Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN II

EKRANISASI NOVEL KE FILM

A. Hakikat Sastra
1. Pengertian Sastra
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta, shastra
yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
sas yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Akhiran tra yang berarti “alat”
atau “sarana”. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra
bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk
bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat
menimbulkan perasaan haru dan kagum dihati pembacanya. Bahasa (kata
kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-
hari); Karya tulis, yang dibandingkan dengan tulisan lain memiliki
berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam
isi dan ungkapannya. Sastra senantiasa mengungkapkan kehidupan yang
luas, mendalam dan juga berisikan cerita kehidupan manusia yang penuh
tantangan serta perjuangan. Definisi tersebut sejalan dengan pendapat
Wellek dan Warren (Susanto 2016: 1) sastra adalah suatu kegiatan kreatif,
sebuah karya seni. Sastra juga dianggap sebagai karya yang imajinatif,
fiktif dan inovatif, secara etimologis, sastra sendiri diartikan sebagai alat
untuk mengajar, buku petunjuk ataupun buku petunjuk pengajaran.
Pengertian ini diambil dari asal-usul kata, bahasa sanskerta. Sastra terdiri
dari akar kata cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang
diturunkan memiliki arti mengajarkan, mengajar, memberikan suatu
petunjuk atau pun pedoman. Akhiran tra menunjukan sarana atau alat.
Sementara itu, istilah susastra sendiri pada hakikatnya berasal dari awalan
su yang berarti indah atau baik. Kata susastra yang sering dibandingkan
belles letters Teeuw (Susanto 2016:1). Sementara itu Alfian (2014: 2)
banyak batasan mengenai definisi sastra, antara lain: (1) sastra adalah
seni; (2) sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam;
(3) sastra adalah ekspresi pikiran dari bahasa, yang dimaksud dengan
pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua
kegiatan mental manusia; (4) sastra adalah inspirasi kehidupan; (5) sastra
adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam
dan kekuatan moral dengan sentuhan kesucian kebebasan pandangan dan
bentuk yang mempesona. Sumardjo dan Saini (Alfian: 2) sastra adalah
ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
sastra merupakan produk proses kreatif memiliki sifat-sifat imajinatif,
bernilai estetik dan pemakaian bahasa yang khas, berupa ungkapan batin
dan perasaan, serta pikiran yang dialami seorang pengarang dalam
kehidupannya.
1. Ciri-ciri dan Fungsi Sastra
Sastra Indonesia sebagai suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni.
Tentunya merupakan kegiatan yang memiliki upaya untuk meniliti dan
menyelidiki karya sastra yang ditujukan untuk mengungkapkan ciri-ciri
fungsinya sebagai produk masyarakat yang dipandang dari segi guna atau
manfaat. Menurut Wellek dan Warren (Alfian 2014: 7) karya sastra
memiliki ciri utama, yaitu (1) fiksionalitas, (2) ciptaan, (3) imajinasi, (4)
penggunaan bahasa khas. Fiksionalitas berarti fiksi, rekaan, direka-reka,
bukan sesuatu yang nyata, sesuatu yang dikontruksikan. Ciptaan berarti
diadakan oleh pengarang, sengaja diciptakan oleh pengarang. Imajinasi
berarti imaji, gambaran, penggambaran tentang sesuatu. Penggunaan
bahasa khas berarti penggunaan bahasa yang berbeda dengan bahasa
ilmiah, bahasa percakapan sehari-hari dan mengandung konotasi atau
gaya bahasa.
Menurut Horace (Alfian 2014:8) karya sastra berfungsi dulce et
utile. Dulce berarti indah dan utile berarti berguna, artinya karya sastra
dapat memberikan rasa keindahan dan sekaligus kegunaan untuk para
penikmatnya. Alfian (2014: 8) dalam kehidupan masyarakat sastra
mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
a. Fungsi Rekreatif
artinya sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan
penikmat atau pembacanya;
b. Fungsi Didaktif
artinya sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya;
c. Fungsi Estetis
artinya sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat atau
pembacanya karena sifat keindahannya;
d. Fungsi Moralitas
artinya sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca atau
peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan moral yang buruk,
karena sastra yang baik selalu mengandung nilai yang berkualitas atau
tinggi;
e. Fungsi Religius
artinya sastra pun mampu menghasilkan karya-karya yang
mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat atau
pembacanya.
A. Sastra Bandingan
Setiap saat orang akan dihadapkan para proses membandingkan. Hidup ini
penuh dengan proses membandingkan, terutama ketika seseorang harus
menilai sesuatu. Dalam sastra juga demikian, bandingan menjadi hal yang
selalu indah untuk diperbincangkan. Menurut Endraswara (2011:1) kata
bandingan berasal dari kata dasar “banding” dalam konteks ini ada pula yang
menyebut sastra perbandingan. Bandingan dapat pula diartikan membanding
(to compare) dari berbagai aspek. Adapun sastra bandingan dapat juga
dimengerti sebagai upaya membandingkan dua karya atau lebih.
Remak (Alfian 2014: 169) sastra bandingan adalah kajian sastra di luar
batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan antara sastra dengan bidang
ilmu kepercayaan yang lain seperti seni. Sejalan dengan pendapat tersebut
Susanto (2016: 30) kajian sastra memfokuskan pada berbagai aspek seperti
tema, jenis atau bentuk, gerakan atau tren, hubungan sastra dengan bidang
lain, dan media seni lainnya, sejarah kritik, dan teori sastra. Ahli lain, Francois
Jost (Susanto 2016:31) berpendapat bahwa sastra bandingan lebih
memusatkan pada interaksi dan kemiripan antara dua atu lebih sastra nasional.
Interaksi itu terlihat dari perbedaan dari pengarang. Berdasar pendapat diatas
dalam konteks membandingkan sastra memfokuskan pada berbagai aspek
seperti sastra dan seni, sastra bandingan dapat juga dimengerti sebagai upaya
membandingkan dua karya atau lebih.
B. Hakikat Novel
Kata novel berasal dari bahasa latin novellas, yang terbentuk dari kata
novus yang berarti baru atau new dalam bahasa inggris. Novel juga diartikan
sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek dari pada roman,
tetapi jauh lebih panjang dari cerita pendek Santosa dan Wahyuningtiyas
2010: 50. Nurgiyantoro (2015: 11) menjelaskan novel dan cerita pendek
merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi, bahkan dalam
perkembangan yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi.
Dengan demikian pengertian fiksi seperti dikemukakan, juga berlaku untuk
novel. Abrams (Nurgiyantoro 2015: 11-12) sebutan novel dalam bahasa
Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa
Italia novella (yang dalam bahasa Jerman novelle) secara harfiah novella
berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita
pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella dan novelle
mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet yang
berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu
panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Alfian (2014: 30) prosa adalah
perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Prosa dalam
pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction) istilah fiksi dalam pengertian
ini berarti cerita rekaan atau cerita hayalan Nurgiyantoro (Alfian 2014: 30).
Sementara itu Yenni Armiyati (2018:303) Novel merupakan karya prosa fiksi
yang panjang dan mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan
orang orang di sekelilingnya. Kisah-kisah yang diangkat dalam novel
merupakan realita kehidupan di zaman novel itu diciptakan. Novel merupakan
bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling
banyak beredar karena daya komunikasinya yang luas dalam
masyarakat.Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu karya serius dan karya hiburan. Tetapi tidak semua yang mampu
memberikan hiburan dapat dikatakan sebagai karya serius. Sebuah novel
serius bukan hanya dituntut sebagai karya yang indah, menarik, menghibur,
melainkan juga mendatangkan kepuasan batin setelah membaca Sejalan
dengan pendapat Santosa dan Wahyuningtiyas 2010: 51 Novel merupakan
cerita rekaan yang menjadikan tentang aspek kehidupan manusia lebih
mendalam yang senantiasa berubah-ubah dan merupakan kesatuan dinamis
yang bermakna. Kehidupan itu sendiri sebagian besar terjadi atas kenyataan
sosial walaupun juga ada yang meniru subjektivitas manusia Santosa dan
Wahyuningtiyas 2010: 51.
Berdasarkan pendapat diatas novel adalah sebuah karangan prosa fiksi
yang baru, dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra
lainnya seperti puisi, drama, jenis novel ini muncul kemudian. Memuat cerita
rekaan atau cerita khayalan mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang, kehidupan itu sendiri sebagian besar terjadi atas kenyataan sosial
walaupun juga ada yang meniru subjektivitas manusia
C. Hakikat Film
Film secara harfiah yakni sinema, dijelaskan yakni cinemathographic yang
berasal dari kata cinema dan tho/ “phytos” yakni cahaya serta graphic adalah
tulisan/ gambar/ citra, bisa dikatakan film tersebut berarti melukiskan suatu
gerak dengan cahaya Kartika (Aniskurli, dkk 2020: 141). Definisi lain dari
film yakni, film merupakan hasil cipta karya seni yang memiliki kelengkapan
dari beberapa unsur seni untuk melengkapi kebutuhan yang sifatnya spiritual.
Film melakukan komunikasi verbal melalui dialog (seperti drama), film
mempergunakan irama yang kompleks dan halus (seperti musik), film
berkomunikasi melalui citra, metafora, dan lambang-lambang (seperti puisi),
film memusatkan diri pada gambar bergerak (seperti pantomim) yang
memiliki ritmis tertentu (seperti tari), dan akhirnya film memiliki
kesanggupan unutk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan
mempersingkatnya, memajukan atau memundurkannya secara bebas dalam
batas-batas wilayah yang cukup lapang. Sementara itu Damono (2018: 110)
film adalah jenis kesenian yang paling muda, sebelum adanya televisi.
Televisi itu sendiri adalah film yakni gambar bergerak yang kita tonton di
layar. Sejalan dengan pendapat tersebut Cahyaningrum (2010: 25) film adalah
selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di
bioskop) lakon atau gambar hidup. Selain itu, film juga berarti sebagai karya
cipta seni dan budaya. Kesenian ini merupakan bagian media komunikasi
audio-visual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam
berbagai alat. Adapun alat yang dimaksud adalah pita seluloid, pita video,
piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya dengan atau tanpa suara yang dapat di pertunjukkan dan
ditayangkan. Cahyaningrum (2010: 26) bahasa film adalah kombinasi antara
bahasa suara dan bahasa gambar. Sebagai media komunikasi yang terutama
bersifat bersifat visual, yang melahirkan “gambar bergerak” apa yang disebut
sebagai tata bahasa film dan video cenderung berpusat pada aspek visualitas
dan dinamakannya. Oleh karena itu, hal yang dianggap signifikan dalam
kedua media tersebut pastilah objek-objek visual dengan segala dinamikanya
Faruk (Cahyaningrum 2010: 26).
Berdasarkan pendapat diatas film adalah hasil cipta karya seni merupakan
bagian media komunikasi audio-visual yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam berbagai alat. Film melakukan komunikasi
verbal melalui dialog (seperti drama), film mempergunakan irama yang
kompleks dan halus (seperti musik), film berkomunikasi melalui citra,
metafora, dan lambang-lambang (seperti puisi), film memusatkan diri pada
gambar bergerak (seperti pantomim) yang memiliki ritmis tertentu (seperti
tari), dan akhirnya film memiliki kesanggupan unutk memainkan waktu dan
ruang.
D. Hubungan Novel dan Film
Film dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap massa,
karena sifatnya audio visual atau gambar dan suara yang hidup. Jadi, film
merupakan wujud gerak dengan cahaya. Bluestone (Eneste, 1991: 18) pada
dasarnya film merupakan gabungan dari berbagai ragam jenis kesenian. Baik
dan tidaknya sebuah film sangat bergantung pada kekompakan tim dalam
berkerja. Berbeda dari novel, film berkomunikasi tidak melalui lambang-
lambang abstrak yang dicetak di atas halaman kertas sehingga memerlukan
suatu penerjemahan oleh otak ke pelukisan visual dan suara, tapi langsung
melalui gambar-gambar visual dan suara nyata.
Novel dan film merupakan dua karya dengan medium yang berbeda.
Sehingga novel yang diangkat menjadi film sudah pasti ditemukan perbedaan.
Dibandingkan dengan novel, film relatif lebih banyak memakai perlambangan
sebagai alat pengucapannya. Novel melambangkan suatu kehidupan baru
memerlukan penjelasan panjang lebar dan berhalaman-halaman. Sedangkan
film hanya membutuhkan beberapa detik (Yenni Armiati 2018: 303). Sejalan
dengan pendapat tersebut Wahyuni (2018: 2) Novel dan Film adalah dua hal
yang berbeda. Novel adalah karya sastra, sedangkan film adalah bidang lain di
luar karya sastra. Namun, tidak tertutup kemungkinan keduanya dapat
dibandingkan karena keduanya memiliki struktur naratif yang hampir sama.
Keduanya memiliki karakter, peristiwa, latar, dan narator atau penceritanya
masing-masing. Proses perubahan ketika satu novel diubah ke dalam bentuk
film terjadi karena novel dan film adalah dua hal yang berbeda sehingga
karakteristiknya pun tidak sama. Novel merupakan hasil karya individu atau
kolaborasi dua individu, sedangkan film merupakan hasil kerja tim atau
kelompok. Novel tidak habis dibaca dalam sekali duduk. Butuh waktu lama
untuk memahami isi cerita dalam novel tertentu. Sedangkan film hanya
berdurasi lebih kurang 120 menit. Dari situ, perubahan dapat langsung terlihat
yaitu pada durasi waktu. Durasi waktu itu pun dapat memengaruhi perubahan-
perubahan lain pada film yang mengadaptasi novel. Karena durasi waktu yang
singkat, sutradara harus melakukan perubahan-perubahan pada hal-hal
tertentu. Sutradara juga bisa melakukan penciutanpenciutan atau bahkan
penambahan-penambahan demi mendukung unsur film.
Damono (2018: 112) karena film membutuhkan cerita, hubungan antara
film dan sastra sudah berlangsung sejak awal perkembangan kesenian baru itu.
Dalam sejarah perkembangan film kita, novel Kwee Tek Hoay yang berjudul
Bunga Raos dari Cikembang (1924), pernah difilmkan di tahun 1930-an. Pada
tahun 1960-an novel yang sama dibuat lagi. Kegiatan itu disusul dengan
sejumlah film yang diangkat dari dua novel populer yang sangat banyak
peminatnya, masing-masing ditulis oleh Andrea Hirata dan Habibburahman,
yakni film Laskar Pelangi (2008) dan Ayat-ayat Cinta (2008).
E. Unsur-unsur yang Membangun Karya Sastra
1. Unsur Intrinsik
Novel sebagai karya sastra bergenre prosa fiksi memiliki unsur-
unsur yang membangunnya. Nurgiyantoro (2015: 30) unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, unsur-unsur
inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra. Unsur
intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta
membangun cerita. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja
misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain. Sementara itu Alfian
(2014: 32) menyebutkan bahwa unsur intrinsik prosa terdiri atas tema dan
amanat, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang.
a. Tema
Setiap novel mengandung gagasan pokok yang lazim disebut tema.
Scharbach (Aminuddin 2014: 91) tema berasal dari bahasa latin yang
berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’, disebut demikian karena
tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Nurgiyantoro (2015: 115) tema adalah gagasan
(makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai
struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang
dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara
implisit. Sejalan dengan pendapat tersebut Alfian (2014: 32)
menjelaskan tema adalah inti persoalan, pokok pembicaraan
merupakan dasar penceritaan serta merupakan patokan dalam
menggerakkan cerita dari awal sampai akhir. Sudjiman (Alfian 2014:
33) tema adalah gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasari
suatu karya sastra. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh
pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang
banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin
perlu dilakukan beberapa kali karena belum cukup dilakukan dengan
sekali baca. Dalam hal tertentu, tema dapat disinonimkan dengan ide
atau tujuan utama cerita. Berdasarkan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa tema adalah ide pokok, gagasan utama, dan inti
persoalan yang akan diungkapan oleh pengarang melalui karya sastra
baik secara ekspilisit maupun implisit. Tema selalu berkaitan dengan
pengalaman hidup manusia.
a. Alur/Plot
Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian
cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga
menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
cerita Aminuddin (2014: 83). Sejalan dengan pendapat diatas,
dikemukakan oleh Stanton (2011: 6) bahwa alur atau plot adalah
cerita yang berisikan urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan terjadinya
peristiwa lain. Pendapat tersebut juga diungkapkan oleh Nurgiyantoro
(2015: 32) plot atau alur adalah struktur penceritaan dalam prosa yang
di dalamnya berisi rangkaian kejadian atau peristiwa yang disusun
berdasarkan sebab akibat (kausalitas) serta logis.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa plot atau
alur adalah jalinan peristiwa yang membentuk sebuah cerita baik
secara lurus bolak balik, maupun keduanya.
b. Tokoh dan Penokohan
1) Tokoh
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-laku
tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan
tokoh Aminuddin (2014: 79). Sementara itu Nurgiyantoro (2015:
247) mengungkapkan bahwa istilah tokoh menunjuk pada
orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap
pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, dan sebagainya.
Sejalan dengan pendapat tersebut Abrams, Baldic (Nurgiyantoro
2015: 247) menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi
pelaku dalam cerita fiksi atau drama. Berdasarkan pendapat diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh adalah pelaku cerita dalam
suatu karya sastra. Istilah tokoh menunjukkan pada orangnya,
dalam hal ini berperan sebagai pelaku cerita.
2) Penokohan
Abrams (Fananie, 2012: 87) mengatakan bahwa untuk
menilai karakteer tokoh dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan
apa yang dilakukan. Pada dasarnya “penokohan” berasal dari
kata”tokoh” yang berarti pelaku. Karena yang dilukiskan mengenai
watak tokoh atau pelaku cerita, maka disebut perwatakan atau
penokohan. Zulfahnur dkk (1996: 29) menjelaskan bahwa
penokohan dan perwatakan adalah lukisan tokoh/pelaku cerita
melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah lakunya dalam cerita.
Menurut Nurgiyantoro (2012: 176-185) mengemukakan bahwa
tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana dan
penamaan itu dilakukan. Berdasarkan peranannya terhadap jalan
cerita, tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu.
a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita.
Biasanya ada satu atau dua figur tokoh prootagonis utama, yang
dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai
pendukung cerita.
b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menentang cerita. Biasanya
ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa
figur pembantu yang ikut menentang cerita.
c) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh
protagonis maupun untuk tokoh triagonis.
Sementara itu berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita,
tokoh dibedakan menjadi tiga yaitu.
a) Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan
gerak cerita. Tokoh sentral merupakan pusat perputaran cerita.
Namun, tokoh sentral bisa saja sebagai tokoh protagonis
maupun tokoh antagonis.
b) Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh
sentral. Dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral
yaitu tokoh tritagonis.
c) Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran
pelengkap atau tambahan dalam rangkaian cerita. Kehadiran
tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak
semua cerita menampilkan kehadiran tokoh pembantu.
1) Latar/Setting
Abrams (Santosa dan Wahyuningtyas, 2011: 7) menyatakan bahwa
latar adalah landas tumpu, penyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan. Sementar itu Aminuddin (2014: 67)
menjelaskan bahwa latar atau setting adalah peristiwa dalam karya
fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis, dengan demikian setiap peristiwa
dalam kehidupan pada dasarnya juga berlangsung di tempat-tempat
tertentu yang berhubungan dengan daerah, waktu bahkan dengan
hubungan sosial. Nurgiyantoro (2012: 227) menyebutkan bahwa unsur
latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu
dan sosial. Unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Berikut ini
rincian unsur-unsur latar yaitu:
1) Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
diperrgunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2) Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu
yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
1) Latar Sosial
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai
masalah dalam lingkungan dalam lingkup yang cukup kompleks.
Tata cara tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, bersikap dan
sebagainya. Disamping itu latar sosial juga berhubungan dengan
status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau kaya.
a. Sudut Pandang Pengarang
Sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang dalam
sebuah karya fiksi. Sesuai dengan pendapat Abrams (Nurgiyantoro,
2012: 248) yang menyebutkan bahwa sudut pandang menyaran pada
cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan
yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca.
b. Amanat
Amanat merupakan unsur cerita fiksi yang mempunyai hubungan
erat dengan tema. Zulfahnur, dkk (1996: 26) mengartikan bahwa
amanat adalah pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral dan nilai-nilai
kemanusiaan yang ingin disampingkan atau dikemukakan pengarang
lewat cerita. Amanat dalam karya sastra sebaiknya disesuaikan dengan
situasi dan kondisi lingkungannya. Wujud amanat dapat berupa kata-
kata mutiara, nasihat, firman Tuhan, dan sebagainya. Amanat
merupakan bagian integral dari dialog dan tindakan tokoh cerita.
1. Unsur Ekstrinsik
Nurgiantoro (2012: 23) menjelaskan unsur ekstirnsik adalah unsur-
unsur yang aspek analisisnya berupa tinjauan diluar karya sastra, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi struktur bangunan atau sistem
organisme karya sastra. Sebagaimana halnya dengan unsur intrinsik,
unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang
dimaksud dikemukakan oleh Wellek dan Warren (Nurgiyantoro, 2012:24)
antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang
memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu
akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Seperti unsur biografi
pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan. Unsur
ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi
pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologipembaca,
maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh
terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur
ektrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai
karya seni yang lain dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa uraian diatas mengenai unsur yang
membangun karya sastra, yaitu instrinsik dan ekstrinsik dapat
disimpulkan bahwa, kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para
kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya
sastra pada umumnya. Oleh karena itu, penulis mengkaji pendekatan
intertekstual dalam novel dengan menganalisis struktur yang terdapat
dalam novel tersebut.
F. Ekranisasi
Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah
novel ke film. Pemindahan novel kelayar putih mengakibatkan timbulnya
berbagai perubahan, oleh karena itu dapat dikatakan ekranisasi adalah proses
perubahan Eneste 1991: 60. Pemindahan novel ke layar putih, berarti
terjadinya perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia kata-
kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Pada proses
penggarapan pun terjadi perubahan yakni penciutan cerita, penambahan cerita
dan perubahan bervariasi cerita. Eneste (1991: 61) menjelaskan beberapa
proses terjadinya perubahan dalam ekranisasi yakni sebagai berikut: 1)
Pengurangan: langkah yang harus ditempuh dalam proses transformasi karya
sastra salah satunya adalah pengurangan dari novel ke film. Pengurangan
adalah pemotongan karya sastra dalam proses transformasi unsur cerita
sehingga terjadi perubahan. Eneste (1991: 62) mengungkapkan bahwa pada
dasarnya pengurangan dalam karya sastra terjadi pada alur, tokoh, latar, dan
suasana. Dengan adanya proses pengurangan atau pemotongan tidak semua
apa yang ada di dalam novel akan ditemukan pula di dalam film. 2)
Penambahan: perubahan karya sastra dalam proses transformasi dari novel ke
bentuk film. Sama halnya dengan pengurangan, proses ini juga bisa terjadi
pada ranah cerita, alur, penokohan, latar, maupun suasana. Penambahan yang
terjadi dalam proses ekranisasi ini tentunya memiliki alasan. Eneste (1991: 64)
menyatakan bahwa penambahan dalam film sangat penting untuk seorang
sutradara karena untuk menunjang dari segi filmis. 3) Perubahan Bervariasi:
proses transformasi yang memungkinkan terjadinya dari karya sastra ke
bentuk film. Eneste (1991: 65) megemukakan dalam ekranisasi kemungkinan
dapat terjadi variasi antara novel dan film. Pada dasarnya dalam transformasi
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, media yang digunakan,
persoalan penonton, dan durasi waktu pemutaran. Variasi juga dapat terjadi
dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, dan sebagainya. Eneste (1991:67)
menyatakan bahwa dalam mengekranisasi film perlu membuat variasi dalam
film, sehingga film yang didasari atas novel itu lebih terkesan dan tidak seasli
dari novelnya. Damono (2018: 105) menjelaskan ekranisasi adalah aksara
menjadi gambar, dalam kegiatan alih wahana yang paling sering dilakukan
dan menjadi bahasan pembicaraan dan bahan studi adalah pengubahan novel
menjadi film. Proses pengubahan itu akan menghasilkan jenis kesenian yang
berbeda dari sumbernya. Damono (2018: 117) perbedaan novel sebagai
sumber alih wahana ke film adalah bahwa penulis skenario dan sutradara film
harus memotong dan memilih bagian-bagian novel yang tidak diperlukan, atau
menambah-nambah adegan, tokoh, dan alur agar cerita bisa mencukupi waktu
tayang yang 1,5 jam.
Alih wahana novel ke film merupakan upaya perluasan jangkauan
penikmat novel. Dengan mengadaptasi novel, pembuat film tinggal
menyesuaikan skenario yang dibuat berdasarkan novel yang dipilih. Kendati
demikian, pembuatan film dari novel tidak semudah yang dibayangkan. Novel
sudah pernah dibaca oleh masyarakat. Otomatis jika dibuatkan filmnya,
masyarakat dengan mudah mengimajinasikan film tersebut. Bahkan
dimungkinkan ada perbedaan dalam hal imajinasi antara pembaca satu dengan
pembaca yang lainnya. Imajinasi tersebut terkait beberapa hal, yaitu tokoh-
tokoh yang berperan, narator atau pencerita, latar, dan peristiwa yang terjadi
dalam film tersebut. Itulah yang menjadi tantangan bagi sutradara yang
mengadopsi novel untuk filmnya. Film yang dibuat tidak melulu sama persis
dengan yang ada di dalam novel. Ada beberapa hal yang berbeda. Perbedaan
itu berupa penciutan, penambahan, atau bahkan perubahan bervariasi.
Penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi menyangkut sejumlah
struktur naratif, yakni perbedaan pada tokoh dan penokohan, peristiwa, latar,
dan narator dari novel dan film tersebut (Wahyuni 2018: 2). Sejalan dengan
pendapat tersebut Armiati Yenni (2018: 303) Ekranisasi adalah suatu proses
pelayarputihan, pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film.
Pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan
timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga disebut
sebagai proses perubahan yang mengalami penciutan, penambahan
(perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ekranisasi atau
alih wahana merupakan proses pengadaptasian dari karya sastra ke film.
Proses ekranisasi novel merupakan pemindahan bahasa tulis yang ada di novel
menjadi dunia-dunia gambar yang bergerak dan berkelanjutan. Tujuan
ekranisasi itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh
terhadap karya tersebut. Perubahan-perubahan pada penggarapan cerita yakni
terjadi perubahan dari penciutan atau pemotongan cerita, penambahan cerita,
dan perubahan variasi cerita.

Anda mungkin juga menyukai