Anda di halaman 1dari 16

INTERTEKSTUALITAS TOKOH RAHWANA SINTA DAN BUDAYA

DALAM NOVEL RAHVAYANA KARYA SUTJIWO TEJO DENGAN


RAMAYANA KARYA WALMIKI

Oleh

Shofia Nur’aini

Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya
Jl.Veteran Malang, Pos-El: Shofianuraini33@gmail.com

Abstrak

Banyak sastrawan yang memiliki kedekatan latar belakang sosial


budaya yang hampir mirip. Kemiripan tersebut melahirkan sebuah
anggapan bahwa seorang pengarang karya sastra masih sangat
memperhatikan karya sastra sebelumnya. Jadi tidak mengherankan
jika ada beberapa karya sastra yang hampir memiliki maksud cerita
yang sama. Maka dari itulah memunculkan sebuah kajian sastra
bandingan. Tujuan kajian sastra bandingan ini adalah (1) Struktur
yang membangun novel rahvayana karya Sujiwo dan Ramayana
karya Walmiki, (2) intertekstual dalam penokohan Rahwana dan
Sinta dalam novel rahvayana karya Sujiwo dan Ramayana karya
Walmiki (3) Budaya yang terdapat dalam kedua cerita Ramayana.
Hasil analisis menyebutkan bahwa tokoh Rahwana dan Sinta
mengalami perbedaan watak dari cerita Rahwana versi Walmiki.
Serta dalam Ramayana Walkimi sangat kental akan budaya Hindu,
karena latar belakang penulis yang berasal dari India, sedangkan
dalam Rahvayana karya Sujiwo Tejo, berdasarkan latar penulis yang
berasal dari Jawa, terdapat budaya Jawa yang dapat ditemukan
dalam cerita novel Rahvayana serta budaya India atau masyarakat
Hindu dalam kisah Ramayana.
Kata Kunci: Intertekstualitas, struktur yang membangun, budaya

Pendahuluan
Karya sastra yang banyak digemari di kalangan muda saat ini adalah novel.
Terkadang cerita dalam novel berangkat dari kisah-kisah nyata atau kisah zaman

1
dahulu yang dikembangkan dan dikemas lebih modern supaya banyak digemari
remaja dewasa ini. Sastra bandingan merupakan sebuah studi teks across cultural
yang berisi sebuah upaya interdisipliner yang memerhatikan hubungan sastra menurut
aspek waktu dan tempat. Berdasarkan aspek waktu, sastra bandingan dapat
membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat
akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah geografis sastra. Selain itu sastra
juga berhubungan dengan budaya dan berkaitan dengan latar belakang penulisnya.
Karena seorang pengarang yang memiliki wawasan luas dan kuat terkait budaya akan
mengikutsertakan sebuah kebudayaan dalam karangan karya sastranya. Salah satunya
adalah Sujiwo Tejo merupakan seorang penulis sekaligus budayawan, pemusik dan
lain-lain. Dalam karya sastranya beliau tak terlepas dari yang namanya budaya.
Seperti yang diketahuinya bahwa tanpa bumbu-bumbu budaya, sebuah karya sastra
menjadi kurang enak, karena sastra dan budaya adalah dua hal yang saling
melengkapi (Ratna, 2011:191).
Dalam perkembangan sebuah karya sastra saat ini, karya sastra banyak
bermunculan dalam bentuk novel-novel yang pengarangnya kadang memiliki
kedekatan latar belakang sosial budaya yang hampir mirip. Kemiripan tersebut
melahirkan sebuah anggapan bahwa seorang pengarang karya sastra masih sangat
memperhatikan karya sastra sebelumnya. Jadi tidak mengherankan jika ada beberapa
karya sastra yang hampir memiliki maksud cerita yang sama. Sesuai dengan pendapat
Julia Kristeva (dalam Jabrohim, 2003:126) yang mengungkapkan setiap teks adalah
mosaik kutipan serta merupakan sebuah transformasi dari teks-teks yang lain (yang
sudah ada sebelumnya). Dalam setiap teks yang ditransformasi itu selalu mengambil
sesuatu yang dianggap baik dan bagus kemudian diproduksi kembali dalam karya
sastra baru.

Pada novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo terdapat suatu perubahan karakter
yang dapat dilihat dari tokoh Rahwana dan Sinta. Namun yang paling menonjol dan
terlihat perubahannya adalah tokoh Rahwana. Perbedaan sudut pandang masing-
masing pengarang juga dapat ditemukan dalam kedua cerita Rahvayana versi Sujiwo

2
Tejo dan Ramayana versi Walmiki. Dimana tokoh Rahwana yang dikenal dengan
keangkuhan dan kejahatannya ingin merebut sinta dari Rama, justru Sujiwo Tejo
mampu bersudut pandang lain mengenai tokoh Rahwana yang menjadi tokoh
protagonis. Dari segi inilah yang membuat para pembacanya penasaran. Maka dari
itu, novel ini sangat menarik untuk dikaji dan dibandingkan dengan karya aslinya
yang sudah ada sebelum karya dari Sujiwo Tejo itu muncul.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana


struktur yang membangun dalam novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo, (2) bagaimana
bentuk intertekstual penokohan Rahwana dalam novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo.
Untuk membaca dan mendiskusikan karya fiksi serius (Stanton, 2007: 20-51)
mengelompokkan unsur-unsur pembangun struktur fiksi menjadi tiga yaitu fakta-
fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra. Nurgiyantoro (2010:50) menjelaskan
bahwa interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya
sastra sebelumnya dan muncul pada karya sesudahnya.

Pembahasan
Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan asal Indonesia yang lahir di Jember
pada tanggal 31 Agustus 1962. Beliau dikenal sebagai seorang yang multitalent.
Sebagai seorang budayawan terkenal yang sangat kekinian serta beliau juga seorang
penulis, pelukis, pemusik dan dalang sehingga beliau pantas disebut sebagai tokoh
serba bisa. Berbagai macam karyanya serta pentas pagelaran yang banyak membahas
mengenai akar budaya Indonesia yang diolah secara kreatif dan inovatif sehingga
tidak terlihat ketinggalan zaman. Setiap menampilkan budaya-budaya yang ada di
Indonesia, beliau memadukannya dengan gaya tren zaman sekarang (modern).
Sehingga karya-karya beliau tidak hanya digemari oleh kalangan orang tua saja, akan
tetapi banyak anak muda yang menyukainya dan tidak jarang pula mereka terinspirasi
dari hasil karya-karya beliau yang sangat memukau tersebut. Dengan begitu
menjadikan generasi-generasi penerus bangsa lebih mencintai kebudayaan yang
dimilikinya dan juga menambah wawasan mereka mengenai hal ini.

3
Salah satu karya beliau yaitu novel Rahvayana. Novel Rahvayana merupakan
sebuah novel wayang kontemporer yang berasal dari cerita yang sangat terkenal yaitu
kisah Ramayana. Kisah Ramayana yang berasal dari India tersebut mengisahkan
Raden Rama Wijaya seorang putra mahkota dari kerajaan Ayodya yang berhasil
memenangkan sayembara untuk mendapatkan seorang putri Prabu Janaka yang
bernama Dewi Sinta. Prabu Janaka adalah raja dari kerajaan Mantili. Dalam cerita
tersebut juga terdapat Raja Alengka yaitu Prabu Rahwana yang sedang jatuh cinta
namun bukan pada Dewi Sinta akan tetapi dengan Dewi Widowati. Dari penglihatan
Rahwana, Sinta dianggapnya sebagai titisan Dewi Widowati yang menjadi wanita
dambaannya. Pada novel Rahvanaya karya Sujiwo Tejo yang berjudul Rahvayana:
Aku Lala Padamu menceritakan perjalanan Rahwana dalam bentuk surat-surat yang
ditulis sangat mesra untuk Sinta. Dengan menggunakan sudut pandang “Aku”,
Sujiwo Tejo dengan sengaja membiaskan sang tokoh utama, sehingga menimbulkan
banyak pertanyaan apakah itu Rahwana yang sebenarnya ataukah orang lain yang
diumpamakan menjadi seorang Rahwana. Dalam surat tersebut terdapat rasa yang
begitu kuat dan teramat dalam, yaitu perasaan rindu Rahwana yang tidak bisa
diungkapkan oleh kata-kata, dan jadilah nada lala, sehingga timbul kata “Aku Lala
Padamu”. Sebuah kisah romantis yang tidak jauh dari cerita Ramayana karya
Walmiki yang berasal dari India, Rahvayana telah dibalut lembut dengan latar
belakang modernisasi yang menarik, nyentrik, dilengkapi dengan guyonan namun
tetap bermakna.

Dalam cerita ini, Sujiwo Tejo membebaskan tokoh Rahwana dari karakter
antagonis seperti dalam cerita Ramayana yang sesungguhnya. Rahwana tidak
digambarkan sebagai raja raksasa yang kejam. Akan tetapi, disini Rahwana
digambarkan sebagai seseorang yang memiliki cinta yang tulus dan tidak ada unsur
pemaksaan terhadap wanita yang ia dambakan, yaitu Dewi Sinta. Rahvayana
menyuguhkan pengalaman menikmati lakon dan cerita pewayangan dengan gaya
yang berbeda dari sebelumnya. Terdapat cerita-cerita tak terduga di dalamnya yang
memuat antara kenyataan yang berpadu apik dengan fiksi. Banyak fakta-fakta

4
mengejutkan mengenai kehidupan masyarakat Jawa pada zaman dahulu dan pada era
modern saat ini yang secara tidak langsung terkandung dalam cerita tersebut. Dari
mulai penjelasan nilai-nilai budaya yang terdapat di tanah Jawa yang tidak bisa
dipisahkan dari masyarakatnya.
Sedangkan Walmiki atau dalam bahasa inggris disebut dengan Valmiki adalah
seorang penulis kisah Ramayana yang bisa dikatakan termansyur dan sekaligus beliau
merupakan tokoh dalam mitologi Hindu. Ramayana menceritakan tentang perjalanan
tokoh Rama. Ramayana ini merupakan karya sastra klasik yang berasal dari India
kuna yang masih eksis sampai saat ini di kalangan masyarakat di berbagai dunia.
Seperti kata Padmopuspito (1998:37) yang menyatakan bahwa “selama sungai masih
mengalir dan gunung masih berdiri tegak selama itu pula kisah Ramayana terus
berkembang”. Cerita Ramayana merupakan cerita kepahlawanan yang bisa disebut
dengan epos. Wiracarita Ramyana ini berasal dari kebudayaan Hindu. Ramayana
yang asli ditulis oleh Walmiki pada awal abad masehi dan Walmiki membagi cerita
Ramayana menjadi 7 kanda atau bagian dalam ceritnya. Ramayana itu terdiri dari
kata Rama dan Ayana yang memiliki makna sebuah pengembaraan Rama.

Struktur yang Membangun Novel Rahvayana dan Ramayana


Beberapa struktur yang membangun kedua cerita di atas adalah mengenai penokohan,
tema, alur, latar, dan sudut pandang pengarang.
Novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo mengangkat tema yang sama dengan
Ramayana karya Walmiki yaitu tentang romantisme cinta, kesetiaan, dan
kepahlawanan. Namun yang perlu digaris bawahi disini adalah berdasarkan sudut
pandang pengarang yang berbeda dapat dikatakan tokoh yang dianggap paling
romantis dan setia dalam cerita masing-masing sangatlah berbeda. Suwijo Tejo
berpandangan bahwa tokoh Rahwana adalah seorang yang memiliki cinta besar dan
tulus kepada sinta, sedangkan Walmiki berkisah bahwa Rama adalah tokoh yang
sangat mencintai Sinta karena rela bertarung demi menyelamatkan Sinta yang diculik.
Penokohan Sinta dalam Rahvayana dan Ramayana juga sangat berbeda. Sinta dalam
Rahvayana adalah sosok yang diagungkan Rahwana dan diperlakukan dengan sebaik-

5
baiknya, sedangkan Sinta dalam Ramayana adalah sosok yang yang rela
mengorbankan dirinya demi membuktikan kesuciaannya, ia mendapat perlakuan yang
tidak adil dari Rama yang merupakan Suaminya sendiri. Kemudian dalam novel
Rahvayana lebih menghadirkan modernisasi yang dapat dilihat dari latarnya yang
mengangkat latar lokal maupun luar negeri seperti Borobudur dan Bali. Berdasarkan
koran kompas pada tahun 2014, Borobudur yang merupakan tempat wisata budaya ini
banyak dikunjungi wisatawan hingga mencapai 10.000 orang per harinya. Borobudur
juga merupakan tempat yang berada di Magelang Jawa Tengah sebagai monument
Budda peninggalan dari Kerajaan Dinasti Kuno. Pemilihan lokasi wisata ini sangat
tepat mengingat cerita Ramayana versi India adalah membahas juga tentang kerajaan.
Borobudur dan Bali adalah tempat romantis serta tempat yang kental akan budaya.
Sujiwo Tejo mengambil latar ini sebagai tempat pertemuan pertama dengan Dewi
Sinta.
Berbeda dengan Ramayana yang menyuguhkan latar yang bisa dibilang
tradisional seperti kerajaan alengka, kerajaan mantili, hutan dandaka, dan taman
argasoka. Keempat tempat tersebut dipilih karena pada masa dulu (India Kuno)
tempat-tempat tersebut sebagai saksi cerita Ramayana. Seperti hutan, dahulu hutan
dijadikan sebagai tempat bertapa, tempat berburu, dan berlindung dari raksasa yang
jahat. Kemudian taman argasoka yang menjadi tempat aktivitas Sinta sehari-hari.
Sinta banyak menghabiskan waktu di sana karena diculik oleh Rahwana dan
ditempatkan di taman argasoka.
Sama-sama berkisah tentang Ramayana, hanya saja kedua penulis tersebut
memiliki sudut pandang yang berbeda dalam membawakan cerita Ramayana.
Terutama pada sudut padang tokoh Rahwana dan Sinta yang dalam cerita Rahvayana
karya Sujiwo Tejo sebagai kritik atas tokoh Rahwana dan Sinta dalam cerita
Ramayana karya Walmiki. Alur antara Rahvayana dan Ramayana memang berbeda.
Ramayana menggunakan alur maju yang berarturan dan berurutan sedangkan
Rahvayana alurnya maju mundur, terkadang pembaca dibawa berimajinasi lewat
kalimat-kalimat yang ternyata imajinatif. Kadang-kadang penulis membawa pembaca
pada masa sekarang, kadang-kadang pembaca diajak untuk kembali ke masa lalu.

6
Intertekstualitas Cerita Rahvayana Dengan Ramayana
Kajian intertekstualitas dalam cerita Rahvayana karya Sujiwo Tejo yang mana
cerita Ramayana karya Walmiki menjadi teks hipogramnya. Ketika karya baru
muncul dalam sebuah studi intertekstual bisa dikatakan sebagai teks transformasi
sedangkan teks yang ditransformasikan adalah sebagai hipogram (Riffaterre,
1978:23). Sebuah karya sastra yang menjadi suatu dasar kepenulisan bagi karya baru
yang lain itulah hipogram yang berperan sebagai dasar. Menurut Teeuw (1983:65)
wujud hipogram ini bisa berupa penerusan konvensi, penyimpangan, dan
pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi serta amanat teks sebelumnya.
Endraswara (2004, 132) menyatakan bahwa hipogram karya sastra itu ada 4 hal yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
(1) Ekspansi, merupakan sebuah perluasan atau pengembangan yang terjadi pada
suatu karya sastra. Tak hanya soal repetisi, akan tetapi juga termasuk perubahan
gramatikal dan perubahan jenis kata; (2) konversi, adalah terjadinya
pemutarbalikan hipogram. Terjadi sebuah modifikasi terhadap kalimat yang
dilakukan oleh penulis menjadi karya baru; (3) modifikasi, merupakan sebuah
manipulasi atau perubahan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya
mengganti nama tokoh, padahal tema dan alurnya sama; (4) Ekserp, adalah inti
sari sebuah unsur dalam hipogram yang disadap seorang penulis lainnya.

Dari hasil analisis intertekstualitas dengan Ramayana karya Walmiki sebagai


hipogramnya, terlihat bahwa cerita Rahvayana karya Sujiwo Tejo terdapat gambaran
untuk diinterteks dengan cerita Ramayana karya Walmiki. Intertekstualitas tersebut
dapat diamati dalam penokohan tokoh utama yaitu Rahwana serta tokoh Sinta. Dalam
hal ini, Sujiwo Tejo membawa pandangan yang berbeda terhadap tokoh Rahwana dan
Sinta. Seperti adanya suatu kritikan atau pembelaan kedua tokoh tersebut pada cerita
Ramayana karya Walmiki. Sujiwo Tejo bercerita berdasarkan sudut pandang
Rahwana yang penyabar dan memiliki cinta yang besar terhadap Sinta serta Ia
menghadirkan spirit zaman yang memandang dimana tidak ada yang selamanya
benar dan salah di dunia ini. Rahwana bukan lagi dipandang sebagai seorang raksasa
yang jahat, namun Rahwana adalah seseorang yang memiliki cinta yang besar, tulus,
setia dan penyabar dalam menanti, serta tidak pernah merusak Sinta sedikitpun. Dia
adalah sosok romantis yang pantang menyerah mengejar cintanya dengan rajin

7
menulis surat-surat untuk Sinta dan berharap Sinta membalas surat-surat yang telah ia
kirimkan selama ini. Rahwana juga selalu bersikap baik terhadap tokoh lain seperti ia
tidak pernah membedakan warna kulit dan sifat itu sangat disukai dan dikagumi oleh
sepasang remaja Romencuk dan Julincuk. Romencuk berkulit gelap seperti halnya
Rahwana.
Perjuangan Rahwana dan sifat baik tokoh Rahwana yang pantang menyerah,
sabar dan lain sebagainya dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Di suatu pantai Parangtritis di Yogyakarta, sepasang remaja yang berbeda


warna kulit sedang memadu kasih. Mereka adalah Romencuk dan Julincuk.
Tekad Rahwana ataupun Janaka untuk tidak membeda-bedakan warna kulit
sangat menginspirasi Romencuk dan Julincuk itu”. (Rahvayana, hal.68).
“Kini memang aku lebih asyik mengurus Sinta. Taka da waktu bagiku untuk
repot-repot menamai kebahagiaan kami”.
“Rahwana harus bertapa lima puluh ribu tahun lamanya dengan berdiri
hanya di atas satu kaki. Semuanya tak lain karena cinta”. (Rahvayana, hal
70)
Rahwana adalah sosok yang tabah dan tekun. Rahwana tidak memperdulikan
ketika dianggap menghancurkan Negeri Ayodya karena tujuan mulianya selalu untuk
mengejar cintanya hingga keinginannya menikah dengan Sinta. Rahwana juga sangat
setia dan sabar. Ia terus menerus menulis surat untuk Sinta walaupun tidak mendapat
balasan, atas kesabaran Rahwana, akhirnya Sinta membalas surat-suratnya namun
dengan marah-marah. Cerita ini dibuat lebih santai dan penuh kejutan. Berbeda
dengan sosok Rahwana dalam Ramayana karya Walmiki yang dianggap jahat dan
serakah. Dibuktikan dengan pernyataan sebagai berikut.

