Renda Yuriananta
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Stilistika merupakan sebuah bidang ilmu yang mempelajari mengenai bagaimana
bahasa digunakan oleh manusia dalam bentuk lisan maupun tulis. Cara yang digunakan
oleh manusia ini berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam kajian
stilistika, cara-cara tersbut diistilahkan dengan gaya bahasa. Dalam karya sastra,
terdapat gaya pengarang dalam mengungkapkan gagasannya melalui aspek kebahasaan
yang digunakan. Salah satu pengarang yang dapat dilihat gaya khas kebahasaannya
adalah Chairil Anwar. Hampir di setiap masa, Chairil Anwar selalu menggunakan diksi
bermakna emotif. Diksi tersebut tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga menimbulkan
aksi terhadap pembacanya. Oleh karena itu, gaya inilah yang selalu melekat dengan
sosok Chairil Anwar dan tidak dimiliki oleh setiap pengarang di Indonesia.
Kata Kunci: Stilistika, gaya bahasa, karya sastra, Chairil Anwar
PENDAHULUAN
Stilistika merupakan sebuah bidang studi yang mengkaji gaya bahasa di dalam teks.
Teks dianggap sebagai sebuah fenomena bahasa yang disampaikan oleh manusia dengan gaya
tertentu sehingga membuat sebuat kesatuan yang utuh. Ratna (2013:1) mengatakan bahwa
stilistika adalah ilmu tentang gaya, yang dalam penggunaannya memanfaatkan cara-cara
tertentu dan dengan tujuan tertentu untuk mencapai hasil yang terbaik. Konsep yang
diutarakan oleh Ratna ini masih bersifat umum karena kajian stilistika sendiri juga umum,
tetapi pada penjabaran yang khusus, stilistika dalam hal ini akan memfokuskan diri pada gaya
pada bahasa atau disebut dengan gaya bahasa.
Gaya bahasa adalah kajian stilistika secara khusus. Banyak orang yang salah persepsi
mengenai konsep ini. Orang hanya menganggap bahwa gaya bahasa hanya dimiliki oleh
karya sastra. Jadi, gaya bahasa, kajian stilistika, hanya akan berhubungan dengan sastra dan
tidak yang lain. Hal ini dikarenakan oleh salah satu unsur dalam pembentuk sebuah karya
sastra adalah gaya bahasa. Dalam berbagai teori sastra juga disebutkan menganai penggunaan
gaya bahasa dalam karya sastra. Padahal, jika konsep tersebut dipahami dengan benar, maka
pemahaman tersebut akan terkikis dengan keuniversalan kajian stilistika. Pandangan tersebut
seharusnya mulai berubah karena gaya bahasa sendiri bersifat umum. Tidak ada makhluk lain
selain manusia yang dapat menggunakan bahasa. Bahasa adalah alat untuk mengekspresikan
diri manusia itu sendiri.
Karya sastra adalah hasil dari kompleks ide yang dimampatkan menjadi sebuah tulisan
dan narasi. Tulisan ini dapat berupa hal besar atau pun kecil dalam kehidupan. Karya sastra
tidak dapat dipisahkan dengan pengarangnya. Setiap pengarang memiliki gaya tersendiri
dalam mengungkapkan gagasannya melalui karya sastra. Gaya yang berbeda-beda tersebut
menimbulkan sebuah pembedaan tersendiri bagi setiap pengarang. Dengan hanya melihat
karya sastra yang dikarang saja, pembaca akan dapat menafsirkan siapa pengarang yang
menciptakan puisi tersebut melalui gaya bahasa yang digunakannya. Walau pun tidak secara
pasti mengerti pengarangnya, tetapi setidaknya mengerti lingkungan sosial pengarang. Hal
inilah yang dapat dikaji dengan stilistika, yaitu mengetahui gaya pengarang dalam
mengungkapkan gagasannya melalui karya sastra.
KARYA SASTRA, MAKNA EMOTIF, DAN CHAIRIL ANWAR
Menurut Leech (dalam Subroto, 2011:51) dalam berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa dapat dilihat/dirasakan warna feeling (rasa, perasaan) perorangan dari penuturnya
terhadap mitra tutur atau terhadap orang yang dibicarakan atau terhadap sesuatu yang
dibicarakan. Leech (dalam Pateda, 2010:98) juga berpendapat bahwa makna afektif
berhubungan dengan perasaan yang timbul setelah seseorang mendengar atau membaca.
Dalam penjabaran tersebut tekanan yang muncul adalah pada rasa/perasaan yang ditimbulkan
dari sebuah bahasa. Perasaan itu dapat muncul dari pembicara mengenai mitra tutur, orang
ketiga, atau pun objek yang dibicarakan. Pada teks sastra khususnya puisi, perasaan yang
muncul tersebut memang dihasilkan oleh pengarang yang nantinya akan diterima oleh
pembacanya.
Setiap kata memiliki nuansa emotif tertentu sehingga mampu membawa seorang
pembaca kepada sebuah situasi tertentu pala yang sengaja dihadirkan oleh pengarang dalam
karya sastranya, khususnya puisi. Makna emotif tersebut hadir karena apabila kita tinjau lebih
dalam adalah disebabkan oleh bahasa yang digunakan. Mengenai hal ini, kita dapat kembali
melihat pandangan awal mengenai bahasa. Condillac (dalam Chaer, 2009:31) berpendapat
bahwa bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri
yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Dari pendapat Condillac ini, kita
dapat menerima sebuah pernyataan mengenai bahasa merupakan sebuah ungkapan perasaan
atau emosi yang kuat. Dapat dilihat pula pada fungsi bahasa itu sendiri. Menurut Chaer
(dalam Chaer, 2009:33) bahasa adalah alat interaksi sosial, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Dari pendapat ini, kita juga
dapat mengambil simpulan bahwa bahasa merupakan ungkapan pikiran, gagasan, konsep,
atau perasaan. Beberapa pendapat mengenai bahasa tersebut dapat mengerucut pada makna
yang akan ditimbulkan oleh bahasa tersebut. Hal ini juga diungkapkan oleh Ullman
(2012:157) bahwa bahasa itu tidak hanya wahana komunikasi, melainkan juga alat untuk
mengekspresikan emosi dan menggunakan emosi itu memengaruhi orang lain.
Dalam karya sastra, khususnya puisi bahasa merupakan sebuah media yang digunakan
oleh pengarang dalam mengungkapkan perasaannya mengenai suatu hal. Sejalan dengan ini
Pateda (2010:98) mengatakan bahwa penulis karya sastra pandai sekali memilih kata yang
mengandung makna afektif sehingga pembaca terharu, jengkel, sedih, gembira, atau tertawa
membaca karangan tersebut. Memang kita tidak akan sadar dengan apa yang akan kita
rasakan setelah membaca sebuah karya sastra. Terkadang tanpa kita sadari, karya sastra yang
kita baca mengajak kita untuk merasakan perasaan sedih, haru, kecewa, bahagia, dan
perasaan lain sesuai dengan suasana apa yang ditimbulkan oleh pengarang.
Chairil Anwar adalah salah satu penyair besar Indonesia yang puisi-puisinya banyak
menjadi sorotan para akademisi dalam penganalisisan unsur-unsurnya. Puisi Chairil Anwar
banyak mendapatkan perhatian yang besar pula dari masyarakat karena keindahan bahasa
serta kemampuannya membangkitkan suatu emosi dari para pembacanya. Pembaca tidak
hanya digiring dengan bahasa-bahasa yang emotif tersebut, melainkan juga pengungkapan
maknanya yang begitu mendalam. Berhubungan dengan makna emotif, Chairil Anwar adalah
salah satu pengarang yang konsisten menggunakan diksi-diksi yang bermakna emotif, yang
dapat mempengaruhi pembaca untuk melakukan perenungan dan gerakan. Diksi-diksi emotif
tersebut dapat terlihat pada puisi Diponegoro, Karawang-Bekasi, dan Derai-Derai Cemara.
Tiga puisi tersebut adalah puisi-puisi yang diteliti oleh penulis dengan landasan sebagai
representasi puisi-puisi lainnya pada tahun yang sama. Diponegoro sebagai puisi yang dibuat
di masa awal Chairil Anwar. Karawang-Bekasi sebagai puisi yang ditulis Chairil Anwar di
masa pertengahan hidupnya. Puisi Derai-Derai Cemara sebagai puisi yang ditulis Chairil
Anwar sebelum meninggal. Dari tiga poin waktu yang berbeda tersebut, Chairil Anwar tetap
konsisten menggunakan diksi-diksi bermakna emotif. Hal ini menunjukkan bahwa Chairil
Anwar memiliki gaya emotif dalam puisi-puisinya, tetapi belum banyak orang yang
menyadarinya. Memang, gaya tersebut wajar bagi para pengarang, khususnya pengarang
puisi, tetapi tidak semua pengarang bisa menyatukan antara penciptaan kata dengan emosi
yang menimbulkan aksi tertentu. Sebagai contoh, W. S. Rendra, puisi-puisi Rendra adalh
puisi yang memiliki tingkat keindahan tinggi, tetapi tidak mampu mendorong pembacanya
untuk melakukan aksi. Perbandingannya adalah dengan Wiji Thukul, puisi-puisi Thukul
mendorong pembaca untuk melakukan aksi, tetapi dari segi penggunaan bahasanya tidak
terlalu bersifat estetis atau lebih sering menggunakan bahasa-bahasa yang lugas. Berbeda
dengan Chairil Anwar, puisi-puisi Chairil Anwar adalah wujud penggabungan antara puisipuisi Rendra dan Wiji Thukul. Wujud penggabungan tersebut bukan karena Chairil Anwar
sengaja malakukannya, ingat bahwa Chairil Anwar meninggal pada masa sebelum Rendra
dan Thukul. Jadi, Chairil Anwar memiliki gaya tersendiri yang tidak dimiliki oleh pengarang
lain, yaitu penggunaan diksi-diksi emotif dalam puisi-puisinya.
Sastra ada di wilayah yang abstrak, tetapi dapat dikonkretkan dengan bukti-bukti
empiris melalui penelitian sastra. Dalam bab selanjutnya, penulis menjabarkan bukti-bukti
mengenai penggunaan diksi bermakna emotif oleh Chairil Anwar dalam puisi-puisinya.
Makna Emotif dalam Puisi Chairil Anwar
Dari data yang penulis analisis, terdapat beberapa kata yang mengandung makna
emotif tertentu bagi pembaca (pendengar). Data tersebut adalah sebagai berikut.
Kata Emotif
terbaring
teriak
Merdeka
angkat
senjata
Makna Leksikal
Berseru/mengucapkan
sesuatu kata (merdeka)
Seruan kemerdekaan
(kebebasan dari para
penjajah yang menduduki
negara Indonesia)
Bergerak untuk maju dan
berperang melawan
Makna Emotif
Seakan pembaca
merasakan simpati
akan ungkapan dari
kata tersebut
Perasaan pembaca
seakan dibawa untuk
mendengar suarasuara
Pembaca seakan
merasakan suatu
keinginan untuk
bebas tetapi
terhalang sesuatu
Perasaan pembaca
seakan terbawa
deru
terbayang
Seakan-akan tampak, tampak bayangbayangannya, sudah ada tandatandanya (akan berhasil dsb), dapat
dilihat; tampak
Mengharap pembayangan
dari para penerus untuk
perjuangan para pahlawan
maju
mendegap
hati
hening
malam
Gerakan yang
menimbulkan bunyi
seperti pada detak jam
sepi
hampa
berdetak
untuk melakukan
Pembaca seakan
merasakan deru
angin yang sangat
keras dan yang
sebenarnya adalah
bunyi perenunganperenungan
Seakan pembaca
ikut melakukan
pembayangan akan
perenungan yang
diharapkan dalam
puisi
Mendorong
pembaca untuk
merasakan dorongan
maju dan
melanjutkan
perjuangan
Sekan pembaca
merasakan debaran
yang kuat pada
jantung yang
berdenyut
Sekan pembaca
merasakan suatu
keadaan sepi dan
sunyi
Seakan pembaca
terbawa dan dalam
suasana malam
Seakan pembaca
merasa dalam
keadaan sepi
Seakan pembaca
masuk pada keadaan
kosong, sepi, dan
tanpa ada apa-apa
Suara detak tersebut
juga dirasakan
pembaca dengan
jantung yang
berdebar
mati
debu
Kenang
kenanglah
nyawa
jiwa
melayang
harapan
Teruskan
mayat
Berhubungan dengan
badan atau tubuh orang yg sudah mati;
kematian para pahlawan
jenazah
yang telah berjuang
impian
dipercayakan.
Menimbulkan
sebuah perasaan
menakutkan.
Seakan pembaca
diajak untuk
mengetahui sesuatu
yang diinginkannya.
belum memberi penyelesaian karena masih banyak nyawa yang ikut terkorbankan)
Kami cuma tulang-tulang berserakan (mereka telah menjadi mayat)
Tapi adalah kepunyaanmu (mayat yang berjuang untuk para penerus)
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan (sekarang tinggal bagaimana para
penerus menghargai jasa-jasa para pahlawan tersebut)
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan (entah nanti para
penerus menganggap bahwa para pahlawan sangat berharga dengan berbagai jasa mereka dan
sekarang bagaimana para penerus meneruskan perjuangan mereka dengan segala harapanharapan))
atau tidak untuk apa-apa, (ataukah tidak dianggap sebagai apa-apa oleh para penerus)
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata (Para pahlawan tidak tahu semua itu, tidak tahu
mana yang dipilih oleh para penerus. Mereka tidak mampu untuk melakukan apa-apa lagi
demi tercapainya sebuah negara yang baik)
Kaulah sekarang yang berkata (Para peneruslah yang kini memegang kekuasaan,
mengarahkan ke mana jalan yang akan ditempuh demi kemerdekaan negara yang telah
diperjuangkan oleh para pahlawan)
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi (Para pahlawan hanya dapat menjadi
perenungan-perenungan bagi para penerusnya)
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak (Ketika kita mampu untuk merenungi,
maka hati akan ikut merasakan apa yang telah di rasakan oleh para pahlawan)
Kenang, kenanglah kami (Para pahlawan ingin dikenang)
Teruskan, teruskan jiwa kami (Para pahlawan mengharapkan perjuangan mereka terus
dilanjutkan oleh para penerusnya untuk membangun negara yang telah mereka perjuangkan)
Menjaga Bung Karno (menghargai perjuangan Bung Karno)
menjaga Bung Hatta (menghargai perjuangan Bung Hatta)
menjaga Bung Sjahrir (menghargai perjuangan Bung Sjahrir)
Kami sekarang mayat (Mereka sekarang hanyalah mayat)
Berikan kami arti (Berikan penghargaan bagi mereka, para pejuang serta lanjutkan
perjuangan para pahlawan tersebut)
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian (Marilah terus menuju ke yang lebih
baik dan mewujudkan pembangunan negara yang telah mereka perjuangkan)
Kenang, kenanglah kami (Mereka ingin dikenang oleh para penerusnya)
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu (Mereka yang sekarang hanyalah mayat-mayat)
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi (Beribu mayat mereka yang kini terpendam di
antara KrawangBekasi)
Seperti itulah penjabaran mengenai puisi Karawang-Bekasi yang sudah penulis
analisis. Dari Analisis tersebut, dapat diambil ciri kembali mengenai Chairil Anwar yang
selalu ingin menunjukkan semangat perjuangan kepada para pembacanya. Semangatsemangat tersebut dituangkannya ke dalam puisi dan mengarahkan para pembaca kepada
situasi perjuangan yang digambarkan oleh Chairil Anwar.
Selanjutnya adalah analisis data yang ditemukan pada puisi Diponegiro. Analisisnya
adalah sebagai berikut.
Kata Emotif
hidup
bara kagum
api
Tak gentar
Pedang
keris
semangat
mati
bergenderangberpalu
menyerbu
Makna Leksikal
masih terus ada,
bergerak, dan bekerja
sebagaimana mestinya
(tt manusia, binatang,
tumbuhan, dsb)
Bara: barang sesuatu
(arang) yg terbakar dan
masih berapi
Kagum: heran (dng
rasa memuji); takjub;
tercengang
panas dan cahaya yg
berasal dr sesuatu yg
terbakar; nyala
tidak gerakan
berulang-ulang yg
cepat sekali (spt kawat
kecapi yg dipetik);
getar; geletar, takut
Makna Emotif
Merasakan kembali
keadaan hidup dari
kematian
Menimbulkan perasaan
menguatkan tekad untuk
maju tanpa perasaan takut
Menimbulkan perasaan
gambaran dari suatu alat
dalam perang
parang panjang
(banyak macamnya
Senjata perang
senjata tajam
bersarung, berujung
tajam, dan bermata dua
(bilahnya ada yg lurus,
ada yg berkelukkeluk);
Senjata perang khas jawa
roh kehidupan yg
menjiwai segala
makhluk, baik hidup
maupun mati (menurut
kepercayaan orang dulu Suatu keadaan serius dan
dapat memberi
senang kepada hal yang
kekuatan)
dilakukannya
sudah hilang
nyawanya; tidak hidup
lagi
Sedaan tidak bernyawa kembali
Suatu semangat untuk meraih
kemerdekaan dengan
dianalogikan bagai suara
genderang dengan ketukan palu
mendatangi dng
Seuatu gerakan bersama-sama
maksud melawan
untuk menyerang sesuatu
Menimbulkan seuatu
perasaan kesaktian dari
keris yang dipegang oleh
Diponegoro
Menimbulkan sebuah
keadaan semangat kepada
pembaca
Perasaan menakutkan
muncul dari benak
pembaca
Menimbulkan perasaan
semangat yang menggebugebu
Perasaan untuk maju
beramai-ramai melawan
(melukai, memerangi);
menyerang
Punah
menghamba
Binasa
mengabdi (kpd)
rusak sama sekali;
hancur lebur; musnah
Maju
disengsarakan;
teraniaya
batas hidup yg telah
ditentukan Tuhan, saat
mati, janji akan mati
masih terus ada,
bergerak, dan bekerja
sebagaimana mestinya
(tt manusia, binatang,
tumbuhan, dsb)
Berjalan (bergerak) ke
muka; tampil ke muka,
mendesak ke depan (tt
pasukan); pergi atau
keluar ke medan
perang, lulus (dl ujian),
telah mencapai atau
berada pd tingkat
peradaban yg tinggi,
cerdas;berkembang
pikirannya; berpikir
dengan baik
Serbu
mendatangi dng
maksud melawan
(melukai, memerangi);
menyerang
ditindas
ajal
hidup
Serang
Terjang
sesuatu penjajahan
Perasaan telah kehilangan
Keadaan hilangnya suatu hal
sesuatu yang sebenarnya
yang jarang ada/mati lebih
tidak diharapkan
terhormat
menghilang
Terasa seperti terkurung
Suatu pengabdian kepada
dan tertekan oleh suatu
seseorang yang
kegiatan yang tidak
berkuasa/memiliki kedudukan.
diinginkan
Suatu hasil dari proses mati
Merasakan suatu keadaan
karena sasuatu
mati
Seakan pembaca ikut
masuk dalam perasaan
tidak ingin melakukan
Suatu keadaan
sesuatu yang tidak
dianiaya/disengsarakan oleh para diinginkan tetapi harus
penguasanya
dilakukan dengan paksa
Suatu takdir kematian yang
tidak dapat untuk dihindari
Merasa takut dengan
kembali
kematian yang akan datang
Suatu keadaan diturunkannya
nyawa oleh Sang Pencipta
kepada seseorang. Kembali
bangit dari kematian
mendatangi untuk
melawan (melukai,
Melakukan kegiatan
memerangi, dsb);
menyerang, maju, menyerbu
menyerbu
lawan tanpa henti
tendang; sepak
Melakukan sebuah gerakan
(terutama ke depan atau pemberontakan atas penjajah
Merasakan kembali
keadaan hidup dari
kematian
melawan
Belanda,
diungkapkan
kembali
dalam
puisi
tersebut.
Menurut
Wahyuningtyas dan Santosa (2011: 203) keganasan Diponegoro dalam melawan Belanda
dilukiskan seakan-akan Diponegoro mengayun-ayunkan pedang di tangan kanan dan
mengacu-acukan keris di tangan kiri. Memang apabila kita lihat kembali, senjata-senjata dari
Belanda jauh lebih modern dari senjata Diponegoro, tetapi Ia tak gentar dengan semua itu.
Diponegoro seakan hanya berbekal semangat dan rasa percaya diri yang tidak akan bisa mati.
Seperti itulah figur yang diungkapkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul
Diponegoro.
Selanjutnya adalah analisis puisi Derai-Derai Cemara. Analisisnya adalah sebagai
berikut.
Kata Emotif
Makna Leksikal
Makna Emotif
menderai
jauh
panjang antaranya
(jaraknya); tidak dekat
malam
menjadikan
(menyebabkan) rapuh
merapuh
terpendam
tahan
kekalahan
terasing
menyerah
Suatu keadaan
mempertahankan sesuatu yang
mudah untuk hancur
perihal kalah
terpisah dr yg lain;
terpencil
mengaku kalah; tunduk
(tidak akan melawan
lagi)
Suasana
keraguan akan
sebuah masalah
yang menimpa
Menimbulkan
sebuah suasana
sulit tercapai
dari sebuah
waktu yang
cepat.
Pembaca seakan
merasa dalam
suasana yang
malam gelap dan
dingin
Seakan
merasakan
sesuatu yang
tidak kokoh
dalam diri.
Pembaca
merasa ditempa
oleh sesuatu
yang dipendam
dalam dalam
diri.
Menimbulkan
perasaan
mempertahankan
sesuatu yang
seharusnya
sudah hancur
Seakan
pembaca
merasakan suatu
kesedihan dalam
kalah yang ia
alami
Seakan
pembaca merasa
sendiri tanpa
kenal siapa pun
yang ada di
hadapannya/di
sekitarnya
Memunculkan
sebuah perasaan
mengaku kalah
dari sesuatu hal
terucapkan
rendah
(dapat) dikatakan;
terkatakan
yang sulit
dibantahkan
Menimbulkan
sebuah perasaan
tanpa sengaja
mengucapkan
Melakukan sebuah ucapan yang sesuatu yang ada
tanpa disadari/sebenarnya tidak dalam benak
ingin diucapkan.
pembaca
Pembaca seakan
merasa suatu
perasaan
Suatu keadaan tidak
negatif/perasaan
tinggi/masih belum mencapai
seakan-akan
tahap yang lebih jauh
kurang.
yang mulai lelah. Dengan simbol-simbol seperti dahan, yaitu bagian tubuh manusia yang
mulai lemah dengan kiasan merapuh. Simbolik malam akan mengimajinasikan pada
kesunyian, tempat sedang orang istirahat, dan akhir dari sebuah kehidupan; telah
dimanfaatkan si penyair untuk sebuah proses kematangan
Bait kedua :
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Yang artinya dengan skemata yang ada pada otak kita akan terbayang seorang anakanak dengan sifatnya yang polos, lugu, dan lucu. Tapi, secara keseluruhan bait 2, bukanlah
anak-anak yang ada dibenak kita. Bukan kanak ditunjang dengan kata-kata pendukungnya,
menunjukkan sikap kedewasaan Aku lirik
Bait ketiga:
Hidup hanya menunda-nunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Pada bait ini terasa kental sekali aroma kematian dan kepasrahan dari si Aku lirik.
Isi dalam puisi ini, sangat patut kita renungkan sebagai nasihat dan pepatah hidup kita.
Seperti, kata-kata hidup hanya menunda kekalahan telah menjadi semacam pepatah dan
terasa tidak asing di telinga kita. Kiasan kekalahan sangat menarik untuk diperhitakan;
padahal yang kita kenal selama ini adalah hidup hanya menunda kemenangan. Kekalahan
adalah simbol dari kepasrahan dan sangat kental dengan aroma kematian.
Bait kedua dan ketiga Kata 'teraslng' mengandung rasa terpenoil, menunjukkan rasa
keterasingan; sedangkan kata 'jauh' menunjukkan jarak yaitu angan-angan masa kanak-kanak
yang cemerlang penuh harapan di masa yang akan datang, tetapi kenyataannya hidup ini
penuh penderitaan. Sehingga kata jauh lebih tepat daripada kata terasing.
PENUTUP
Gaya adalah sebuah ciri khas dari seseorang dalam satu sisi yang dimilikinya. Dalam
karya sastra, gaya selalu identik dengan pengarang. Dengan mengetahui gaya dari seorang
pengarang, pembaca akan dapat menafsirkan siapa pengarangnya hanya dengan melalui
karya sastra yang dibacanya. Salah satu pengarang Indonesia yang memiliki ciri khas yang
unik adalah Chairil Anwar. Chairil Anwar memiliki gaya yang berbeda dengan pengarangpengarang lain, yaitu penggunaaan diksi-diksi bermakna emotif. Diksi-diksi tersebut selain
digunakan sebagai penciptaan nilai estetika, tetapi juga sebagai kata yang dapat mendorong
sebuah aksi. Hal tersebut terbukti pada penjabaran dalam tulisan ini. Oleh karena itu,
penggunaan diksi-diksi bermakna emotif di dalam puisinya adalah salah satu gaya Chairil
Anwar dalam mengungkapkan gagasannya dalam media puisi.
DAFTAR RUJUKAN
Carey, P. 2001. Asal-Usul Perang Jawa. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang
Carey, P. 2007. The Power of Prophecy. Leiden: KITLV
Chaer, A. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Pateda, M. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta
Ratna, N. K. 2012. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sadili, H. 2010. Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Para Ahli. Online
(http://asemmanis.wordpress.com/2009/10/03/pengertian-sastra-secara-umum-danmenurut-para-ahli/), diakses pada 10 April 2014
Subroto, E. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media
Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan Potensi Bahasa; Kumpulan Karangan sekitar dan tentang
Satuan Lingual Bahasa Jawa yang Berdaya Sentuh Inderawi. Yogyakarta: Kanisius
Sugono, D. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Tudjuddin, M. 2013. Bahasa Indonesia Bentuk dan Makna. Bandung: P.T. Alumni
Ullman, S. 2012. Pengantar Semantik. Diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh
Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wahyuningtyas, S. Dan Santosa, W. H. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta:
Yuma Pressindo
LAMPIRAN 1
KARAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kamu sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
LAMPIRAN 3
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949