Anda di halaman 1dari 12

8

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teoritis

1. Hakekat Sastra

Sastra secara etimologi diambil dari bahasa-bahasa Barat

(Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis),

literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya

berasal dari kata litteratura (bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta

dari terjemahan kata grammatika (bahasa Yunani). Litteratura dan

grammatika masing-masing berdasarkan kata “littera” dan “gramma”

yang berarti huruf (tulisan atau letter). Dalam bahasa Prancis, dikenal

adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra yang bernilai

estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga digunakan dalam bahasa

Inggris sebagai kata serapan, sedangkan dalam bahasa Belanda

terdapat istilah bellettrie untuk merujuk makna belles-lettres.

Dijelaskan juga, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa

Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti

mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata sastra

tersebut mendapat akhiran tra yang biasanya digunakan untuk

menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra berarti alat untuk

mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga

diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas

berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).


9

Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra adalah

ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,

perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran

konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga

sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide,

perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau

ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan oleh pendapat

Saryono (2009: 18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk

merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun

pengalaman yang nonempiris-supernatural, dengan kata lain sastra

mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.

Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak

(barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai

sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai

sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan

kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan

kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan

penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran

nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan,

menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya,

yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas

kehidupannya (Saryono, 2009: 20). Sastra dapat dipandang sebagai

suatu gejala sosial (Luxemburg, 1984: 23). Hal itu dikarenakan sastra
10

ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan

norma- norma dan adat itiadat zaman itu dan pengarang sastra

merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya

sebagai anggota dari masyarakat tersebut.

Dunia kesastraan juga mengenal karya sastra yang berdasarkan

cerita atau realita. Karya yang demikian menurut Abrams (via

Nurgyantoro, 2009: 4) disebut sebagai fiksi historis (historcal fiction)

jika penulisannya berdasarkan fakta sejarah, fiksi biografis

(biografical fiction) jika berdasarkan fakta biografis, dan fiksi sains

sains (science fiction) jika penulisannya berdasarkan pada ilmu

pengetahuan. Ketiga jenis ini disebut fiksi nonfiksi (nonfiction

fiction). Menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya sastra

merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk

menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalamannya.

2. Hakekat Novel

Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel

dalam bahasa Inggris. Sebelumnya istilah novel dalam bahasa Inggris

berasaql dari bahasa Itali, yaitu novella yang dalam bahasa Jerman

novelle. Novela diartikan sebuah barang baru yang kecil, kemudian

diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam

Antilan Purba, 2012:62). Istilah novella atau novelle mengandung

pengertian yang sama dengan istilah novelet (dalam bahasa Inggris

novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya


11

cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek

(Nugriyantoro dalam Antilan Purba, 2012:62). Ada yang

mengemukakan bahwa kata novel berasal dari bahasa latin, yaitu

noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan

baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti

puisi dan drama (Tarigan dalam Antilan Purba, 2012:62).

Dalam Suroto (1993:19) H. B. Jassin berpengertian Novel

adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan

suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh

cerita) luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu

pertikaian, yang mengalihkan jurusans nasib tokoh. Novel hanya

menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar

istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib. Apakah itu

segi cintanya, ketamakannya, kekerasannya, keperkasaannya dan lain-

lain. Tentu di dalam satu segi itu terdapat beberapa peristiwa

kehidupan yang dialami sang tokoh sehingga ia sampai mengalami

perubahan jalan hidup.

Dalam Kamus Istilah Sastra, Abdul Rozak Zaidan, Anita K.

Rustapa, dan Hani’ah menuliskan, novel adalah jenis prosa yang

mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan

kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan

mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan

yang menjadi dasar konvensi penulisan (dalam Antilan Purba,


12

2012:63). Dalam kamus Istilah Sastra, Panuti Sudjimanberpengertian

bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan

tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara

tersusun (dalam Antilan Purba, 2012:63).

Novel sebagian besar paling mendekati gambaran kehidupan

sosial dibandingkan dengan genre sastra yang lain. Konflik yaqng

dapat kita tangkap dalam novel adalah gambaran ketegangan antara

individu dengan individu, lingkungan sosial, alam, dan Tuhan. Atau

ketegangan individu dengan dirinya sendiri. Ketegangan–ketegangan

itu, sering kali justru dipandang sebagai cermin kehidupan

masyarakat, yang di dalamnya terkandung juga akar budaya

(Mahayana , 2007:226-227).

3. Hakekat Bahasa

Bahasa memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan

sosial masyarakat. Karena dengan menggunakan bahasa, kita dapat

berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Bahasa

merupakan cermin kepribadian seseorang. Artinya, melalui bahasa

(yang digunakan) seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui

kepribadiannya (Pranowo, 2009: 3). Jika kita berbahasa dengan baik

dan sopan, maka mencerminkan bahwa kepribadian kita juga baik dan

sopan. Tetapi, jika kita berbahasa secara kasar dan tidak sopan, maka

tercermin bahwa perilaku kita tidak baik dan kurang sopan. Seperti

yang dikatakan oleh Pranowo (2009: 8) jika seseorang berbahasa


13

secara baik, benar dan santun dapat membentuk perilaku seseorang

tersebut menjadi lebih baik.

Slamet (2007: 31) mendefinisikan bahasa sebagai alat

komunikasi yang umum dalam masyarakat. Bagaimanapun wujudnya,

setiap masyarakat pastilah memiliki bahasa sebagai alat komunikasi.

Hal tersebut diperkuat juga oleh Widjono (2007: 14) yang mengatakan

bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan

untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya.

Novel Dilan 1991 Karya Pidi Baiq adalah jenis novel romance.

Novel romance sebagai novel yang menceritakan kisah perjuangan

dua orang manusia (pria dan wanita) menggapai kebahagiaannya

melalui hubungan cinta/asmara dan berakhir bahagia. Jadi, novel

romance tidak sesederhana novel yang “ada adegan pacarannya”. Ia

harus mengisahkan perjalanan dua anak manusia yang mencoba

menggapai kebahagiaan melalui hubungan cinta. Sederhananya,

dari proses naksir sampai jadian.Dalam novel romance, penulis

menggambarkan lika-liku percintaan, masalah cinta yang harus

dihadapi oleh karakternya, dan bagaimana menyelesaikannya.

4. Hakekat Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran dan perasaan

batin yang hidup melalui bahasa yang khas dalam bertutur untuk

memperoleh efek-efek tertentu sehingga apa yang dinyatakan menjadi

jelas dan mendapat arti yang pas. Gaya bahasa yang digunakan oleh
14

penulis pada hakikatnya adalah cara menggunakan bahasa yang

setepat-tepatnya untuk melukiskan perasaan dan pikiran penulis yang

berbeda dari corak bahasa sehari-hari dan bersifat subyektif. Majas

dibagi menjadi 4 kelompok yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya

Bahasa sindiran, gaya bahasa penegasan dan gaya bahasa

pertentangan.

a. Gaya bahasa perbandingan

Pradopo berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah

bahasa yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan

mempergunakan kata-kata pembanding, seperti; bagai, sebagai,

bak, seperti, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata

pembanding yang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya

bahasa perbandingan adalah gaya bahsa yang mengandung

maksut membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau

mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap

sama. Contoh: bibirnya seperti delima merekah, adapun gaya

bahasa perbandingan ini meliputi: Hiperbola, metonimia,

personfikasi, metafora, sinekdoke, alusi, simile, asosiasi,

eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym dan hipalase.

b. Gaya bahasa sindiran

Gaya bahasa sindiran merupakan gaya bahasa berkias yang tidak

akan tampak makna aslinya. Penggunaan gaya bahasa sindiran

ditujukan agar seseorang merasa dan melakukan perubahas atas


15

sindiran dari seseorang. Keistimewaan gaya bahasa sindiran

dapat dilihat melalui penggunaan kata berkias di dalamnya.

Semakin bagus dalam menggunakan kata kata akan menciptakan

kesan khusus ketika menuturkan pada seseorang yang menjadi

sasaran. Bahasa berkias yang mengungkapkan suatu sindiran

untuk tujuan menciptakan kesan serta pengaruh terhadap

pembaca maupun pendengar disebut sebagai gaya bahasa

sindiran.

c. Gaya bahasa penegasan

Gaya bahasa Penegasan adalah majas yang digunakan untuk

menyatakan suatu hal secara tegas guna meningkatkan

pemahaman dan kesan bagi para pembaca dan pendengar

d. Gaya bahasa pertentangan

Majas pertentangan adalah penggunaan gaya bahasa atau

kata berkias yang menyatakan pertentangan dengan maksud

sebenarnya oleh pembicara atau penulis dengan tujuan untuk

memberikan kesan dan pengaruhnya kepada pembaca atau

pendengar.

5. Hakekat Retoritis

Gaya bahasa merupakan bentuk retoris, yaitu penggunaan kata-

kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau

mempengaruhi penyimak atau pembaca. Kata retoris atau retorik

berasal dari bahasa Yunani rhetor yang berarti orator atau ahli pidato.

Menurut pendapat Abrams (dalam Anggie, 2015:33) bahwa gaya


16

bahasa retoris adalah gaya bahasa yang dasar patokannya tidak

berpokok dari kata-kata tapi sesuai urutan atau pola sintaskisis. Ada

beberapa jenis gaya bahasa retoris yaitu sebagai berikut :

a. Eufemismus

Eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata

Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata

dengan arti yang baik”. Secara gaya bahasa, eufemisme adalah

semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak

menyinggung perasaan orang lain, atau ungkapan-ungkapan

yang halus untuk mengganti acuan-acuan yang mungkin

dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugesti

sesuatu yang tidak menyenangkan. Eufemisme yang terdapat

dalam data sebagai berikut:

1. “Hormatilah orang lain kalau ingin dihormato,” kata Dilan.

(hal 177).

Pada kalimat ini Dilan menggunakan kalimat “hormati

orang lain kalo mau dihormati” pada hormat berarti

perilaku yang dilakukan untuk merendakan diri kepda

orang yang lebih tua, jadi Dilan menggunakan kata hormat

diawal kalimat karena dia tau lawan bicaranya tidak

seumuran dengan Dilan, akibatnya kalimat yang

dikeluarkan halus dan tidak menyinggung perasaan orang

lain.
17

b. Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk

menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu

hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu

pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Litotes

yang terdapat dalam data sebagai berikut:

2. “Maaf ini. Agak berantakan rumahnya”, kata ibuku. (hal

189)

Kalimat ini merupakan litotes, karena dapat dibuktikan

dengan kalimat “agak berantakan rumahnya”. Dalam kutipan

tersebut ibunya mengunakan kata “agak” diawal kalimat

agar, tidak menyinggung perasaan lawan bicaranya . dilihat

dari pengertian litotes, semacam gaya bahasa yang dipakai

untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.

Dari kalimat ini si ibu menyatakan perkataannya dengan

tujuan merendahkan diri, dihadapan lawan bicaranya.

c. Pleonasme

Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata

lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu

pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata


18

yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Pleonasme

yang terdapat dalam data sebagai berikut:

3. “ Beni mengucapkan selamat ulang tahun dan

memberikanku seikat rangkaian bunga yang indah. Warna-

warni dan harum baunya.(hal 66)

d. Hiperbol

Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang

mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan

membesar-besarkan sesuatu hal (jumlahnya, ukurannya, atau

sifatnya). Hiperbola yang terdapat dalam data sebagainberikut :

4. “Aku pandangi dia dari jauh, tapi itu adalah pandangan

yang gemas dicampur dengan rasa kesal dan jengkel yang

paling sangat dan kayaknya tidak pernah dirasakan

manusia kecuali oleh aku. (hal 86)

Uraian data di atas menunjukan penggunaan gaya

bahasa hiperbola, yaitu pernyataan yang berlebihan dengan

membesarkan suatu hal. Gaya bahasa hiperbola ditunjukan

pada bagian “yang paling sangat dan kayaknya tidak pernah

dirasakan manusia kecuali oleh aku.” Bagia data tersebut

merupakan pernyataan yang berlebihan karena tidak dapat

diterima secara logika. Secara umum, perasaan kesal dan

jengkel berlebihan mutlak dirasakan seluruh manusia

sehingga tidak mungkin hanya dirasakan oleh tokoh Milea


19

saja. Penggunaan gaya bahasa hiperbola pada data diatas

berfungsi memberikan nilai estetika dalam novel Dilan.

e. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang

mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang

ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik

perhatian karena kebenarannya. Paradok yang terdapat dalam

data sebagaiberikut:

5. “Aku bukan melawan guru, Bu. Aku melawan Suprianto,”

kata Dilan.(hal 177)

Dari kalimat “Aku bukan melawan guru, Bu. Aku melawan

Supianto. Kalimat ini sangat bertentangan karena Dilan di

tuduh oleh ibu guru bahwa sudah melawan gurunya, tetapi

sesuai fakta, dia tidak melakukannya, dia hanya melawan

temannya Suprianto.

Anda mungkin juga menyukai