“Prabu Rahwana yang juga sedang kasmaran, namun bukan kepada Sinta
tetapi ia ingin memperistri Dewi Widowati. Menurut Rahwana, sinta
dianggap sebagai titisan Dewi Widowati yang selama ini sangat diimpikan.
Kemudian Rahwana menculik Sinta dan dibawa ke istananya untuk dijadikan
istri”. (Ramayana).
Selanjutnya adalah tokoh sinta yang digambarkan dalam Rahvayana lebih
modern dan berani. Terlihat dari penggunaan pakaian yang digunakan dan
penyebutannya adalah T-shirt dan bra, serta gaun merah untuk pergi ke kafe yang

8
pastinya sangat berbeda antara pakaian di istana kerajaan zaman dahulu dengan
pakaian tren model sekarang. Sinta juga dapat jalan-jalan ke manapun ia mau bahkan
sampai ke luar negeri. Dalam cerita ini, Sinta mendapat pembebasan ruang dan
waktu. Ia bisa hidup pada zaman Cleopatra (Hal. 76), dan hidup di zaman pasukan
Tartar menyerang Babilonia (hal. 83). Sebagai tokoh protagonis, Sinta digambarkan
tidak dari sisi baiknya saja namun sisi buruknya juga. Ada kalanya Sinta berpikiran
kotor atau bertindak bodoh. Sinta juga tokoh yang hobi membaca, ia sering membaca
surat-surat dari Rahwana bahkan ia memiliki perpustakaan di rumahnya serta ia bisa
bernyanyi. Tokoh sinta juga dituntut untuk bisa memasak makanan khas Jawa Timur
yaitu rawon. Menurut Sujiwo Tejo, tokoh Sinta ini dituntut untuk dapat memangku
adat Jawa Timur.

“Ya tanpa bra. Betul kan Sinta? Aku lihat jelas kok, sembulan puting susumu
pada T-shirt-mu… Heuheuheu”. (Rahvayana, hal 13)
“Sinta sewaktu kamu kenakan gaun malam serbamerah rancangan Valentino
Garavani, kita mampir ke kafe”. (Rahvayana, hal 64)
“Oh ya, bagaimana Berlin, Sinta? Jadi, kamu nonton opera “Tristan and
Isolde?”hmmmm….“Tristan and Isolde”…seorang kesatria dan seorang
putri”. (Rahvayana, hal 11).
“Kamu pasti tahu dari buku-buku di perpustakaanmu bahwa orang yang
sudah beragama secara benar, menjadikan Tuhan sebagai
kekasihnya”.(Rahvayana, hal 65)
“Kamu ekspresikan dirimu sendiri lewat nada do-re-mi-fa-sol di sana”.
(Rahvayana, hal 64)
“Kamu toh tak perlu mengungkapkan rasa sayangmu kepadaku melalui
masakan yang semuanya kamu bikin sendiri dengan rempah baru dan bahan
mentah baru. Kamu Cuma perlu memnagku adat istiadat Jawa Timur untuk
memasakkan rawon buat aku. (Rahvayana, hal 64)
Tokoh Sinta dalam cerita Ramayana karya Walmiki digambarkan sebagai
tokoh yang penolong dan setia. Ketika Rahwana menjebaknya dengan dengan
menjelma menjadi brahmana tua agar Sinta memberinya uang dan ia adalah wanita
yang sangat hormat dan setia kepada suaminya karena rela dibakar demi
membuktikan bahwa dirinya masih suci. Sinta dalam cerita Ramayana mengalami

9
diskriminasi gender, karena posisi Sinta sebagai perempuan selalu lebih rendah
daripada laki-laki.

Pernyataan ini dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.

“…Aku ingin membuktikan kesuciaanku di hadapan semua orang sehingga di


masa depan mereka tidak akan pernah meragukan ataupun berani mengutuk
kesetiaanmu dan karaktermu yang mulia”.
“Baiklah, Kakanda akan aku lakukan!”
Sinta memasuki kobaran api yang menyala-nyala, … (Sita Dewi dalam
Penjara Rawana, 2004:560)
Dari hasil analisis yang dilakukan secara intertekstualitas antara cerita
Rahvayana karya Sujiwo Tejo dan Ramayana karya Walmiki yang berfokus pada
tokoh Rahwana dan Sinta dapat disimpulkan bahwa bentuk interteksnya yang terjadi
adalah penolakan dan pengukuhan konvensi. Penolakan konvensi yang terjadi lebih
cenderung kearah bentuk ekspansinya dimana terjadi suatu perluasan atau
pengembangan serta modifikasi dan adanya pengukuhan konvensi yang bisa diamati
pada beberapa hal sebagai berikut.

Ekspansi, ditunjukkan bahwa yang menjadi hipogramnya adalah kisah


Ramayana karya Walmiki yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk cerita
novel yang berjudul Rahvayana karya Sujiwo Tejo. Dalam cerita Rahvayana terjadi
perluasan dan pengembangan yang dapat diketahui atau ditandai dengan adanya
perubahan alur serta latar dalam cerita tersebut. latar yang digunakan dalam
Ramayana adalah latar kerajaan, sedangkan Rahvayana lebih membawa ke latar
modern saat ini.

Modifikasi, merupakan suatu hal yang terjadi yang dilakukan oleh pengarang
yang bersifat menyimpang dari kisah Ramayana. Dalam cerita Rahvayana ditunjukan
adanya hal-hal yang tidak lagi sesuai dengan atau sama dengan cerita Ramayana
karya Walmiki. Telah ada perubahan dalam cerita Rahvayana yang berbeda dari
cerita Ramayana. Seperti tokoh Sinta yang lebih bebas dan modern daripada Sinta

10
dalam cerita Ramayana. Penulis Sujiwo Tejo menghadirkan teknologi seperti SMS,
BBM, Email, dan lain sebagainya yang berbau modern.

Penyimpangan yang terjadi dapat dilihat dari hal penokohan tokoh Rahwana
dan Sinta yang tidak dapat dijumpai ketika membaca Ramayana karya Walmiki.
Rahvayana memunculkan tokoh Rahwana yang sabar, setia, dan pantang menyarah
yang berbeda dengan penggambaran tokoh Rahwana dalam Ramayana yang
menganggap bahwa Rahwana adalah raksasa yang kejam, pemarah, dan serakah.
Dalam Ramayana Rahwana juga digambarkan sebagai laki-laki yang beristri banyak,
namun tidak dengan Rahwana dalam Rahvayana yang justru memiliki sifat yang setia
terhadap Sinta. Penyimpangan yang lainnya, ketika Walmiki menegaskan bahwa
Sinta adalah anak dari Prabu Janaka yang berasal dari Kerajaan Mantili sedangkan
Sujiwo Tejo menyebutkan bahwa Sinta adalah anak yang ditemukan oleh petani di
sawah yang kemudian baru diberikan oleh Prabu Janaka. Selain itu pada tokoh Sinta
juga terjadi penyimpangan lainnya yaitu tokoh Sinta yang digambarkan tidak melulu
baik, Rahvayana juga membahas sisi buruk sang tokoh Sinta.

Pengukuhan konvensi juga muncul yang dapat ditemukan dalam hal adanya
persamaan yang ditemukan antara cerita Ramayana dan Rahvayana. Hal yang sama
terdapat dalam temanya yang masih sama-sama membahas tentang kesetiaan dan
romantisme. Pengarang Rahvayana mempertahankan sebuah kesetiaan terhadap
pasangan dan mencintai wanita dengan setia seperti halnya dengan yang dikisahkan
dalam cerita Ramayana. Selain itu, pengukuhan lainnya adalah masih adanya
kesamaan nama-nama tokoh serta perwatakannya yang dimunculkan baik dalam
Rahvayana maupun Rahwayana. Seperti, Wibisana, Laksamana, Trijata, Rama, dan
tokoh-tokoh lainnya. Dalam kedua cerita tersebut juga masih sama-sama membahas
silsilah sinta yang dipercaya sebagai titisan dari Widowati.

Budaya yang Muncul Berdasarkan Latar Belakang Penulis

Sujiwo Tejo adalah seorang tokoh yang multitalent yang memiliki latar
belakang budaya yaitu Jawa. Beliau juga merupakan sosok pengarang yang memiliki

11
wawasan budaya yang sangat luas sehingga Sujiwo Tejo juga disebut sebagai seorang
budayawan. Sebagai pengarang cerita Rahvayana yang mengangkat cerita Ramayana
sebagai teks hipogram yang telah diubah Sujiwo Tejo menjadi lebih menarik menurut
budaya dan perkembangan zaman, ternyata sebuah karya adalah mozaik dari kutipan-
kutipan atau sebuah transformasi dari teks-teks lain dan hipogram akan dipengaruhi
oleh teks-teks lain seperti tradisi budaya dan sosial (Riffaterre, 1980:165). Budaya
Jawa yang dimunculkan oleh Sujiwo Tejo merupakan usaha untuk menyampaikan
sesuatu yang berbeda terhadap sikap, kepercayaan, pola pikir, dan tindakan yang
dianut oleh masyarakat Jawa yang biasanya berisi sebuah makna yang ingin
disampaikan.

Budaya sikap gotong royong dan saling peduli terhadap sesame tetangga
maupun masyarakat lainnya khususnya masyarakat Jawa yang ada di Desa tercermin
dalam kalimat sebagai berikut.

“Pak Tani kaget. Teriakannya tertiup angin gunung ke utara sawah-sawah,


ke arah perkampungan tersembunyi pepohonan nyiur. Bu Tani dan para
perempuan lain bermunculan dari balik nyiur-nyiur. Ibu-ibu sepuh, ibu-ibu
muda, dan yang masih perawan bergegas menyingsingkan kain-kainnya. Di
pangkal pematang mereka menyatu. Tergopoh-gopoh mereka susuri jalan
setapak itu. Arahnya ke caping kelabu bagai satu-satunya jamur raksasa di
seluas sawah. (Rahvayana, 2014:5)

Dalam kalimat di atas, budaya Jawa yaitu bersikap kekeluargaan dan gotong
royong tercermin ketika masyarakat Jawa mendengar bayi menagis kencang semua
warga kampung spontan berbondong-bondong untuk mencari sumber suara. Terbukti
bahwa budaya Jawa masih erat dengan sikap gotong royong dan empati yang masih
tertanam pada masyarakatnya.
“Dulu, Sinta, waktu kanak-kanak, aku sulit tidur, lho. Tidurku baru jadi
mudah kalau bapak atau ibuku sudah ikut naik ke ranjangku dan mulai
mendongeng. Ubun-ubunku sambil dielusnya. Aku disirepnya ke dalam
dongeng, hikayat, rubaiyat, dan sebagainya”. (Rahvayana, 2014:33)

“Sering malam-malam sampai menjelang dini hari rumah panggung itu


kandilnya masih menyala. Burung pungguk masih merindukan rembulan. Aku

12
mendengar Trijata mendongengi Sinta melalui tembang-tembang Jawa”.
(Rahvayana, 2014:122)

Kutipan cerita di atas menggambarkan bahwa masyarakat Jawa memiliki


budaya mendongeng. Pada masyarakat Jawa sejak zaman dahulu biasanya
mendongengi anak-anak sebelum tidur serta menyanyikan tembang-tembang Jawa
supaya anaknya bisa tidur cepat dan nyenyak.

“Mereka pun undur diri. Tapi, sebelum pergi, Sinta, Nupus mencolek
pundakku. Dia berbisik, ―Sssttt, eh, Cuk, kenapa Rahwana harus bertapa
sampai 50 ribu tahun? Bukannya 3 ribu tahun saja sudah cukup untuk
mengimajinasikan keabadian jiwa manusia? (Rahvayana, 2014:93)

Panggilan Cuk dalam kutipan novel di atas menunjukkan bahwa panggilan


tersebut merupakan panggilan yang dipakai untuk menyapa teman dekat. Sapaan
tersebut bukan bermaksud kasar tapi dengan tujuan untuk semakin akrab dengan
persahabatan mereka. Seperti yang diketahui bahwa Sutiwo Tejo adalah tokoh asal
Jember Jawa Timur. Kata “Cuk” seperti dengan budaya panggilan untuk teman akrab
khususnya di daerah arek. Karena Sutijwo Tejo sering mengucapkan kata “Cuk”
bahkan ia menyebut dirinya sebagai President Jancukers tak heran bila ia
menggunakan kata tersebut dalam sebuah karya sastra yang ditulisnya. Menurut Edi
Samson, tim 11 Cagar Budaya Surabaya, jancuk atau biasa disingkat cuk adalah kata
gaul bagi anak-anak Indonesia sekitar tahun 1930-an.
“Ooo .... Hati Sukesi makin berbunga-bunga. Aih. Rahwana yang masih
dalam keadaan linglung karena gagal cintanya kepada Dewi Citrawati dan
Dewi Sukasalya, akhirnya menerima anjuran ibunya untuk ber-permaisuri
Dewi Mandodari. Sejak itu Rahwana berpakaian lumayan rapi. Jasnya Ralph
Lauren. Jaketnya pun Burberry. Dan, sejenisnya. Mandodari yang
mendandaninya. (Rahvayana, 2014:139)

Kutipan novel di atas menggambarkan bahwa masyarakat Jawa masih banyak


yang percaya dan memakai tradisi perjodohan oleh orangtua kepada anak-anaknya.
Anak-anak pada masyarakat Jawa yang dijodohkan juga masih mempunyai rasa
sopan santun yang tinggi kepada orang-tuanya sehingga mengikuti apa yang disuruh
oleh orangtuanya termasuk dijodohkan.

13
“Tugas pranatacara antara lain menjelaskan simbol-simbol upa-cara kepada
hadirin. Misalnya saat upacara Panggih, pertemuan antara mempelai pria
dan wanita, aku jelaskan apa makna keduanya saling melempar gantal atau
daun sirih. Masing-masing memegang gantal gondang asih dan gantal
gondang telur. Maknanya agar dalam bahtera rumah tangga kelak mereka
saling asah, saling asih, saling asuh. Segala pahit getir seperti rasa daun
sirih tak akan berarti bila keduanya saling mengasihi. (Rahvayana, 2014:184)

Cerita di atas menggambarkan adanya budaya Jawa yang dilakukan oleh


masyarakat Jawa ketika melangsungkan upacara pernikahan. Upacara pernikahan
dihiasi dengan upacara Panggih dengan masing-masing mempelai memegang gantal
gondang asih dan gantal gondang telur.
Sedangkan Walmiki atau dalam bahasa inggris disebut dengan Valmiki adalah
seorang penulis kisah Ramayana yang bisa dikatakan termansyur dan sekaligus beliau
merupakan tokoh dalam mitologi Hindu. Ia berlatarkan budaya Hindu. Budaya Hindu
yang tergambar dalam kisah Ramayana adalah sebagai berikut.
“…Aku ingin membuktikan kesuciaanku di hadapan semua orang sehingga di
masa depan mereka tidak akan pernah meragukan ataupun berani mengutuk
kesetiaanmu dan karaktermu yang mulia”.
Dalam kutipan cerita Ramayana di atas menyebutkan bahwa tokoh sinta
adalah seorang istri yang sempurna untuk Rama. Sesuai dengan Mitologi Hindu
bahwasannya seorang istri adalah kekuatan (Shakti) bagi suami. Tak heran apabila
tokoh Rama berjuang sekuat tenaga untuk membebaskan Sinta dan merebut Sinta
kembali. Sesuai dengan budaya India bahwa masyarakat akan menghargai perempuan
yang dapat menghargai suaminya dengan sangat baik. Budaya tersebut juga
diterapkan kepada anak-anak supaya mau patuh terhadap apapun yang diperintahkan
oleh suami mereka kelak meskipun nyawa menjadi tarohannya. Jika ada kegagalan
dalam rumah tangga, maka masyarakat tak segan-segan akan menganggap rendah
seseorang tersebut. Demi menghargai sang suami Rama, Sinta rela dibakar oleh api
yang membara demi mewujudkan keinginan suaminya dan membuktikan bahwa
dirinya masih suci. Dalam hal ini jika disoroti dari pandangan Hindu apa yang
dilakukan Sinta adalah Dharma atau kewajiban istri untuk mendampingi dan
melayani suami serta keluarga dengan sebaik-baiknya.

14
Berikutnya adalah budaya perjodohan. Perjodohan ini tidak hanya terjadi pada
masyarakat Jawa namun juga India. Dalam dunia kerajaan tidak asing dengan yang
namanya sayembara. Jika seseorang memenangkan sebuah sayembara, maka ia akan
mendapatkan sebuah hadiah biasanya berupa perjodohan akan menikah dengan
seorang anak Raja. Pada sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka, Rama
memenangkannya kemudian ia berhak menikah dengan Sinta.

Simpulan
Dari hasil analisis intertekstualitas dengan Ramayana karya Walmiki sebagai
hipogramnya, terlihat bahwa cerita Rahvayana karya Sujiwo Tejo terdapat gambaran
untuk diinterteks dengan cerita Ramayana karya Walmiki. Intertekstualitas tersebut
dapat diamati dalam penokohan tokoh utama yaitu Rahwana serta tokoh Sinta. Dari
hasil analisis yang dilakukan secara intertekstualitas antara cerita Rahvayana karya
Sujiwo Tejo dan Ramayana karya Walmiki yang berfokus pada tokoh Rahwana dan
Sinta dapat disimpulkan bahwa bentuk interteksnya yang terjadi adalah penolakan
dan pengukuhan konvensi. Penolakan konvensi yang terjadi lebih cenderung kea rah
bentuk ekspansinya dimana terjadi suatu perluasan atau pengembangan serta
modifikasi dan adanya pengukuhan konvensi. karya adalah mozaik dari kutipan-
kutipan atau sebuah transformasi dari teks-teks lain dan hipogram akan dipengaruhi
oleh teks-teks lain seperti tradisi budaya dan sosial (Riffaterre, 1980:165). Budaya
Jawa yang dimunculkan oleh Sujiwo Tejo merupakan usaha untuk menyampaikan
sesuatu yang berbeda terhadap sikap, kepercayaan, pola pikir, dan tindakan yang
dianut oleh masyarakat Jawa yang biasanya berisi sebuah makna yang ingin
disampaikan.

15
Daftar Pustaka

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model,


Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Jabrohim dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha


Widia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogakarta:Gadjah Mada


University Press.

Padmopuspito, Asia. 1998. Serat Kndha Ringgit Purwa jilid 4. Jakarta: Penerbit
Djambatan.

Ratna, Nyoman Khuta. 2011. Satra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre. 1980. Semiotika of Poetry. Bloomington: Indiana University..

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia

Tejo, Sujiwo. 2014. Rahvayana (Aku Lala Padamu). Yogyakarta: Penerbitan


Bentang.

16

Anda mungkin juga menyukai