Anda di halaman 1dari 152

-

APA KAU INGIN PULANG?


Zhafir Khairan Akalanka
Sebuah tulisan langka karya
Zhafir Khairan Akalanka
(Buku ini tidak diterbitkan lagi di mana pun)
APA KAU INGIN PULANG?
Oleh Zhafir Khairan Akalanka

Cetakan Terakhir (Original)/ Desember/ 2022


Zhafirakalankateam@gmail.com
Instagram: @zhafirakalankateam
Sampul: Zhafir Khairan Akalanka
Foto sampul: Zhafir Khairan Akalanka
-+152 hlm; 14 cm x 21 cm
ISBN:
Find me!
AKU ............................................................................... 14
Simbiosis ..................................................................... 16
Seandainya Mereka Tahu ........................................... 18
Refleksi ....................................................................... 20
Bimbang...................................................................... 21
Apakah Aku Anak Yang Buruk? ................................ 23
Siapa Yang Berubah? ................................................. 24
Ini Salah...................................................................... 26
Ini Salah (Bagian dua)................................................. 27
Terusir ........................................................................ 30
Adik, Oh, Adikku........................................................ 32
Angkat Kaki................................................................ 36
Hari Yang Baru .......................................................... 40
Malaikat Yang Tak Kusadari...................................... 42
Apakah Setimpal? ....................................................... 44
Mengapa Kau Melakukannya? ................................... 46
Hobi Baru ................................................................... 48
Penjagaan ................................................................... 50
Menjadi Bayangan ...................................................... 53
KAU ............................................................................... 56
Layak.......................................................................... 58
Agnosia ....................................................................... 60
Reaksi ......................................................................... 62
Alangkah..................................................................... 64
Sarat ........................................................................... 66
KITA .............................................................................. 68
Kelekatan.................................................................... 69
Hasrat ......................................................................... 70
Aliran.......................................................................... 72
Ilalang ......................................................................... 74
Raut ............................................................................ 76
Antara......................................................................... 78
Alunan Bukit............................................................... 80
Naluri.......................................................................... 82
Dentang....................................................................... 84
Rembulan.................................................................... 86
Entah .......................................................................... 88
Angkasa ...................................................................... 90
KEABADIAN ................................................................. 92

8
Somnambulis

Buntu .......................................................................... 93
Aku Siap? ................................................................... 94
Tidak Perlu ................................................................. 96
Pecah........................................................................... 98
Zaman....................................................................... 100
Untukmu, Untukku. .................................................. 102
Lima Menit ............................................................... 104
Ibu ............................................................................ 106
Tak Mungkin ............................................................ 108
Saksikan.................................................................... 110
Aku Menyentuhmu ................................................... 112
Aku Berjalan Dengan Kepalaku ............................... 114
Bahasa Yang Lain..................................................... 116
Berhak Selamat......................................................... 118
Setengah Sadar ......................................................... 120
Lautan & Dirimu ...................................................... 122
Tanah........................................................................ 124
Aku Melihat .............................................................. 126
Kerangka .................................................................. 128
Pembaca.................................................................... 130
Hening ...................................................................... 132
Poin........................................................................... 134

9
Lembar demi Lembar ............................................... 136
Kabar........................................................................ 138
EPILOG ....................................................................... 145

10
“Dia adalah kreasi Tuhan yang paling misteri─yang
pernah kutemui dalam hidup. Maksudku, dia akan selalu
datang dengan hati yang terbuka; pikiran yang terbuka;
kehangatan yang terbuka─ dengan jiwa yang senantiasa
tertutup.”
“Dia selalu memendam rasa sakitnya dan selalu
menghadapi apa pun tanpa bantuan siapa-siapa. Itulah
sebabnya aku selalu ingin memastikan apakah ia baik-baik
saja”
Siapkan pena, marilah menulis bersamaku…
AKU
Apakah Kau Ingin Pulang?

15
Zhafir Akalanka

Simbiosis
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Ini adalah hari pertamaku menulis sebuah diary─
sebuah keputusan yang kubuat berdasarkan tingkat kesepian
yang kurasakan. Semoga aku tidak terlihat memalukan dan
menyedihkan, mengingat fakta bahwa aku adalah seorang
lelaki yang setiap harinya selalu dikelilingi oleh banyak orang.
Tapi, apakah banyaknya orang di samping kita akan
menentukan kita tidak akan kesepian lagi? Kurasa tidak.
Karena, dari apa yang kurasakan, semakin aku dikelilingi oleh
keramaian, justru aku semakin merasa sendirian.
Di titik ini aku mulai merasakan bahwa kesepian bukan
tentang berapa banyak orang yang ada di samping kita. Tapi
tentang berapa banyak hati yang ada untuk kita.
Ketika aku bersama mereka, jujur saja, aku sangat
senang karena aku bisa senantiasa berguna untuk mereka.
Kadangkala aku bisa membantu mereka, kadang pun aku hanya
sebatas mendengarkan mereka. Tapi faktanya, ada satu sisi di
dalam diriku yang masih terasa kosong. Aku selalu bertanya-
tanya, bagaimana denganku? Bagaimana dengan hatiku? Kau
paham maksudku? Bagaimana dengan kebutuhanku untuk
didengarkan juga? Mengapa nyaris selalu tidak ada waktu
untuk giliranku? Mengapa waktu selalu saja habis untuk
mendengarkan mereka tanpa sempat mereka bertanya tentang
apa yang sedang terjadi padaku? Jikapun mereka kesulitan
untuk berbicara perihal isi hati mereka, aku selalu
menghabiskan waktuku untuk berusaha menyelam─
memahami dan menerjemahkannya. Tapi saat giliranku tiba,

16
Apakah Kau Ingin Pulang?

mengapa mereka begitu mudah berpaling seolah-olah apa yang


terjadi padaku hanyalah hal yang sangat biasa? Mengapa
mereka tidak terlebih dahulu menyelam untuk berusaha
memahami ketimbang semudah itu berpaling dan
menghakimi? Bila mereka menganggapku adalah teman
mereka, bukankah seharusnya terjadi sebuah sistem timbal-
balik di dalamnya? Bukankah pertemanan itu semacam
simbiosis mutualisme yang di mana dua pihak akan saling
mendapatkan keuntungan? Tapi, sudahlah, lupakan. Semakin
aku bertanya perihal ketidakadilan ini, aku akan semakin
terlihat menuntut dan terlihat perhitungan. Aku terpaksa harus
memendamnya. Aku benci konflik. Aku tidak ingin ada
gesekan antara diriku dengan mereka hanya karena hatiku
meminta keadilan pada mereka.
Sial, apa aku terlalu mengalah? Atau memendam
ketidakadilan seperti ini adalah ketulusan yang sesungguhnya?
Entahlah.
Hanya dengan menulis, aku bisa secara bebas
menangis. Ada beberapa orang menangis dengan air mata, tapi
aku memilih menangis dengan pikiran yang kutuang ke dalam
tulisan. Air mata hanyalah reaksi biologis. Itu akan terjadi
secara otomatis. Itu bagus untuk jiwa, tapi tidak terlalu bagus
untuk realita. Tanpa keputusan yang kita buat, menangis
hanyalah reaksi semu yang takkan berdampak apa-apa. Aku
ingin menangis melalui menulis. Apakah itu manis? Atau
jangan-jangan: miris?
Lucu rasanya ketika menuliskan perasaan ─pada
akhirnya─ seperti mendapatkan sebaik-baiknya teman.

17
Zhafir Akalanka

Seandainya Mereka Tahu


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku tidak tahu apa yang harus kutuliskan hari ini. Hal-
hal yang kudapat di hari ini terasa begitu cepat. Sampai-sampai,
aku tidak tahu makna apa yang harus kudapat. Pernahkah kau
merasa demikian? Maksudku, pernahkah kau berharap ada
semacam tombol pause di dalam hidup ini? Sehingga kau bisa
sejenak berpikir dan memaknai sesuatu yang sedang terjadi di
dalam hidupmu? Pernahkah ketika seseorang bertanya/
berbicara padamu, kau berharap dapat menekan tombol
tersebut sehingga mereka diam dan kau bisa mengidentifikasi
ekspresi mikro yang ia tampakkan? Sehingga kau bisa
mengetahui apakah ia sedang sedih? Apakah ia betul-betul
nyaman berbicara padamu? Apakah ia berbohong? Apakah ia
sedang menyembunyikan sesuatu? Atau mungkin sekadar
untuk membuatmu dapat berpikir jernih dalam menentukan
bagaimana responmu setelahnya? Aku tidak tahu apakah ini
terlalu berlebihan atau tidak, tapi seringkali, aku selalu terlihat
diam beberapa saat ketika orang-orang bertanya padaku.
Responku selalu saja lambat di mata mereka. Mereka selalu
mengiraku sedang melamun. Padahal, seandainya mereka tahu,
aku menggunakan energi pikiran dan perasaanku di saat yang
bersamaan untuk merespon mereka. Dengan kata lain, aku
tidak hanya berpikir sebelum berbicara, aku juga memberikan
empati sebelum memberi solusi. Lalu setelahnya, secara
otomatis, aku akan memindai apa saja hal-hal yang tidak ia
utarakan padaku. Aku tidak hanya mendengar dengan
telingaku, aku juga mendengar dengan hatiku. Aku tidak hanya
mendengar apa yang ia bicarakan padaku. Aku juga mendengar

18
Apakah Kau Ingin Pulang?

hal-hal yang tidak ia sampaikan padaku. Karena seringkali, hal-


hal yang tidak diutarakan orang-orang kepadaku, adalah fakta/
kenyataan yang seharusnya aku tahu. Itu semua adalah caraku
menunjukkan pada mereka bahwa aku serius menanggapi
mereka. Kau bisa bayangkan betapa lelahnya mengeluarkan
energi sebanyak itu hanya untuk bisa berbicara dan terhubung
dengan manusia?
Hari ini seperti hari lainnya. Orang-orang terbangun
dari tidurnya dengan ketakutan dan tanda tanya. Masa lalu
menertawai mereka. Masa depan menakuti mereka. Aku? Aku
hidup di antara keduanya.
Diary, aku terkadang penasaran, seandainya kau
memiliki gender, kau itu perempuan atau laki-laki? Apakah
kau nyaman berteman denganku? Dan malah, apakah aku ini
adalah teman bagimu? Ya Tuhan, apakah aku sinis dan gila?
Atau hanya sedang kesepian saja? Tapi apakah menjadi jujur
itu memalukan? Atau memang beberapa hal di dunia ini tidak
perlu diutarakan? Ah, mungkin itulah sebabnya mengapa buku
diary diciptakan. Agar meminimalisir tingkat rasa malu yang
akan didapatkan dari kejujuran yang disampaikan? Entahlah,
kendati demikian, aku berharap suatu hari; saat aku sudah tidak
ada lagi di bumi ini, buku diary-ku akan diterbitkan dan dibaca
oleh orang-orang. Khususnya orang-orang terdekatku. Karena
walau bagaimanapun, semua yang berada di dalam buku ini
adalah kenyataan-kenyataan tentang diriku yang seharusnya
mereka tahu─ yang sayangnya, selalu terpaksa aku pendam di
dalam kalbu. Apakah aku akan malu? Kurasa tidak.
Kemungkinan besar merekalah yang akan merasakan sesuatu.
Maksudku, aku sudah mati. Apakah orang mati bisa merasakan
sesuatu?

19
Zhafir Akalanka

Refleksi
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Ini pengakuanku: aku memiliki kesulitan dalam
menyampaikan sesuatu dengan jelas. Aku tidak tahu apakah itu
anugerah ataukah itu masalah. Dari sudut pandang beberapa
orang, mereka menilaiku misterius. Dari sudut pandang
beberapa orang yang lain, mereka menilaiku pemalu.
Aku merenunginya. Ya. Aku sangat merenunginya.
Dan aku mendapati berbagai kontradiksi di dalamnya.
Maksudku, ada benar dan salahnya ketika mereka menyebutku
pemalu. Di satu momen, aku bisa menjadi sangat pemalu.
Namun, di momen yang lain, aku mendapati diriku begitu
berani dan percaya diri. Jadi, kurasa, pemalu atau tid aknya
diriku, itu tergantung keadaan. Aku semacam fleksibel dan
kondisional terhadap sesuatu.
Seperti halnya topik tentang misterius atau tidaknya
diriku: di satu momen, aku mendapati diriku begitu teka-teki
dan sangat membuat orang bertanya-tanya, namun di momen
yang lain, aku mendapati diriku begitu frontal dan terbuka.
Bahkan, jika aku disuruh menilai diriku sendiri, aku
tidak tahu bagaimana karakterku sendiri. Semuanya berubah-
ubah tergantung keadaan dan tergantung dengan siapa aku
berhadapan. Jadi, bila orang-orang bertanya aku siapa dan
bagaimana? Aku rasa, itu tergantung bagaimana mereka
menunjukkan karakter mereka. Sebab rasanya, aku hanya akan
menjadi refleksi mereka.

