Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS SIMIOTIKA RIFATERRE DALAM BUKU “PUISI BARU”

KARYA SULTAN TAKDIR ALISJAHBANA


¹Magfirah, ²Sry Wahyuni
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
1
magfirahfatimah@gmail.com, 2swahyunima@gmail.com.

ABSTRAK
Bahasa merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan.
Aktivitas Bahasa mengenal adanya empat keterampilan berbahasa yaitu,
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan tersebut
saling berkolerasi satu dengan yang lain, sehingga untuk mempelajari salah satu
keterampilan berbahasa beberapa keterampilan yang lainnya juga akan terlibat.
Dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya kita akan melalui suatu
urutan hubungan yang teratur: (1) menyimak atau mendengarkan, (2) berbicara,
(3) membaca, dan (4) menulis.
Bahasa adalah alat yang digunakan untuk saling berkomunikasi untuk
menyampaikan maksud kepada lawan bicara. Fungsi lain dari Bahasa yaitu
sebagai alat untuk mengontrol diri atau sebagai control social.
Karya sastra merupakan dunia imajinasi yang diciptakan oleh pengarang
imajinasi yang tercipta dari dalam diri seorang pengarang dan lingkungan
sekitarnya. Imajinasi yang diciptakan dari dalam diri berhubungan dengan kondisi
psikologis yang dialami oleh pengarang. Hal tersebut sangat berpengaruh bagi
karya sastra yang akan dituliskannya.
Selain berasal dari imajinasi pengarang, karya sastra juga dapat dihasilkan
dengan adanya proses kreatif pengarang dalam mendeskripsikan ide-ide yang
dipikirkan dan dirasakan oleh pengarang dengan menggunakan Bahasa sebagai
mediumnya. Proses kreatif sangat menentukan baik buruknya sebuah karya sastra
yang nantinya akan disuguhkan kepada pembaca. Sebagai karya kreatif, karya
sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha
menyalurkan kebutuhan manusia akan keindahan dengan pemilihan diksi yang
tepat, sehingga pembaca mampu menafsirkan apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang lewat karya sastra tersebut.
Puisi merupakan karya sastra yang masuk dalam golongan lirik.
Dibandingkan dengan jenis karya sastra lain seperti epic dan drama, puisi
memiliki Bahasa yang lebih padat dan indah dan pemaknaan dalam puisi adalah
multi tafsir. Masing-masing individu dapat memiliki interpretasi tersendiri.
Bahasa yang digunakan dalam puisi juga bukan merupakan Bahasa harian.
Pemilihin kata pada puisi sangat selektif dan memerhatikan norma serta
kehidupan. Hal ini disimpulkan dari definisi Perrine tentang puisi, yaitu: puisi
dapat didefinisikan sebagai sejenis Bahasa yang mengatakan lebih banyak dan
lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh Bahasa harian (Perrine, 1974:553)
Berkaitan dengan keistimewaan puisi yang telah disebutkan di atas, maka
dalam memaknai puisi tidak bisa dilakukan secara asal. Karena sering kali Bahasa
dalam puisi itu merupakan sebuah tanda yang menyimpang dari arti sebenarnya
atau semantik, memiliki multi makna, dan Bahasa kias. Oleh karena itu,diperlukan
suatu pengkajian puisi untuk memeroleh kesatuan makna yang utuh dari suatu
puisi. Puisi dapat dikaji dengan berbagai pendekatan, baik secara struktural
maupun semiotik.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengkaji makna pada puisi dengan
pendekatan Semiotika Riffaterre, karena pada dasarnya kata-kata yang terdapat
dalam puisi dinilai sebagai sebuah tanda yang harus digali maknanya. Akan tetapi,
pemberian makna itu tidak bisa dilakukan secara asal, melainkan melalui
kerangka semiotik (ilmu tanda) karena karya sastra sendiri merupakan suatu
system tanda.
Puisi Baru dalam buku ini peneliti menganbil 5 sampel untuk di teliti yaitu
puisi yang di tulis oleh Muhammad Ali Hasjim, selanjutnya untuk lebih lanjut
silahkan membaca sampai tuntas.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sastra
1. Pengertian Sastra
Kata sastra pada awalnya sebenarnya adalah kesusastraan, akan tetapi orang
lebih suka menggunakan istilah sastra. Kata kesusastraan berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu susastra dengan memperoleh iombuhan ke-an. Kata su berarti
baik atau indah, dan kata sastra berarti tulisan atau karangan. Jadi, kesusastraan
adalah semua tulisan atau karangan yang indah dan baik, semua tulisan atau
karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang
indah.(“PEMBELAJARAN SASTRA | ALDON SAMOSIR , S.Pd.,” n.d.)
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sastra adalah karya tulis
yang jika dibandingkan dengan trulisan biasa lainnya, memiliki berbagai cirri
keunggulan, keaslian, keartistikan, keindahan, isi dan ungkapan. Karya sastra
sendiri merupakan karangan yang memiliki nilai kebaikan berupa tulisan dengan
bahasa yang indah penuh estetika. Sastra sendiri juga memberikan pengetahuan
dan wawasan umum mengenai manusia, sosial, intelek, dengan gaya yang khas
dan unik. Di mana pembaca sastra dapat menginterpretasikan teks sastra sesuai
dengan pengalamanan dan wawasannya, Semua kembali ke pembaca dan
penikmat.(Cakiel, 2018).
Sastra merupakan bagian dari gambaran kehidupan social yang disajikan
melalui perenungan sehingga dapat hasil karya yang tercipta benar-benar citraan
dari perkemangan zaman yang terjadi pada masyarakat. Di dalam karya sastra
sering kita jumpai berbagai kisah yang menggambarkan kehidupan sosial
masyarakat seperti politik, ekonomi sosial, budaya, dan agama. Oleh karena itu,
meskipun dikatakan karya fiksi, sebuah karya sastra tidak serta-merta murni
sebuah hayalan dan imajinasi. Akan tetapi, sebuah karya sastra lahir melalui
tempaan pengalaman penulisnya.
2. Jenis jenis Sastra
a. Prosa
Secara etimologis, kata prosa diambil dari bahasa Latin
“Prosa” yang artinya “terus terang”. Sehingga pengertian
prosa adalah karya sastra yang digunakan untuk
mendeskripsikan suatu fakta.(Prawiro, 2018)
Prosa merupakan bentuk seni sastra yang diuraikan dengan
menggunkan bahasa yang bebas dan cenderung tidak terikat oleh irama,
diksi, rima, kemerduan bunyi atau kaidah serta pedoman kesusastraan
lainnya. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan
suatu fakta atau ide. Karenaya prosa bisa digunakan untuk surat kabar,
majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.
Prosa dibagi kedalam empat jenis yaitu prosa naratif, prosa deskiptif,
prosa eksposisi, dan prosa argumentatif. Bentuk dari prosa sendiri
memiliki dua macam, yaitu roman dan novel. Roman adalah cerita yang
mengisahkan seorang tokoh secara keseluruhan dari lahir sampai akhir
hayatnya, sedangkan novel hanya mengisahkan sebagian kehidupan tokoh
yang mengubah nasibnya.(Badriya, 2016)
Secara umum prosa dikelompokkan 2 jenis yaitu prosa lama dan prosa
baru. Adapun jenis prosa terbagi atas:
1) Prosa lama
Prosa lama adalah jenis prosa yang tidak atau belum dipengaruhi
oleh kebudayaan luar dan biasanya disajikan secara lisan. Beberapa
yang termasuk dalam prosa lama adalah:
a) Hikayat
b) Sejarah (tambo)
c) Kisah
d) Dongeng ( mitos, legenda, fable, sage, dan jenaka/pandir)
e) Cerita berbingkai
2) Prosa baru
a) Novel
b) Cerpen
c) Roman
d) Riwayat
e) Kritik
f) Resensi
g) Essai (Prawiro, 2018)

b. Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang
berarti berbuat, belaku, bertindak, atau bereaksi dan
sebagainya (Harymawan, 1988:1). Adapun istilah lain
drama berasal dari kata drame, sebuah kata yang berasal
dari bahasa Perancis yang diambil oleh Diderot dan
Beaumarchaid yaitu drama bermaksud untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah.
Jadi, pengertian drama adalah jenis sastra berupa lakon
yang ditulis dengan dialog-dialog yang memperhatikan
unsur-unsur dengan gerak atau perbuatan yang akan
dipentaskan di atas panggung(Milawati, 2011)
Dalam artian luas drama berarti sebuah bentuk
tontonan yang mengandung cerita yang di pertunjukkan di
depan banyak orang adapun dalam pengertian sempitnya
drama itu berarti kisah hidup manusia dalam masyarakat
yang diproyeksikan ke atas panggung.
Drama dibagi menjadi beberapa antara lain drama
tragedy, drama komedi,melodrama dan farce.(Milawati,
2011)

c. Puisi
Puisi  merupakan salah satu ragam karya sastra yang terikat dengan irama,
ritma, rima, bait, larik dan ditandai dengan bahasa yang padat. Puisi juga
merupakan seni tertulis yang mana menggunakan bahasa sebagai kualitas
estetiknya atau keindahanya.(“√ Pengertian Puisi, Ciri dan Jenisnya
(Pembahasan Terlengkap),” 2015)
Puisi dibedakan menjadi dua yaitu puisi lama dan puisi baru.
1) Puisi lama
Puisi lama ialah puisi yang terikat dengan aturan-aturan tertentu.
Aturan-aturan tersebut antara lain: Jumlah kata dalam satu baris;
jumlah baris dalam satu bait, rima (persajakan ), banyaknya suku
kata dalam setiap baris, dan irama.
a) Mantra yakni ucapan-ucapan yang dianggap memiliki
kekuatan ghaib.

