama
sebagai penyentuh jiwa membuat Jean-Paul Sartre, seorang filsuf asal Perancis beranggapan
bahwa pada masyarakat dengan peradaban modern, posisi sastra akan menggantikan agama,
dengan pertimbangan bahwa agama dianggap sebagai sesuatu yang kaku, tidak bergerak, tidak
lentur, dan sulit mengaktualisasikan diri dengan zaman.

Anggapan ini rupanya diamini oleh Feuerbach, teolog Jerman yang dengan keras
memberi kritik terhadap kaum beragama: Hanya orang-orang miskin yang setia pada agama, agar
mereka bisa bermimpi dan melupakan kemiskinannya. Akhirnya lupa mengkritisi penguasa
negeri sendiri.

Sastra tidak akan mampu menggantikan agama, meskipun peradaban sudah sedemikian
modern, agama justru menjadi pelengkap bagi kehidupan manusia. Benar bahwa manusia
sekarang lebih cenderung membutuhkan segala yang instan, sastra dianggap cara yang lebih
instan untuk menggugah jiwa ketimbang dengan agama. Agama dan sastra dianggap dua hal yang
sangat bertentangan. Tetapi, realitas yang terjadi justru tidak demikian, sastra dan agama
sebenarnya senantiasa berjalan dengan baik.

Alquran sebagai kitab suci umat Islam diciptakan dengan tingkat kebahasaan dan sastra
yang sangat tinggi, pengisahan tentang sejarah penciptaan manusia, maupun sejarah Islam dibalut
dengan prosa yang begitu apik. Doa-doa, kata-kata bijak serta sejarah yang dibalut dalam puisi
maupun prosa juga banyak ditemui di dalam kitab lain. Bukti bahwa agama adalah keindahan,
yang dengan keindahan itu makna diciptakan untuk menggugah iman dan jiwa pemeluknya.
Menjadi menarik jika kita menilik hubungan sastra dan agama yang ternyata begitu intens terjalin
bahkan sejak penciptaan kitab suci dilakukan. Selain itu, posisi agama sebagai yang kaku juga
tidak selamanya benar, agama sebagai pedoman kehidupan manusia pada tataran tertentu akan
selalu mengikuti ke arah mana zaman berubah.

Kalangan muslim meyakini bahwa Alquran adalah aturan formal yang fleksibel dan
dinamis, ia selalu bisa ditafsirkan dengan berbagai macam makna sesuai dengan kondisi zaman
yang sedang terjadi. Agama adalah aturan, namun agama tidak perlu ditakuti sebagai sesuatu
yang memenjarakan pemeluknya dengan aturan tersebut, sebab aturan dalam agama senantiasa
mengikuti kebutuhan pemeluknya sesuai dengan kondisi zaman yang sedang terjadi.
Pedoman tentang kehidupan, kebijaksanaan, keadilan, serta kepemimpinan justru lahir dari
agama. Pesan-pesan yang disampaikan agama untuk manusia sejatinya adalah kritik kepada
mereka yang lalai dalam menjalankan amanat kehidupan. Amanat kehidupan manusia tidak
hanya ditujukan untuk Tuhan semata, ada ibadah sosial yang harus dipratikkan oleh pemeluk
agama, tentang pemimpin, bagi diri sendiri maupun untuk orang lain.
Dari segi semangat humanisme, agama hadir dalam kehidupan manusia untuk merevolusi
kondisi sosial yang timpang dari sisi keadilan, agama hadir untuk melepaskan manusia dari
segala bentuk penindasan. Melalui Rasulullah, kondisi sosial yang awalnya dalam keadaan carut-
marut pada akhirnya mengalami pencerahan. Sastra pun demikian, ia hadir untuk mencerahkan
manusia, sebab pengarang karya sastra dianggap memiliki kepekaan batiniah yang lebih tinggi
dibanding manusia lainnya, karena itu tidak jarang kritik atas kesemrawutan tatanan
diejawantahkan dalam sebentuk karya sastra yang sering kita sebut sebagai karya kritik sosial.
Menjadi jelas bagaimana posisi sastra dan agama, keduanya sama-sama menggugah dan
menyentuh jiwa, sama-sama mengangkat isu kemanusiaan, sama-sama kritis terhadap
kesemrawutan tatanan sosial, sama-sama memberikan makna bagi kehidupan. Maka tidak aneh
kiranya jika kemudian lahir para sastrawan yang memadukan antara sastra dan agama, Muslim
memiliki Gus Mus yang getol mengkritik pemerintahan dengan sastra relijiusnya, Kristiani
memiliki Joko Pinurbo yang rajin menggelitik rasa humanisme kita dengan sajak-sajak dan
prosanya. Akhirnya, tak ada lagi alasan untuk mempertentangkan entitas dan esensi sastra dan
agama, sebab keduanya sama-sama bermuara pada satu titik; pendidik diri manusia serta
penggugah jiwa dalam bingkai estetika.
Dari paparan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:
1. Hubungan pertama yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan
bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang
terhadap Tuhan.
2. Hubungan yang kedua adalah penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang
sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya
sastra.
3. Dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama
sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari
pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra.
4. Pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya
sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra
itu tidak menentang agama sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan
mereka tanggapi secara negatif.
5. Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak,
karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi
sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran
karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama.

(Jawab) 2.  Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup
manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada umumnya, yang
semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas. Artinya, baik cara pengungkapan
maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai persoalan hidup, atau biasa
disebut gagasan, adalah khas sastra, khas dalam pengertian lain daripada yang lain. Artinya,
pengungkapan dalam bahasa sastra berbeda dengan cara-cara pengungkapan selain sastra.
Dalam bahasa satra terkandung unsur dan tujuan keindahan.
Kunci Jawaban
2. Tes formatif 2
1. Neurajah yang digunakan dalam aktivitas pengobatan atau lebih dikenal dengan
penawar. Kepercayaan berobat kepada tabib atau pawang belum terlalu luntur di Aceh
sehingga kehadiran doa-doa yang dianggap memiliki kekuatan gaib masih tetap beredar,
kendati sebarannya tidak seluas masa lalu. Neurajah yang dikaji di sini merupakan sastra lisan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh yang dianggap memiliki kekuatan
gaib untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Dengan demikian, berusaha
menjawab fenomena mistik dan logik yang terkandung dalam neurajah penawar.
2. cerita tradisional yang menceritakan tentang orang atau tempat tertentu. Dulunya istilah
legenda kerap diartikan sebagai dongeng atau cerita tentang orang suci, makhluk supranatural,
elemen mitologi, atau penjelasan mengenai fenomena alam tetapi mereka terkait dengan
lokalitas atau orang tertentu dan diceritakan sebagai masalah sejarah.

DAFTAR PUSTAKA
Didipu, Herman. 2011. Sastra Bandingan. Gorontalo: Ideas Publishing.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo


Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Robson, 5.0. (1978) . Pengkajian SastrafiSastra Tradisional. Indonesia. Bahasa dan Sastra no. 6
(IV). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sitanggang , S. R. H. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan Dalam Sastra Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.

Pendekatan dalam Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia-IKIP

Zaidan, Abdul Rozak. Dkk. 2002. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai