Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Prosa, Puisi, dan Drama
Dosen Pengampu : Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum.
Oleh
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sastra adalah ciptaan kreatif imajinatif manusia bertolak dari kehidupan nyata yang
ditulis atau dicetak serta memiliki ekspresi estetis. Ekspresi estetis merupakan upaya pengeluaran
pengalaman, perasaan, dan pikiran dari dalam diri manusia. Wellek dan Warren (1993:12)
berpendapat selaras bahwa sastra adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak dan
membatasinya pada mahakarya yang menonjol karena bentuk ekspresi sastranya.
Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca pada
khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang diungkap oleh pengarang lahir
dari pandangan hidup dan daya imajinasi yang tentu mengandung keterkaitan yang kuat dengan
kehidupan. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat terlepas dari konteks sejarah dan sosial
budaya masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Teeuw (1983:65) bahwa karya sastra tidak lahir
dalam situasi kekosongan budaya, budaya tidak hanya berarti teks-teks kesastraan yang telah ada
sebelumnya, tetapi juga seluruh konvensi atau tradisi yang mengelilinginya. Karya sastra
merupakan wujud refleksi kebudayaan yang dituangkan pengarang. Adanya kesamaan bentuk
karya merupakan akibat dari persamaan pengalaman kebudayaan yang dialami pengarang.
Bentuk karya sastra baik itu karena perbedaan zaman, bahasa memiliki keterkaitan bentuk, ide,
gagasan, dan lain-lain.
Menganalisis karya sastra merupakan salah satu cara untuk memahami dengan jelas apa
yang terkandung di dalam karya itu sendiri. Karena bagaimanapun juga, karya fiksi merupakan
proses pemikiran seorang pengarang yang belum tentu dapat dengan mudah dimengerti oleh
pembaca apa maksud yang disampaikannya. Berkaitan dengan kajian ini intertekstual merupakan
pendekatan yang menitik beratkan pada karya sastra dengan berusaha mengungkapkan apa yang
berada di dalam karya sastra yang satu dengan yang lain serta menemukan benang merah antara
kedua karya tersebut.
Perkembangan karya sastra dewasa ini khususnya novel banyak dipengaruhi oleh
sastrawan yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang hampir mirip. Sengaja atau tidak ,
kemiripan itu menimbulkan anggapan bahwa sastrawan masih memerhatikan dan
mempertimbangkan karya sastra sebelumnya. Sebagaimana yang diungkapkan Kristeva
(1980:38) bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipan dan merupakan penyerapan
(transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang bagus diolah
kembali dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik
secara sadar maupun tidak sadar. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali dengan
membandingkan teks yang menjadi hipogramnya dengan teks baru. Teks baru atau teks yang
menyerap dan mentransformasikan hipogram itu disebut teks transformasi.
Dua karya sastra atau lebih yang mengangkat tema yang sama terdapat persamaan dan
perbedaan. Persamaan dan perbedaan tersebut menandakan bahwa setiap pengarang mempunyai
pesan tersendiri yang disampaikan melalui karyanya. Persamaan dan perbedaan dalam beberapa
karya sastra dapat dianalisis dengan menggunakan prinsip intertekstual. Prinsip ini dimaksudkan
untuk mengkaji teks yang dianggap memiliki hubungan tertentu dengan teks lain sehingga
dimungkinkan suatu karya menjadi hipogram bagi karya sastra selanjutnya. Sejalan dengan
pendapat Jabrohim (2001:125) bahwa suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena
mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi
juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata yang bersumber dari kisah
pewayangan Anak Bajang Menggiring Angin. Gaya bahasa yang diuraikan Sindhunata dengan
khas, diwarnai imajinasi simbolik, dan dengan penggalian makna-makna filosofis yang dalam
novel ini menyajikan versi Jawa kisah Anak Bajang Menggiring Angin, menjadi sebuah
penciptaan kembali kisah tradisional Anak Bajang Menggiring Angin ke dalam bentuk sebuah
kisah sastra. Cerita dalam buku ini menampilkan suatu kisah yang mengandung sesuatu
kemustahilan dan asing bagi pengalaman biasa, sesuatu impian kosong bila dipandang dari
kenyataan keseharian manusia. Dengan kekuatan tersendiri kisah ini menampilkan impian-
impian itu menjadi suatu jalinan kisah insani, yang membuat impian-impian itu tampil sebagai
cita-cita yang dirindukan manusia. Siapa dapat memastikan apakah sebuah kenyataan itu
sesungguhnya impian dan sebuah impian itu justru sesungguhnya kenyataan? Dengan
menggugah pembaca, buku ini merujuk pada harga yang mahal dan nilai yang tinggi yang
dimiliki impian manusia. Kemudian novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo pola pembongakran
karakter terlihat pada tokoh di dalamnya dimana yang paling menonjol ada pada tokoh Rahwana.
Interpretasi besar-besaran pada sosok Rahwana yang biasanya dikenal dalam dunia pewayangan
sebagai tokoh antagonis beserta segala keburukan sifat dan wataknya. Berbanding terbalik
dengan dunia pewayangan. Rahwana pada novel Rahvayana menampilkan sosok Rahwana yang
hadir dengan kebaikan sifat dan wataknya.
Kedua novel ini sangat menarik untuk dikaji secara intertekstual, terutama untuk
mengetahui sampai sejauh mana Anak Bajang Menggiring Angin memengaruhi hipogram
Rahvayana. Dengan gaya dan penceriteraannya Sujiwo Tejo, ia ingin menampilkan sosok
Rahwana pada masa kini. Namun hal itu tentu saja tidak lepas dari pakem yang terdahulu dimana
setiap karya yang memiliki nyawa yang sama akan saling mempengaruhi karya yang muncul
setelahnya. Dengan demikian kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk
intertekstual dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin dengan Rahvayana.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah:
1. Apa pengertian dari kajian intertekstual?
2. Bagaimana sinopsis novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Rahvayana?
3. Bagaimana bentuk Intertekstual novel Anak Bajang Menggiring Angin dengan
Rahvayana?
C. TUJUAN
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian dari kajian intertektual.
2. Untuk mengetahui sinopsis novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Rahvayana?
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk Intertekstual novel Anak Bajang Menggiring Angin
dengan Rahvayana?
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORI
1. Hakikat Karya Sastra
Karya sastra merupakan unsur budaya yang dapat mempengaruhi dan dapat dipengaruhi oleh
masyarakat. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta
dimanfaatkan oleh pembaca. Sastra lahir dari keinginan manusia untuk mengungkapka diri,
menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya dengan dunia angan yang dikhayalkan
sebagai dunia nyata. Hadirnya karya sastra tidak hanya karena oleh fenomena-fenomena
kehidupan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Sastra hadir oleh tendensi lain yang dilandasi
kesadaran bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang bersifat fiktif dan imajinatif harus
mempunyai tujuan khusus dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan social
yang berada di sekelilingnya dengan menggunakan Bahasa yang indah. Sastra hadir sebagai hasil
perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Pradopo
(2003:59) bahwa karya sastra adalah karya seni, yaitu karya yang mengkehendaki kreativitas dan
bersifar imajinatif. Dikatakan imajinatif bahwa karya sstra itu terjadi akibat penganganan dan
hasil penganganan itu adalah penemuaan baru itu disusun ke dalam suatu sisten dengan kekuatan
imajinasi hingga terciptalah dunia baru yang sebelumnya belum ada.
Pengkajian sastra menurut Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) dapat menggunakan empat
pendekatan, yaitu (1) pendekatan yang menitik beratkan pada karya sastra itu sendiri atau
pendekatan objektif; (2) pendekatan yang menitikberatkan pada penulis yang disebut pendekatan
ekspresif; (3) pendekatan yang menitikberatkan pembaca atau pendekatan pragmatik; (4)
pendekatan yang menitikberatkan pada semesta yang juga disebut pendekatan mimetik.
2. Pendekatan Intertekstual
Pendekatan objektif menginisiasi munculnya pendekatan intertekstual. Pengertian, paham,
atau prinsip intertekstual berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme
Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jacques Derrida dan dikembangkan
dan dipopulerkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan
harus dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada senuah teks pun yang sungguh-sungguh
mandiri, dalam arti bahwa pencipta dan pembacanya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-
teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan
transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan
atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi;
dan pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang
mendahuluinya (Kristeva, dalam Jabrohim 172:1994).
Secara luas interteks diartikan (Ratna, 2012: 172) sebagai jaringan hubungan antara satu teks
dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologi (textus, bahasa Latin)
berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam
interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi dan, transformasi. Kajian intertekstual
berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi
kekosongan budaya. Unsur budaya termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam
wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro,
1988: 50).
Kristeva (1980:39) mengemukakan bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan
dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil
hal-hal yang bagus dari teks-teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali
dalam karyanya tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah
melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah
menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-pikirannya
kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik
sendiri sehingga terjadi perpaduan baru.
Pembicaraan tentang pendekatan interteksual terlebih dahulu perlu dibicarakan tentang
pendekatan resepsi. Sebab, pendekatan intertekstual merupakan bagian dari pendekatan resepsi.
Estetika resepsi secara ringkas dapat dideskripsikan sebagai kerja menyelidiki teks sastra dengan
dasar tanggapan pembaca. Pembaca dalam hal ini sangat menentukan dalam pengkategorian
sebuah teks untuk dimasukkan ke dalam kelompok kesastraan atau bukan. Menurut Junus
(1985:1) estetika resepsi dapat disinonimkan dengan tanggapan sastra dan dapat diartikan
sebagai bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga
dapat memberi tanggapan.
Pendekatan resepsi, selain pembaca yang menjadi fokus perhatian adalah bukan pembaca
yang sesungguhnya, melainkan pembaca yang ada dibalik teks, juga pembaca dalam hubungan
adalah pembaca sebagai pengkaji. Dengan demikian, latar belakang pengetahuan dan
pengalaman pembaca akan mempengaruhi makna yang diungkapkannya (Soeratno, 2001:146).
Pembaca sebagai pengkaji yang dimaksud adalah yang berfungsi sebagai penerima dari fungsi
sastra yang berupa fungsi, tujuan atau nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra.
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah
hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual lahir dari teks-teks lain dan harus
dipandang sesuai tempatnya dalam keluasaan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa
karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya termasuk sastra. Dengan kata lain ada pengaruh
dari sebuah karya yang muncul sebelumnya untuk mengisi karya yang baru dengan gaya
penceriteraan baru.
Allen (2000:4) menyatakan bahwa intertekstual merupakan kajian yang bermanfaat karena di
dalamnya terjadi keterkaitan dan saling menghubungkan dalam budaya kehidupan. Keaslian atau
keunikannya merupakan ciri khas dari suatu karya (novel). Pada dasarnya pembacalah yang
menentukan ada atau tidaknya kaitan antara satu teks dengan teks lain. Adapun keterkaitan antar
teks tersebut dapat berupa hubungan karya-karya sastra di masa lampau, masa kini, dan masa
depan. Graham juga berpendapatan bahwa pembaca yang memiliki penafsiran-penafsiran atau
berbagai dugaan keterkaitan yang berbeda-beda, sudur pandang dan pengalaman membaca yang
berbeda menimbulkan adanya karya yang bisa dikatakan memiliki hubungan intertekstual.
Membicarakan intertekstual tidak lepas dari pengaruh Michael Riffaterre. Aplikasi konsep
intertekstual dilakukan Rifaterre dalam bukunya Semiotic of Poetry (1978:128). Riffatere dengan
sangat meyakinkan mendemontrasikan prinsip intertekstual secara nyata dengan mengambil
contoh puisi Perancis modern; banyak puisi Perancis baru dapat dipahami makna utuhnya jika
dibaca dengan latar belakang teks lain atau puisi lain.
Dalam karyanya itu konsep Rifaterre tentang hipogram lantas dikenal luas sebagai salah satu
konsep penting dalam teori intertekstual. Hipogram adalah modal utama yang melahirkan karya
berikutnya (Rifaterre, 1978:132). Jadi hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran
karya berikutnya. Sedangkan karta berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan
transformasi ini akan terus berjalan selama proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan ‘induk’
yang akan menetaskan karya-karya baru. Endraswara (2011: 132) menyatakan bahwa hipogram
karya sastra meliputi 4 hal. Empat hal tersebut adalah sebagai berikut.:
1) Ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya. Ekspansi tidak sekadar repetisi, tetapi
termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata.
2) Konversi, yaitu pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Seorang pengarang akan
memodifikasi kalimat ke dalam karya barunya.
3) Modifikasi, adalah perubahan tata linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja
pengarang hanya mengganti tokoh, pada tema dan jalan ceritanya sama.
4) Ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh
pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika penyelidik belum terbiasa
membandingkan karya.
Novel Rahvayana, Aku Lala Padamu bercerita soal si ‘aku’ yang tak henti-hentinya
mengagumi Sinta. Selain itu dalam novel Rahvayana juga berisi perjalanan Rahwana yang selalu
mengirim kumpulan surat-surat bernada mesra kepada Sinta. Sejak pertemuan pertama pada
gerimis di Borobudur hingga Rahvayana akhirnya benar-benar melanglang buana tampil di
gedung pertunjukan legendaris dunia. ‘Aku’ masih menulis surat-suratnya pada Sinta walau
kadang Sinta tak lantas langsung membalasnya.
