Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra sebagai hasil cipta manusia selain memberikan hiburan juga sarat dengan
nilai, baik nilai keindahan maupun nilai-nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui nilai-
nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau
masyarakat melalui karya sastra. Fananie (2002:193) memaparkan bahwa karya sastra
merupakan sebuah fenomena produk sosial sehingga yang terlihat dalam karya sastra sebuah
entitas masyarakat yang bergerak, baik yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi, maupun
aktivitas dan kondisi sosial budaya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada saat
karya sastra itu diciptakan. Ratna (2004: 60) mengatakan bahwa pada dasarnya antara sastra
dengan masyarakaat terdapat hubungan yang hakiki. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan
disebabkan oleh a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah
anggota masyarakat, c) pengarang memasyarakatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat,
dan d) hasil karya itu dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Karya sastra bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga dimengerti. Untuk itulah
diperlukan kajian atau penelitian dan analisis mendalam mengenai karya sastra. Chamamah
(dalam Jabrohim, 2003:9) menyatakan bahwa penelitian terhadap karya sastra penting
dilakukan untuk mengetahui relevansi karya sastra dengan kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat pada dasarnya mencerminkan
realitas sosial dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra
dijadikan medium untuk mengetahui realitas sosial yang diolah secara kreatif oleh pengarang.
Novel merupakan salah satu ragam prosa, di samping cerpen dan roman, selain puisi dan
drama, di dalamnya terdapat peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya secara sistematik
dan secara terstruktur. Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama,
genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-
unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya a) novel menampilkan unsur-
unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-
masalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa
sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Seorang pengarang
berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita
kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut (Ratna, 2006: 335-336).

1
Perkembangan novel di Indonesia cukup pesat. Hal itu terbukti dengan banyaknya
novel-novel baru yang telah diterbitkan. Novel-novel tersebut mempunyai bermacam tema
dan isi, antara lain tentang masalah-masalah sosial yang pada umumnya terjadi dalam
masyarakat, termasuk yang berhubungan dengan wanita. Sosok wanita sangat menarik untuk
dibicarakan. Wanita di wilayah publik cenderung dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk
memuaskan koloninya. Wanita telah menjelma menjadi bahan eksploitasi bisnis dan seks.
Dengan kata lain, saat ini telah hilang sifat feminis yang dibanggakan dan disanjung
bukan saja oleh kaum wanita, namun juga kaum laki-laki. Hal ini sangat menyakitkan apabila
wanita hanya menjadi satu segmen bisnis atau pasar (Anshori, 1997: 2).
Novel Gadis Pantai merupakan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer yang
diterbitkan pada tahun 2003. Novel ini mengangkat tentang masalah sosial terutama masalah
kesetaraan dan ketidakadilan jender perempuan dalam kehidupan. Keistimewaan Pramoedya
dalam novel Gadis Pantai adalah bahwa tokoh yang terlibat dalam novel tersebut dapat
diungkapkan dengan cermat dalam jalinan cerita, sehingga alur cerita tetap terjaga dari awal
sampai akhir. Meskipun alur ceritanya merupakan alur maju atau progresif. Selain itu,
Pramoedya mampu menggambarkan kenyataan yang ada dalam kehidupan pada masa
penjajahan Belanda yang serba sulit dan kompleks terutama ketidakadilan jender yang
dialami oleh kaum perempuan.
Dalam novel ini pembaca dihadapkan pada ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan pada zaman penjajahan Belanda. Melalui karya sastra ini pengarang memberikan
refleksi kepada pembaca tentang ketidakadilan yang dialami oleh perempuan pada masa itu
tanpa dapat melakukan pembelaan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh para tokoh
perempuan dalam novel Gadis Pantai tersebut. Masalah ketidakadilan jender yang
terkandung dalam novel Gadis Pantai, salah satunya ditunjukkan oleh gadis kecil sebagai
sosok perempuan yang telah didorong rasa putus asa ke pojok yang paling kelam. Masalah
ketidakadilan antara lain diungkapkan dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur yang membangun novel Gadis Pantai karya Pramoedya
Ananta Toer?

2
1.3 Tujuan
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Gadis Pantai karya Pramoedya
Ananta Toer.

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kritik sastra dengan
pendekatan objektif terhadap novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer.

3
BAB II
LANDASAN TEORITIS

Pendekatan objektif merupakan pendekatan sastra yang menekankan pada segi


intrinsik karya sastra yang bersangkutan (Yudiono, dalam Daulay 2016:32). Yaitu
pendekatan yang sangat mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks
sastra itu sendiri. Hal-hal yang di luar karya sastra walaupun masih ada hubungan dengan
sastra dianggap tidak perlu dijadikan pertimbangan dalam menganalisis karya sastra (Daulay,
2016:32).
Dalam pendekatan objektif telah banyak dikembangkan metode-metode penelitian,
seperti formalisme Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Cekoslavia, New Criticiam
Amerika, istilah strukturalisme juga berkembang menjadi post strukturalisme, strukturalisme
dinamik, intertekstualisme, namun semuanya itu tidak akan terperinci dalam pembicaraan ini.
Berdasarkan prinsip umum pendekatan objektif di atas dan unsur fiksi yang telah
dikemukakan pada bagian terdahulu maka terapan dalam cerpen dan novel tidaklah berbeda.
Kedua fiksi ini mempunyai unsur yang sama yakni gaya bahasa, sudut pandang, alur,
penokohan, latar, dan tema/amanat.
Dalam memahami karya sastra secara objektif, tentunya diperlukan adanya cara untuk
mengoperasikan teori itu. Dalam teori ini, terdapat pula pendekatan dan penilaian secara
objektif.
Pendekatan objektif (struktural) adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu
karya sastra secara keseluruhan, dan memandang karya sastra adalah sesuatu yang berdiri
sendiri. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra
yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi
kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan sebagainya.
Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut
berdasarkan keharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
Telaah struktur yang harus dikaitkan dengan fungsi struktur lainnya yang dapat
berupa paralelisme, pertentangan, inverse, dan kesetaraan. Dalam karya yang lebih luas
seperti novel, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji
berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point of view.
Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu
sama lain.

4
Penilaian objektif berarti menilai suatu karya sastra secara objektif, tidak dengan
pendapat pribadi (subjektif). Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara objektif itu,
menurut Graham Hough dan Wellek Warren adalah pada adanya:
1. Relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terpapar melalui jalan seni, imajinasi
maupun rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras, serta padu
dalam pencapaian tujuan tertentu atau memiliki integritas, harmoni, dan unity.
2. Daya ungkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan lewat teksture serta penataan
unsur-unsur kebahasaan maupun struktur verbalnya atau pada adanya consonantia dan
klantas.
Dari adanya sejumlah kriteria di atas memang pada dasarnya seseorang dengan
mudah dapat menentukan bahwa sebuah bacaan itu adalah teks sastra. Akan tetapi, satu hal
yang harus diingat, bacaan berupa teks sastra itu tidak selamanya mengandung nilai-nilai
sastra.
Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu paham
relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme menyatakan bahwa bila
sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan tempat tertentu, pada waktu dan
tempat yang lain juga harus dianggap bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa
penilaian karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian
perspektivisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut
pandang sejak karya sastra itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, dalam Daulay
2016:34).
Pendekatan struktural dapat pula disebut dengan pendekatan intrinsik, yaitu
pendekatan yang berorientasi kepada karya sebagai jagad yang mandiri terlepas dari dunia
eksternal di luar teks. Analisis ditujukan kepada teks itu sendiri sebagai kesatuan yang
tersusun dari bagian-bagian yang terjalin dan analisis dilakukan berdasarkan pada parameter
intrinsik sesuai dengan keberadaan unsur-unsur internal (Siswanto, 2005: 19). Strukturalisme
dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada hubungan
antara unsur–unsur pembangun karya sastra yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2007: 36).
Menurut Ratna (2009: 91), strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu
struktur organisasi dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur
yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak lain hubungan antara unsur dengan
totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan,
kesesuaian, kesepahaman, tetapi juga negatif seperti konflik dan pertentangan.

5
Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan
merupakan cara untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra. Analisis
struktural sastra juga disebut dengan pendekatan objektif dan menganalisis unsur
intrinsiknya. Menurut Fananie (2000: 112), pendekatan objektif adalah pendekatan yang
mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari
eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut
misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur
kalimat, tema, plot (setting), dan karakter.
Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa analisis struktural
merupakan suatu penelitian terhadap unsur–unsur intrinsik yang membangun karya sastra
dalam kaitan dan hubungannya dalam membentuk makna totalitas, jadi penelitian karya
sastra dengan menggunakan pendekatan struktural, yang terpenting adalah kaitan setiap
unsurnya yang dapat membangun makna karya sastra tersebut.

6
BAB III
PEMBAHASAN

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipakai, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pengkajian terhadap karya sastra merupakan pemahaman karya sastra yang lebih baik.
Dengan demikin karya sastra dapat dinikmati lebih intens serta dapat dimanfaatkan untuk
memahami hidup ini (Teeuw, 1984:18).
Karya sastra merupakan suatu hasil cerminan dari kehidupan masyarakat pada periode
tertentu, sebab dalam hal penciptaan suatu karya sastra bahannya diperoleh dari kehidupan
sehari-hari lalu diolah sedemikian rupa ke dalam suatu karya sastra.

3.1 Analisis dan Kritik dengan Pendekatan Objektif

Untuk mengetahui dan memahami cerminan suatu karya sastra diperlukan suatu
pemahaman tentang unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra. Dalam makalah kritik sastra
ini penulis menggunakan pendekatan objektif (struktural) untuk mengetahui unsur-unsur
yang ada di dalam karya sastra yang dalam kajian ini adalah novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Toer.

1. Tema
Tema yang diangkat dalam novel Gadis Pantai adalah kritik pada feodalisme Jawa,
karena roman ini banyak menceritakan mengenai masyarakat yang berasal dari golongan
bawah dengan masyarakat yang berasal dari golongan atas/ningrat/bangsawan, serta segala
perlakuan tak berperikemanusiaan yang terjadi dalam praktek feodalisme Jawa atas orang-
orang yang dianggap “rendahan”/ berasal dari kaum bawah yang umumnya lahir di kampung.
Tema yang disajikan dalam Roman ini adalah mengenai sosio-kritik dalam sistem
masyarakat. Bagaimana rakyat kecil yang diwakili oleh Gadis Pantai yang menjadi istri
seorang Priyayi, diperlakukan oleh Priyayi sebagai pemuas nafsunya, dijauhkan dari dunia
luar yang menurut Priyayi tersebut sebagai dunia yang kotor dan ia dicampakan dan diusir
oleh Priyayi tersebut dengan alasan dia tak sederajat dengannya.
Kritikan : Adapun kritik yang ditujukan pada tema, sistem feodalisme adalah
melalui gambaran dalam cerita yang disebutkan bahwa semua yang ada di Gedung Besar
adalah rakyat jelata yang harus tunduk dan patuh pada Priyayi, dan mereka tidak patut
dihormati, disitu kami sedikit kesal mengapa semua orang dirumah tersebut tunduk dan

7
patuh kepada Bendoro besar, bagaikan Tuhan yang diagung-agungkan. Sehingga salah
seorang bujang atau pembantunya mau membohongi orang agar tidak dianggap durhaka
kepada Bendoro.

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya sastra. Istilah
tokoh menunjuk pada orangnya. Penokohan atau perwatakan atau karakterisasi lebih
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam cerita. Bentuk
penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Pramoedya Ananta Toer, sang
pengarang, tidak memberikan nama untuk tokoh-tokoh sentral dalam novel Gadis Pantai ini.
Pengarang sengaja hanya memberikan sebutan-sebutan khusus saja, sehingga membebaskan
pembaca untuk berimajinasi.
Tokoh cerita (character) menurut M.H Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam karya naratif, oleh pembaca ditafsirkan mempunyai kualitas moral dan kecenderungan
tertentu yang diekspresikan dalam ucapan (dialog) dan tindakan. Sementara menurut Stanton
bahwa tokoh cerita (character) mengacu pada individu-individu yang muncul dalam cerita
dan perpaduan dari minat, dorongan, emosi, dan prinsip moral yang melingkupi individu-
individu tersebut.
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya sebab mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberi gambaran yang jelas kepada pembaca. Jones mengatakan bahwa
penokohan (characterization) adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.

Adapun tokoh-tokoh sentral dalam novel Gadis Pantai adalah Gadis Pantai dan
Bendoro.
a. Gadis Pantai
Gadis pantai adalah seorang gadis manis berumur 14 tahun, berkulit kuning langsat,
bertubuh kecil mungil, dan mempunyai mata agak sipit. Gadis pantai adalah anak seorang
nelayan miskin di suatu kampung nelayan di Rembang Jawa Tengah dan hidup di awal abad
ke-20. Ia hidup apa adanya, sederhana, jauh dari gelimang harta. Perilakunya pun seperti
gambaran hidup kesehariannya yang sederhana, tidak neko-neko, tidak berani
membayangkan hal-hal yang indah dan mewah, sangat penurut, bahkan cenderung penakut.

8
Pendidikan yang layak tidak pernah ia rasakan. Seolah tidak ada yang istimewa dalam
dirinya, hanya wajah rupawan yang telah merubah jalan hidupnya.
Dalam usia yang masih sangat belia, ia diperistri oleh seorang priyayi yang tidak
pernah dikenalnya sebelumnya, sang Bendoro, yang tertarik dengan wajah manis Gadis
Pantai. Gadis Pantai dikawinkan dengan keris, sebagai wakil dari si Bendoro. Keris adalah
wakil dari Bendoro, ketika menikah dengan wanita dari golongan rakyat jelata, golongan
wong cilik.
Seketika kehidupan Gadis Pantai berubah drastis. Gadis Pantai sebenarnya tidak mau
pindah ke rumah mewah Bendoro di kota, tapi terus diantarkan orang tuanya yang berpikir
Gadis Pantai akan hidup bahagia dan nyaman di sana. Gadis Pantai pun berganti nama
menjadi Mas Nganten dan harus mau menjalani kehidupan baru sebagai priyayi yang benar-
benar berbeda dengan kehidupannya sebagai wong cilik, orang kebanyakan. Gadis Pantai
mulai mengenal kehidupan priyayi dan mulai belajar bermacam hal yang belum pernah
dipelajarinya sebelumnya, seperti membatik, mengaji, dan shalat. Sebenarnya Gadis Pantai
adalah gadis yang cerdas, akan tetapi kecerdasannya tidak dapat dimanfaatkan dan diolah
secara baik dan tepat, karena status sosial dan kemiskinan yang menghalanginya memperoleh
ilmu.
Di rumah Bendoro tersebut ada seorang pembantu tua yang mengajarkan kepada
Gadis Pantai segala yang harus diketahui dan dilakukan sebagai seorang wanita utama dan
untuk memelihara kenangan suaminya.
Di rumah itu tidak ada yang peduli pada Gadis Pantai. Ia merasa sendirian. Suaminya
pun jarang mengunjunginya, meski ia istri yang senantiasa berusaha menyenangkan hati
suaminya. Ketika Gadis Pantai mengandung anak pertama di usia pernikahannya yang kedua,
Bendoro tidak juga menunjukkan rasa kepedulian dan bersikap acuh tak acuh pada Gadis
Pantai.
Akhirnya, Gadis Pantai melahirkan seorang anak perempuan. Bendoro tetap bersikap
acuh tak acuh dan tidak peduli sama sekali terhadap Gadis Pantai dan anak kandungnya.
Bahkan yang mengenaskan, setelah bayinya berumur tiga setengah bulan, dengan semena-
mena Bendoro menceraikan dan mengusir Gadis Pantai tanpa diperbolehkan membawa
bayinya.
Gadis Pantai pun merana. Ia rela dipisahkan dari suaminya tapi sungguh tidak rela
berpisah dari anaknya. Tapi sungguh apa daya, ia tidak mempunyai kuasa untuk melawan
perintah Bendoro, mantan suaminya itu. Gadis Pantai yang telah terpuruk hidupnya, merasa

9
sangat malu untuk pulang ke kampung halamannya. Ia pun memutuskan untuk berbelok ke
selatan, menuju Blora, mencoba peruntungannya di sana.

b. Bendoro
Tokoh sentral lainnya adalah Bendoro. Kondisi yang sangat berkebalikan dengan
Gadis Pantai, Bendoro adalah pemuda dari golongan priyayi Jawa yang sangat dihormati dan
disegani. Bendoro hidup bergelimang harta, tinggal di rumah gedung yang megah, santri
yang menurut penilaian orang lain cukup alim, tekun dan taat beribadah, sudah dua kali naik
haji, dan dapat dengan mudah mengenyam pendidikan yang tinggi. Ia memiliki kekuasaan,
sehingga semua perintah dan keinginannya adalah perintah yang harus dilakukan oleh orang-
orang di sekitarnya.
Dalam novel dikisahkan, sebelum Bendoro menjalani pernikahan percobaan dengan
Gadis Pantai, ternyata ia pernah melakukan hal yang sama dengan gadis lain. Bahkan
Bendoro telah mempunyai beberapa orang anak dari perkawinan-perkawinan sebelumnya
yang kemudian menceraikan ibu dari anak laki-lakinya. Meskipun telah beberapa kali
menikah dan mempunyai anak, herannya Bendoro tetap dianggap perjaka sebelum ia
menikah dengan wanita yang sederajat dan sekelas dengannya.
Bendoro digambarkan sebagai seorang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya,
mempunyai kekuasaan yang besar sehingga ketika ia berkata dan memerintah tidak ada
seorang pun yang berani melawan. Pada awal-awal pernikahannya dengan Gadis Pantai, ia
adalah cermin suami yang penuh perhatian, lembut tapi berwibawa, dan kasih sayang, yang
sering menunjukkan rasa ketertarikan dan kesukaannya pada Gadis Pantai dengan
memberikan bermacam-macam perhiasan dan permata, alat-alat kecantikan, dan kain-kain
batik yang berkualitas tinggi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, terutama setelah Gadis
Pantai mengandung dan melahirkan bayi perempuan, Bendor berubah menjadi suami yang
mulai jarang mengunjungi istrinya, jarang menyapanya, menjadi tidak peduli, bersikap acuh
tak acuh, dan yang sangat mengenaskan tega menceraikan istri lalu membuang istrinya ke
jalanan dan tega memisahkan anak dari ibunya.

3. Latar/Setting
Karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, sebuah
dunia yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh penghuni dan permasalahan yang mengitarinya.
Tokoh dengan permasalahannya tersebut memerlukan ruang lingkup, tempat, dan waktu yang
dalam penelitian sastra dikenal dengan latar atau setting sebagaimana kehidupan manusia di

10
dunia nyata. Latar atau landas tumpu mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.Latar memberikan
pijakan cerita secara konkret dan jelas.
Latar tempat : gedung besar di Kota Rembang, daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa
tepatnya kampung nelayan di Rembang, rumah Gadis Pantai, kamar Gadis Pantai dalam
Pendopo, ruang tamu pendopo, ruang makan pendopo, dapur pendopo, ruang khalwat
pendopo, perahu, rumah kepala desa, gerobak, Kota Demak.
Latar waktu : Sekitar tahun 1930 atau 1940-an dimana penjajahan Belanda masih
berkuasa di Indonesia atau bahkan sudah hampir berakhir, karena orang-orang di pendopo
masih menggunakan Bahasa Belanda pada beberapa waktu.
Latar suasana :
a) Menegangkan = 1. Ketika para pengawal Mardinah dibacok dan
dilempar ke laut.
2. Ketika terjadi perdebatan antara kakek tua
dengan warga serta dengan si dul.
3. Ketika Mardinah dipaksa untuk tidur di luar yaitu di balik semak
karena telah mencoba mencelakakan Gadis Pantai.
4. Ketika Gadis Pantai berteriak mengatakan bahwa Mak Pin bukanlah
seorang perempuan dan tidak gagu.
5. Ketika Gadis Pantai mencoba membawa anaknya keluar dari
pendopo dengan paksa namun, dihadang oleh pengawal-pengawal
Bendoro.
b) Mengharukan = 1. Ketika Gadis Pantai menangis sambil menyusui anaknya untuk
terakhir kali.
2. Ketika Gadis Pantai nelangsa karena pelayan tua yang selama ini
menemaninya diusir dari pendopo.
3. Ketika Gadis Pantai melepas kepergian Emak dan Bapaknya
kembali ke kampung.
c) Merisaukan = 1. Ketika Gadis Pantai terus cemburu pada Bendoro yang sering
meninggalkan dirinya untuk bekerja.
d) Menakutkan = 1. Ketika para pengawal dan Mardinah kalang kabut dengan adanya
kabar datangnya bajak laut.

11
2. Ketika warga berbondong-bondong datang ke rumah Gadis Pantai
dengan membawa parang, cangkul, dan peralatan tajam lainnya untuk
melawan para pengawal.
e) Membahagiakan = 1. Ketika Gadis Pantai disambut warga kampung nelayan saat
mengunjungi Emaknya.
2. Ketika Gadis Pantai tidur bersama Bendoro dan merasa nyaman di
dekat Bendoro.
3. Ketika si Dul menikah dengan Mardinah diiringi sorak sorai warga
kampung nelayan.
4. Ketika si Dul akhirnya memutuskan untuk ikut melaut bersama para
nelayan lainnya untuk mencari nafkah.
f) Menyebalkan = 1. Ketika Mardinah membangkang perintah Gadis Pantai serta
memojokkan Gadis Pantai dengan sindirannya.
2. Ketika Bendoro tak mau menyentuh bayinya dan Gadis Pantai
malah menyuruhnya pulang dan menyuruh Gadis Pantai meletakkan
bayinya di ranjang.
Penceritaan latar sosial hanya menggambarkan di mana yang tergambar, yaitu dengan
kondisi masyarakat kampung nelayan yang bodoh (tidak bisa baca tulis), hidup mereka hanya
bergantung pada laut. Berbeda dengan kehidupan golongan Priyayi yang sangat berlebihan.

Kritikan : Pada latar tempat, Kota Rembang, Demak, dan Pulau Jawa kami
dapat menemukannya di peta biarpun kami penulis belum pernah kesana. Lalu terdapat
tempat ruang tengah, dapur, kamar tidur, surau, dll itu sudah menjadi hal lumrah dalam
sebuah rumah ada pembagian ruang-ruang seperti itu, biarpun tidak semua rumah punya
ruangan yang lengkap.
Pada latar suasana, kami rasa suasana yang dituliskan Pramudya
di roman Gadis Pantai ini sudah komplit, biarpun pada Gadis Pantai terlalu banyak suasana
ketakutan dan menegangkan terhadap Bendoro suaminya sendiri, dan kesedihan yang
banyak dialami oleh Gadis Pantai.
Pada latar waktu, kami sendiri juga tidak tahu dimana tepatnya
latar waktu dalam roman ini terjadi, karena di sisi satu, pelayan tua Gadis Pantai
menceritakan bagaimana pengalamannya dulu menghadapi Belanda, disini bisa saja berarti
Penjajahan Belanda sudah berakhir. Tetapi, Bendoro merupakan Bendahara dari Belanda,
dan sebagian diceritakan bahwa Bendoro dan beberapa pengawal/keluarga pendopo masih
menggunakan Bahasa Belanda, berarti Penjajahan Belanda saat itu masih belum berakhir.

4. Alur

12
Maju, terbukti dari cerita mulai dari awal yaitu ketika Gadis Pantai tinggal di
kampung nelayan kemudian dibawa ke pendopo, bagaimana kehidupannya kemudian di
pendopo, bagaimana ia menyesuaikan diri sebagai ‘wanita utama’, menjalani hidup dengan
Bendoro, mengandung dan melahirkan bayinya dengan Bendoro serta bagaimana ia diusir
dari pendopo oleh Bendoro setelah melahirkan bayi pertamanya yang berjenis kelamin
perempuan dan ia memutuskan untuk pergi ke Blora karena malu dengan Emak dan
tetangganya di kampung.
Kritikan : Menurut kami, pada alur roman ini, Pram menyajikan cerita sangat
baik alurnya, semua berjalan maju tanpa sekalipun melihat masa lalu. Dengan bagian awal
cerita sebagai pendeskripsian tokoh utama, yaitu Gadis Pantai yang bertubuh kecil, kulit
putih bersih yang hidup di Kampung. Di bagian tengahnya menghadirkan konflik baik yang
terjadi dalam diri Gadis Pantai atau pun konflik dengan tokoh yang lain. Lalu akhir dari
bagian cerita tersebut yaitu keadaan yang memprihatinkan yang terjadi pada diri Gadis
Pantai akibat dari ‘keganasan’ praktik Feodalisme.

5. Sudut Pandang
Orang ke-3 serba tahu. Dalam penceritaanya Pram menggunakan sudut pandang orang
ketiga (diaan) maha tahu. Hal itu di tunjukan melalui deskripsi.

6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa campuran. Bahasa indonesia jaman
dahulu dengan bahasa Jawa pada beberapa kata seperti “kanca” dan “colong” serta sebutan
bagi orang jawa seperti “Mas Nganten”, “Sahaya”, dan “Bendoro”.

Kritikan : Menurut pendapat kami, roman Gadis Pantai karya Pramoedya


Ananta Toer ini bahasa yang digunakan kurang komunikatif pada pembaca, sehingga
pembaca yang tidak mengerti atau belum mengerti tentang sastra, terkadang tidak
menangkap maksud dari hal yang coba dituangkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sang
penulis dalam karyanya ini. Memang, gaya bahasa yang digunakan oleh beliau merupakan
gaya bahasa yang ada pada saat itu, belum tersentuh EYD dan belum mengenal perubahan
jaman yang pada saat ini, kita rasakan telah mengubah sebagian besar bahasa yang kita
gunakan. Pramoedya hidup pada jaman penjajahan Belanda, dan memang setting dari cerita
ini adalah sekitar tahun 1930 atau 1940-an di mana penjajahan Belanda masih atau bahkan
sudah hampir berakhir karena pelayan tua pembantu Gadis Pantai, di dalam cerita sering
menceritakan mengenai bagaimana ia dan suaminya serta kakeknya berjuang melawan

13
penjajahan Belanda dan berulang kali mencoba untuk kabur dari Kerja Rodi Belanda yang
sangat menyiksa rakyat Indonesia pada saat itu.
Sehingga, bahasa yang digunakan pun masih bahasa kental pada saat itu dengan
sedikit perubahan dari pihak penerbit, kami rasa. Di sisi lain, pada awal cerita, jujur kami
merasa bosan membacanya karena sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan jaman pada
saat ini, walaupun kami juga mengerti bahwa justru novel-novel seperti ini yang banyak
dicari dan digemari oleh para sastrawan di Indonesia, lagipula novel ini juga telah
diterjemahkan ke 42 bahasa, serta mendapatkan berbagai macam penghargaan dari
berbagai pihak baik dari dalam maupun di luar negeri. Tapi, kami akan bahas ini menurut
sudut pandang orang-orang biasa seperti kita.

7. Amanat
Adapun amanat atau pesan yang dapat kita ambil dari roman ‘Gadis Pantai’ ini
adalah:
a. Tidak penting apakah kita ini termasuk orang rendahan ataupun seorang
bangsawan, kita tetap sama di mata Allah.
b. Jangan memperlakukan seseorang semena-mena sekalipun ia seorang budak.
c. Memisahkan seorang anak dengan ibunya merupakan hal yang keji.
d. Wanita bukanlah sebuah ‘percobaan’ maupun seorang ‘pemuas nafsu seks laki-laki.
e. Kejujuran itu mahal, maka dari itu tetaplah berbuat jujur sekalipun nantinya dapat
mencelakakan kita sendiri.
f. Mengabdi itu yang utama adalah kepada Allah bukan kepada manusia yang
dijunjung seakan ialah penguasa dunia.
g. Hargailah siapa saja orang yang berada di sekelilingmu.
h. Kekuasaan bukanlah suatu ‘ladang’ kesombongan, berbuat adillah ketika kekuasaan
berada di tanganmu.

Dalam roman ini secara eksplisit pengarang memberikan sebuah pesan mengenai
kebudayaan Jawa hasil dari peninggalan jajahan Belanda yang telah menyengsarakan rakyat
pribumi dan mereka membodohinya.
‘oh, oh, dewa sejagat kalah bengisnya
matilah dia berani tolak perintahnya
bupati mantra semua Priyayi apalagi
orang kecil yang ditakdirkan jadi kuli

14
dia sandang pedang tipis di pinggang kiri
tapi titahnya wah-wah lebih dahsyat lagi
laksana geledek sambar perahu dan tali-temali
sehela nafas sedepa jalan harus jadi
menggigil semua dengar namanya guntur
semua pada takluk gunung kali dan rawa
pantai dan jalan berjajar panjang membujur
kepala kawula jadi titian orang yang kuasa
[….]
waktu jalan panjang sempurna jadi
kereta-kereta indah jalan tiap hari
bawa tuan-tuan nyonya-nyonya dan putra-putri
tuan besar gubernur jenderal dan para abdi (170-171).
Selain itu juga bila melihat dari deskripsi puisi yang dilantunkan tokoh si Dul,
menandakan ketidakberdayaan rakyat, yang badan dan jiwanya telah dikuasai oleh elit
kekotaan Jawa wakil setempat raja-raja tradisional di Jawa Tengah, serta orang Belanda yaitu
Gubernur Jenderal Daendels.

Pada awal cerita, novel ini langsung memasuki puncak konflik yaitu dengan
diceritakannya Gadis Pantai yang tahu-tahu sudah dinikahi oleh seorang Bendoro di kota
menggunakan (atau mungkin diwakilkan) sebuah keris. Kehidupan yang baru pun mulai
dijalaninya, bagaimana ia mulai belajar bersikap, belajar menjahit, dan sebagainya. Dari sini,
cerita berjalan dengan datar-datar saja sampai hampir berakhir, dimana Gadis Pantai
mendapatkan haid pertamanya, rasa cemburu pada Bendoro yang sering meninggalkannya
untuk bekerja, kerinduannya pada Bendoro dan seorang laki-laki tamu Bendoro yang
kemudian mulai membuatnya jatuh cinta. Namun, setelah itu laki-laki itu tak pernah
diceritakan lagi oleh Pramoedya. Perjalanan cerita dari roman ini memang penuh dengan
konflik, baik itu konflik batin maupun konflik keluarga, namun hanya itu yang diceritakan,
dan pada akhirnya Pramoedya benar-benar ‘menombakkan’ kritikannya terhadap sistem
Feodalisme Jawa yang tak berperikemanusiaan pada saat itu dengan menceritakan bahwa
dengan kejinya, Bendoro mengusir Gadis Pantai dari pendopo dan merampas anak Gadis
Pantai darinya.
Novel ini tidak membawakan sesuatu yang baru kepada para pembaca, hanya sebuah
kekejaman Feodalisme Jawa dan praktiknya di masa lalu dan memang itu tujuan Pramoedya
menulis novel ini. Kami tidak menangkap makna lainnya selain hanya melihat bahwa praktik
Feodalisme memang merupakan praktik yang kejam. Tapi, kami juga tahu bahwa saat ini

15
sudah banyak film-film yang juga menceritakan hal serupa walaupun tidak sama persis
mengenai perbuatan semacam ini ataupun bahkan lebih kejam dari ini. Namun, mungkin
karena waktu itu beliau tinggal di jaman yang berbeda dengan kita, perbuatan semacam ini
masih belum terlalu umum ada di Indonesia dan mungkin biasanya hanya terjadi pada
kalangan atas dan kalangan bawah dalam sistem Feodalisme Jawa, sedangkan saat ini
walaupun kita sudah tidak menyebutnya dengan ‘Sistem Feodalisme Jawa’ lagi, hal-hal
seperti ini sudah bukanlah sesuatu yang tabu, bahkan telah umum dan banyak kita temui
dalam kehidupan masyarakat di sekitar kita
Ya, kami juga tahu bahwa jaman dahulu, Gadis Pantai masih sangatlah polos karena
berasal dari keluarga miskin di sebuah kampung nelayan. Ia memang memprihatinkan karena
ia tak lagi memiliki anak yang telah dilahirkannya, kehilangan kedua orang tua dan
suaminya, serta pergi dari kampung yang selama 14 tahun telah melihatnya tumbuh menjadi
seorang gadis yang cantik dengan segala kepolosan dan keluguannya. Namun, masih banyak
juga di jaman sekarang ini, orang-orang yang bernasib jauh lebih buruk dari Gadis Pantai.
Hanya saja, sayangnya di masa itu, hukum dikuasai oleh Belanda, jadi tidak ada hukuman
yang menjerat Bendoro yang telah mencampakkan dan membuat hidupnya terasa sangat
menderita itu, berbeda dengan sekarang yang telah dibentengi oleh hukum yang melindungi
hak-hak kaum perempuan terutama HAM bagi masing-masing warrga negara walaupun
hukum di negeri ini juga belum sebaik yang diharapkan. Masih kecolongan disana-sini serta
bolongnya keamanan negeri terhadap siapa-siapa yang dilanggar HAM-nya, namun tidak
mengadukannya pada aparat negara.

16
BAB IV
PENUTUP

Simpulan
Penjajahan belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang menjalar ke darah
daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang
mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak adanya pemerataan
ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas
tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga
perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.
Gadis Pantai, dalam usia yang masih begitu belia telah kehilangan segalanya. Karena
begitu malu kembali ke kampungnya, Gadis Pantai dengan perasaan remuk memilih berputar
arah ke Selatan, ke Blora. Kisah sekuel Gadis Pantai terhenti di sini. Lewat sekuel pertama
ini, Pram meunjukkan kontradiksi negatif praktik feodalisme di tanah Jawa yang tak memiliki
adab dan jiwa kemanusiaan. Betapa seorang manusia tak dihargai dari hatinya, namun dari
pangkat dan golongan mana dia berasal. Layak dijadikan perenungan.

17
Buku ini juga tidak negatif, sebab langkah pertama ke arah pembebasan dari
penindasan dan penghinaan telah diambil dari Gadis Pantai: ia mulai sadar tentang kenyataan
sosial di tempat hidupnya. Ia tidak dapat kembali ke masa lampau, ia harus maju: ”Tanpa
menengok ke belakang lagi, Gadis Pantai memusatkan matanya ke depan, demikian
dikatakan pada halaman penghabisan.
Pram melalui Roman ‘Gadis Pantai’ berhasil menguak kebengisan sistem feodalisme
Jawa. Dengan teknik kepengaranganya Roman ini berhasil menjadi Roman sosio-kritis. Yang
memperjuangkan rakyat kecil dan terutama wanita-wanita Jawa yang dijadikan selir para
Priyayi. Dengan adanya roman ini kita berharap di masa sekarang tidak ada lagi praktik-
praktik Feodalisme.

18
Daftar Pustaka

Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.


DEPDIKNAS. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.

Daulay, M. Anggie. 2016. Kritik Sastra. Medan: Menara Padang Bulan.

Eseren, Ali. Potret Wanita Pesisir dalam Roman Gadis Pantai. Dalam:
http://imtcpt.wordpress.com/2009/01/21/potret-wanita-pesisir-dalam-roman-gadis-
pantai/ (diakses tgl 09 Maret 2016).

Jurual Studi Agama dan Masyarakat. Novel “Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer:
Analisis Struktural Levi-Strauss”, Volume 5, Nomor I Juni 2008.

Raven. GADIS PANTAI Gadis yang Merangkak di antara Feodalisme Jawa. Dalam:
http://myraven.blogspot.com/2008/03/membaca-kembali-gadis-pantai.html (diakses
tgl 09 Maret 2016).

Shaidra, Aisha. Analisis Keberpihakan Pramoedya Terhadap Tokoh Perempuan dalam Tiga
Karyanya: Suatu Pendekatan Sosiologis. Dalam:
http://ashaid.wordpress.com/2009/04/29/analisis-keberpihakan-pramoedya-terhadap-
tokoh-perempuan-dalam-tiga-karyanya-suatu-pendekatan-sosiologis/ (diakses tgl 10
Maret 2016).

Teeuw, A. 1996. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.
Jakarta: Pustaka Jaya.

19

Anda mungkin juga menyukai