Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS LITERASI KRITIS NOVEL KEMBANG JEPUN

KARYA REMY SYLADO YANG MEREPRESENTASIKAN


PENINDASAN PEREMPUAN DAN KEKUASAAN PENJAJAH
JEPANG PADA ERA PRA-KEMERDEKAAN

OLEH:

NUR AZIZAH

NIM : 171050101019

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

2017

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi yang ingin mendalami pengkajian novel dengan
menggunakan metode literasi kritis.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

ii
1. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya
adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya (Semi, 1993: 8). Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan
segala macam segi kehidupannya, maka sastra tidak saja merupakan suatu media
untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir manusia. Sastra dapat dibahas
berdasarkan dua hal, yaitu isi dan bentuk. Dari segi isi, sastra membahas tentang
hal yang terkandung di dalamnya, sedangkan bentuk sastra membahas cara
penyampaiannya. Ditinjau dari isinya, sastra merupakan karangan fiksi dan non
fiksi. Apabila dikaji melalui bentuk atau cara pengungkapannya, sastra dapat
dianalisis melalui genre sastra itu sendiri, yaitu puisi, novel, dan drama. Karya
sastra juga digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu
yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor
penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi.
Perkembangan karya sastra dari tahun ke tahun semakin pesat, seiring dengan
semakin banyanya penulis yang berani dan mantap untuk mengemukakan ide-
idenya dalam berkarya. Beberapa penulis dan penggiat karya sastra tak jarang
mengambil inspirasi dari berbagai fenomena yang terjadi di dalam keseharian dan
mengolahnya ke dalam sebuah bentuk yang lebih padat nilai, sehingga seringkali
suatu karya sastra dianggap sebagai representasi dari berbagai kejadian dan
problematika sosial yang terjadi pada saat karya tersebut ditulis.
Salah satu contoh penulis yang seringkali membuat karya-karya yang
berpedoman pada suatu peristiwa adalah Remy Sylado. Dalam beberapa novel yang
ditulisnya, Remy selalu memasukkan unsur-unsur historis serta pandangan-
pandangan tentang kekuasaan, ras, maupun gender melalui perwatakan tokoh utama
yang ditilik dari sudut pandang pemeran pembantu yang membangun unsur-unsur
cerita di dalamnya.
Di antara karya-karya Remy Sylado, penulis memilih untuk menjadikan novel
Kembang Jepun yang terbit pada tahun 2003 sebagai bahan analisis dengan
menggunakan kritik sastra berbasis ancangan literasi kritis. Adapun alasan penulis

1
memilih novel tersebut berangkat dari pemahaman penulis setelah membaca novel
tersebut bahwa novel tersebut mampu memberikan penggambaran yang eksplisit
tentang berbagai fenomena khususnya yang berhubungan dengan hegemoni
kekuasaan dan tindakan kesewenang-wenangan terhadap gender tertentu. Selain
itu, penulis memilih kritik sastra berbasisi ancangan literasi kritis adalah karena
literasi kritis dapat mengupas secara tuntas unsur-unsur yang terdapat di dalam
suatu karya sastra baik intrinsik maupun ekstrinsik yang mengandung banyak nilai
dan penggambaran kondisi sosial kemasyarakatan.

B. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah analisis struktural novel
Kembang Jepun yang meliputi tema, alur, latar, dan penokohan. Kemudian
menganalisis ketidakadilan jender serta dominasi kekuasaan dalam novel
Kembang Jepun pada karakter utama perempuan yang ada dalam novel tersebut
dengan menggunakan ancangan literasi kritis.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang akan dikaji. Adapun rumusan masalahnya sebagai
berikut.
1. Bagaimana struktur novel Perempuan Kembang Jepun karya Remy
Sylado
2. Bagaimana kesewenangwenangan penguasa dan ketidakadilan jender
pada tokoh wanita dalam novel Kembang Jepun ?

D. Tujuan Penelitian
Selaras dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan di atas,
maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan struktur novel Kembang Jepun karya Remy Sylado.
2. Mendeskripsikan hegemoni kekuasaan dan ketidakadilan jender pada
tokoh wanita dalam novel Kembang Jepun.