Pertemuan antara ‘Aku’ dan Sinta sejak pertama kalinya di Borobudur yang menjadi
penyebab semua cerita dalam novel Rahvayana. Dalam tulisannya, sang ‘Aku’ bercerita panjang
lebar tentang jalan hidupnya. Bahkan karena pembebasan pakem ini malah menghadirkan drama-
drama lain semacam ‘Romeo dan Juliet’ yang duluan kesohor ataupun ‘Isolde dan Tristan’. Pun,
ketika mereka sibuk membahas ‘Les Miserables’ dalam surat-surat mereka.
Pembebasan pakem ini berlaku juga pada keseluruhan cerita. Rahwana yang biasanya
digambarkan sebagai tokoh yang kejam dan penuh hawa nafsu terhadap apapun, dalam novel
Rahvayana justru penggambaran tokoh Rahwana berbanding terbalik. Rahwana digambarkan
memiliki cinta yang dahsyat dan tulus, tapi tidak pernah memaksa. Ia tak pernah menyentuh
Sinta. Meskipun cukup mudah baginya bila ia menginginkan hal itu. Kalau pun saja ada yang
salah dari cinta Rahwana itu karena Rahwana masih kurang sabaran dalam menggapai cintanya.
Selanjutnya dalam novel Rahvayana juga mengkritik tokoh Rama. Rama dalam kisah
Ramayana pada umumnya selalu dikisahkan sebagai tokoh protagonis yang berjiwa pahlawan.
Namun dalam novel Rahvayana, tokoh Rama digambarkan sebagai pihak yang tidak menerima
kesucian Sinta sepulangnya dari Argasoka.Dalam penantian panjangnya selama 12 tahun di
Argasoka, Sinta berhasil menjaga kesuciannya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Rama
percaya. Sehingga dalam novel ini, tokoh Rama digambarkan sebagai tokoh yang penuh keragu-
raguan dan memiliki cinta yang tidak tulus kepada Sinta.
Selanjutnya dalam novel Rahvayana yang kedua berjudul “Ada yang Tiada” berisi
perjalanan tokoh ‘Aku’. Tokoh ‘Aku’ ditemani Indrajit yang memiliki Aji Sirep yang lebih sakti
dari milik Wibisana sejak dari dalam kereta dari Guangzhou, lalu ke Tembok China dimana si
‘Aku’ mendalang untuk lakon Rahwana dan Sinta diiringi repertoar yang sakral dan kuno,
Gending Ayak-Ayak Slendo Manyuro.
Seluruh perjalanan dan petualangan dalam “Rahvayana 2”; Guangzhou, Tembok Cina,
Bali, Siberia, Anna Karenina, Himalaya, pada ujungnya memang hanya soal Rahwana, Sinta, dan
Rama. Menjelang akhir cerita, mulai halaman 233 hingga 234, usai Rama berhasil menemui
Sinta setelah dibuat tidak berdaya oleh Lawa dan Kusa, dua anak kembarnya yang ikut Sinta
mengasingkan diri ke hutan Dandaka, Sinta ‘menggugat’ eksistensi Rama dalam seluruh lakon
Rama-Sinta ini.
“Katanya, Rama hanyalah buih. Ia bergerak atas kehendak samudra Siwa.
Kenapa cinta Tuhan kepadaku melalui Rama begitu naif? Masih ia syak
wasangkai kesucianku setelah 12 tahun hidup bersama Rahwana di Alengka?”
Sinta masih melanjutkan gugatannya.
“Apakah cinta tak ubahnya dengan pengadilan, yang setiap pihak harus
membuktikan segalanya?”
Gugatan Sinta menarik simpati para siluman di Dandaka. Bahkan ada yang mulai menangis.
“Rama, sebetulnya kau mencintaiku atau mencintai dirimu sendiri sehingga kau
begitu hirau dengan gosip rakyatmu bahwa aku sudah tak suci lagi setelah hidup
bersama Rahwana”
Gugatan Sinta pun berakhir.
“Perang Alengka-Kosala kau canangkan bukan demi cintamu kepadaku, Rama,
melainkan demi ketersinggungganmu sebagai seorang lelaki dan seorang
kesatria!”
Barangkali memang Rahwana yang tetap bisa mencintai Sinta, apapun keadaannya.
Rahwana memang menyembah dan memuji titisan Dewi Widowati itu dengan caranya sendiri.
Rahwana menyembah Zat yang ada itu melalui segenap tirakatnya. Rahwana tetap menjunjung
dan mencintai Sinta, walau Sinta berubah menjadi Janaki dan Waidehi.
3. Bentuk Intertekstual Novel Anak Bajang Menggiring Angin dengan Novel Rahvayana
Berdasarkan hasil analisis kajian intertekstual Novel Anak Bajang Menggiring Angin
karya Sindhunata dengan Novel Rahvayana karya Sujiwo Tejo ditemukan bentuk intertekstual
ekspansi (perluasan atau pengembangan) dan modifikasi (perubahan tataran linguistik,
manipulasi urutan kata dan kalimat). Berikut penjelasan dari kedua bentuk intertekstual tersebut.
Bentuk Intertekstual Ekspansi
Ekspansi ditunjukan bahwa kisah Anak Bajang Menggiring Angin sebagai hipogram,
ditransformasikan dalam bentuk Rahvayana. Karya Anak Bajang Menggiring Angin diperluas
dan lebih dikembangkan lagi oleh pengarang dalam hal ini Sujiwo Tejo ke dalam bentuk
Rahvayana. Perluasan dan Pengembangan tersebut ditandai dengan adanya perubahan alur dan
latar yang digunakan dalam novel Rahvayana, yakni dari alur dan latar kerajaan menjadi alur dan
latar suasana modern saat ini. Berikut kutipannya.
Pekan lalu, waktu aku memenuhi undangan peresmian menara tertinggi dunia
saat itu, Burj Dubai, gedung berlantai 169 yang jangkungnya hamper 1 kilometer
itu, pulangnya, di Suite Room Rahwana Style sebuah hotel, sekelebat aku
melihatmu menjadi narasumber acara televise di sana (Rahvayana, hlm. 23).
Kelak ketika kembali ke Alengka, Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putra
lagi, yang diberi nama Gunawan Wibisana (Anak Bajang Menggiring Angin,
hlm. 47).
Novel Rahvayana secara keseluruhan berisi kumpulan surat-surat Rahwana yang bernada mesra
kepada Sinta. Dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin, Rahwana dikisahkan sebagai tokoh
antagonis. Dalam Rahvayana karya Sujiwo Tejo ini, Rahwana tampil sebagai sosok yang lebih
apa adanya. Rahwana dibebaskan dari pakem wayang pada umumnya. Berikut kutipannya.
Sinta, Terima kasih. Surat balasanmu sudah sampai kepadaku. Maaf kalau
setelah beberapa tahun baru aku membalas suratmu yang mengharukan itu
(Rahvayana, hlm. 155).
Sinta, cukup sudah kesabaranku. Lebih baik kau binasa oleh pedangku, kalau kau
tak mau menuruti kemauan cintaku! Bentak Rahwana (Anak Bajang Menggiring
Angin, hlm. 439)
Berdasarkan penelitian, tampak bahwa di samping cerita Anak Bajang Menggiring Angin, dalam
novel Rahvayana terdapat sejumlah cerita lainnya, yaitu Tristan dan Isolde, Romeo dan Juliet,
Sampek Eng Tay, dll. Hal ini menunjukkan bahwa novel Rahvayana tersebut ditulis dengan
mendasarkan sejumlah karya sastra yang telah ada sebelumnya. Berikut kutipannya.
Kamu bilang, di antara banyak versi tentang “Tristan dan Isolde”, versi Wagner
yang paling dekat dengan aslinya. (Rahvayana, hlm. 12)
Dari jangkauan tanganmu yang sangat terbatas itu, menurut Trijata, sempat
kamu amankan kisah cinta “Helen dari Troya”, “Laila Majnun”, “Tristan dan
Isolde”, “Sampek Engtay”, termasuk draf naskah “Romeo dan Juliet” karena
Shakespeare belum lahir ketika serbuan tentara Tartar ke Babilonia itu
(Rahvayana, hlm. 49).
Di antara teks-teks lainnya yang terdapat dalam novel Rahvayana, Anak Bajang Menggiring
Angin menduduki porsi yang terbesar. Bahkan, dapat dikatakan bahwa novel tersebut ditulis
sebagai tafsir ulang terhadap cerita Rahvayana.
Sinta, maafkan aku telah berburuk sangka. Ternyata, lama tak kamu balas
suratku karena kamu pontang-panting meyakinkan banyak kalangan untuk
mementaskan naskah sandiwara kita (Rahvayana, hlm. 189).