b) Pantun merupakan puisi yang bersajak a-b-a-b, dimana


pada tiap bait ada 4 baris, dalam tiap baris terdiri dari 8 -12
suku kata, dan 2 baris pertama sebagai sampiran dan 2
baris setelahnya sebagai isi.
c) Karmina yang merupakan pantun kilat seperti pantun
tetapi lebih pendek
d) Gurindam ialah puisi dimana pada tiap bait terdiri dari 2
baris, bersajakkan a-a-a-a, dan berisikan nasihat.
e) Seloka yakni pantun berkait yang ditulis menggunakan
bentuk syair atau pantun, bisa empat batis atau lebih.
f) Syair yang merupakan puisi dengan ciri-cirinya yakni pada
tiap bait ada 4 baris, bersajakkan a-a-a-a, dan berisikan
nasehat-nasehat atau cerita.
g) Talibun yaitu pantun genap dimana pada tiap bait terdiri
dari 6/8/10 baris.

2) Puisi baru
Puisi baru ialah puisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan
sehingga lebih bebas bentuknya daripada puisi lama, baik dalam
segi jumlah suku kata, baris, ataupun sajaknya. Adapun jenis puisi
baru yaitu
a) Balada yakni puisi yang berisikan sebuah cerita atau kisah.
b) Himne yaitu puisi pujaan yang ditujukan untuk Tuhan,
pahlawan dan tanah air.
c) Ode ialah puisi yang berbentuk sanjungan untuk orang-
orang yang berjasa. Menggunakan nada atau irama yang
sangat resmi, membahas tentang sesuatu yang mulia, dan
memiliki sifat yang menyanjung.
d) Epigram merupakan puisi yang berisikan ajaran ataupun
tuntunan.
e) Romansa ialah puisi yang isinya tentang luapan perasaan
cinta dan kasih sayang.
f) Elegi yakni puisi tentang kesedihan.
g) Satire ialah puisi yang isinya berupa sindiran ataupun
kritikan.
h) Distikon merupakan puisi dimana pada tiap baitnya terdiri
dari 2 baris.
i) Terzina ialah puisi dimana tiap baitnya terdiri atas 3 baris.
j) Kuatrain yakni puisi empat seuntai dimana puisi yang tiap
baitnya terdiri dari 4 baris .
k) Kuint ialah puisi lima seuntai yang mana pada tiap baitnya
terdiri dari 5 baris.
l) Sektet yaitu puisi enam seuntai yang tiap baitnya terdiri
dari 6 baris.
m) Septime ialah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh
baris atau  puisi tujuh seuntai.
n) Oktaf/Stanza merupakan puisi dimana tiap baitnya terdiri
dari 8 baris.
o) Soneta ialah puisi yang terdiri dari 14 baris dan terbagi
menjadi dua, yakni pada dua bait pertama masing-masing
empat baris dan pada dua bait kedua masing-masing tiga
baris.(“√ Pengertian Puisi, Ciri dan Jenisnya (Pembahasan
Terlengkap),” 2015)

B. Simeotika Riffaterre
1. Pengertian Semiotika Riffattere
Definisi semiotika dapat dipahami melalui pengertian semiotika yang
berasal dari kata semeion, bahasa asal Yunani yang berarti tanda. Semiotika
ditentukan sebagai cabang ilmu yang berurusan dengan tanda, mulai dari system
tanda, dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda pada akhir abad ke-18.
Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry,
mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami
dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: a. puisi adalah ekspresi
tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, b. pembacaan
heuristik dan hermeneutik (retroaktif), c.matriks, model, dan varian, dan
d.hipogram.(bambangsantoso, 2012)
a. Ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan
konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi
mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang membedakan
puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam
membawakan maknanya (Faruk, 2012:141). Bahasa puisi bersifat semiotik
sedangkan bahasa sehari-hari bersifat mimetik.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya pergeseran makna
(displacing), perusakan makna (distorsing), dan penciptaan makna (creating)
1) Pergeseran Makna (Displacing of Meaning)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari
satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain.
Umumnya, penyebab terjadinya pergeseran makna adalah penggunaan
bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.
2)  Perusakan atau Penyimpangan Makna (Distorsing of Meaning)
Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas,
kontradiksi, dan non-sense. Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa,
kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran
yang berbeda-beda menurut konteksnya. Kontradiksi muncul karena
adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Non-sense adalah kata-
kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai makna
“gaib” sesuai dengan konteks.
3) Penciptaan Makna (Creating or Meaning)
Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang
dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima,
atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza”
(Riffaterre dalam faruk, 2012:141). Penciptaan arti terjadi karena
pengorganisasian ruang teks, di antaranya: enjambemen, tipografi, dan
homolog.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan
terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang
“diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas
arti atau makna liris.
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak
mengandung arti tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan
homolog adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu
akan menimbulkan makna yang sama.
Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang
senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai
representasi realitas. Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas
dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau
konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata bahasa atau
leksikon yang menyimpang, yang disebut ketidakgramatikalan
(ungrammaticality). Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan
berkaitan dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya
pemakaian majas. Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas,
ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang
terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak
kronologis.
b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-
tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses
semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil dari
pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan, pembaca
harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya
sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal
hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan
heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan
hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa
normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini
menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan
sistem semiotik tingkat pertama.
Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan
tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan
hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua,
interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan
melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses
pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding.
Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada
awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai
ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang berhubungan.
Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan
pengertian makna dan arti. Riffaterre dalam Faruk (2012:141) membedakan
konsep makna dan arti. Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan
dengan realitas, yang membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistik
yang bersifat referensial dari karya disebut meaning, yang dapat
diterjemahkan sebagai “makna”, sedangkan makna yang terbangun atas dasar
prinsip kesatuan formal dan semantik dari puisi, makna yang meliputi segala
bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai significance yang dapat
diterjemahkan sebagai “arti”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua
informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca,
sedangkan “arti” (significance) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan
semantik. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa makna sepenuhnya
bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan arti
bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di
luar teks. Pada tataran pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan
“makna” sebuah teks, sedangkan “arti” diperoleh ketika pembaca telah
melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik.

c. Matriks, Model, dan Varian


Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model
dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya
sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian
kalimat atau kalimat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan varian-
varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai
aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini
tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam
varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau
pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan
varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak
lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan
motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara
pemerolehannya atau pengembangannya.
d. Hipogram: Hubungan Intertekstual
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra,
maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain
yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya.
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra
yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari
karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra
yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam
dan kehidupan yang dialami sastrawan.
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori
Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada
m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri,
walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan
di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang”.
Menurut Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui berbagai bentuk
objektivitasnya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi matriks atau
hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah menemukan “makna”
kebahasaan dari puisi yang bersangkutan. “Makna” kebahasaan itu adalah
makna referensial yang berupa rangkaian ketidakgramatikalan
(ungramatically), yaitu ketidaksesuaian antara satuan-satuan tanda
kebahasaan yang ada di dalam teks dengan gambaran mengenai kenyataan
yang diacunya. Karena “makna” ini bersifat kebahasaan, maka ia dapat
ditemukan di dalam teks puisi yang diteliti atau dibaca. Hanya saja satuan-
satuan makna kebahasaan itu sendiri belum memadai untuk membawa
pembaca pada pengetahuan mengenai “arti” melainkan hanya menjadi
“pengantar” ke arahnya. Satuan-satuan makna kebahasaan itu, yang berupa
serangkaian ketidakgramatikalan tersebut, harus dihubungkan satu sama lain
secara oposisional sehingga membentuk pasangan-pasangan oposisi yang
saling ekuivalen dan bersifat paradigmatik. Untuk membentuknya menjadi
pasangan-pasangan oposisional yang paradigmatik tersebut, pembaca harus
melakukan pembacaan secara hermeneutik dan pembacaan dengan bantuan
“konvensi sastra”. Konvensi sastra berfungsi untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang dapat mempertemukan
satuan-satuan makna kebahasaan yang satu dengan yang lain, untuk
melampaui secara bertahap serangkaian ketidakgramatikalan yang ada.
(bambangsantoso, 2012)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif, karena pengertian penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2005) adalah
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana
peneliti merupakan instrument kunci. Perbedaannya dengan penelitian kuantitatif
adalah penelitian ini berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai
bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori. (“penelitian kualitatif menurut
para ahli - Penelusuran Google,” n.d.)

B. Data dan Sumber Data


1. Data
Data pada penelitian ini diambil dari Teori Semiotika Riffaterre berupa
ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi, pembacaan heuristik dan
hermeneutik (retroaktif), matriks, model, dan varian, hipogram.
2. Sumber Data
Sumber data berasal dari buku antologi puisi yang berjudul Puisi Baru
Karya Sutan Takdir Alisjahbana.

C. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah dengan
membaca berulang-ulang, ditandai, kemudian dipilih-pilih (korpus data).

D. Teknik Analisis data


Data yang diperolah pada proses pengumpulan data dianalisis menggunakan
Teori Semiotika Riffaterre

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyajian Hasil Analisis Data


Pada bab ini, akan dipaparkan hasil penelitian dan akan dibahas secara rinci
berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Sesuai dengan jenis penelitian yang
telah dipaparkan pada bab tiga yaitu jenis penelitian kualitatif. Data yang
diperoleh dari lapangan akan dianalisis menggunakan teori simiotika Rifaterre.
Dalam buku “Puisi Baru” dalam buku yang ditulis oleh Sultan Takdir Alisjahbana
telah diambil 5 puisi oleh pengarang yang sama. Adapun hasil analisis data oleh
penulis sebagai berikut.
1. Puisi pertama “ Mencapai Maksud ”

Mencapai Maksud
Dengarlah pesanku o, bayu1) (1)
Bawa dia terbang tinggi, (2)
Bisikkan pada angkatan baru, (3)
Yang sedang menuju bahagia negeri, (4)

Katakanlahkepada mereka : (5)


“hati-hati menyeberang laut, (6)
Menempuh Samudra mayapada2) (7)
Mengejar cita, mencapai maksud!” (8)

Dngarlah madahku, searasah, (9)


Sampaikanlah kepada para pemuda (10)
Yang sedang berjalan, mengayun langkah, (11)
Meniti buih jeladeri1)masa: (12)

“awas biduk dipukul ombak, (13)


Jaga layar dikirai badai, (14)
Majulah kemuka dengan serentak, (15)
Pukul gendang, tiupkan serunai!” (16)

Dengarlah wasiatku o, gelombang, (17)


Tolong sebentar mengirimkannya (18)
Kepada anak muda sekarang (19)
Yang tengah memungut bunga mulia. (20)

“janganlah himmah2) patah di tengah, (21)


Berbalik surut setengah jalan, (22)
Mencapai maksud memang sudah (23)
Mengejar bah’gia meminta korban!” (24)
a. Pembaca heuristik dan hermenuistik

Dari judul puisi diatas yang dimaksudkan adalah menyampaikan sebuah


pesan kepada angkatan baru yang belum berlabuh agar tidak mundur di tengah
perjalanan, karena setiap kebahagian memerlukan pegorbanan. Banyak hal yang
disampaikan kepada pelaut angkatan baru, kehati hatian, tentang ombak, tentang
dunia yang fana bagaimana kita akan berjalan dan sampai pada tujuan(cita-cita).

Penulisan puisi ini menggunakan bahasa yang digunakan pada era 40-an, dan
muatan makna dan arti yang terkandung didalamnya juga mendalam pesan pesan
yang terkan perlu dimaknai secara mendalam. Baris (1) disini dijelaskan bahwa
penulis meminta kepada angin untuk mendengarkan pesannya yang kemudian
pada baris (2) mengatakan agar pesan itu di bawa tebang tinggi, yang kemudian
disampaikan kepada pelaut angkatan baru yang sedang dalam keadaan bahagia.
Ada banyak hal yang akan terjadi dalam kehidupan, cita, angan, dan bahagia tentu
kita ingin sampai pada titik itu. Dalam puisi ini menjelaskan agar kita dapat
bersabar dalam menjalani suatu proses. Posisi baris baris (1) yang
mengamanahkan kepada para angkatn baru untuk berhati hati, begitu pula dengan
baris (9) yang memperingatkan agar tetap berada dalam satu komando yang satu
memegang prinsip, hingga mengamanahkan pesan terakhir agar tidak pernah
mundur dalam pelayaran apalagi jika sudah sampai ditengah jalan.

Beberapa hal dalam puisi ini kemudian perlu dibaca lebih dalam lagi baris (7)
misalnya, “ menempuh Samudra mayapada” yang atrinya menempuh Samudra di
dunia yang fana posisi baris ini mengalami ungramatikalis karena puisi ini
umumnya menyampaikan pesn yang sebenarnya. Sedangkan pada baris ini
menyebutkan Samudra fana. Posisi samudta fana ini dapat disandingkan dengan
hal lain kontes yang menjelaskan tentang dunia fana yang artinya dalam menjalani
kehidupan kita perlu sentiasa berhati hati dalam mengambil tindakan karena itu
akan kita pertanggung jawabkan sebab dunia yang kita pijaki saat ini hanyalah
dunia fana.
Dengan demikian, puisi ini merupakan oposisi dari mencapai maksud yang
di maksudkan disini bukanlah maksud kepada angkatan baru akan tetapi maksud
yang ingin disampaikan kepada seluruh manusia di muka bumi ini bahwa dunia
yang kita tempati kini hanyalah dunia fana dan kita akan kembali ketempat kita.
Namun demikan hal itu kita harus tetap melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.

b. Matriks, model dan varian


Puisi “ Mencapai Maksud” yang di tulis oleh Muhammad Ali Hasjim, banyak
mengemukakan hal hal yang bersifat pesan moral kepada pembacanya dimulai
dari baris (7). Nilai nilai religious dalam puisi ini pun tetap ada, bagaimana agar
tetap mengingat Sang Pencipta, dan meyakinkan diri bahwa setelah kesulitan aka
nada ke baikan.

2. Puisi kedua “ Menyesal

Menyesal

Pagiku hilang sudah melayang, (1)

Hari mudaku sudah pergi, (2)

Sekarang petang dating membayang, (3)

Batang usia sudah tinggi. (4)

Aku lalai di hari pagi, (5)

Beta lengah di masa muda, (6)

Kini hidup meracun hati, (7)


Miskin ilmu, miskin harta. (8)

Akh. Apa guna ku sesalkan, (9)

Menyesal tua tiada berguna, (10)

Hanya menambah luka sukma. (11)

Kepada yang muda ku harapkan, (12)

Atur barisan di hari pagi (13)

Menuju ke abah padang bakti! (14)

a. Pembaca heuristic dan hermeneuistik

Pada baris (1) menjelaskan bagaimana penyesalan seseorang dimasa muda


yang telah dia sia siakan. Di saat semua haal buruk telah terjadi maka bayang
bayang penyesalan pun sudah mulai datang. Semua baris menunjukkan hal yang
searah, namun terdapat hal yang ungramatikals pada baris (9) dan (10). Yang
tidak mengiyakan untuk menyesal sebab hanya akan menjadi hal yang sia-sia.

Baris (9) yang mengalami ungramatikalis mengantarkan pembaca untuk


mengetahui makna yang terdapat dalam puisi itu, penyesalan tidak aka nada
atrimya. Posisi kalimat pembenaran untuk tidak menyesakl ini mendapak titik
terang setelah baris (10) muncul. Penyesalan tidalah berguna di hari tua, hal ini
menggambarkan bagaiman kita tidak dapat mengembalikan waktu yang telah
tertinggal. Sehingga kita dapat lebih menghargai waktu yang ada.

b. Matriks, model dan varian


Puisi dengan judul “ Menyesal” karya Muhammad Ali Masjim, bercerita
tentang bagaima waktu yang telah terbuang tidak akan kembali lagi. Posisi baris
(1) menegaskan bagaimana tokoh kehialangan hal yang paling berharga dalam
hidupnya.

c. Hipogram

3. Puisi ketiga “ Sawah”

Sawah

Sawah tersusun di lereng gunung, (1)

Berpagar dengan bukit barisan, (2)

Sayup-sayup ujung ke ujung, (3)

Padi mudanya hijau berdandan. (4)

Di dangau perawan duduk menyulam, (5)

Matanya memandang padi huma, (6)

Sekali-sekali ia bermalam, (7)

Kalua turun pipit berkawan, (8)

Merayap hinggap di mayang padi, (9)

Terdengar teriak suara perawan, (10)

Menyuruh pipit menjauhkan diri. (11)


Kalua pipit sudah terbang, (12)

Melayang hilang pulang ke rimba, (13)

Perawan bernyanyi menembang tembang, (14)

Menyesali pipit takt ahu iba: (15)

“mengapa engkau ayuhai pipit, (16)

Tak tahu arti iba kasihan, (17)

Badanku payah menanggung sakit, (18)

Mencucur keringat sepanjang zaman, (19)

Padi ku pupuk sejak semula, (20)

Engkau tahu memakan saja?” (21)

a. Pembaca heuristic dan hermeneuistik

Judul dari puisi yang menggambarkan keadaan sawah yang telah dilahap oleh
hama yang disebut sebagai “pipit”. Sawah yang tadinya ditumbuhi oleh padi yang
hijau, baris (5) “perawan” adalah penggambaran orang orang sawah yang selalu
menjaga padi dari burung -burung yang biasa memakan padi. Burung burung ini
biasa di gambarkan sebagai hama.

Baris (13) menggambarkan bagaimana kemua hama-hama itu pergi tanpa rasa
belas kasih dan tidak tahu rasa iba. Pesan kepada pipit pun tertua : “ mengapa
engkau ayuhai pipit, takt ahu arti iba kasihan, badan ku payah menanggung sakit,
mencucur keringat sepanjang zaman, padi ku pupuk sejak semula, engkau tahu
memakan saja?” pada kalimat kalimat ini menggambarkan bagaimana perasaan
kecewa si petani. Dalam puisi tidak terdapat hal yang mengantarkan pembaca
pada tahap ungramatikalis sehingga tdak di dapatkan pendalam makna yang lebih
atau makna tersirata dalam puisi ini.

4. Puisi ke empat “Bangunlah, O Pemuda”


Bangunlah, O Pemuda
Gempita suara atas angkasa, (1)
Wahyu kebangunan Tuhan tercinta (2)
Bangunlah pemuda, saudaraku saying, (3)
Dengarlah nyanyian girang-gemirang, (4)
Marilah saudara berbimbingan tangan, (5)
Mengayun langkah pulang ke taman. (6)

Bersinar cahaya di ufuk timur, (7)


Tanda bangsaku bangun tidur, (8)
Insaflah saudara, pemuda bangsaku, (9)
Mari berbakti kepada ibu, (10)
Gunakan selagi ada, (11)
Berbuatlah jasa semasa muda. (12)

Ombak berdesir lagunya merdu, (13)


Ditingkah kasidah alunan bayu, (14)
Bangkitlah pemuda, saudaraku sebangsa, (15)
Dengarlah panggilan tanah tercinta, (16)
Jangan lagi duduk bermenung, (17)
Marilah kita menyadari untung. (18)

a. Pembaca heuristic dan hermeneuistik


Puisi yang berjudul “Bangunlah, O Pemuda” adalah judul yang cukup
mengambarkan bagaimana isi dari puisi tersebut. Dalam puisi itu menuliskan
seruan kepada para pemuda atau kaum muda untuk bangun dan bangkit
menikmati nyanyian riang gembira.
Baris (7) menuliskan cahaya telah bersinar di ufuk timur yang menandakan
pagi telah datang, dalam puisi ini menggambarkan kepada kaum pemuda untuk
bangun pagi dan membangun bangsa baris (8), namun baris (10) yang
ungramatikalis. Begitupun dengan baris (6), (10) yang mengalami ungramatikalis
dengan baris (8). Baris (6) menuliskan bahwa pemuda mengayun langkah pulang
ketaman, sehingga hal ini mengalami ungramatikalis dengan baris (8)
karenadalam puisi ini jelas membahas tentang bangsa. Baris (10) yang menyebut
untuk berbakti kepada ibu, jelas baris ini sangat bersifat ungramatikalis. Konteks
yang di sampaikan pada baris (10) sangat jauh dari perihal yang di smapaikan
pada puisi tersebut.
Baris yang mengalami ungramatikalis ini engantarkan pembaca sampai pada
ke tahap berikutnya yang lebih tinggi dengan memaknai lebih dalam. Sehingga
hal di anggap tidak masuk akal akan memiliki makna atau arti, baris yang
mengalami kr ungramatikalis ini kemudian bisa sampai pada titik temu saat
sampai pada baris (17) dan (18), dikatakan agar tidak tinggal duduk dan di seru
untuk mencari untung. Sehingga baris (6) dan (10) dapat berterima. Yang di
maksudkan pada baris (6) merupakan hal yang harus atau hendak kita lakukan
pada pagi hari sebelum pagi menjemput, sampai pada baris ke (10) miminta
untuk berbakti kepada ibu, “ibu” yaitu para pemuda ini di minta untuk bangun
lebih awal bukan hanya duduk termenung dan sesegera beranjak mencari nafka.
Dengan demikian, yang di bangunkan disini bukanlah negara ini akan tetapi
semangat dari para pemuda untuk tetap menghormati orang tua, dimana proses
moderenisasi yang semakin berkembang sehingga melupakan nilai nilai budaya
yang tertanam dalam masyarakat. seperti pada masa sekarang ini sangat banyak
orang yang sudah tidak menanamkan rasa hormat terhadap orang yang lebi tua.
Dan pada posisi menyadari untung, diposisikan pada realita yang mengatakan
bangun lebih awal akan lebih baik untuk menjemput rejeki, hal ini juga di
tegaskan pada baris (7) dan (8), posisi baris (7) menandakan pagi yang telah
datang dimanakita akan memulai segala sesuatu dalam hidup, “ insaflah saudara,
…..” dan untuk memulai segala sesuatunya yang di dahulukan untuk tetap
mengingat pencipta.

5. Puisi kelima “ Pengemis”


Pengemis
“beri hamba sedekah, o tuan. (1)
Belum makan dari pagi, (2)
Tolonglah patik, wahai tuan, (3)
Seteguk air, sesuap nasi. (4)

“lihatlah, tuan, nasib kami, (5)


Tiada sanak, tiada saudara, (6)
Pakaian di badan tidak terbeli, (7)
Sepanjang jalan meminta minta. (8)

“lihatlah, tuan, untung kami, (9)


Pondok tiada, huma tiada, (10)
Bermandi hujan, berpanas hari, (11)
Di tengah jalan terlunta-lunta,(12)

“bukan salah bunda mengandung, (13)


Buruk suratan tangan sendiri, (14)
Sudah nasib, sudah untung, (15)
Hidup malang hari ke hari. (16)

“O, tuan,jangan kami cibirkan, (17)


Jika sedekah tidak diberi, (18)
Cukup sudah sengsara badan, (19)
Jangan lagi ditusuk hati…………. (20)

a. Pembaca heuristic dan hermeneuistik


Judul puisi tersebut sudah menjelaskan tentang apa yang telah di bahas dalam
puisi, “ Pengemis” ini menceritakan bagai hidup seorang pengemis yang meminta
sedekah, kelaparan dan kehausan tidak memiliki sanak keluarga, hidup hanya
dengan meminta-minta, tidak memiliki tempat tinggal yang menetap. Semua yang
terdapat dalam bait puisi ini searah dan merukan hal yang terjadi dalam kehidupan
nyata.
Seperti yang kita ketahui bahwa hidup seorang pengemis itu sangatlah
memprihatinkan tikan memiliki rumah, dan hanya hidup atas belas kasih orang
lain. Akan tetapi jika di perhatikan agak lebih dalam lagi, seperti pada baris (15)
yang mengatakan itu sudah menjadi nasib dan peruntungannya hidup di dunia.
Posisi baris (14) menjembatani kata ini bukan kesalahan dari orang tuanya,akan
tetapi itulah takdir yang diberikan. Ini memposisikan sebagai hal yang
menunjukan bagaimana seseorang yang berpangku tangan terhadap takdir yang
diberikan, hanya mengikuti arus dan tidak mau berusaha.
Dengan demikian, kisah dari pengemis ini merupakan oposisi dari
perkembangan zaman dan realita yang lahir di tanah air. Dimana orang orang
tidak lagi mau berusaha dan hanya berpangku tangan.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Penulis telah membandingkan beberapa tulisan karya Muhammad Ali Hasjim,
yaitu “Mencapai Maksud”, “Menyesal”, “Sawah”, “Bangunlah, O Pemuda”, dan
“Pengemis”. Kebanyakan dalam tulisannya penulis menuangkan pesan pesan
morakl kepada pembaca. Banyak hal yang kemudian ditarik ke masa lampu agar
dapat mengartikan apa yang dituliskan dalam puisi, namun hal tidak bisa di
dapatkan oleh pengarang adalah bagaimana kondisi ataupun latar belakang dari
penciptaan puisi tersebut.

B. Saran
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam tulisan ini maka dari itu,
penulis membutuhkan beberapa kritik dan sara yang bersifat membangun.
Penulis juga berharap pembaca tidak berhenti didisini dan senantiasa mencari
referensi yang baru.
DAFTAR PUSTAKA

√ Pengertian Puisi, Ciri dan Jenisnya (Pembahasan Terlengkap). (2015, July 1). Retrieved

May 16, 2019, from Sepengetahuan.Co.Id website:

https://www.seputarpengetahuan.co.id/2015/07/pengertian-puisi-ciri-ciri-dan-

jenis-puisi-terlengkap.html

Akbar,Amal dan Harifin H. (2018). Representasi Generasi Pada Novel Taman Sunyi Sekala
Karya Aida Vyasa. Retrieved juli 20, 2019, from
https://osf.io/preprints/inarxiv/yq523/.

Asriningsari, A., & Umaya, N. (2010). Semiotika Teori dan Aplikasi pada Karya Sastra.

UPGRIS PRESS.

Badriya, Y. (2016, October 11). Jenis Jenis Seni Sastra dan Pengertiannya. Retrieved April

7, 2019, from IlmuSeni.com website: https://ilmuseni.com/seni-sastra/jenis-

jenis-seni-sastra

bambangsantoso. (2012, December 3). MENGENAL SEMIOTIKA MICHAEL RIFFATERRE.

Retrieved May 16, 2019, from Bambang Santoso website:

https://bambangsantoso.wordpress.com/2012/12/03/mengenal-semiotika-

michael-riffaterre/

Cakiel, H. (2018, November 1). Sastra : Pengertian, Fungsi dan Contoh Macam Jenis.

Retrieved April 7, 2019, from Jagad.id website: https://jagad.id/definisi-sastra/


Milawati, T. (2011). Peningkatan kemampuan anak memahami drama dan menulis teks

drama melalui model pembelajaran somatis auditori visual intelektual (SAVI).

Jurnal Penelitian Pendidikan, 14(2), 70–78.

PEMBELAJARAN SASTRA | ALDON SAMOSIR , S.Pd. (n.d.). Retrieved April 7, 2019, from

https://aldonsamosir.wordpress.com/kurikulum/pembelajaran-sastra/

penelitian kualitatif menurut para ahli - Penelusuran Google. (n.d.). Retrieved May 16,

2019, from https://www.google.com/search?

safe=strict&ei=tV_dXK_HLKfaz7sP7rOAsAM&q=penelitian+kualitatif+menurut+p

ara+ahli&oq=penelitian+kualitatif+menurut&gs_l=psy-

ab.1.0.0l10.4311.6078..8269...0.0..3.664.2625.0j3j1j1j2j1......0....1..gws-

wiz.......0i71.NR_ySPNCH1o

Prawiro, M. (2018, August 22). Pengertian Prosa Adalah: Ciri-Ciri, Jenis, dan Contoh

Prosa. Retrieved April 7, 2019, from Pengertian dan Definisi Istilah website:

https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-prosa.html

Anda mungkin juga menyukai