20
Apakah Kau Ingin Pulang?

Bimbang
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku bimbang hari ini. Aku terdampar pada dua pilihan
antara dekat dengan orang tua namun aku tidak melihat diriku
tumbuh, dan memutuskan untuk jauh dari orang tua dan
berharap agar aku tumbuh. Aku harap kau tidak melihatku
sebagai seseorang yang tidak bersyukur. Aku betul-betul
bersyukur dengan apa yang kupunya. Terutama keluarga.
Sungguh. Hanya saja, ada sesuatu yang salah bila di usiaku
yang sekarang, aku masih dekat dengan mereka. Ada sebuah
rasa bersalah bila aku belum bisa membuat duniaku sendiri.
Ada sebuah dorongan yang kuat dari dalam diriku untuk bisa
jauh dari mereka dalam rangka mencari jati diriku dan belajar
tentang kehidupan dalam cakupan yang lebih luas lagi.
Aku sayang kedua orang tuaku. Hubunganku sangat
baik dengan mereka. Ada hal-hal yang sulit untuk kumengerti
dari kedekatan sebuah hubungan dengan orang tua. Seperti
rasanya, keluarga adalah tempat untuk pulang, bukan tempat
untuk tumbuh. Kau paham maksudku? Aku tidak bisa tumbuh
menjadi lelaki hebat di tempat di mana seharusnya aku rehat.
Aku harus melangkahkan kakiku untuk sebuah perjalanan
kehidupan agar aku mengerti apa makna pulang ketika aku
bertemu kembali dengan keluargaku. Apakah hidup seperti itu?
Membentang jarak untuk memaknai pulang? Berlelah-lelah
untuk damai pulang ke rumah? Apakah aku dewasa terlalu
dini? Tapi, jika apa yang kurasakan itu benar, fenomena macam
apa itu?

21
Zhafir Akalanka

22
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apakah Aku Anak Yang Buruk?


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku jatuh sakit hari ini. Aku pingsan ketika aku hendak
ke kamar mandi. Ibuku bilang aku harus dibawa ke Rumah
Sakit. Namun, aku rasa itu tidak perlu. Aku mungkin hanya
kurang tidur dan terlalu banyak pikiran. Saat ini aku memang
terbaring lemah layaknya orang yang sakit di ranjang tidurku.
Jujur saja, aku merasa damai dan sehat. Hanya saja, aku
penasaran, mengapa dadaku terasa sakit ketika aku tertidur
menghadap ke kanan? Apa aku terlalu menyepelekannya?
Ataukah Ibuku benar bahwa aku harus dibawa ke Rumah
Sakit? Tidak, Diary, itu ide yang buruk. Itu akan membebani
keluargaku secara finansial dan batin. Aku tidak ingin seperti
itu. Terlebih, aku baru setahun lulus SMA, aku belum
membanggakan kedua orang tuaku. Malah, baru-baru ini aku
membuat mereka kepikiran dengan masa depanku karena aku
yang menolak untuk kuliah. Ini akan baik-baik saja, kurasa.
Bukan hal yang perlu dibesar-besarkan.
Perihal ketidakinginanku untuk kuliah, itu adalah hal
yang alami dari diriku. Entahlah, meskipun orang tuaku sangat
mampu membiayaiku, hati dan jiwaku seperti tidak
memberikan persetujuan. Aku merasa akan lebih terdidik bila
itu berasal langsung dari kehidupan. Kau paham maksudku,
kan?
Tapi, Diary, menurutmu, apakah aku harus mengatur
rencana untuk bisa jauh dari orang tuaku sehingga aku bisa
memulai kisah hidupku? Sial, membacanya saja, aku terdengar
seperti anak yang buruk.

23
Zhafir Akalanka

Siapa Yang Berubah?


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Pernahkah kau merasakan tidak lagi seperti berada di
rumah ketika jelas-jelas kau sedang berada di rumah? Hal itu
menggangguku. Apa yang kulihat dan kurasakan perlahan-
lahan menjadi semu. Orang-orang yang kusayang, hal-hal yang
terbiasa dilakukan, semuanya perlahan menjadi asing dan tak
lagi dapat kurasakan. Apakah ini fase pendewasaan? Tapi siapa
yang sebenarnya berubah? Cara pandangku atau cara mereka
memperlakukanku?

24
Apakah Kau Ingin Pulang?

25
Zhafir Akalanka

Ini Salah
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Malam tadi aku kedatangan dua temanku. Tepatnya
pada pukul dua dini hari. Mereka meneleponku dan berkata
membutuhkan pertolonganku. Aku cukup terkejut ketika
kudapati mereka berdua dalam keadaan mabuk yang cukup
berat di pinggir jalan. Yang satu masih bisa kuajak bicara
meskipun aku harus sedikit berusaha, yang satu lagi sama
sekali tidak bisa kuajak bicara dengan jelas.
Alhasil, mereka berdua kubawa ke rumahku secara
diam-diam untuk kemudian kubaringkan di dalam kasur
tidurku, setidaknya sampai mereka tersadar dan betul-betul
bisa diajak bicara dengan jelas.
Dalam tidur mereka yang seringkali meracau, kuamati
baik-baik wajah dan tubuh mereka. Aku khawatir mereka
memiliki luka fisik karena efek mabuk yang mungkin membuat
mereka berkelahi atau menyakiti diri. Kuamati lagi dan lagi,
Ya Tuhan, terlihat sangat pucat wajah mereka. Bibir mereka,
kantung mata mereka, perlahan berubah warna menjadi biru.
Haruskah kubiarkan saja? Atau mereka harus diberikan
perawatan segera? Tapi, aku penasaran, mereka mabuk apa
sebenarnya? Apakah mabuk minuman akan separah ini
efeknya? Kurasa tidak mungkin. Pasti ada sesuatu yang lain.
Sebagai teman mereka, aku merasa bersalah.
Maksudku, masa remajaku selalu dihabiskan dengan mereka.
Bertingkah nakal bersama. Mencoba hal-hal yang berbahaya
bersama-sama. Tak ada satu pun kekonyolan dan kebodohan
melainkan kami akan melakukannya bersama-sama. Tapi,
sungguh, ini salah. Ini sangat salah. Tidak seperti ini harusnya.

26
Apakah Kau Ingin Pulang?

Ini Salah (Bagian dua)


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Tapi, orang
tua dari kedua temanku yang mabuk berat itu datang ke
rumahku untuk menjemput mereka pada pukul empat lebih dini
hari. Aku sungguh terkejut karena aku tidak tahu harus berkata
apa. Aku hanya tidak ingin mereka berpikir bahwa aku adalah
penyebab mereka mabuk. Karena faktanya aku memang tidak
tahu apa-apa.
Saat kedua temanku itu dibopong dalam kondisi pucat,
orang tua mereka sangat ketus padaku. Begitu pun orang tuaku
yang mencoba menerka apa yang terjadi. Di dalam hatiku, aku
yakin, aku pasti disalahkan. Semua mata akan otomatis
melihatku sebagai seseorang yang membawa pengaruh buruk.
Betapa pun aku mencoba berkata pada orang tua
mereka untuk membuat kedua temanku itu tetap tinggal
menginap sampai setidaknya mereka bisa diajak bicara, sampai
setidaknya kondisi mereka membaik, hasilnya tetap nihil.
Kedua temanku tetap dibawa paksa oleh kedua orang tua
mereka.
Di pagi harinya, aku kebingungan karena kasus ini
membuat nama keluargaku juga hancur. Ibuku marah besar
kepadaku. Ibuku mengira bahwa aku sudah keterlaluan. Aku
berusaha meyakinkan Ibuku bahwa aku tidak mabuk dan sama
sekali tidak tahu menahu tentang apa yang telah mereka
lakukan tadi malam sehingga menghubungiku dalam keadaan
mabuk berat seperti itu.
Kasus tersebut, entah bagaimana, menyebar ke hampir
seluruh tetanggaku. Cara pandang orang-orang padaku menjadi

27
Zhafir Akalanka

berbeda. Mereka seperti melihatku seperti seonggok makhluk


yang hina dan berbahaya. Aku sangat bisa merasakannya.
Tatapan mereka? Gestur mereka? Ekspresi mikro yang mereka
tampakkan? Semuanya mencerminkan kebencian mereka
padaku. Ah, sepertinya aku akan terasing secara perlahan untuk
sesuatu yang sama sekali tidak aku lakukan.
Dear, Diary, apa yang harus kulakukan? Bagaimana
cara memperbaiki namaku di mata orang-orang? Aku tidak
ingin terasing. Aku terbiasa dikelilingi oleh banyak teman. Aku
betul-betul tidak bisa membayangkan bila aku harus dijauhi
oleh orang-orang. Itu akan sangat membuatku tersiksa.
Kedua temanku yang mabuk itu keadaannya sudah
membaik. Mereka mengirimkan beberapa pesan maaf padaku.
Mereka mendapatkan hukuman yang cukup buruk dari orang
tua mereka masing-masing. Dan yang terburuk dari semuanya
adalah, mereka tidak diperbolehkan lagi bertemu denganku.
Aku betul-betul tidak peduli dengan siapa yang salah dan siapa
yang benar. Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Dan
yang paling penting adalah kedua temanku itu selamat.
Salah satu dari kedua temanku itu memberitahuku
bahwa pada malam itu, mereka berdua bertemu dengan seorang
wanita yang merupakan pengedar narkoba jenis obat-obatan.
Wanita tersebut berkenalan dengan salah satu temanku di
aplikasi dating apps. Dan ia diajak berkunjung ke
kontrakannya untuk bersenang-senang. Di sana, seperti kencan
ganda yang di mana wanita tersebut membawa satu temannya,
dan temanku membawa satu teman juga.
Aku tidak tahu bagaimana mengekspresikannya. Aku
memaafkan kedua temanku itu. Aku hanya merasa tidak bisa
untuk satu frekuensi lagi dengan kedua temanku. Itu saja. Aku
benci. Aku kecewa. Aku gagal menjadi teman yang baik.

28
Apakah Kau Ingin Pulang?

29
Zhafir Akalanka

Terusir
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Akhir-akhir ini aku sangat kesepian dan tertekan.
Status sosialku di wilayah yang sedang kutinggali menjadi
buruk. Sangat buruk. Ada semacam tekanan yang membuatku
terusir secara tidak langsung. Apa aku harus pergi dari sini?
Teman-temanku, perlahan tapi pasti, satu per satu
tergelincir dalam dunia yang hitam. Kau paham maksudku?
Aku terjebak di antara dua pilihan antara harus mengubah
keadaan atau menjauhi sebuah keadaan. Ada keinginan yang
kuat untuk dapat mengubah keadaan. Maksudku, mereka
adalah teman-temanku. Aku menyayangi mereka. Tapi,
masalahnya, aku bisa apa? Aku tidak punya power. Bahkan,
lihatlah, namaku pun sedang buruk-buruknya di wilayah ini.
Aku tidak memiliki pilihan selain menolong diriku terlebih
dahulu. Tapi, apakah pergi dari tempat ini dalam rangka untuk
memperbaiki namaku dan untuk mengejar kesuksesan agar aku
memiliki power untuk mengubah keadaan adalah solusi?
Apakah menjauh untuk sementara adalah bagian dari kasih
sayang?

30
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

31
Zhafir Akalanka

Adik, Oh, Adikku


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Apakah kau tahu bagian yang terburuk dari transisi
menjadi orang terpercaya ke status diasingkan? Adalah kau
mengerti bahwa seribu kebaikan akan semudah itu dilupakan
oleh hanya satu kesalahan. Tapi apakah aku berbuat salah? Di
mana letak kesalahanku? Aku betul-betul tidak mengerti
mengapa memberi pertolongan bisa membawaku pada lubang
penderitaan.
Aku betul-betul tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Ruang gerakku di wilayah ini menjadi tersempitkan. Aku tidak
tahu ke mana lagi kakiku harus melangkah agar diriku dapat
dimengerti. Aku hanya menghabiskan waktuku di dalam
ruanganku─ melakukan apa pun yang kubisa, dengan apa pun
yang kupunya. Aku menulis, aku melukis, aku menciptakan
lagu, hal-hal yang berasal dari rasa sakit batinku kutuangkan ke
dalam karya yang entah berguna atau tidak. Bahkan, aku tidak
tahu apakah aku sedang membuang-buang waktu atau tidak.
Tapi, ketika berkarya, apakah hidup akan menjadi sia-sia?
Diary, apa yang kau pikirkan tentangku? Apakah kau
akan menganggapku manusia yang buruk dan berbahaya juga
seperti anggapan orang-orang di luar sana itu?
Ketika aku makan malam, orang tuaku menyuruhku
untuk kuliah dan fokus pada prestasi. Mereka menekanku
dengan mempertanyakan keseharianku yang tidak jelas.
Maksudku, Ya Tuhan, apakah berkarya adalah suatu
ketidakjelasan? Apakah melakukan sesuatu yang membuatku
hidup sebagai manusia itu terlarang? Mengapa mereka tidak
mendukungku? Mengapa mereka tidak memberikan hakku?

32
Apakah Kau Ingin Pulang?

Adik laki-lakiku yang tahun ini menginjak kelas dua


SMA terlihat hanya menatapku dengan penuh ketegangan. Aku
tidak tahu apa yang ia pikirkan ketika aku sedang berdebat
dengan kedua orang tuaku. Tapi terkaanku, ekspresi tegang
yang ditampakkan oleh Adikku itu adalah sebuah mekanisme
alam bawah sadarnya yang menyiratkan bahwa ia sedang
menyembunyikan sesuatu. Seperti semacam ketakutan.
Apakah ia memiliki idealisme hidup yang takut didebat juga
oleh Ibu dan Ayah? Entahlah.
Setelah makan malam, aku menyempatkan masuk ke
dalam kamar Adikku untuk melihat apa yang sedang ia
lakukan. Hubunganku dengan Adikku terkesan dingin. Kami
jarang berbicara panjang lebar. Tiap kali aku masuk ke
kamarnya, ia akan selalu menampakkan raut wajah ketusnya.
Bukan hal yang baru: tipikal hubungan Kakak-Adik laki-laki.
Adikku adalah introvert akut dan tertutup. Ia memiliki
kesulitan untuk dapat bersosialisasi. Ia semacam kutu buku
yang senang bermain game dan pandai dalam bidang eksak.
Maksudku, ia sangat pandai dalam hitung-hitungan angka.
Akan tetapi, aku menyadari, ia kini sedang berada dalam fase
pubertas yang memungkinkan ia mencoba berbagai hal baru
dalam hidupnya. Tapi, aku penasaran, apakah ia tertarik dengan
wanita? Maksudku, kenakalan macam apa yang sedang ingin
ia coba?

33
Zhafir Akalanka

Aku mencoba memancing beberapa pertanyaan untuk


mengetahui ia sedang dalam kenakalan macam apa. Aku akan
melakukan pendekatan secara persuasif agar ia terbuka padaku.
Aku tidak akan menjadi seorang Kakak yang naif dan sok tegas
melarang ini dan itu. Sebab menurutku, adalah hal yang baik
bila kita bisa menjadi sahabat bagi anggota keluarga kita.
Adalah malapetaka bila ia lebih percaya pada orang lain
ketimbang keluarganya sendiri.
Cukup sulit rasanya untuk menggali Adikku yang satu
ini. Tapi aku tidak kehilangan cara. Aku coba untuk terlebih
dahulu terbuka tentang diriku padanya. Aku coba untuk
melempar topik tentang apa yang terjadi pada hidupku akhir-
akhir ini.
Hal yang tidak kusangka adalah bahwa Adikku
meresponnya meskipun ia tetap anteng di meja belajarnya.
Ternyata ia diam-diam mengamatiku. Ia bahkan berkata bahwa
aku tidak salah. Bahwa aku hanya berusaha membantu kedua
temanku itu. Sungguh, ada semacam kebahagiaan ketika kau
mendapati seseorang yang mempercayaimu. Seseorang yang
bahkan tak pernah kau sangka sebelumnya.
Adikku, bagiku, adalah manusia apatis yang memiliki
kecerdasan mumpuni. Dia mengamati sebelum menghukumi.
Dia menggunakan otak sebelum menggunakan mulut. Hal yang
tidak kuketahui adalah dia memiliki rasa peduli yang ia
bungkus dalam sikap dan wajah yang tidak peduli. Kau paham
maksudku? Ia mungkin memiliki wajah yang sangat ketus, tapi
ia peduli.

34
Apakah Kau Ingin Pulang?

Aku menyimpulkan, ada semacam rasa iri di dalam diri


Adikku kepadaku. Terlihat, ia beberapa kali menyinggung soal
Ayah dan Ibu yang nampaknya lebih fokus dan lebih banyak
membicarakanku. Tak hanya itu, beberapa kali pun ia
menyinggung bahwa seharusnya aku bersyukur bahwa aku
pernah menjadi pusat terpercaya untuk dimintai bantuan, aku
seharusnya bersyukur karena pernah selalu dikelilingi oleh
banyak teman-teman. Tapi, apakah itu penyebab Adikku
selama ini bersikap dingin dan ketus padaku? Apakah aku salah
lagi hanya karena aku memiliki privillege tersebut? Mengapa
hal-hal yang kumiliki bisa menjadi rasa sakit untuk seseorang
yang kucintai?

35
Zhafir Akalanka

Angkat Kaki
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Sudah beberapa hari aku tidak berada di rumah. Aku
tidak tahu pasti. Sudah tiga hari? Atau 4 hari, mungkin? Aku
menginap di rumah salah satu saudaraku yang mau
menampungku. Ya, kau benar, Diary, secara teknis aku diusir
meskipun dengan cara yang halus.
Aku tidak tahu bagaimana cara menceritakannya.
Semuanya betul-betul tidak masuk akal. Beberapa hari yang
lalu, di suatu sore, saat semua hal sedang berjalan tenang dan
baik-baik saja, Ayahku menemukan sebuah lintingan ganja di
dekat kursi sofa depan rumahku. Itu membuat kedua orang
tuaku otomatis menyudutkanku dan menuduhku. Maksudku,
aku memang anak yang bisa dibilang akrab dengan hal-hal
yang seperti itu. Akan tetapi, itu dulu. Itu saat aku sedang
berada pada fase pubertasku. Saat aku mencoba-coba hal yang
baru. Kau paham maksudku? Kita semua pasti pernah mencoba
hal-hal yang nakal versi kita dalam porsi tertentu, akan tetapi,
itu bukan berarti kita akan pasti ketergantungan begitu.
Di ruang tamu, aku hanya terdiam menatap lintingan
ganja tersebut dengan wajah tidak percaya. Aku tidak begitu
mendengar apa yang disampaikan oleh kedua orang tuaku. Aku
hanya mendengar bahwa seandainya aku masih di rumah ini,
aku akan membahayakan keluarga. Sungguh, sebuah
singgungan yang sangat halus dari mereka, untuk membuatku
pergi.

36
Apakah Kau Ingin Pulang?

Kulihat adikku, ia hanya menatapku dengan wajah


yang tegang. Ia tidak bisa berkata apa-apa, apalagi membelaku.
Aku dapat memahami itu. Aku yakin di dalam hatinya, Adikku
membelaku.
Hal yang membuatku bingung adalah ganja ini milik
siapa? Aku betul-betul tidak merasa bermain dengan hal-hal
seperti itu lagi sejak lulus SMA. Tapi, jika itu bukan milikku,
lalu milik siapa? Apakah ada seseorang yang jahil padaku
dengan tujuan untuk memfitnahku? Atau aku yang secara tidak
sadar menggunakan barang terlarang tersebut lagi?
Aku berusaha mengingat dan terus mengingat apakah
benar itu milikku, tapi sekuat apa pun aku menggali ingatanku,
aku tidak menemukan fakta bahwa aku memiliki barang
tersebut. Maksudku, bahkan aku sudah jarang berhubungan
dengan orang-orang di wilayah ini. Dan lihatlah riwayatku!
Sejak kasus kedua temanku yang mabuk itu, aku selalu
menghabiskan waktuku di rumah. Bagaimana bisa aku dapat
memiliki barang tersebut?
Tapi, rasanya percuma untuk meyakinkan mereka.
Mereka akan tetap menuduhku, sejelas apa pun aku
memberikan penjelasan. Ya sudahlah, mungkin memang
seharusnya aku pergi dari rumah ini.

37
Zhafir Akalanka

38
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

39
Zhafir Akalanka

Hari Yang Baru


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Sudah seminggu aku menumpang hidup di rumah
saudaraku. Aku tidak bisa di sini untuk lebih lama lagi. Aku
harus pergi. Aku sudah terlalu merepotkan. Tapi ke mana? Dan
biayanya dari mana?
Ketakutan demi ketakutan kutelan dengan sukarela.
Rasa sakit yang bercampur tanda tanya menjadi sejenis racun
yang menggerogoti mentalku secara perlahan. Ada semacam
kebencian yang menyeruak entah pada siapa. Ada semacam
rasa muak yang entah tertuju pada siapa. Apa selama ini aku
terlalu mengalah? Apa aku terlalu pengecut? Mengapa rasanya
aku selalu tertindas oleh kenyataan? Mengapa sulit untuk
menjadi orang yang baik dan lembut di dunia yang keras?
Mengapa balasan yang selalu kuterima adalah ketidakadilan?
Beruntung, aku memiliki saudara sebaya yang masih
mau menopangku. Dia adalah salah satu saudara dari keluarga
besarku yang selalu terkucilkan. Dalam tongkrongan, dia
adalah seseorang yang selalu paling diam dan tidak banyak
bicara. Sampai-sampai, jika ia tidak nongkrong berhari-hari
pun, tak akan ada yang menyadarinya.
Aku merasa bersalah, sangat merasa bersalah karena
aku tidak sempat menyadari sosok saudaraku yang satu ini.
Aku betul-betul tidak memperhatikannya di saat ia dikucilkan.
Bisa jadi, dahulu, ia lebih membutuhkan bantuan, lebih
membutuhkan teman, tapi aku malah terlarut dalam
kenikmatan menjadi pusat perhatian. Tak pernah kusangka,
bahwa pada akhirnya, dialah satu-satunya yang menemaniku di
titik terendahku.

40
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

41
Zhafir Akalanka

Malaikat Yang Tak Kusadari


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Dua bulan berlalu. Aku kini sudah bekerja di salah satu
Perpustakaan sekaligus cafe milik seorang Penulis. Aku kerja
full-time dan mendapatkan gaji dengan sangat bagus di sini.
Aku tidak tahu standar gaji yang bagus menurut kebanyakan
orang, tapi di sini, bagiku sudah sangat cukup untuk menunjang
kehidupanku, bahkan terkadang aku dikasih bonus yang lebih.
Aku dan saudaraku bekerja di sini. Secara teknis, dia
yang lebih senior daripada aku. Saat ada lowongan, dia
langsung memberitahukannya padaku. Dan syukur, sekarang
aku memiliki penghasilan sendiri untuk dapat menopang
kehidupanku dan tidak lagi membebani saudaraku.
Aku mencoba untuk membayar biaya apa pun sejak
aku menumpang di keluarga saudaraku tersebut, akan tetapi, ia
dan keluarganya menolak. Mereka sama sekali tidak
menganggapnya hutang. Alhasil, aku menggantinya dengan
cara membelikan hadiah sofa untuk keluarga mereka. Dan ya,
mereka menyukainya.
Hubunganku dengan keluarga saudaraku sangatlah
baik. Bahkan, aku sendiri heran, mengapa lebih hangat dengan
keluarga orang lain ketimbang dengan keluarga sendiri?
Mungkin, pendapatku, kita akan otomatis berkembang dan
akan otomatis mengoptimalkan potensi diri kita, ketika kita
bersama dengan orang-orang yang memahami kita. Dengan
kata lain, manusia akan bersinar bila bersama dengan orang-
orang yang tepat.

42
Apakah Kau Ingin Pulang?

Sungguh, aku beruntung memiliki saudara seperti


dirinya. Aku salah selama ini karena menganggap dia sosok
yang tidak begitu penting. Padahal, kenyataannya, dia memiliki
kecerdasan, kebaikan, kelembutan, yang bagiku di atas rata-
rata. Mungkin, dahulu, dia hanya tidak menunjukkannya. Atau
lebih tepatnya, aku dan teman-temankulah yang tidak pernah
memberikan kesempatan untuk dia menunjukkan jati dirinya.
Bagiku, dia adalah malaikat yang tidak kusadari. Andai
teman-temanku yang lain mengetahui bagaimana perangai
sesungguhnya dari saudaraku ini, pastilah saudaraku ini akan
menjadi sosok yang sangat penting di dalam kumpulan. Aku
berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi sahabat yang
baik untuk saudaraku. Aku akan melindunginya dan akan
selalu tersedia kapan pun ia membutuhkanku. Aku tidak akan
pernah melupakan orang-orang yang pernah baik kepadaku.

43
Zhafir Akalanka

Apakah Setimpal?
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Hari ini aku telah memutuskan untuk tinggal sendiri di
sebuah kontrakan dekat dengan Perpustakaan. Aku sangat
senang sekali. Ini pertama kalinya aku bisa tinggal sendiri
dengan segala keperluan yang berasal dari uang sendiri.
Adalah momen yang sedih ketika aku harus
berpamitan dengan keluarga saudaraku. Betapa mereka sudah
seperti keluargaku sendiri. Mereka membelaku di saat orang-
orang menyudutkanku. Mereka mendukungku di saat orang-
orang merendahkanku. Mereka sudah memiliki tempat spesial
di dalam hatiku, yang kuberi nama “keluargaku.”
Saudaraku membantuku mengurusi pindahanku.
Termasuk berbelanja membeli apa pun keperluan sehari-
hariku. Akan tetapi, dia menolak untuk tinggal bersamaku di
kontrakan ini. Dia mengatakan bahwa dia harus ada di rumah.
Dia adalah laki-laki satu-satunya di rumah. Dia merasa harus
mengurusi kedua orang tuanya yang sudah senja.
Mendengarnya, ada sebuah sentakan di dalam hatiku
yang membuatku otomatis teringat dengan kedua orang tuaku.
Apa aku ini anak yang buruk dan durhaka? Aku di sini di dalam
duniaku yang baru, di dalam kenikmatan yang banyak, tapi
bagaimana dengan orang tua dan Adikku? Apakah mereka
berada dalam kehidupan yang layak? Apakah mereka baik-baik
saja di rumah? Tapi, andai kata aku pulang atau sekadar
mengunjungi mereka dan memberitahu mereka tentang
pekerjaanku, akankah kehadiranku masih diterima?

44
Apakah Kau Ingin Pulang?

45
Zhafir Akalanka

Mengapa Kau Melakukannya?


───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Kejadian mengejutkan terjadi di hari ini. Sebuah fakta
mengejutkan yang cukup dalam menghunjam hatiku.
Setelah pulang kerja dari Perpustakaan, aku berencana
untuk mengunjungi kediaman keluargaku. Namun, aku terkejut
ketika mendapati Adikku mengetuk pintu kontrakanku. Dia
mendapatkan alamatku dari keluarga saudaraku. Ada jeda
beberapa detik saat matanya menatapku. Ada semacam
kerinduan yang dipadukan dengan rasa takut, yang nampak
pada raut wajahnya. Apakah dia merindukanku? Apakah rasa
rindu menyiksanya sedemikian rupa sehingga nampaklah rasa
takut pada wajahnya?
Aku menuntunnya masuk. Aku mencoba memastikan
keadaannya, menanyakan kabar Ibu dan Ayah, namun, ia
terlihat masih saja gelisah dan seperti ingin mengutarakan
sesuatu padaku.
Betapa terkejutnya aku saat ia menundukkan
kepalanya dan meminta maaf berulang-ulang padaku.
Awalnya, aku kebingungan dengan sikapnya. Tapi setelah ia
berterus-terang, akhirnya aku tahu.
Ia berkata bahwa ganja yang ditemukan oleh Ayah
pada saat itu adalah miliknya. Ia sedang berada pada fase
pubertas dan mencoba-coba kenakalan-kenakalan baru.
Namun, ganja yang diberikan dari temannya tersebut terjatuh
dari kantungnya, dan betapa sialnya, yang menemukannya
adalah Ayah.

46
Apakah Kau Ingin Pulang?

Tak hanya meminta maaf, Adikku juga berterima kasih


berulang-ulang padaku karena dengan dihukumnya aku, ia jadi
selamat dari marahnya Ibu dan Ayah.
Aku tidak tahu bagaimana cara meresponnya. Gejolak
amarah yang kurasakan sama sekali tidak ada gunanya. Yang
terjadi, sudah terjadi. Yang lalu, biarlah berlalu. Aku bangkit
dari dudukku dan masuk ke dalam kamarku. Lintingan ganja
tersebut masih kusimpan di balik sampul buku diary-ku, aku
menyimpannya untuk mencari tahu dari siapa ganja jenis
seperti ini.
Kuletakkan ganja tersebut di atas meja, di hadapan
Adikku. Ia terlihat menatapnya dalam-dalam. Aku tidak tahu
pasti apa yang ia pikirkan. Tapi, yang pasti, setelah ia
mengutarakan semuanya, ia meminta izin padaku untuk
membawa kembali ganja tersebut. Aku tidak bisa melakukan
apa pun kecuali memberikannya. Namun, ketika tangannya
hendak mengambilnya dari tanganku, aku mematahkannya,
menjatuhkannya, dan menginjaknya sehancur-hancurnya.
Ia menatap mataku sejenak. Aku tahu ia kecewa. Aku
tahu ia menganggapku sebagai seorang Kakak yang naif dan
munafik. Tapi, aku ingin ia belajar bahwa nakal itu tidak harus
ketergantungan. Dan aku ingin ia mengerti tanggung jawab
ketika ia ingin melakukan suatu kenakalan. Terlebih, ganja
yang kuinjak tersebut sangatlah buruk dan sudah agak
berjamur, itu sangat berbahaya untuk digunakan.
Setelah ia pulang, aku merenung di dalam kamarku.
Haruskah aku memberitahu kebenarannya kepada orang tuaku?
Tidak, tidak. Itu terlalu berbahaya. Aku tidak ingin Adikku
mendapatkan hukuman yang serupa denganku. Pendidikannya
harus diteruskan. Aku tidak ingin ia menjadi dikucilkan di
dalam keluarga. Terlebih, ia lebih membutuhkan perhatian.

47
Zhafir Akalanka

Hobi Baru
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Hari-hari berlalu dan aku telah ridha menerima jalur
hidupku. Kini, aku memiliki hobi baru, yaitu memantau
keadaan keluargaku satu per satu. Termasuk Adikku, yang
mungkin sedang berusaha masuk ke dalam dunia-dunia gelap
yang ia tidak tahu apa konsekuensinya.
Bicara mengenai rutinitas pekerjaanku, aku sangat
bersyukur karena aku memiliki lingkungan pekerjaan yang
hangat, menyenangkan, dan menumbuhkan.
Keseharianku adalah merapikan buku-buku, melayani
pengunjung, mengurus data inventaris, dan pada akhir bulan,
aku akan mendata buku-buku baru yang datang. Hidupku
seketika dipenuhi oleh buku. Dan itu sangat menyenangkan
bagiku. Itu sangat menumbuhkan jiwaku yang selalu haus akan
pengetahuan.
Ketika istirahat, biasanya aku tidak akan pergi ke café
meskipun aku memiliki jatah makan setiap harinya. Aku
biasanya akan mengajak makan abang-abang parkir yang biasa
nongkrong di depan Perpustakaan.
Dari penampilannya, ia memang memiliki penampilan
yang menyeramkan. Kau akan mendapatkan kesan bahwa
orang tersebut berbahaya ketika pertama kali berjumpa
dengannya. Akan tetapi, kau akan terkejut dengan perangainya
yang lembut, ramah, dan baik hati, apalagi kepada para
pegawai di Perpustakaan.
Aku suka memperhatikan orang-orang yang kutemui.
Termasuk memperhatikan abang tukang parkir yang selalu
kuajak makan siang bersama denganku.

48
Apakah Kau Ingin Pulang?

Meskipun terlihat menyeramkan dan disegani oleh


banyak orang-orang di wilayah ini, abang tukang parkir
tersebut selalu bercerita tentang bagaimana ia ingin dicintai
oleh orang-orang. Baginya, ditakuti bukanlah hal yang baik
untuk manusia. Manusia seharusnya dicintai. Karena dengan
cinta, segala bentuk kehormatan akan didapatkan. Ia merasa
adalah sebuah kekeliruan bila manusia mendapatkan
kehormatan yang berasal dari kekuatan. Menurutnya, loyalitas
pun tidak akan tumbuh dari ancaman, loyalitas justru akan
tumbuh dari rasa percaya. Dan rasa percaya yang paling baik
adalah yang tumbuh berasal dari rasa cinta. Aku sangat
bersyukur bertemu dengan seseorang yang memiliki pemikiran
menakjubkan seperti dirinya.
Dia berusia 35 tahun dan sudah bercerai karena alasan
finansial. Dari pernikahannya, ia memiliki seorang putri yang
duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar.
Ketika makan bersamanya, ia selalu menceritakan
tentang hidupnya, terutama tentang Putrinya yang sangat
disayanginya. Aku sangat senang dan sangat bersyukur ketika
mendengarkannya.

49
Zhafir Akalanka

Penjagaan
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Setelah aku memata-matai dan mengetahui dengan
pasti Adikku berteman dengan siapa, aku mulai memikirkan
dan merencanakan sesuatu.
Aku berencana untuk membuat Adikku berhenti
mencoba barang-barang terlarang yang bersumber dari
temannya tersebut. Aku ingin membuat temannya tersebut
berhenti menjualnya kepada Adikku. Bahkan, aku ingin
hubungan pertemanan mereka hancur. Tapi bagaimana
caranya? Aku tidak suka dengan konflik. Sebisa mungkin, aku
ingin tetap menjaga tanganku agar tetap bersih. Aku tidak ingin
memiliki gesekan dengan siapa pun.
Aku memutuskan untuk menyewa jasa Si Abang
Tukang Parkir untuk membantuku dalam menjaga Adikku.
Aku tidak tahu apakah aku adalah orang yang jahat hanya untuk
melindungi Adikku dengan cara menyewa jasa seseorang dan
merencanakan sesuatu padanya. Aku hanya melakukannya
demi kebaikan masa depannya.
Aku sengaja menyewa jasa Si Abang Tukang Parkir
karena di samping ia memiliki kelebihan wajah menyeramkan
dan memiliki masa lalu yang membuatnya pandai dalam hal
konfrontasi, aku juga ingin membantunya dalam finansial. Aku
sengaja menyewa jasanya dengan upah yang cukup besar
untuknya, dan tentu saja awalnya ia menolak karena upah yang
kuberikan terlalu besar untuk pekerjaan semudah itu, katanya.

50
Apakah Kau Ingin Pulang?

Di masa lalunya, ia terbiasa berkonflik dan


berkonfrontasi dengan preman-preman dan orang-orang yang
berbahaya, itu membuatnya merasa sangat mudah apabila
mendapatkan job untuk membuat beberapa orang anak sekolah
agar tidak berjualan barang-barang terlarang kepada Adikku.
Tapi, Diary, apakah aku membangkitkan kembali
sesuatu yang telah Si Abang Tukang Parkir tutup rapat?
Maksudku, Beliau sudah berubah dan ingin hidup tenang
dengan cinta, apakah aku menghidupkan kembali monster di
dalam dirinya?
Semoga ia betul-betul akan mengerti bahwa rencana
ini bukan untuk membangkitkan kembali masa kelamnya.
Semoga ia betul-betul mengerti bahwa semua yang
direncanakan ini adalah bagian dari cinta.

51
Zhafir Akalanka

52
Apakah Kau Ingin Pulang?

Menjadi Bayangan
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Hari-hari telah berlalu. Aku sudah menjadi terbiasa
untuk hidup jauh dari orang-orang yang berasal dari masa
kecilku, termasuk keluargaku. Jujur, itu tidak mudah. Betapa
aku selalu menangis merindukan mereka. Namun, aku tidak
memiliki pilihan selain harus menjauh dari mereka untuk
mendapatkan kemapanan. Di zaman ini, kemapanan adalah
power, yang membuat manusia akan didengarkan dan diikuti.
Kau paham maksudku? Jika aku kembali ke kampung
halamanku tanpa membawa power tersebut, aku tidak akan
didengarkan. Dan kemungkinan besar, aku tetap tidak akan bisa
mengubah keadaan kampung halamanku.
Dari kejauhan aku menjadi sering memantau satu per
satu orang-orang di kampung halamanku. Aku selalu berusaha
memastikan mereka akan baik-baik saja.
Mungkin mereka tidak akan pernah tahu, tapi
setidaknya aku berusaha untuk membantu mereka, meskipun
biasanya melalui perantara.
Mulai sekarang, hari-hari berjalan dengan baik. Aku
bersyukur, kehidupan orang-orang yang kusayangi sekarang
perlahan menjadi baik-baik saja. Keluargaku, teman-temanku,
semuanya. Dari kejauhan aku berjanji akan melindungi mereka
dari dunia gelap yang mungkin akan malah membinasakan
mereka. Dalam batinku, aku berjanji akan menyinari kegelapan
tersebut dengan cahaya. Ya. Suatu hari.

53
Zhafir Akalanka

54
Apakah Kau Ingin Pulang?

Diary, perlahan tapi pasti, aku merasa menjadi sebuah


bayangan untuk orang-orang yang kusayangi. Apakah itu baik?
Ataukah buruk? Aku tidak tahu. Aku hanya berpikir
seandainya aku membantu mereka dengan menunjukkan
diriku, aku akan kembali otomatis terikat dengan mereka. Aku
tidak ingin. Aku belum siap. Aku khawatir mereka akan
melihatku sebagai seseorang yang bisa dimanfaatkan ketika
mereka tahu aku bekerja di mana dan memiliki penghasilan
berapa. Aku ingin tetap seperti ini: membantu mereka dengan
cara membuat diriku menjadi bayangan. Aku ingin tetap
merahasiakan keberadaanku, apa pekerjaanku, dan tentunya
hal-hal yang sedang direncanakan olehku. Aku ingin menjadi
matahari: aku ingin bisa menghangatkan mereka tanpa perlu
mereka berada dekat denganku.

55
KAU
Apakah Kau Ingin Pulang?

57
Zhafir Akalanka

Layak
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Apa yang kau tahu tentang cinta? Apakah cinta adalah
dua tangan yang saling bergenggaman? Tubuh yang saling
memeluk? Atau hanya sekadar mata yang saling bertatapan?
Aku tidak merasa cinta adalah demikian. Maksudku,
fisik hanyalah objek transmisi dari rasa cinta yang berasal dari
dalam manusia. Ada sebuah taman yang berada di pertengahan
antara surga dan neraka; antara salah dan benar manusia.
Kurasa, di sanalah cinta berada. Sebuah pendulum yang
bergerak secara konstan. Cinta adalah perpaduan antara
harapan dan realita; antara kedamaian dan gejolak; antara rasa
sakit dan nikmat; antara badai dan musim semi; peluk
pasanganmu─ cium pasanganmu, dan katakan padaku apa yang
akan didapatkan oleh hatimu? Kedamaian? Atau peperangan?
Ya. Kau benar, perpaduan dari kedua itu.
Aku ingin menjadi tempat yang layak untuk seseorang;
sebuah bahu untuknya bersandar; sebuah tujuan ke mana
lelahnya akan berkabar. Aku ingin menjadi obrolan rahasianya
dengan Tuhan. Aku ingin menjadi lagu yang ia senandungkan
secara tidak sadar. Aku ingin menjadi lilin yang ia temukan saat
hidupnya membutuhkan sinar.

58
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

59
Zhafir Akalanka

Agnosia
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku melihat sebuah tatapan yang mengisapku secara
instan ke berbagai dunia. Ia adalah seonggok tubuh yang
berjalan di antara ribuan buku-buku─ mengayunkan langkah
dengan anggun seperti ratu yang memimpin semua
pengetahuan. Aku lumpuh sekejap. Akalku kalap. Ia adalah
kamus kenyataan yang kususuri secara perlahan pada definisi
kebahagiaan.
Diary, aku tidak bisa tidur. Aku tidak mau tidur. Tidur
tiba-tiba menjadi aktifitas yang menyia-nyiakan di saat cinta
dalam hatiku membuat mimpiku kalah indah oleh kenyataan.
Tubuhku lelah. Kondisi kesehatanku memarah. Tapi
cinta mendapatiku agnosia, sehingga apa yang kurasakan:
kenikmatan dan kesakitan, kunilai sama sekali tak ada beda.
Cinta, Diary, adalah memutar pisau ke arahmu, kau
menekannya ke arah hatimu, dan kau menyukainya.

──
Agnosia: hilangnya kemampuan untuk memahami informasi indra.

60
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

61
Zhafir Akalanka

Reaksi
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Zat adiktif macam apa yang berada di dalam cinta? Ia
selalu menempatkanku dalam keadaan ekstasi: aku meraba-
aku mencari, aku mengigau- aku kehilangan gravitasi. Apa pun
taruhannya, aku akan selalu ingin mencicipinya sekali lagi.
Diary, orang-orang bertanya padaku tentang narkoba,
aku menjelaskan dengan detail bagaimana simpul senyumnya.

62
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

63
Zhafir Akalanka

Alangkah
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Haruskah aku berbicara padanya? Haruskah kuobati
keresahan dengan sapa? Tapi aku belum cukup gila untuk dapat
menelan rasa sakit atas penolakan yang mungkin ia berikan.
Juga, aku belum cukup waras untuk mendapatkan kebahagiaan
yang mungkin akan ditimbulkan.
Alangkah beruntung kau yang membuat penulis
kehilangan kata-katanya. Alangkah beruntung kau yang
membuat matahari kehilangan timurnya. Alangkah beruntung
kau yang kucintai tanpa alasannya.

64
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

65
Zhafir Akalanka

Sarat
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku suka caranya menyikapi kosongnya jiwaku. Aku
suka caranya melihat; caranya mendengar; caranya berbicara;
caranya mengajakku berkelana melalui imajinasi ataupun
realita. Terlepas dari semuanya, aku suka caranya membuatku
memiliki cinta.

66
Apa Pikiranmu Hari Ini?
───────────────────────────────────
KITA
Apakah Kau Ingin Pulang?

Kelekatan
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku bertemu dengan seorang perempuan. Aku belum
tahu pasti siapa dia dan bagaimana dia bisa menjadi….dia.
Dia adalah kedalaman yang sulit aku jangkau. Dia
adalah kreasi Tuhan paling misterius yang pernah kutemui
dalam hidup. Maksudku, dia akan selalu datang dengan pikiran
yang terbuka, hati yang terbuka, kehangatan yang terbuka,
dengan jiwa yang senantiasa tertutup.
Aku ingin mengenalnya secara detail. Aku ingin tahu
hal-hal apa yang selalu dilaluinya olehnya. Aku ingin tahu
rahasia-rahasianya, kegelapannya, aku ingin tahu apa saja yang
kerap mematahkan punggungnya. Aku ingin menjadi
energinya. Aku….. aku ingin berada di dalam perjuangan
hidupnya.

──
Kelekatan: hubungan afektif antara satu individu dengan individu lain
yang mempunyai arti khusus.

69
Zhafir Akalanka

Hasrat
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku bermimpi tentang kami berdua yang saling
mendekap begitu erat; saling mencumbu begitu kuat; tentang
bagaimana setiap inci tubuh kami berubah menjadi zat adiktif─
yang apa pun taruhannya; betapa pun bahayanya, kami akan
lakukan dan dapatkan meskipun secara nekat.
Itu lucu─ bagaimana aku dapat merasakannya ketika ia
bahkan tidak terdeteksi oleh radar kesadaranku; lucu─
bagaimana ia nampak begitu nyata bagiku, ketika aku bahkan
harus terbangun dari tidurku dulu.

70
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

71
Zhafir Akalanka

Aliran
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Di titik paling hancurnya, ia selalu tersenyum dan
masih berfungsi semestinya. Kau mungkin akan mendapatinya
berada di tengah-tengah manusia: tertawa bersama mereka,
mendengarkan luka-luka mereka, atau bahkan menyenangkan
keluh-kesah batin mereka. Namun, di saat yang sama, ia
memiliki radius yang jauh dari mereka.
Layaknya matahari bekerja: ia begitu hangat─ namun
tak ada yang dapat menjangkaunya. Ia begitu akrab─ namun
tak ada yang betul-betul mengenalnya. Atau mungkin seperti
layaknya bayangan bekerja: kau merasakannya, melihatnya,
tapi kau tidak dapat menyentuhnya.
Itu semua adalah kekuatannya; anugerah untuk
hidupnya. Akan tetapi, ketika di malam hari; ketika ia hanya
dapat memikul seluruh beban-beban itu seorang diri, ia
menangis─ menyadari: itu semua adalah kutukannya juga.

72
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

73
Zhafir Akalanka

Ilalang
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Berapa harga dari sebuah persatuan? Apakah ribuan
liter darah? Apakah ratusan kali tulang yang patah? Katakan
padaku bagaimana caranya menyentuh cahaya; katakan padaku
bagaimana caranya menggapai bintang dengan tangan yang
pendek; katakan padaku caranya berjalan dengan kaki yang tak
berpijak; katakan padaku caranya memeluk melalui jarak.

74
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

75
Zhafir Akalanka

Raut
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku melihat hatinya menangis di antara kerlip bintang-
bintang. Aku melihat jiwanya meringis ketika ia berada di
tengah-tengah kerumunan banyak orang. Tangan yang ia
ulurkan, hati yang ia tawarkan, tak ubahnya bagiku adalah
prioritas yang lebih utama─ yang harus diselamatkan.
Bagaimana ia bisa kuat saat hati dan jiwanya sedang
sekarat? Bagaimana ia bisa tersenyum lebar saat jelas-jelas apa
yang ia rasakan adalah terbakar?
Itulah hal misterius darinya: ia tenang di dalam badai─
ia tersenyum saat hatinya tercerai-berai.

Sayangku, aku di sini untukmu.


Sadari tanganku. Sadari hatiku.

76
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

77
Zhafir Akalanka

Antara
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Dari waktu ke waktu, kami saling membunuh waktu
dengan menanam sesuatu. Dia membuatku mengerti arti dari
kasih sayang; bagaimana terbakar habis untuk menyinari hati
yang kritis; bagaimana menuangkan air ke dalam cangkir-
cangkir yang habis; bagaimana mengalirkan kebahagiaan ke
dalam sumur kehampaan.
Kebahagiaan tak pernah ada di depan matanya.
Kebahagiaan ada di dalam dirinya. Ia tak pernah mencari
kebahagiaan. Ia memproduksi kebahagiaan.
Aku ingin mengecupnya dengan logika: sebab bibir
kebaikannya selalu terasa seperti surga, ketika padahal, dia
dirancang Tuhan untuk tak bisa luput dari dosa.

78
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

79
Zhafir Akalanka

Alunan Bukit
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Ini adalah kali pertama aku berhasil membulatkan
keberanianku mengajaknya untuk menemui keindahan. Aku
mendengar banyak suara di dalam kepalaku. Suara-suara yang
tak pernah aku dengar sebelumnya─ mereka adalah alunan
lembut yang sangat indah dan tidak mengancam. Aku khawatir,
ketika aku percaya diri, Tuhan mengubahku sebelum aku
memperkenalkan hatiku padanya. Detak jantung kehilangan
irama. Kesadaranku berkelana. Apakah ini ketakutan? Ataukah
ini rencana? Aku tidak tahu. Yang jelas, semua lagu yang
kudengar tiba-tiba tentang dirinya. Tenangkan aku, Cinta.
Peluk aku melalui udara, sesaat sebelum dan setelah aku tiba.
Hati yang mati terhidupkan sekali lagi. Dunia menjadi
masuk akal belakangan ini. Aku melesat masuk menembus
embun pagi yang dingin menuju sebuah perjanjian damai
dengan luka-luka masa lalu. Aku mempercepat laju rodaku
menujunya. Tapi perjalanan ini sangat panjang. Waktu jadi
melebar. Kuhitung periode antara satu detak jantungku ke
detak jantung yang selanjutnya. Sungguh, satu detik terasa
terlalu lama. Kuhitung, kuhitung, kuhitung─ aku bisa
menciptakan satu film berdurasi selamanya denganmu, hanya
dengan satu detik detak jantung.
Matanya adalah portal. Hatinya adalah gravitasiku.
Bibirnya adalah pembunuh pikiran. Senyumnya adalah
pelambat waktu.

80
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

81
Zhafir Akalanka

Naluri
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Pagi hari di bulan Mei, semua hal menjadi terasa benar.
Aku menjadi lelaki yang tidak lagi memiliki masa lalu. Aku
bahkan lupa apa itu rasa sakit. Tak ada lagi narapida di dalam
penjara kebencianku. Aku melepaskan wajah-wajah yang
menyakitiku. Aku tidak lagi membenci riwayatku. Aku
memerdekakan diriku dari kebencian. Keadaan akan berganti
dengan keadaan. Perasaan akan berganti dengan perasaan.
Hidup adalah rangkaian rasa, momen, yang kita rasakan dan
relakan.
“Apa itu impian?” ia bertanya dengan tatapan sayu
yang masih sedikit mengantuk.
“Ia adalah keyakinan pertama yang dijauhi oleh
manusia, ketika mereka mengerti bagaimana sistem dunia ini
bekerja.”
“Mengapa kau selalu menyelami kedalaman?”
“Agar aku tidak mati ketika aku dipertemukan dengan
kenyataan, rasa sakit, dan cinta.”
“Kau tidak memiliki impian?” katanya.
“Jangan salah sangka, aku cukup berani untuk itu.”
“Apa impianmu?”
“Ia berjumlah satu, yang kemudian mengakar.”
“Sebutkan.”
“Kau,” kataku. “Dan hal-hal di luar rencana lainnya.”
Gelora dibangkitkan dari kecanggungan. Aku bergerak
mengecup keningnmu, dan mengisi mulutku dengan namamu.
Tangan yang menggenggam, hati yang saling mendekap, jiwa
yang melebur, dan waktu yang seketika lenyap.

82
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

83
Zhafir Akalanka

Dentang
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Di penghujung Desember, aku memeluknya sepanjang
malam, dan orang-orang memeluknya sepanjang hari. Dia
menjadi permaisuri bagi orang-orang untuk satu hari, dan
menjadi permaisuri bagiku untuk selamanya.
Ketahuilah! Betapa indah kecantikan yang ditimbulkan
dari air mata dan tawanya; dari kesedihan dan kebahagiaannya;
dari ironi dan kontradiksinya. Do’a-do’a beterbangan. Masa
kecil tumbuh memekar indah di dalam dirinya. Ia hidup
kembali untuk kedelapan belas kalinya. Ketahuilah! Hari ini
dunia sangat ramah padanya. Aku tak ingin membicarakan
sepatah kata pun tentang diriku. Hari ini sepenuhnya adalah
miliknya. Tapi ketahuilah! Dia…. adalah…..milikku.

84
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

85
Zhafir Akalanka

Rembulan
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Cinta adalah pertukaran energi. Kau tahu? Semua
orang bisa merasakan, tapi tidak semua akan bisa menjelaskan
itu.
Dia menjadi kelembutanku, dan aku menjadi
kekuatannya. Aku menjadi harinya. Dia menjadi malamku.
Cinta adalah bumi. Aku menjadi matahari dan dia menjadi
rembulan. Kita perlahan-lahan menjadi satu kesatuan untuk
melengkapi kehidupan. Kita menjadi kesempurnaan di dalam
ketidaksempurnaan. Dia adalah sesuatu yang tidak aku miliki.
Dan aku adalah sesuatu yang tidak dia miliki. Akan tetapi, aku
tidak mencintainya karena sesuatu yang ada pada dirinya. Aku
mencintainya justru karena sesuatu yang tidak ada pada
dirinya. Aku ingin memenuhi tempat-tempat yang kosong di
dalam hidupnya. Aku ingin mencukupi apa yang kurang
darinya. Aku tidak ingin mencuri apa pun darinya. Aku ingin
membuatnya lengkap. Aku ingin membuatnya hidup. Aku
ingin ketika bersamaku, ia akan senantiasa merasa cukup.

86
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

87
Zhafir Akalanka

Entah
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Dia tidak banyak bicara. Ketika ia menangis, ia hanya
membutuhkan dekapan tanpa dialog. Ia begitu memendam.
Guncangan demi guncangan hidup meruntuhkan segala hal di
dalam dirinya. Ia berada jauh di dalam hatinya. Tubuhnya di
sini, tapi jiwanya tidak. Ia memenjarakan diri; terpencil
sebatang kara di dalam sebuah labirin yang tak satu orang pun
dapat menemukannya.
Hidup adalah guncangan untuk hati kaca. Tapi kau
kuat, Sayang. Pecahmu bukan berasal dari kaca. Kau adalah
krisalis─ kau adalah kepompong yang retak dan perlahan akan
mengibaskan sayap.

Dengarlah, meski aku tak pernah bicara.


Percayalah, meski tak kau lihat buktinya.

88
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

89
Zhafir Akalanka

Angkasa
───────────────────────────────────

Dear, Diary,
Aku membayangkan hidup denganmu di suatu tempat
yang jauh, yang tak ada satu orang pun mengenal kita
sebelumnya. Itu adalah hal yang manis, untuk menjadikanmu
objek pertama yang kulihat ketika aku bangun dari tidurku. Dan
adalah hal yang manis untuk menjadikanmu objek terakhir
yang kulihat ketika aku akan menuju tidurku.
Belahan bumi mana yang akan merekam kisah cinta
kita? Eropa? Asia? Atau surga yang kita buat di mana pun kita
akan berada? Bersamamu; di dekatmu, aku selalu bisa terbang
tanpa sayap. Aku selalu bisa berkelana tanpa melangkah. Aku
bisa merasakan surga dan neraka tanpa harus kehilangan
nyawa. Neraka? Bagaimana bisa seorang kekasih akan
menghasilkan neraka? Itu mudah untuk dijelaskan dan
dibuktikan. Khianati aku, dan kau akan melihat hidupku
perlahan berubah menjadi sebuah tempat yang dipenuhi siksa.
Tapi, jangan kau berani untuk melakukannya. Kau tahu
kita adalah satu kesatuan; kita adalah struktur semesta: jika aku
dataran, maka kau adalah angkasa─ jika aku hancur, kau juga.

90
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

91
Zhafir Akalanka

KEABADIAN

92
Apakah Kau Ingin Pulang?

Buntu
───────────────────────────────────

Aku sudah cukup dewasa untuk berbicara. Aku sudah


cukup usia untuk dapat melihat sesuatu, lalu kemudian
merenunginya.
Di antara lalu-lalang manusia, aku menentukan
nasibku. Aku menyeret tubuhku menuju sebuah sistem yang
bertolak belakang dengan jiwaku. Dalam lamunanku, aku
bertanya-tanya, adakah berpura-pura adalah bagian dari
kedewasaan? Apakah itu akan membuat manusia hidup?
Mengapa aku di sini? Apakah aku tidak bersyukur? Apakah
aku tersadar? Apakah aku baru saja hidup? Atau baru saja mati?
Betapa banyak manusia yang mati dengan mata yang masih
terbuka. Betapa banyak manusia yang tidak hidup, tapi masih
tetap bisa berjalan. Itu mengerikan. Sungguh. Aku kesulitan
untuk terhubung dengan mereka. Dan mereka kesulitan untuk
bisa terhubung denganku. Aku dan manusia menjadi dua
entitas yang berbeda dan bertolak belakang. Bagaimana bisa?
Aku ini apa? Sesuatu yang lain? Yang mengisi wadah kosong:
raga? Mengapa aku berbicara begini? Ini bukan aku. Tapi, juga,
aku tidak tahu yang mana diriku. Ini keliru. Tapi, juga, aku
tidak tahu mana yang benar itu.
Diriku, apa yang salah? Mengapa semua hal yang
terlihat menjadi blur? Mengapa kau merasa kosong? Dan
bagaimana bisa kekosongan membuatmu merasa berat?
Rasanya, tak ada yang salah saat ini. Tapi, di saat yang sama,
tak ada yang terasa benar juga.

93
Zhafir Akalanka

Aku Siap?
───────────────────────────────────

Aku suka pagi hari. Aku suka sinar fajar. Ia hangat,


seperti sebuah dekapan yang menyelamatkanku dari kegelapan
malam.

Tapi bukankah malam itu tenang? Mengapa ia


menyusahkanmu?

Bukankah samudera pun tenang? Tapi juga ia dapat


menenggelamkanku.

Desir angin pagi ini meraung-raung menggetarkan


gigi. Teh hangat yang kuracik dengan tanganku menimbulkan
sepercik harapan di dalam hati. Pelajaran apa hari ini? Aku siap
dengan segala kemungkinan yang terjadi. Tapi tunggu, apakah
kesiapan itu ada? Itu lucu. Tentu saja tak ada. Ia hanyalah
permainan pikiran. Kesiapan hanyalah jawaban yang naif
untuk menyerah pada tekanan. Manusia hanya akan berkata
siap ketika mereka tidak punya lagi pilihan. Itu adalah jawaban
yang menenangkan bagi kebanyakan orang. Afirmasi positif
untuk jiwa yang kebingungan. Tapi, bagiku, itu adalah
kepalsuan yang dihias. Aku lebih berpihak pada tekanan. Tapi,
tidak sampai memintanya. Aku masih memiliki ketakutan pada
apa yang mungkin akan semesta lakukan. Apa yang lebih baik
dari memiliki hati yang menerima?
Tak perlu sangsi, vonislah aku munafik. Aku adalah
objek yang dibicarakan oleh diriku sendiri. Di keadaan tertentu,
aku adalah musuh untuk diriku. Aku selalu mengkritik suatu
tindakan, tepat setelah aku melakukan itu.

94
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

95
Zhafir Akalanka

Tidak Perlu
───────────────────────────────────

Hari-hariku kuhias dengan tangan yang terbuka dan


bibir yang tersenyum. Berapa banyak rasa sakit yang harus
manusia terima untuk dapat membuatnya bijaksana? Berapa
mil seorang lelaki harus melangkah untuk menjadikannya pria?
Dan berapa banyak kata yang harus ditulis seseorang untuk
dapat menjadikannya penulis?
Parameter absolut hanya milik Tuhan. Tak ada
kepastian tentang siapa sebenarnya kita. Kita hanya melakukan
sesuatu, kita menyukainya, dan kita mendapatkan benefit
darinya. Orang-orang hanya menilai apa yang mereka lihat.
Orang-orang hanya percaya pada apa yang mereka percaya.
Kita tidak perlu meyakinkannya. Kita tidak perlu
menjelaskannya. Mereka berhak menilai, tapi kita jauh lebih
berhak untuk mengabaikannya.
Manusia, Sayangku, selalu memenjarakan diri mereka
sendiri. Kita adalah tawanan dari siapa kita, apa yang kita
inginkan, dan apa yang kita cintai.

96
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

97
Zhafir Akalanka

Pecah
───────────────────────────────────

Aku berharap untuk tidak terlalu jelas. Kejelasan bisa


menjadi sesuatu yang membahayakan. Aku harap untuk tetap
menjadi tulisan yang abstrak dan teduh: aku ingin menjadi
angin yang menyegarkan namun tak dapat tersentuh.
Akan kuhabiskan ke mana masa remajaku? Dari waktu
ke waktu aku tenggelam di dalam buku dan perenungan. Tak
ada buku yang dapat memuaskan keingintahuanku. Aku
menjadi semacam kontradiksi yang diberi nyawa: aku tidak
memiliki dunia, namun di saat yang sama, aku memiliki banyak
dunia─ di dalam kepalaku.
Tak banyak tempat yang dapat kakiku tuju. Intensitas
gerakku sedikit. Dunia disempitkan untukku. Kadang-kadang,
dunia ini, bagiku, hanya seukuran kamarku. Selebihnya, aku
tidak tahu. Hal-hal yang di luar kamarku seperti tidak pernah
ada. Mungkin mitos. Mungkin dongeng. Mereka seperti ilusi
yang otomatis tercipta agar aku merasa normal. Tembok
kamarku menjadi pertahanan imajiner sekaligus pembatas
antara kamarku dan dunia luar; realita dan ilusi. Atau
sebaliknya.
Akal sehatku harus kupertahankan. Aku bersyukur,
aku terlahir dari seorang Ibu yang sangat berperasaan dan
seorang Ayah yang sangat logis. Aku mewarisi kedua sifatnya.
Di saat-saat tertentu, itu bisa menjadi kekuatanku sekaligus
sesuatu yang membunuhku. Itu memberatkanku─ menekanku
hingga membuat jiwaku pecah. Aku bahkan tidak tahu berapa
banyak kematian yang sudah terjadi padaku. Tak ada yang
tahu. Tapi, siapa sangka? Aku selalu bisa kembali hidup
dengan rangkaian serpihan jiwa yang baru.

98
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

99
Zhafir Akalanka

Zaman
───────────────────────────────────

Kita harus memahami─ bukan membenarkan.


Gagasan yang sangat dibutuhkan untuk kewarasan
peradaban. Sungguh beruntung orang-orang yang hidup pada
masa di mana kemajuan peradaban dinilai dari kemajuan
berpikir manusianya, bukan teknologinya.
Aku khawatir, benda-benda akan semakin pintar, tapi
manusia akan semakin kasar. Teknologi akan semakin maju,
kejujuran akan semakin mundur. Hal-hal akan semakin mudah
dan cepat, tapi manusia akan semakin lemah dan lambat.
Di zaman yang serba cepat, kemalasan akan menjadi
normal yang baru. Kekayaan akan didapatkan tanpa bekerja.
Bisnis akan dilakukan tanpa etika. Informasi akan bertebaran
tapi tidak berlandaskan kebenaran. Pengetahuan akan
digunakan untuk saling sikut. Dan mungkin, mungkin saja,
keberhasilan akan hanya dinilai dari jumlah pengikut.

100
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Aku berjalan di dalam tidur. Aku memandang di


dalam tidur. Tak ada orang di belakangku. Tak ada orang di
depanku. Semua cahaya ini untukku. Aku jalan─ aku menjadi
ringan. Aku terbang─ lalu menjadi orang lain. Mereka
berteriak: kau lagi?! Bukankah aku telah membunuhmu?
Kataku: kau membunuhku….dan sepertimu, aku lupa mati.”

101
Zhafir Akalanka

Untukmu, Untukku.
───────────────────────────────────

Aku dilahirkan seperti setiap orang dilahirkan.


Secara bertahap, aku berusaha hidup dan menjadi
seutuhnya manusia. Hidupku adalah serangkaian rasa sakit
yang terolah menjadi sesuatu: kadang-kadang angkara, kadang-
kadang kekuatan, kadang-kadang kesabaran, kadang-kadang
ketakutan, kadang-kadang kebijaksanaan, hal yang pasti adalah
apa yang kudapatkan selalu di luar perkiraan.
Hidup tak mungkin ditebak. Ia bukanlah undian, kau
tahu? Aku tak bisa melempar dadu; menebak kartu, nasib baik
atau buruk itu tetaplah kemungkinan yang tidak tentu. Suka
atau tidak, iblis pun tahu, kita tak punya pilihan lain selain
menerimanya sembari terus berjalan maju.

Bagaimana sekarang? Akan ke mana kau menuju?

Apa maksudmu? Tentu saja kita melangkah maju. Itu


adalah satu-satunya arah yang Tuhan tetapkan untukmu dan
untukku.

102
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

103
Zhafir Akalanka

Lima Menit
───────────────────────────────────

Beri aku lima menit, untuk meregangkan ototku. Beri


aku lima menit, untuk bernapas. Beri aku lima menit, untuk
meluruskan tulang belakangku. Beri aku lima menit, untuk
mengembalikan kesadaranku. Beri aku lima menit, untuk
menyesap tehku. Beri aku lima menit untuk menyadari salah
dan benarku. Tapi, jangan beri aku waktu, untuk mencintaimu.

104
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

105
Zhafir Akalanka

Ibu
───────────────────────────────────

Aku berasal dari sana: keluarga.


Sebuah keheningan yang dingin dan memiliki banyak
kejutan. Ayahku mempertimbangkan sesuatu dengan kepala.
Ibuku mempertimbangkan sesuatu dengan hatinya. Aku
memiliki Adik─ dia tidak banyak bicara, dia terbiasa
menghabiskan waktunya di dalam kepala. Aku mencintai
mereka secara bertahap.
Aku rindu untuk dimarahi Ibuku. Aku ingin lagi
dicubit; aku ingin menundukkan kepalaku dan mendengarkan
berbagai nasehatnya yang kadang-kadang membuat hatiku
sakit. Aku tidak pernah tidak suka cara marah Ibuku, setegas
dan semencekam apa pun kalimat Beliau, mendengarkannya
adalah seperti mendengarkan simfoni yang mengantarkanku
pada perenungan hidup. Aku terdiam, aku terisap, dan aku tahu
apa yang harus kulakukan.
Saat ini, aku tahu aku telah dewasa, tapi aku tidak
pernah membunuh masa kecil di dalam diriku. Aku tetap ingin
melihatnya berlarian, bermain, dan membawakanku beberapa
memori yang menggemaskan. Andai aku bisa bertemu dengan
versi kecilku, aku ingin memangkunya dan membawanya
menuju beberapa sisi kehidupan.
Aku tidak bisa menjelaskan rasa cintaku pada Ibuku.
Mencintai Beliau seperti meneguk air yang segar di tengah
peperangan yang gersang. Aku tidak bisa menjelaskan rasa
cintaku pada Ibuku. Yang jelas, aku benci bila dapur rumahku
berdebu; aku benci bila Ibu tidak ada lagi di sini dan di situ;
aku benci bila Ibu hanya ada di hati dan pikiranku.

106
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

107
Zhafir Akalanka

Tak Mungkin
───────────────────────────────────

Di titik ini aku mulai bertanya-tanya, apakah hidup


adalah serangkaian pengalaman yang harus didapatkan? Atau
serangkaian masalah yang harus diselesaikan?
Hati-hati dengan manusia─ hati-hati dengan lapar dan
gairahnya; dengan cinta dan bencinya; dengan keinginan dan
kerelaannya. Kekecewaan akan datang bersama harapan.
Kekecewaan akan datang bersama harapan. Kekecewaan akan
datang bersama harapan. Dan harapan akan datang bersama
kekecewaan.
Di tepian, kududukkan tubuhku dengan tatapan yang
menginginkan pelukan seorang perempuan. Kerinduan yang
tertanam─ ranjau yang kuinjak dan meledakkan gairahku. Tak
mungkin aku menanam mawar di tanah yang bergaram. Tak
mungkin aku bernyanyi dengan mulut yang terbungkam. Tak
mungkin aku tidak membutuhkan “selamat pagi”, membuat
rumah tanpa atap, dan tak mungkin untuk penyair menciptakan
musim semi seorang diri. Tak mungkin. Tak mungkin kau tidak
ada di sini.

108
Apakah Kau Ingin Pulang?

Apa Pikiranmu Hari Ini?


───────────────────────────────────

109
Zhafir Akalanka

Saksikan
───────────────────────────────────

Dan akan kau saksikan jantungku kembali berdetak;


tubuhku akan kembali bergerak─ larut dalam takdir dengan
dagu yang terangkat, hati yang terlahir, punggung yang tegak,
sekalipun nasib baik dan tangan-tangan manusia terasa begitu
jauh dan tidak memihak.
Aku telah belajar dan mengerti: ketika aku hancur, aku
tak boleh membenci. Meskipun terlempar; meskipun terbakar;
meskipun terhempas dan terabai─ mengantungi kemungkinan
yang paling mendekati pasti: aku akan perlahan menjadi asing
dan tertinggal sendiri.
Tapi percayalah, aku telah dan akan selalu merangkul
puing-puingku sendiri, menjahit robekku sendiri, membasuh
luka-luka yang tak kupahami seorang diri, aku menyelam─
menarik jiwaku yang tenggelam─ dengan konsekuensi ikut
terisap dan tak pernah kembali lagi. Dan haha, tentu saja aku
akan tetap melakukan semua itu lagi dan lagi.
Tenang saja, aku telah dan akan baik-baik saja. Aku
telah melewati beberapa neraka sebatang kara, dan aku akan
melewatinya lagi dengan tersenyum─ seolah itu adalah bagian
dari rencana.

110
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Secara teknis, mungkin. mungkin saja,


menangis sangat dibutuhkan oleh manusia.
Ia seperti membersihkan kedua bola mata kita,
agar kita dapat dengan jelas melihat realita.”

111
Zhafir Akalanka

Aku Menyentuhmu
───────────────────────────────────

Aku menyentuhmu seperti aku menyentuh kain


kerudung milik Ibuku. Kulit-kulitmu yang kuning langsat,
tatapanmu yang lekat, tubuh kita yang begitu dekat, ini adalah
momen yang akan selalu kuingat.
Kita bukan bagian dari mereka, meskipun mereka
berhak menilai dan mempertanyakan idealisme kita. Kita tidak
mudah terhibur dengan uang. Kita selalu haus kasih sayang.
Kita adalah aliran sungai yang selalu meminta bagian
gerimisnya. Kita adalah dua jiwa yang menenun kebahagiaan
dari hal-hal kecil dari cinta.
Jangan gusar, Sayangku. Jangan terbakar, Purnamaku.
Waktu kita tidak seluang itu.

112
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Dia selalu menghilang.


Itulah kekuatannya.
Juga kutukannya.”

113
Zhafir Akalanka

Aku Berjalan Dengan Kepalaku


───────────────────────────────────

Aku berjalan dengan kepalaku. Kau tahu? Hal-hal akan


terasa benar ketika ia tetap berada di dalam kepalamu. Aku
melihat sekumpulan manusia berjalan berputar. Beberapa dari
mereka berlari. Mereka membawa uang untuk mencintai,
beberapa yang lain membawa cinta untuk mencari uang.
Kebutuhan manusia adalah merobek langit dan melihat
apa yang ingin mereka lihat. Mereka membicarakan tentang
nasib dengan mimik wajah yang rela. Mereka tahu mereka
tidak tahu, mereka tidak tahu apa yang mereka tahu.
Kestabilan romansa berada pada kotornya tangan
manusia. Takkan ada musim panen bila tangan para petani
selalu bersih. Keistimewaan wanita berada pada rasa lelah dan
kantung matanya. Jangan pikirkan soal bagaimana caranya
memoles wajah agar berkilau, tanah tak mungin berkilau.
Berlian dan harta lainnya berada pada perangai manusia.
Ketika mereka berlelah-lelah dalam ilmu dan kebaikan, mereka
berharga; mereka berkilau dengan sendirinya; tak ada lagi
nominal yang dapat menjangkaunya.

114
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Jangan sabotase takdirmu


dengan terburu-buru untuk mendapatkan apa yang kau mau.
Percayalah, itu sudah menjadi milikmu─
hanya saja di masa depanmu.
Ini hanya masalah kesabaran dan waktu;
biarkan waktu yang akan membawanya kepadamu.
Jika tidak, terburu-buru hanya akan menciptakan ketegangan
yang akan merusak pengalaman.”

115
Zhafir Akalanka

Bahasa Yang Lain


───────────────────────────────────

Desir angin melintas mempermainkan helai rambutku.


Aku merasa sangat berwibawa ketika aku sebatang kara. Alam
memanggilku dan aku memanggilnya. Kami bertemu di
pertengahan dunia─ sebuah tempat yang memiliki bahasa
berbeda. Aku memiliki banyak bahasa, yang kebanyakan
bukan untuk manusia.
Aku membutuhkan Ibuku saat ini. Melihat wajah
Ibuku adalah kegiatan yang selalu membuatku ingin berbuat
baik pada kehidupan. Tapi aku adalah orang asing di dunia ini.
Itu menciptakan kebencian tertentu. Aku tidak benci pada
wajah, aku benci pada sistem tertentu. Aku membutuhkan
koneksi untuk terhubung. Tapi aku kesulitan. Terdengar
mudah, tapi susah. Terdengar anugerah, tapi musibah. Mereka
tidak memahamiku, tapi aku begitu memahami mereka.
Semakin aku mengerti zaman ini, semakin aku tidak mengerti
mengapa aku berada di sini.

116
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Aku─ aku berharap


tetap menjadi seorang bocah
mencoreti dinding-dinding langit
sesuka hati.
Hingga di negeriku
cinta menjelma udara.

Aku akan menjadi kamus


bagi para pecinta.
Dan pada kedua bibir mereka
aku menjelma alif dan ba.”

117
Zhafir Akalanka

Berhak Selamat
───────────────────────────────────

Kupu-kupu singgah di atas pundakku. Aku memaku


pasak agar ia tidak terbang dariku. Pagi pada pukul enam, aku
mengingat sesuatu. Aku pernah berada dalam kebahagiaan
bersama dengan seseorang yang sekarang tidak bersamaku.
Ingatan demi ingatan kususuri secara perlahan. Sial,
berapa tahun hidup yang sudah kulewati semenjak aku
kehilangan? Nostalgia membawaku pada waktu yang
mengerut. Tahun-tahun menjadi cepat, ia yang kini jauh dari
pandangan, menjadi begitu dekat, aku ingin menyentuhnya dan
mengatakan padanya bahwa kita telah selamat─ pun, hubungan
kami berhak selamat.

Sentuh aku, Sayang,


secara nekat.

118
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Aku─ aku berharap


tetap menjadi seorang bocah
mencoreti dinding-dinding langit
sesuka hati
hingga di negeriku
cinta menjelma udara.

Aku akan menjadi kamus


bagi para pecinta.
Dan pada kedua bibir mereka
aku menjelma alif dan ba.”

119
Zhafir Akalanka

Setengah Sadar
───────────────────────────────────

Aku mengigau di antara waktu dan kesempatan. Aku


tidak bisa mengambil langkah saat hal-hal di dalam kepalaku
terasa menakutkan. Ketakutan apa yang baik? Keberanian apa
yang baik? Bukankah itu hanya permainan pikiran? Tapi
katakan padaku apa yang lebih menyelamatkan manusia?
Ketakutan mereka atau keberanian mereka?
Akhir-akhir ini, aku berjalan sembari bermimpi.
Mungkin saja, mungkin─ aku tertidur saat terjaga; aku hidup
di dalam kematian? Atau mati di dalam kehidupan? Beri aku
kabar: mengapa hal-hal selalu terasa benar ketika manusia
dalam keadaan setengah sadar?

120
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Rumah bukanlah tempat atau bangunan yang tinggi.


Rumah adalah perasaan.
Pulang bukanlah melangkah ke sebuah destinasi.
Pulang adalah menuju ke sebuah keadaan.”

121
Zhafir Akalanka

Lautan & Dirimu


───────────────────────────────────

Apakah waktu tak memiliki dampak pada cinta? Tapi


mengapa ketika aku mencintaimu, aku tidak memiliki batasan
waktu? Seumpama nanti aku mati, cintaku, kurasa, tidak.
Seseorang pernah bertanya padaku tentang perasaanku
padamu, kataku: sebut namanya di samping pemakamanku,
akan kau saksikan jasadku akan bangkit─ hidup kembali─ dari
kuburku.
Cinta, Sayangku, adalah gagasan sederhana tentang
keabadian. Aku tidak tahu apakah gagasan tersebut disama-
ratakan dari waktu ke waktu, atau hanya berlaku untuk kau dan
aku.
Mencintaimu, Purnamaku, hal-hal selalu menjadi kecil
di dalam pandangan. Maksudku, dibandingkan dengan apa
yang kurasakan, lautan hanyalah tetesan.

122
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Kurasa, kau sebetulnya tidak kebingungan


dengan apa yang harus kau lakukan.
Kau hanya butuh keberanian
untuk melakukan apa yang sudah kau tahu
adalah kebenaran.”

123
Zhafir Akalanka

Tanah
───────────────────────────────────

Ketika mereka mengatakan bahwa hatiku lemah─


terbuat dari tanah, dan hati mereka sangat kuat─ terbuat dari
besi dan timah, mereka pikir aku akan runtuh. Sampai tiba
hujan datang pada kami secara menyeluruh: hati mereka
perlahan berkarat, dan hatiku menjadi tempat─ di mana banyak
benih perlahan-lahan tumbuh.
Mereka memvonisku tanah: aku tahu mereka akan
selalu datang padaku untuk menginjakku. Tapi, seharusnya
mereka pun tahu, aku akan pasti mengubur mereka di suatu hari
yang mereka tidak tahu.

124
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Akan tetapi, kataku berulang-ulang,


tanpa kegelapan, bagaimana bisa
kita akan dapat melihat bintang-bintang?”

125
Zhafir Akalanka

Aku Melihat
───────────────────────────────────

Aku melihat sekumpulan manusia bertarung dengan


kesedihan di usia yang masih begitu muda. Seperti nampaknya,
mereka terlahir untuk memikul dunia di pundak mereka.
Mereka lelah lebih cepat─ mencintai jauh lebih kuat. Terluka
begitu sering─ terasing begitu mudah. Mereka tertusuk lebih
dalam─ memendam begitu lama. Menahan lebih nyeri─
terbungkam begitu sunyi. Betapa sering mereka mati, tanpa
pernah ada yang menyadari. Betapa sering mereka terlahir
kembali, tanpa pernah ada yang menuntunnya berjalan lagi.
Aku melihat mereka dari jauh. Dengan hati yang siap─
dengan kesadaran yang penuh. Aku berdo’a, karena aku sangat
merasakan mereka: aku menatap dengan mata mereka; aku
berjalan dengan kaki mereka.

Aku tahu, karena aku berasal dari mereka.

126
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Terkadang,
hati manusia perlu ditusuk
agar cahaya dapat masuk.”

127
Zhafir Akalanka

Kerangka
───────────────────────────────────

Betapa aku sangat menyukai ruang kerjaku, yang


terancam hancur oleh kecilnya keyakinan. Aku tidak lagi
terlalu peduli dengan uang dan kata orang. Aku melukis apa
pun yang kumau pada kanvas kehidupanku. Beberapa orang
akan dengan buta menghakimi, dan aku akan dengan senang
hati untuk tuli.
Terkadang, aku merasa, hidup berdekatan dengan
orang-orang adalah konsep penjara yang dibuat untuk batin.
Aku jadi ingat tentang seorang wanita yang separuh agamis dan
separuh apatis datang padaku dengan mengeluh: mengapa
orang-orang buta dan tuli selalu menilai? Aku tertawa
mendengarnya. Aku selalu suka wanita yang kritis dan sinis.
Itu menambah kecantikannya. Aku menggelengkan kepala, aku
tidak ingin untuk berkata-kata, aku hanya ingin terus
mendengarkannya. Kau tahu? Mendengarkan orang-orang
yang sadar akan sesuatu adalah salah satu kenyamanan
tersendiri untukku. Jangan pernah memotong kalimat orang-
orang seperti itu, itu saranku, karena mereka sedang diberikan
rahasia oleh semesta, dan mereka sedang berusaha
menguraikannya untukmu.

128
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Dan sesiapa yang dianugerahi


kecerdasan dan kebijaksanaan,
akan dibebankan pula padanya
kesedihan dan kesendirian.”

129
Zhafir Akalanka

Pembaca
───────────────────────────────────

Melakukan sesuatu yang memutar akal adalah momen


laksatif untukku. Seperti menulis: aku berhenti bekerja di
perpustakaan dan aku memilih untuk menjadi buku itu sendiri.
Aku telah menanggalkan kostum manusiaku dan aku menjelma
kata-kata.
Aku telah berjalan menyusuri berbagai kebenaran dan
aku menemukan bahwa manusia sejatinya adalah pembaca.
Pembaca adalah pembaca kata-kata. Penulis adalah pembaca
rahasia. Keduanya pembaca. Selalu kudapati diriku seolah-olah
sedang membaca ketika menulis. Hal-hal yang bertebaran di
atas kepala bagaikan kaleidoskop yang memutar film lama.
Selalu ada korelasi dari satu adegan ke adegan yang lain.
Orang-orang selalu menilai, katanya: melamun menjadi
aktifitas utama bagi para penulis, apalagi penyair. Tapi, aku
lebih suka menyebutnya membaca atau merenung. Pada
kenyataannya, kami sibuk. Kami melihat apa yang tidak
mereka lihat. Kadang-kadang kami berbicara tentang langit
ketujuh, dan mereka masih bertanya-tanya tentang bagaimana
caranya terbang.

──
Momen Laksatif: suatu keadaan di mana manusia akan sangat
bergairah, sampai menimbulkan efek kupu-kupu di perutnya; sehingga
ia akan mudah buang air besar.

130
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Jika aku mendapatkan dua pilihan,


aku akan memilih yang ketiga.”

131
Zhafir Akalanka

Hening
───────────────────────────────────

Ketika seseorang mengatakan bahwa buku pertama


yang dibacanya adalah yang terbaik, itu bohong. Itu adalah
yang terburuk. Aku membaca dan menulis secara bertahap: dari
kata ke kata, dari makna ke makna, dari buku ke buku, dari
buruk menuju yang terbaik. Tapi, selama aku belum mati
(sejauh ini) aku belum menulis buku atau membaca buku yang
terbaik. Maksudku, istilah “terbaik” semacam ilusi bagiku.
Bagaimana bisa seorang manusia menyebut “terbaik” pada
sesuatu, ketika ia dirancang Tuhan untuk tak pernah puas
terhadap sesuatu?
Ngomong-ngomong, aku suka teh, tapi aku tidak tahu
nama dan jenisnya. Aku penikmat, bukan pengamat. Banyak
hal di dunia ini yang bisa aku jelaskan tapi tak bisa aku tahu
namanya. Jangan tanya aku tentang bagaimana hubunganku
dengan manusia! Kau tahu aku bisa memeluk mereka dan
melupakan nama mereka─ di saat yang sama.
Dari waktu ke waktu, aku belajar untuk menjadi
berbeda di dunia yang hampir semuanya sama saja. Aku
melangkahkan kakiku menyusuri waktu menuju satu manusia
ke manusia lainnya, tapi hening; hampa; kosong. Tak ada lidah,
hanya ada ludah. Tak ada suara, hanya ada gema. Tak ada kita,
hanya ada kata.

132
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Aku mulai berpikir bahwa


generasi ini tidak dibangun untuk mengerti loyalitas,
ia hanya dituntut untuk mengumpulkan uang
dan popularitas.”

133
Zhafir Akalanka

Poin
───────────────────────────────────

Membuat dunia melihat ke arahmu─ nyaris semuanya


ingin begitu. Tapi poinnya adalah apakah kau mampu membuat
mereka melihat seperti apa yang dilihat olehmu? Merasakan
seperti apa yang dirasakan olehmu? Apakah mereka akan lantas
memiliki sudut pandangmu dalam melihat luka-luka itu?
Maksudku, tanpa sudut pandang yang tepat dan menggugah,
“darah” hanya akan menjadi sebatas cairan yang berwarna
merah, “hidup” hanya akan menjadi sebatas tulang dan daging
yang diisi nyawa, dan “mati” hanya akan menjadi sebatas
fenomena malfungsi yang terjadi dalam organ-organ manusia.
Tapi kita semua tahu apa yang kau rasakan dan apa yang kau
inginkan tidak hanya sebatas itu saja.

Yang ironis adalah jaminan perubahan apa yang akan tercipta


jikapun mereka telah mengetahuinya?

134
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Mungkin, mungkin saja,


adalah berbahaya
untuk memiliki gagasan cinta
di zaman yang tidak memilikinya.”

135
Zhafir Akalanka

Lembar demi Lembar


───────────────────────────────────

Lembar demi lembar kujabarkan tentang apa yang


kuketahui, tapi itu tak pernah cukup untuk sebatas mengenal
diriku sendiri. Duhai, ada beberapa bagian dari tubuh kita, yang
kita miliki, namun kita tidak bisa melihatnya dengan mata
kepala sendiri.
Aku tidak berubah. Aku sama sekali tidak berubah.
Aku masih sama─ menjaga jarak, namun ramah. Akan tetapi,
aku selalu mendapati diriku memandangi kekasihku dengan
kewaspadaan seseorang yang bertemu orang asing untuk
pertama kalinya.
Mengapa kau tak kunjung mengerti diriku? Cinta
seorang penyair seperti pohon pisang: ia tidak akan berbuah
dua kali. Jangan lihat siapa yang sedang bersamaku, lihatlah
siapa yang tetap tertulis di hatiku.
Hari-hari kutaburi langkah dengan keyakinan tanpa
kejelasan. Kau yang selalu nampak dalam pandangan─
menggerakkan tubuhku di dalam labirin kerinduan. Pada kedua
bibirmu, Sayangku, aku pernah bermukim. Tatapanku tenang,
tapi kepalaku berisik. Aku sangat suka bagaimana cinta
membuatku melihat keindahanmu secara spesifik.

Jangan terlalu lama pergi. Jangan menuliskan titik.

──
Tanaman pisang dalam hal berbuah dikelompokkan sebagai
tumbuhan annual ato; tanaman yang siklus hidupnya sekali berbuah,
langsung mati.

136
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Aku dari sana. Aku dari sini.


Aku tidak di sana dan aku tidak di sini.
Aku memiliki dua nama,
yang bertemu dan berpisah,
dan aku memiliki dua bahasa,
aku lupa di antara mereka
aku bermimpi.”

137
Zhafir Akalanka

Kabar
───────────────────────────────────

Aku menanyakan kondisinya di sana, di dunia yang


selanjutnya. Tak ada jawaban metafora darinya selain sesimpul
senyum dan kecupan mesra. Jangan biarkan aku mendayung
perahu sendirian, kataku. Di dalam hidupku, bulan Mei
berlangsung sepanjang tahun. Bersama dengan rahasianya, aku
hidup di antara genggaman dan lambaian tangan. Apa yang
paling memberatkan? Sekuat mungkin bertahan atau seikhlas
mungkin melepaskan? Aku tidak mau menjawab. Kau dan aku
adalah sesuatu yang lain. Kita bukan untuk dijelaskan dan
dimengerti. Kita tidak akan berakhir menjadi sebuah teori. Kita
tidak akan berakhir pada buku-buku yang mencari keuntungan
tertentu, dan kita tidak akan berakhir pada mulut-mulut yang
berbicara tentang motivasi, tapi menjual sesuatu. Kau dan aku
akan mati dengan tenang, kita totalitas pada kehidupan, dan
kita akan totalitas pada kematian. Alam akan menyimpan
rahasia kita, kita akan menjadi mitos, kita akan menjadi
legenda, dan orang-orang akan bertanya-tanya apakah kau dan
aku pernah benar-benar ada.
Temui aku malam ini di sebuah taman antara benar dan
salah manusia. Jangan olesi bibirmu dengan lipstik, jangan
rusak wajahmu dengan bedak, aku ingin merasakanmu dengan
baik, biarkan aku yang mengindahkanmu secara otodidak.

138
Apakah Kau Ingin Pulang?

“Selamat menempuh hidup baru,


Diariku.”

139
Zhafir Akalanka

Telah kutelan setiap duka.


Telah kuperban setiap luka.
Kuperas darah-darah itu menjadi tinta,
lalu kuhias hari-hariku dengan tangisan dalam kata-kata.

Kududukkan tubuhku di depan lentera:


Demi Allah! Ke manakah rasa sakitku akan bermuara?
Sendiri─ aku berjelaga. Terpencil─ aku menunaikan rindu
saat manusia tengah menutup mata.

140
Apakah Kau Ingin Pulang?

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Aku telah berjalan memikul kesedihan yang tak pernah mau
lepas dari kalbu.
Sedalam itu aku pernah mencintaimu;
Sedalam itu aku harus berduka karena kehilanganmu.

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Tangan sudah kuangkat;
Do’a sudah kusemat,
tapi tidak juga muncul keikhlasan yang kumaksudkan itu.

141
Zhafir Akalanka

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Apa yang salah dengan diriku?
Dalam igauan, aku berbisik sendu:
“Sudah berapa anakmu?
Salam dan hormatku tercurah untuk suamimu.”

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Janganlah kau gugup bersahut mulut denganku.
Mudamu,
Mudaku,
Tawamu,
Tawaku,
Akrabmu,
Akrabku,
Jangan kau hilangkan semua kehangatan itu.

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Apakah kau melihat kendurnya kantung mataku?
Sebab telah kulihat pula beberapa garis kerutan di wajahmu.
Tapi biarlah menua kulit-kulit itu,
usia tak memiliki hukum atas perasaanku.

142
Apakah Kau Ingin Pulang?

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Jutaan tetes air mata sudah terjatuh dan pupus─
bagai butiran tasbih yang talinya telah terputus.
Berderah dan berderai─
Oh! Andai kita berdua lihai,
pastilah kita tahu apakah cerita ini usai
atau justru awal yang harus kita mulai.

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Mendaki, aku menurun.
Menjauh, aku mendekat.
Melarikan diri, aku berotasi.
Ke mana pun aku pergi,
wujudmulah yang akan selalu kutemui.

143
Zhafir Akalanka

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Andai usiaku telah sampai pada takdirku;
Andai aku mati dalam keadaan rindu,
Bertakbirlah tiga kali untukku.
Beristighfarlah tujuh puluh kali untukku.
Lalu, mandikanlah jenazahku dengan air mataku.

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Bekalilah pergiku dengan maafmu.
Balaslah rasa sakitmu─ jika kau mau.
Timpakanlah gunung-gunung ke atasku─
jika itu akan memunculkan ridha di hatimu.

8 tahun sudah─ kita berlalu.


Adakah 8 tahun lagi untukku?

Duhai, kau─
yang selalu bersemayam di antara tulang rusuk dan igaku,
usaplah kepala anak-anakmu atas namaku dan tataplah
kedua mata mereka dengan kebahagiaan terbaikmu.

Sebagaimana dahulu─
aku bersuka cita menginginkan mereka terlahir dari nasabku.

144
Apakah Kau Ingin Pulang?

EPILOG

145
Zhafir Akalanka

146
Apakah Kau Ingin Pulang?

Hidup tidak akan tersistemasi menyerupai imajinasi


manusia. Semakin manusia berimajinasi tentang sebuah
kenikmatan, semakin jauh realita akan bertolak belakang
dengannya. Sistem kerja kecewa adalah mengecoh prediksi
manusia. Bahkan, hal-hal yang kita mengerti, seringkali akan
berbalik menjadi hal-hal yang akan kita kritisi. Hal-hal yang
kita punya, hal-hal yang kita bahagiakan, akan berbalik
menjadi sebuah kehilangan dan kesedihan. Terdengar seperti
jebakan? Mungkin, iya, tapi aku merasa begitulah cara hidup
memberi kita kekuatan. Manusia tidak tumbuh dari
kenikmatan. Bahkan surga tidak diperuntukkan untuk hati yang
bersih dan baik-baik saja. Ia diperuntukkan untuk hati yang
dipenuhi lebam, sayatan luka, darah, tapi tetap percaya. Surga
memiliki harga yang tinggi untuk ditempati, ia membutuhkan
perjuangan dan rasa sakit. Tak ada kenikmatan surga untuk hati
yang terikat dengan kenikmatan dunia. Seperti kataku,
kenikmatan dan keindahan yang dimiliki di dunia ini, bisa
berbalik menjadi tragedi.

147
Zhafir Akalanka

Aku punya teori tentang adanya keindahan yang hakiki


di balik sebuah tragedi. Maksudku, lihatlah! Bintang yang
jatuh, dedaunan yang gugur, kepompong yang retak, matahari
yang terbenam, benih yang terkubur lalu dihujani, bahkan
puisi-puisi dan karya yang tumpah dari penderitaan yang sudah
tidak terbendung lagi.
Pada akhirnya aku menyadari, takkan ada keindahan
bila tak ada yang mau ikhlas mengorbankan dirinya sendiri.
Beberapa dari kita menikmati keindahan tersebut, dan beberapa
lagi telah bertransisi menjadi keindahan itu sendiri.
Itu mengganggu pikiranku selama ini. Entahlah, itu
semacam kontradiksi─ bagaimana tragedi seringkali
melahirkan keindahan-keindahan yang kemudian dapat
dinikmati, dan bagaimana keindahan-keindahan yang dimiliki
seringkali berbalik menjadi sebuah tragedi.

148
Apakah Kau Ingin Pulang?

Air mata terjatuh tanpa jeda


pada titian jarak jauh antara aku dan gapaian tangan manusia.
Yang kukira terbaik, selalu berbanding terbalik.
Yang kurasa momen paling cantik, selalu menjadi tragedi yang
paling mencabik.

Halah, bosan aku mengiba.


Bosan aku merengek dan memohon dengan linangan air mata.
Sudah waktunya mata hati terbuka;
Sudah saatnya menutup rapat kisah-kisah duka.

149
Zhafir Akalanka

Waktu takkan berputar untuk kali kedua.


Takkan pula memberimu kabar tentang masa
yang ada di tahun selanjutnya.
Kita hanya bisa berusaha;
sebaik-baiknya;
sekuat-kuatnya,
di detik saat ini kau membaca
sampai titik ujung kisahmu akan dibaca.

Duhai hati yang pernah patah,


tak ada lagi tangan di bawah;
jangan lagi peduli dihargai murah.
Jika kau temukan hati yang bersedia menjadi rumah,
maka jadilah. Kau akan menyadari betapa luasnya Dia
melapangkan hati yang patah, untuk membuat banyak orang
tidak mau
jika
hanya
sekadar
singgah.

Sungguh, aku tidak butuh penyelamat.


Aku hanya butuh ingat:
bahwa di setiap saat,
Allah jauh melebihi dekat.

150

Anda mungkin juga menyukai