2
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan Bahasa, dan Sastra
Indonesia dan Daerah khususnya dalam bidang kesusastraan.
b. Mampu memberikan pandangan pemikiran berupa konsep atau teori di
bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya mengenai kajian
sastra terhadap novel-novel Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b. Penelitian ini bermanfaat bagi peningkatan apresiasi Sastra Indonesia
bagi masyarakat, yaitu dalam hal mengkritik karya sastra, khususnya
dalam kritik sastra melalui pendekatan ancangan literasi kritis
c. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah perbendaharaan kajian-
kajian tentang sastra secara khusus dalam permasalahan sastra dan
sebagai bahan kajian terhadap masalah ketidakadilan jender dan
penyalahgunaan kekuasaan.

3
2. Pembahasan
A. Pengertian Sastra

Sastra berasal dari bahasa sansakerta shastra yang artinya adalah "tulisan
yang mengandung intruksi" atau "pedoman". Dari makna asalnya dulu, sastra
meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan
ilmu pengetahuan, kitab - kitab suci, surat - surat, undang - undang, dan
sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang digunakan dalam konteks kebudayaan,
adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Menurut Taum (1997: 13)
sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau sastra adalah
penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain. Jadi,
pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya
manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari
perasaan dan pemikirannya.

Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah kesusastraan. Kata kesusastraan


merupakan bentuk dari konfiks ke-an dan susastra. Menurut Teeuw (1988: 23) kata
susastra berasal dari bentuk su + sastra. Kata sastra dapat diartikan sebagai alat
untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran. Awalan su- pada
kata susastra berarti baik, indah sehingga susastra berarti alat untuk mengajar,
buku petunjuk, buku instruksi, atau pengajaran yang baik dan indah. Kata susastra
merupakan ciptaan Jawa atau Melayu karena kata susastra tidak terdapat dalam
bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno.

Banyak batasan mengenai definisi sastra, antara lain:

1. Sastra adalah seni


2. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam
3. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedang yang dimaksud
dengan pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua
kegiatan mental manusia
4. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimaterikan (diwujudkan)
dalam sebuah bentuk keindahan

4
5. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang
mendalam dan kekuatan moral dengan sentuhan kesucian kebebasan
pandangan dan bentuk yang mempesona.

B. Pengertian Novel
Kata Novel berasal dari bahasa Latin novellus yang terbentuk dari kata novus
yang berarti baru. Kehadiran bentuk novel sebagai salah satu bentuk karya sastra
berawal dari kesusasestraan Inggris pada awal abad ke-18. Timbulnya akibat
pengaruh tumbuhnya filsafat yang dikembangkan oleh John Lock (1632-1704)
yang menekankan pentingnya fakta atau pengalaman dan bahayanya berpikir secara
fantastis. Pada perkembangan berikutnya, hakikat novel diungkapkan oleh
beberapa pengamat sastra antara lain sebagai berikut:
1) Novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang agak panjang dan meninjau
kehidupan sehari-hari (Ensilopedi Americana).
2) Novwl adalah suatu cerita dengan alur yang cukup panjang mengisi satu
buku atau lebih, yang menggarap kehidupan manusia yang bersifat
imajinatif (The Advanced of Current English 1960:853).

Dari definisi-definnisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada haikatnya novel


adalah cerita karena fungsi novel adalah bercerita.

C. Unsur-Unsur Pembangun Novel


1. Unsur Intrinsik

Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh sebuah unsur yang disebut unsur
intrinsik. Unsur pembangun sebuah novel tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh
dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur intrinsik sebuah
novel adalah unsur-unsur yang secara langsung ikut serta dalam membangun cerita.
Hal ini didukung oleh pendapat Nurgiyantoro (2010 : 23) yaitu, unsur intrinsik
(intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-
unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur
yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.

5
Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur intrinsik suatu karya fiksi
meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan
amanat.

a. Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan
(Hartoko & Rahmanto, 1986: 142) dalam Nurgiyantoro (2010: 68). Tema
dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan umum dalam sebuah karya
fiksi. Tema dalam sebuah karya fiksi sebelumnya telah ditentukan oleh
pengarang untuk mengembangkan ceritanya.
b. Alur
Alur atau plot adalah jalinan peristiwa atau kejadian dalam suatu karya
sastra untuk mencapai efek tertentu. Alur merupakan urutan peristiwa atau
kejadian dalam suatu cerita yang dihubungkan secara sebab-akibat. Alur
juga dapat diartikan sebagai peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita yang
memiliki penekanan pada hubungan kausalitas. Alur juga disebut sebagai
urutan-urutan kejadian dalam sebuah cerita.
c. Tokoh dan Penokohan
Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku dalam sebuah cerita,
sedangkan penokohan adalah cara seorang penulis menampilkan sifat
dan watak dari suatu tokoh. Penokohan juga dapat disebut sebagai
pelukisan gambaran yang jelas mengenai seseorang yang ditampilkan
dalam suatu cerita.
d. Latar
Latar disebut juga setting. Latar adalah segala keterangan, pengacuan,
atau petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi
terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Latar berfungsi sebagai
pemberi kesan realistis kepada pembaca. Selain itu, latar digunakan
untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan
terjadi.

6
e. Sudut Pandang
Yang dimaksud sudut pandang di sini adalah kedudukan atau posisi
pengarang dalam cerita tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang
menempatkan dirinya dalam cerita tersebut. Apakah ia ikut terlibat
langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di
luar cerita (Suroto, 1989: 96).
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah alat atau sarana utama pengarang untuk
melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika.
Gaya bahasa juga dapat diartikan sebagai cara pengarang
mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan dalam cerita
untuk memunculkan nilai keindahan.
g. Amanat
Amanat adalah pesan moral yang disampaikan seorang pengarang
melalui cerita. Amanat juga disebut sebagai pesan yang mendasari
cerita yang ingin disampaikan pengarang kepada para pembaca.
h. Tokoh
Dalam pengkajian unsur-unsur fiksi sering ditemukan istilah tokoh
dan penokohan, watak/karakter, dan penokohan.. perbedaan
istilah-istilah tersebut perlu dipahami.
2. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik sebuah karya sasta dari luarnya menyangkut aspek


sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh
otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra,
dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan
llingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari
luar sastra itu sendiri.

Unsur-unsur ekstrinsik novel adalah unsur dari luar novel tersebut.


Adapun beberapa unsur Ekstrinsik Novel yaitu

7
a. Sejarah/Biografi Pengarang biasanya sejarah/biografi pengarang
berpengaruh pada jalan cerita di novelnya
b. Situasi dan Kondisi secara langsung maupun tidak langsung, situasi dan
kondisi akan berpengaruh kepada hasil karya
c. Nilai-nilai dalam cerita Dalam sebuah karya sastra
terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh
pengarang. Nilai-nilai itu antara lain :

1) Nilai Moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan ahklak atau budi
pekerti baik buruk
2) Nilai Sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma norma
dalam kehidupan masyarakat ( misalnya, saling memberi,
menolong, dan tenggang rasa )
3) Nilai Budaya, yaitu konsep masalah dasar yang sangat penting
dan bernilai dalam kehidupan manusia ( misalnya adat istiadat
,kesenian, kepercayaan, upacara adat )
4) Nilai Estetika , yaitu nilai yang berkaitan dengan seni, keindahan
dalam karya sastra ( tentang bahasa, alur, tema )

d. Pengertian Literasi
Secara umum UNESCO mendeinisikan literasi secara sederhana, yaitu
kemampuan seseorang menulis dan membaca. Berdasarkan
penggunaannya, literasi adalah bentuk integrasi dari kemampuan menyimak,
berbicara, menulis, membaca dan berpikir kritis (Baynham, 1995:5).
Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latin
littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan
konvensi-konvensi yang menyertainya.
e. Konsep Literasi Kritis
Istilah literasi kritis berkaitan dengan berpikir kritis dan kesadaran kritis.
Berpikir ritis adalah kemampuan berpiir logis drngan cara: bertanya, menganalisis,
membandingkan, mengontraskan, dan mengevaluasi. Kesadaran kritis adalah
kemampuan mengenali kondisi yang menghasilkan ide-ide istimewa melebihi

8
yang lain di dalam suatu budaya atau masyarakat tertentu. Menurut Johnson dan
Freedman (Priyatni, 2010:27) literasi kritis adalah pembahasan tentang bagaimana
kekuasaan digunakan dalam tes oleh individu atau kelompok untuk memberikan
hak istimewa suatu kelompok melebihi kelompok yang lain.
f. Penindasan Terhadap Perempuan

Penindasan terhadap perempuan adalah salah satu dari banyak bentuk


penindasan-temasuk rasisme, homophobia, dan seksisme-yang dihasilkan dari
suatu masyarakat yang berlandaskan penghisapan kelas terhadap banyak orang
demi keuntungan segelintir pihak. Dengan pemahaman ini kita bisa juga
mengembangkan gagasan-gagasan bagaimana memerangi penindasan terhadap
perempuan. Jelas hal ini melibatkan perjuangan untuk memenangkan setiap
reforma dan mengusung pertanyaan mengenai hak-hak kaum perempuan; namun
landasan perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan juga mengarah
letaknya pada perjuangan kelas untuk sosialisme.

g. Penjajahan Jepang di Indonesia

Kekuatan yang dikerahkan Pemerintah Hindia Belanda meliputi 3 resimen


infanteri Belanda, 3 Batalyon Australia dengan dua kompi pasukan berlapis baja,
selanjutnya satu kompi taruna akademi Militer Kerajaan dan Korps Pendidikan
Perwira Cadangan. Pasukan ini ditempatkan di Jawa Barat dan memiliki tugas
untuk menjaga wilayah sekitar Jabar agar tidak jatuh ke tangan Jepang. Sementara
itu, kekuatan di Jawa Tengah meliputi 4 batalyon infanteri, sedangkan di Jawa
Timur meliputi 3 batalyon pasukan bantuan dari Indonesia dan satu batalyon
marinir.

Kekuatan Pasukan Serikat tersebut kemudian berhadapan dengan pasukan


Jepang yang mendarat di Divisi ke 2 Jawa Barat dan Divisi ke 48 di Jawa Tengah,
dekat dengan perbatasan Jawa Timur. Pasukan Jepang yang dikerahkan dibawah
komando Tentara Keenambelas yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitosi

9
Imamura. Kekuatan invasi Jepang di Jawa ini menunjukkan jumlah yang lebih besar
daripada kekuatan pihak Serikat. Disamping itu, Jepang memiliki bantuan udara
taktis. Sebaliknya Belanda tidak memilikinya karena kekuatan udaranya sudah
dihancurkan pada pertempuran-pertempuran sebelumnya.

Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak


Jepang dalam waktu yang sangat singkat. Pertempuran terakhir terjadi di Bandung
pada tanggal 7 maret 1942 dan kota bandung akan di bom jika Belanda tidak
menyerah. Kemudian melalui perjanjian Kalijati, Belanda menyerah tanpa syarat
kepada Jepang yang disepakati oleh Gubernur Jenderal maupun Panglima Tentara
Hindia-Belanda.

3. Analisis Struktural Novel Kembang Jepun


A. Unsur Intriksi
a. Judul

Novel ini berjudul Kembang Jepun karya Remy Sylado. Makna sebenarnya
dari kata kembang dalam percakapan sehari-hari pada dasarnya merupakan bagian
dari tumbuhan, namun secara kiasan, kata tersebut juga sering direprsentasikan
sebagai perempuan. Kata tersebut dipilih untuk merepresentasikan perempuan
karena sifat-sifat fisikal yang secara umum melekat pada kembang yang tak hanya
merupakan bagian dari tumbuhan semata, tapi juga karena bentuknya yang indah
dan baunya yang harum sering dihubungan dengan wanita (terutama gadis) yang
pada dirinya terdapat unsur-unsur keindahan dan kelembutan. Sedangkan kata
Jepun yang masu ke dalam kategori kata arkais (tidak lazim) dalam KBBI, memiliki
arti yang sama dengan kata Jepang. Jepang merupakan salah satu negara yang
berada di Asia Timur yang pernah menjajah Indonesia selama tiga tahun yaitu dari
tahun 1942 hingga 1945.

Judul Kembang Jepun pada novel tersebut merupakan manifestasi perjalanan


hidup sang tokoh utama yang merupakan seorang wanita yang bekerja sebagai

10
seorang gadis penghibur Jepang atau yang lazimnya disebut geisha pada masa
penjajahan Jepang di Surabaya.

b. Tokoh, Watak, dan Perwatakan

Novel ini ditulis dengan bertolak dari landasan historis pada zaman
penjajahan Jepang di Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia ada
banyak kebudayaan dan kebiasaan yang dibawa oleh para tentara Jepang ataupun
rakyat sipil Jepang yang memilih untuk mencoba mengadu nasib di Indonesia.
Salah satu kebudayaan Jepang yag tumbuh subur adalah didirikannya berbagai
shinju (semacam tempat mendirikan usaha) yang juga selain menyediakan jasa
hiburan sederhana seperti nyanyian, tarian, juga menyediakan jasa geisha sebagai
wanita penghibur yang tak hanya pandai dalam berkesenian tapi juga sebagai
pemuas nafsu bagi para lelaki yang mempunyai uang dan ingin menyalurkan hasrat
seksual mereka.

Tokoh-tokoh yang ada di dalam novel ini, secara eksplisit digambarkan


dengan berbagai karakter dan watak mereka yang beragam. Tokoh sentralnya
adalah seorang gadis bernama Keke yang berasal dari Minahasa, Keke digambarkan
sebagai gadis yang kuat dan menerima takdirnya untuk menjadi seorang geisha.

Saya Geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha


menyenangkan. Gei berarti seni, Sha berarti pribadi. Sejak usia
sembilan tahun, saya memang dibina untuk menguasai senu. Saya
pandai menyanyi, memainkan shamisen dan taiko, menuangkan
teh dan sake, memijat dan mengurut, serta menghibur dan
menyerahkan seluruh badan saya kepada semua lelaki yang datang
pada saya di Shinju. (Halaman 5)

Perihal awal mula perjalanan Keke sebagai seorang geisha tak lepas
dari campur tangan kakaknya, Jantje, yang tega menjualnya kepada Kotaro
Takamura. Jantje digambarkan sebagai orang yang haus akan materi
keduniaan, hingga tega melakukan segala cara dari menjual gadis-gadis di

11
kampungnya untuk dijadikan sebagai wanita penghibur. Meskipun awalnya,
Jantje berniat baik dengan membawa Keke ke Batavia untuk disekolahkan
namun akhirnya ia termakan keserakahannya sendiri yang dikompor-
kompori oleh Kotaro Takamura.

Baik, kata Kotaro Takamura setelah berpikir cepat. saya


bayar adik Tuan dengan harga tiga orang yang tidak saya terima
itu.

Tidak bisa. Saya bawa adik saya ke Batavia, kata Jantje


tegas.

Setelah memberi sela sedikit untuk bernapas dan


menimbang, akhirnya Kotaro Takamura berhasil, sebagai
pedagang, mempermainkan Jantje.

Ya sudah ambillah semuanya, kata Jantje akhirnya.


(halaman 24).

Selain tokoh Jantje dan Keke ada pula tokoh bernama Kotaro Takamura.
Kotaro Takamura digambarkan sebagai pria Jepang pemilik bisnis hiburan di
Shinju, yang cukup mahir dalam bela diri karate, namun merupakan seorang
pengusaha yang culas dan rela melakukan apa saja untuk memuluskan bisnisnya.

Kotaro Takamura keluar dari ruangan itu menemui lelaki


yang biasa dipanggil Hokan (artinya tukang lucu-lucu) menyuruh
membereskan Jantje. Hokan pun menyeret Jantje ke belakang dan
di situ digebuknya Jantje dengan gada.

Dibawa kemana dia? tanya Hokan kepada Kotaro


Takamura.

12
Dia tidak bisa bisnis. Dia pendendam. Dulu sudah dihajar,
sekarang coba-coba lagi. Tenggelamkan ke laut. Kalau dia hidup,
dia bisa balas dendam.

Interaksi sosial Keke di dalam lingkungan Shinju selain dengan para


pelanggan dan Kotaro Takamura juga diwarnai dengan kehadiran Yoko. Yoko
merupakan seorang geisha senior yang sudah cukup tua dan telah lama
mengabdikan dirinya di Shinju. Kedatangan Keke yang membawa angin segar bagi
perkembangan bisnis Shinju karena parasnya yang cantik, mau tidak mau telah
menyulut rasa cemburu dan amarah dari dalam diri Yoko yang merasa semakin sulit
untuk terus mencari nafkah di tengah terpaan pesona Keke yang menarik lebih
banyak pelanggan.

Apa yang saya kuatirkan, benar terjadi juga. Sebulan


setelah peristiwa ini, Yoko tiba-tiba menyerang saya dari
belakang. Itu terjadi pada malam hari, ketika saya benarbenar
letih dan ingin segera tidur sehabis bekerja sepanjang hari.

Kisah kehidupan Keke dalam menjalani profesinya sebagai seorang geisha


tidak melulu dikelilingi oleh lingkaran pergaulan antara komunitas penghuni Shinju
dan para pelanggan yang datang silih berganti. Di antara para pelanggan pria yang
datang untuk sekadar memuaskan nafsu, ada salah satu pelanggan pria yang
menaruh hati padanya dan ia adalah Tjak Broto. Tjak Broto merupakan seorang
wartawan yang ditugasi untuk meliput dan menyebarkan berita pembukaan kembali
bisnis Shinju akibat dahulu sempat lesu. Berawal dari situ Tjak Broto mulai
mengenal Keke dan berujung pada berkembangnya perasaan cinta yang tulus di
hatinya kepada Keke. Ketulusan ini digambarkan dari keikhlasan Tjak Broto
menerima Keke tanpa melihat statusn Keke sebagai seorang geisha yang telah
sekian lama dijamah oleh banyak pria.

Dulu saya bilang, permintaan nikah itusaya terpaksa gunakan


bahasa Inggris-adalah selfish. Sekarang, saya tidak tahu harus

13
bilang apa, jika di dalam selfish berlaku banyak persyaratan lagi.
Soalnya, saya yang lebih dulu membuka peluang sampai
berlangsung percakapan dengan banyak diam. Mula-mula ia
bertanya, apakah kalau keluar nanti, saya mau diajak nikah dan
menjadi istrinya? Saya jawab mau. (halaman 109)

Rangkaian cerita yang disampaikan oleh Remy Sylado mengalir lewat kata
demi kata, secara gamblang namun menghindari kesan vulgar dia menyampaikan
bagaimana sang pemeran utama mendapatkan penindasan baik batin maupun fisik
yang tergambar melalui kekerasan seksual yang dilaukan oleh para lelaki.

Dan lagi, akibatnya, ditamparnya berkali-kali muka


saya, sampai saya tidak tahu lagi, apakah sakitnya karena
tangannya itu ataukah karena perilakunya. Ia diam sebentar. Iia
melihat ke kiri dan ke kanan. Matanya berhasil melihat sesuatu.
Di pojok depan sana ada kain mirip taplak. Diambilnya kain itu,
lalu diikatnya mulut saya. Dengan demikian, saya tidak bisa
membuka mulut dan berteriak. Tapi tali di kaki saya dilepasnya.
Entah apa pula maunya. Ternyata setelah itu ia tarik rok saya
sampai lepas sampai lepas, tinggal celana dalam. Dalam
keadaan seperti ini, dengan kurang ajar tangannya mengorek-
ngorek apa yang diinginkannya. (halaman 276).

Kesewenang-wenangan dan tindak kekerasan seksual yang diterima oleh sang


tokoh utama juga harus dirasakan tatkala ia mengunjungi Tjak Broto di dalam
penjara dengan harapan ketika ia membawa sejumlah uang jaminan, maka
suaminya akan dibebaskan.

Kobayashi meloncat, menerjang, dan menangkap saya di


pintu yang tidak mungkin terbuka. Dipegangnya saya kencang-
kencang, samapai saya merasa sakit, lalu mengerang. Oleh hal itu,
ditampranya saya, sehingga saya terhuyung dan jatuh tanpa daya.

14
Dari lantai saya lihat ke atas. Ia seperti seekor singa yang siap
mencabik-cabik domba yang tidak berdaya. Kemrungsung ia
melepas-lepaskan seluruh kain yang membungkus tubuh saya,
sampai tidak bersisa lagi, dan akhirnya ia sendiri melepaskan
celananya. Setelah itu ia melakukan apa yang ia pikir sebagai
tugas perang mengalahkan musuh. Bedebah! Anjing! Kunyuk!
Dan seterusnya. Saya menangis... (halaman 194)

3. Setting atau Latar

Latar yang paling dominan dalam penggambaran cerita pada novel ini
yaitu di Surabaya pada tahun 1940-an tepatnya di Shinju yang letaknya tidak
jauh dari Jembatan Merah. Kemudian berpindah ke Blitar pada tahun 1945
ketika Tjak Broto dan Keke menikah di rumah mbah Tjak Broto karena
pernikahan mereka tidak direstui oleh ibunya. Setelah Tjak Broto ditangkap
oleh tentara Jepang karena dianggap menghasut rakyat pribumi untuk
memberontak, maka setting lokasinya berpindah ke penjara. Setelah itu
karena suatu sebab Keke harus berpisah dengan Tjak Broto dan menikah
dengan pria lain yang kemudian membawanya untuk menetap di Jepang.

Karena watak suami dan mertuanya yang tidak bersahabat dan


menganggap Keke sebatas pembantu yang harus bekerja siang dan malam
mengurus segala urusan, maka Keke memutuskan untuk lari dan pulang
kembali ke Minahasa.

4. Alur/Plot

Novel ini dibuka dengan penyampaian identitas profesi dan alamat


sang tokoh utama. Meskipun begitu, penulis belum menjelaskan secara
terbuka tentang nama dari tokoh sentral tersebut dan lebih menekankan
penceritaan tentang keseharian sang tokoh dalam menjalani profesinya
sebagai seorang geisha. Alur yang dipaparkan cenderung terus melaju,

15
walaupun kadang-kadang ada sedikit kilas balik yang berperan penting
dalam memberikan tambahan penjelasan terhadap cerita.

5. Gaya/Style
Gaya penceritaan yang disampaikan dalam novel Kembang Jepun
sangat kaya dengan unsur-unsur historis yang ditnadai dengan berbagai
peristiwa sejarah, namun tidak melupakan unsur penting yang menjadi
fokus penceritaan yaitu tentang kehidupan Keke sebagai seorang geisha.
6. Sudut Pandang Pengarang

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
ketiga karena menceritakan bagaimana kehidupan sang tokoh sentral
senantiasa berputar. Meskipun begitu, penulis juga sering menggunakan
kata saya untuk lebih menegaskan dan memberikan pemahaman kepada
pembaca tentang segala hal yang dirasakan oleh tokoh utamanya.

7. Tema

Tema yang diusung dalam novel ini menggambarkan tentang


bagaimana sebenarnya fenomena dan lika liku kehidupan seorang geisha di
tengah gejolak perang pra kemerdekaan di Indonesia.

B. Unsur Ekstrinsik
1. Latar Belakang Sosio Budaya

Novel Kembang Jepun karya Remy Sylado memberikan


penggambaran tentang bagaimana kehidupan seorang geisha yang harus
menjalani lika liku dan pahitnya kehidupan. Perlauan tidak menyenangkan
berupa kekerasan seksual yang dilaukan oleh tentara pribumi dan penjajah
Jepang. Novel ini juga memberikan pemahaman tentang bagaimana
perempuan dinilai hanya dari tubuhnya dan kemampuannya memuaskan
hasrat seksual lain-lain, dianggap tidak punya suara dan hanya merupakan
budak yang harus melenggangkan segala nafsu lelaki.

16
4. Hasil Analisis

Berdasarkan unsur intrinsik dan estrinsik, secara eksplisit kita bisa


menilai bahwa apa yang disampaikan oleh Remy Sylado selain
penggambaran penindasan terhadap perempuan yang diwakili oleh tokoh
Keke juga memberikan penjelasan tentang bagaimana keadaan ketika
Indonesia di bawah naungan penjajahan Jepang. Melalui tindakan dan dialog
antar tokohnya, pengarang ingin menyampaikan pesan tentang bagaimana
pribumi terutama kaum wanita mendapatkan diskriminasi.

Penindasan terhadap warga pribumi meronrong terjadinya


pemberontakan untuk memperjuangkan kemerdekaan setelah sekian lama
berada di bawah bayang-bayang penjajahan Jepang. Keinginan untuk lolos
dari penindasan tidak hanya terwakili dengan perjuangan rakyat Indonesia,
tetapi juga melaui perjuangan Keke dalam rangka melepaskan diri dari
belenggu keterkungkungan hegemoni Kotaro Takamura yang senantiasa
memanfaatkannya demi mendapatkan keuntungan semata.

17
5. Simpulan dan Saran
A. Simpulan
Berdasarkan hasil kajian tentang unsur intrinsik dan eksttrinsik
pada novel ini maka dapat disimpulkan bahwa penggambaran tentang
penindasan terhadap perempuan dan kondisi perjuangan melawan
penjajahan Jepang cukup tergambar secara eksplisit.
B. Saran
Hasil analisis novel Kembang Jepun ini merupakan interpretasi peneliti
sehingga secara emosi akan ada perbedaan persepsi dengan peneliti lain. Untuk itu
penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk menambah keabsahan hasil penelitian
ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sylado, Remi. 2003. Kembang Jepun. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama

Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi


Kritis. Jakarta: Bumi Aksara

19

Anda mungkin juga menyukai