“Uah, Orang tua bodoh, tidak bisa dipercaya! Tidakkah paman tahu, sebenarnya
hari ini juga aku akan merusak Kembang Dewaretna?” bentak Rahwana tanpa
belas kasih terhadap pamannya sendiri (Anak Bajang Menggiring Angin, hlm.
389).
Selain itu penyimpangan selanjutnya juga terjadi pada tokoh Rahwana yang beristri banyak
dalam Anak Bajang Menggiring Angin, tetapi tidak dijumpai pada tokoh Rahwana dalam novel
Rahvayana. Dalam hal ini Sujiwo Tejo tidak menyinggung Rahwana yang menikah dengan
beberapa wanita, namun menggambarkan kesetiaan Rahwana pada Sinta. Hal ini tidak ada pada
Anak Bajang Menggiring Angin. Dan hal ini mengakibatkan hilangnya watak Rahwana yang
memiliki banyak selir dalam Rahvayana. Berikut kutipannya.
Suatu hari Dewi Widowati serasa menyusup dalam ganggang. Paduka mencumbu
ganggang itu dengan nafsu asmara yang berkobar-kobar. Ganggang yang suci
dan tak mengerti apa-apa itu menolak, tapi Paduka tidak kuasa lagi menahan
nafsu Paduka. Ganggang itu adalah ibunda Dewi Ganggawati, yang melahirkan
hamba (Anak Bajang Menggiring Angin, hlm. 395).
Penyimpangan lainnya adalah latar belakang Sinta yang merupakan anak dari Prabu Janaka dari
Manthili dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin. Sedangkan pada novel Rahvayana,
dijelaskan bahwa Sinta adalah anak yang ditemukan oleh seorang petani di sawah, kemudian
baru diberikan kepada Prabu Janaka. Berikut kutipannya.
Sinta. Namamu. Itu bukan nama pemberian Pak Tani Negeri Manthili. Lelaki
jenggotan dengan caping kelabu kesayangannya itu menemukanmu menjelang
sore di antara kaki bangau dan bongkahan tanah. (Rahvayana, hlm. 5)
BAB III
SIMPULAN
Adapun simpulan dalam kajian intertektual novel Anak Bajang Menggiring Angin dengan
Rahvayana adalah sebagai berikut :
1. Karya sastra merupakan unsur budaya yang dapat mempengaruhi dan dapat dipengaruhi
oleh masyarakat. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta
dimanfaatkan oleh pembaca. Sastra lahir dari keinginan manusia untuk mengungkapkan diri,
menaruh minat pada dunia realitas tempat hidupnya dengan dunia angan yang dikhayalkan
sebagai dunia nyata.
2. Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah
hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kacamata intertekstual lahir dari teks-teks lain dan
harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasaan tekstual. Pendekatan ini memiliki
asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra
3. Bentuk intertekstual yang terdapat dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin dan
Rahvayana adalah intertekstual ekspansi ditunjukan bahwa kisah Anak Bajang Menggiring
Angin sebagai hipogram yang ditransformasikan dalam bentuk Rahvayana dan intertekstual
modifikasi dimana peristiwa ini banyak ditunjukan adanya hal-hal yang tidak sesuai atau
tidak sama lagi antara Anak Bajang Menggiring Angin dan Rahvayana. Dengan demikian
telah ada gubahan dari cerita yang ada sebelumnya dalam hal ini cerita Anak Bajang
Menggiring Angin. Penyimpangan terjadi dalam hal perwatakan Rahwana dalam Rahvayana
yang tidak dijumpai pada Anak Bajang Menggiring Angin. Penyimpangan watak tersebut
mengakibatkan munculnya penokohan Rahwana yang setia dan tidak terlalu pemarah dalam
Rahvayana, tetapi hal tersebut tidak dijumpai pada Anak Bajang Menggiring Angin.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Graham, 2011. Intertextuality. London and New York: Routledge
Jabrohim (Editor), 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Junus, Umar, 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Kristeva, J. 1980. Desire in Language: A Semiotic Approach to literature and Art. Gora,
T., J. Alice and L. S. Roudiez (ed.), (trans.) in L. S. Roudrez (ed.), Columbia
University Press, New York.
Pradopo, Rachmat Djoko, 2012. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan, 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha, 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. London: Indiana of University Press.
Sindhunata. 2008.Anak Bajang Menggiring Angin.
Soeratno, Siti Chamamah. 2011. Sastra Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera
Teeuw, A., 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tejo, Sujiwo. 2015. Rahvayana: Aku Lala Padamu. Yogyakarta: Bentang.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia