Anda di halaman 1dari 20

PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: TINJAUAN

SEJARAH PEMIKIRAN

Ahmad Alfan Rizka Alhamami


E-mail: ahmadalfan007@gmail.com

Abstrak

Erotisme merupakan topik yang selalu menarik untuk dibicarakan


dalam karya sastra, tidak terkecuali pada perkembangan karya sastra
Jawa. Penelitian ini menitikberatkan perjalanan karya-karya sastra Jawa
bernuansa erotisme dengan menggunakan teori sejarah pemikiran.
Para pengarang sastra Jawa sudah mulai mengarang dengan unsur-
unsur erotis dan seksualitas sejak zaman sastra Jawa kuno, klasik,
hingga modern. Tahun 1814 muncul karya Serat Centhini. Karya
tersebut berbentuk tembang atau puisi berisi tentang ajaran-ajaran
kamasutra dengan nuansa erotis yang begitu kental. Perkembangan
sastra Jawa modern pada 1950–1970 ditandai dengan munculnya
karya-karya bertema percintaaan dengan unsur erotisme secara
vulgar yang dikenal sebagai Roman Panglipur Wuyung. Any Asmara
adalah pengarang yang paling terkenal pada masa itu. Perkembangan
erotisme masa kini dapat dilihat dari karya-karya Cerita Sambung,
Komik, Cerkak, dan Jagad Alaming Lelembut di majalah Panjebar
Semangat periode 2000–2018. Penelitian ini menekankan ciri khas
unsur erotisme karya sastra dari masing-masing zaman.

Kata kunci: Erotisme; Sastra Jawa; Sejarah Pemikiran

1. Pendahuluan
Erotisme adalah ungkapan-ungkapan yang berhubungan
dengan perilaku seksual. Pada umumnya, erotisme juga
dipandang sebagai pornografi, cabul, dan dianggap tabu. Jika

21
22 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

ditinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 236), kata


erotisme mempunyai arti: (1) keadaan bangkitnya nafsu berahi;
(2) keinginan akan nafsu seks secara terus-menerus. Sedangkan
pornografi berarti (1) penggambaran tingkah laku secara erotis
dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi;
(2) bacaan-bacaan yang sengaja dan semata-mata dirancang untuk
membangkitkan nafsu berahi dalam teks (KBBI, 1993: 142).
Hoed (1994: 2) menegaskan erotisme memang dilandasi oleh
nafsu berahi tetapi hanya sebatas naluri saja, dan tidak sengaja
diciptakan untuk membangkitkannya. Pornografi menurut Hoed
(1994: 3) memiliki makna yang lebih cabul, keji, melanggar
norma kesusilaan, dan sudah ke ranah aksi. Dari berbagai
ungkapan tersebut, maka perlu dibedakan istilah antara erotisme
dan pornografi.
Erotisme dan pornografi masing-masing merujuk ke arah
konten, tulisan, lukisan, bahkan media digital. Rochkayatmo
(1994: 75) mengatakan erotisme diwujudkan dalam berbagai
macam karya seni, seperti seni tari, seni rupa, seni drama, atau seni
teater. Dalam KBBI (1993: 142) dibedakan antara konten erotisme
dan pornografi, erotika adalah karya sastra yang tema atau sifatnya
berkenaan dengan nafsu kelamin atau keberahian, berbeda dengan
karya pornografi. Karya sastra adalah wujud dari sebuah interaksi
sosial suatu masyarakat. Karya sastra bisa menggambarkan nilai
dan norma yang dipakai suatu masyarakat (Swingewood dalam
Darni, 2012: 3). Maka, erotisme adalah salah satu wujud interaksi
sosial yang tergambarkan dalam karya sastra.
Erotisme dalam penelitian ini menyoroti perkembangan karya
sastra Jawa dari masa ke masa. Tema ini selalu menarik untuk
dibahas, karena erotisme selalu mengeksplor penuh makna dari
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 23
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

tubuh manusia. Ras (1985) membagi sastra Jawa menjadi tiga


zaman, yaitu zaman kuno, zaman pertengahan, zaman baru,
dan zaman modern. Masing-masing zaman mempunyai karya
yang berbeda dari segi puitika. Sastra Jawa kuno ditandai dengan
karya kakawin. Sastra Jawa pertengahan ditandai dengan karya
kidung. Sastra Jawa baru ditandai dengan karya babad, suluk, serat.
Sastra Jawa baru ditandai dengan karya cerkak, roman, dan novel.
Pembagian zaman yang dilakukan Ras (1994) juga melekat dengan
tema erotisme pada masing-masing zamannya.
Erotisme dalam karya masa lampau masyarakat Jawa sebenarnya
bisa dilihat lewat relief-relief candi. Candi Borobudur (800 M) dan
Prambanan (856 M) menggambarkan sosok wanita tanpa menutup
payudara. Hal yang sama juga tergambar dalam arca Dewi Durga
di Museum Radyapustaka, Surakarta. Lebih jelas lagi pada Candi
Sukuh (1437 M) dan Ceto (1475 M) di Karanganyar. Eksplorasi
alat kelamin secara terang-terangan tanpa unsur simbolik. Suhardi
dalam Sastra Kita, Seks, dan Lokalitas (2011) menyebut Candi
Sukuh sebagai wujud penggambaran alat kelamin secara nyata dan
wajar, sebagai sarana pemujaan.
Kakawin Arjunawiwaha (1042 M) yang dikarang oleh Mpu
Kanwa adalah karya sastra berbentuk metrum (puisi) yang
menceritakan perjalanan Arjuna meraih keutamaan dan menikah
dengan Dewi Supraba. Kakawin Arjunawiwaha termasuk karya
sastra yang bernapas erotis, lihat kutipan pupuh XV, bait ke-4:

Ambaramarga lalana tuhun hatinira pada kabwatan raras, mogha


mahiryan-hiryan anahang rumuhuna sakareng pareng mulat,
sang nrpaputra mojar ibu toh rumuhuna juga haywa takemul,
ndak pahawas laris ni panepintan rinacana ri pinggir ing tapih.
24 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

Terjemahannya:
Berjalan di angkasa, lincah ceria, namun hati mereka sama-sama
terbeban asmara. Tiba-tiba saling mencurigai, menerka-nerka
siapa yang akan berjalan dahulu, serentak bertemu pandang.
Sang Rajaputra berkata, “Nini engkau saja berjalan dahulu,
jangan berselimut. Akan kuamati kerampingan pinggangmu,
yang diperindah oleh tapih kain.” (Wiryamartana, 1990: 93).

Dari cuplikan tersebut kita bisa lihat pada kalimat “Akan


kuamati kerampingan pinggangmu” ini merujuk kepada unsur
erotisme, walaupun tidak vulgar. Pengarang mencoba mengeksplor
keindahan pinggang wanita yang diungkapkan secara simbolik
melalui tokoh Arjuna.
Sastra Jawa baru atau bisa disebut zaman klasik tidak bisa
dilepaskan dengan ikon Serat Centhini. Karya tersebut muncul
pada abad ke-19, tepatnya pada 1814 Masehi, dengan judul asli
Serat Tembanglaras. Karya tersebut sebagai mega karya yang secara
terang-terangan membahas erotisme masyarakat Jawa. Iniadak
dalam pidatonya di Teater Salihara (2012) mengatakan Serat
Centhini sangat vulgar apabila diterjemahkan langsung dengan
melepaskan unsur simbolik yang membungkusnya. Erotisme
dalam Serat Centhini tersembunyi dalam lantunan tembang-
tembang Jawa dan bersifat ajaran. Lihat pupuh Asmarandana bait
ke-24:

Lan kaping pindhone maning, kalamun jroning cumbana, aja


sinambi calathon, guguyon kang prayoga, tan becik lamun dadya,
larene juweh puniku, wartane wong tuwatuwa.
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 25
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

Terjemahannya:
Dan yang kedua, saat bercinta jangan sambil bercanda, kelak
bila jadi anak, akan bersifat juweh (tidak serius) kata orang-
orang tua.

Kutipan tersebut belum terlalu vulgar, masih banyak yang lebih


vulgar sampai posisi bercinta juga dibahas. Serat Centhini bertema
erotisme yang merujuk kepada ilmu tasawuf Islam, sehingga
Iniadak (2005) menyebutnya sebagai Kamasutra dan erotisme
yang menyatu dengan mistik.
Ditinjau dari katalog Florida yang berjudul Javanese Literature
in Surakarta Manuscript (2000), masih banyak lagi karya klasik
abad 18–20-an seperti Serat Asmarasupi, Jayengtilem, Babad Tanah
Jawi, Serat Imam Sapingi, Serat Katunranggan, Serat Kawruh
Kamanungsan yang membahas erotisme secara gamblang dan
bertujuan edukasi. Karya-karya tersebut berbicara tentang ilmu
katuranggan atau tentang tubuh manusia baik perempuan dan
laki-laki.
Zaman sastra Jawa modern juga tak lepas dengan tema
erotisme. Genre Romantisme yang merebak pada 1950-an juga
berdampak pada perkembangan sastra Jawa. Karya dengan jenis
roman diproduksi besar-besaran dan memiliki animo tinggi dalam
masyarakat. Roman Panglipur Wuyung sebagai ikon dan nama Any
Asmara sebagai pengarang garda terdepan yang paling terkenal
pada zaman tersebut. Karya-karya sastra Jawa pascakemerdekaan
didominasi dengan tema percintaan dengan ilustrasi dan gambar
yang vulgar (Utomo 2002: 35).
Hingga saat ini, tepatnya tahun 2000-an, unsur erotisme masih
melekat dalam perkembangan sastra Jawa. Majalah Panjebar
Semangat adalah majalah yang masih memproduksi karya-karya
26 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

sastra Jawa meliputi cerkak, cerita sambung, geguritan, dan


komik. Erotisme juga masih menjadi tema yang menarik untuk
dibahas seperti dalam karya Alaming Lelembut. Alaming Lelembut
membahas cerita-cerita alam gaib, juga masih bersinggungan
dengan unsur erotisme. Hantu-hantu seperti gendruwo, Nyi
Blorong, peri sangat lekat dengan hubungan badan. Cerita sambung
yang bertema prostitusi juga sangat vulgar membahas seksualitas.
Jadi, unsur erotisme masih berkembang sampai sekarang. Untuk
itu, akan dibuat sebuah periodisasi tentang perjalanan erotisme
dalam perkembangan karya sastra Jawa.
Penelitian ini tidak akan melakukan analisis terhadap teks,
tetapi lebih kepada menelusuri perjalanan unsur erotisme karya
sastra Jawa dari zaman ke zaman. Penelitian ini menggunakan
teori sejarah pemikiran atau ide-ide, tidak merujuk kepada sebuah
benang merah, tetapi merujuk kepada sebuah karakteristik atau
ciri khas dari suatu masa ke masa. Sejarah pemikiran adalah suatu
tinjauan tentang transformasi perubahan gagasan, kepercayaan,
dan pemikiran oleh kelas intelektual dari masa lampau sampai
masa sekarang (Barnes, 1963: 295). Collini (1985) mengatakan
data dari sejarah pemikiran adalah eskpresi yang tertulis dalam
buku, esai, maupun pamflet. Foucault dalam The Archeology
of Knowledge (1976) mengatakan sejarah tidak hanya mencari
sebuah totalitas yang saling berhubungan, melainkan menemukan
patahan-patahan yang menjadi ciri khas sebuah masa atau zaman.

2. Pembahasan
2.1 Erotisme Klasik (1000–1900-an)
Erotisme klasik adalah periode sastra Jawa jenis kakawin,
kidung, babad, suluk, dan serat tahun 1000–1900an. Dalam
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 27
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

periode ini hanya akan diambil dua contoh karya, yaitu Kakawin
Baratayuddha dan Serat Centhini.
Kakawin Baratayuddha adalah kakawin yang dibuat tahun 1157
Masehi, ditulis dengan aksara Jawa kuna. Kakawin Barayuddha
merupakan gubahan dari kitab Mahabarata yang digubah oleh
Empu Sedah. Kakawin Baratayuddha menceritakan perang saudara
bangsa kuru yang memperebutkan takhta Kerajaan Hastinapura.
Kakawin Baratayuddha berbeda dengan kitab Mahabarata yang
ada di India, walau garis besar ceritanya sama. Wirjasuprapta
(1968) mengatakan gubahan Kakawin Baratayuddha memiliki
interpretasi pengarangnya sehingga teks sastra yang ada di dalam
kakawin tersebut berbeda dengan kitab Mahabarata India.
Erotisme dalam Kakawin Baratayuddha disimbolkan lewat
metrum-metrumnya, sehingga harus diterjemahkan untuk
menemukan unsur erotisme dalam naskah tersebut. Kakawin
Baratayuddha menggambarkan perang ibarat hubungan seksual
yang suci. Citra wanita juga selalu tampak untuk menggambarkan
suasana, latar, dan keadaan alamnya. Pertempuran kerap kali
dilukiskan dengan gambaran dari alam atau percintaan, serta
wanita yang sangat cantik dikatakan kecantikannya melebihi
keindahan alam (Wirjusuprapto, 1968: 88). Berikut terjemahan
Kakawin Baratayuddha yang diterjemahkan oleh Wirjosuprapto
(1968) pupuh XIII, bait 28–29:

28
Ngkara krodha sakolawalana manah panahira lawan aswa
sarathi, tan waktan tang awak tangan suku gigir dada wadana
linaksa kinrepan, mangkin partha-sutojwala murek anakra
makapalaga punggel ing laras, dhiramuk mangusir yasang getem
aten pejaha makiwuleng Suyodhana.
28 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

29
Angganyan racane pemuknira hatur taruna sedeng amurwa
kanyaka, tan pendah ri kedalning astra malungid sinamanira
halis rinengwaken, byakta strinaka panghidepenira dumeh brana
ni jajanira n keneng panah, mangka panghriki, sabdaning gaja
ratha swa walingira rangihning adyahi.

Terjemahannya:
28
Pada saat itulah seluruh Kurawa marah, mereka terus-menerus
memanahkan anak panahnya pada kuda dan saisnya. Tidak
diceritakan tubuh, tangan, kaki, punggung, dada, dan wajah
diserbu dan dihujani panah. Abhimanyu semakin menyala
hatinya. Ia menyerang dengan melepaskan cakra dan sebagai
senjatanya adalah panah yang telah patah. Dengan berani dan
hebat, Abhimanyu menyerang. Ia mencoba untuk mencapai
kehormatan untuk dibawa dalam kematiannya melawan
Suyodhana.
29
Keadaan gambaran serangan diibaratkan dengan seorang
pemuda yang sedang merenggut kegadisan seorang perawan.
Sentakan senjata yang tajam diibaratkannya alis mata yang
dikerutkan. “Jelas kuku wanita,” pendapatnya, ketika dadanya
terluka terkena panah. Demikian pula bunyi suara gajah, kereta,
dan kuda, dianggapnya sebagai ringkihan seorang wanita.

Bait 28–29 menggambarkan lukisan pertempuran Abhimanyu


dengan Suyodhana. Bait ke-28 menggambarkan perjuangan
Abhimanyu melawan Kurawa tanpa bala bantuan. Bait ke-29
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 29
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

merupakan penggambaran kematian Abhimanyu yang dihujam


senjata oleh para Kurawa. Unsur erotisme terletak pada bait ke-
29, yang menyimbolkan pertempuran Abhimanyu dengan seorang
pemuda (Taruna, KBY. XIII. 29a) menyetubuhi seorang gadis
(Kanyaka, KBY. XIII. 29a). Persetubuhan itu ditunjukkan pada
kalimat, “Seorang gadis mencengkeram sang pemuda dengan
kuku-kukunya, ketika melakukan persetubuhan” (Strinaka, KBY.
XIII. 29a). Cengkeraman kuku-kuku seorang gadis sebagai simbol
penggambaran senjata yang menusuk Abhimanyu. Teriakan para
binatang seperti gajah, kereta, dan kuda ibarat ringkihan seorang
wanita yang hanyut dalam persetubuhan (mangka panghriki,
sabdaning gaja ratha swa walingira rangihning adyahi, KBY. XIII.
29a).
Serat Centhini atau Serat Tembanglaras dibuat pada 1814 Masehi.
Serat Centhini dikarang oleh tiga pujangga Kraton Surakarta, yaitu
Raden Ngabehi Yasadipura II, Ki Ngabehi Ranggasusastra, dan
Raden Ngabehi Sastradipura atas perintah Pakubuwana V. Serat
Centhini berbentuk tembang (puisi) dengan jumlah 722, terbagi
menjadi tiga belas tembang. Serat Centhini merupakan karya
dengan nuansa erotisme paling kuat karena eksplorasi tubuh, alat
kelamin, cara bercinta menjadi bahasan utama pada setiap bab.
Berikut adalah cuplikan Serat Cemthini pupuh Sinom bait 35–36
yang diterjemahkan oleh Mahendra (2013: 43):
35
Lan malih aja asanggama, sambi ngadeg datan becik, mangka
lamun dadi anak, duwe lara beser benjing, lan aja karon resmi,
nalikane dina Saptu, miwah ing wenginira, iku lamun dadi bayi,
bilaine adate kalebeng toya.
30 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

36
Lan aja asanggama sira, sambi ngusapi pareji, miwah dakar
iku aja, ngusapan lawan jejarik, mangka kalamun dadi, bocah
kurang budinipun, lan aja asanggama, sambi rarasan tan becik,
mapan bisa adate yen dadi bocah.

Terjemahannya:
35
Jangan bercinta dengan terkena sinar matahari sebab anaknya
akan dijauhi rezeki. Juga jangan bercinta berdiri, karena anaknya
jadi kebelet buang air, jangan bercinta pada hari Sabtu, anaknya
terjerumus air.
36
Jangan bercinta dengan mengusap vagina dan penis dengan
kain sebab anaknya akan kurang berbudi. Juga jangan bercinta
sambil menggunjing orang, anaknya akan suka mencela.

Pupuh Sinom bait ke-35 berisi tentang nasihat posisi bercinta


(lan malih aja asanggama, sambi ngadeg, SC. Sinom. 35a). Ada
posisi bercinta dengan berdiri yang tidak diperbolehkan, karena
anak jadi sering kebelet buang air (dadi anak, duwe lara beser
benjing, SC. Sinom. 35a). Nasihat tidak boleh bercinta di hari
Sabtu (lan aja karon resmi, nalikane dina Saptu, SC. Sinom. 35a),
berakibat pada anaknya akan tidak bisa berenang (iku lamun dadi
bayi, bilaine adate kalebeng toya, SC. Sinom. 35a). Pada pupuh
Sinom kata “bercinta” diistilahkan dalam tingkatan bahasa Jawa
halus atau karma inggil, yaitu saresmi dan sanggama.
Pupuh Sinom bait ke-36 masih berisi nasihat saat bercinta. Pada
pupuh ini ada istilah “penis” dan “vagina” yang diistilahkan dakar
dan pareji. Istilah tersebut merupakan istilah bahasa Jawa tingkat
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 31
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

halus atau krama. Nasihat dari pupuh tersebut tentang kebersihan,


yaitu mengusap alat kelamin dengan selendang (ngusapan lawan
jejarik, SC. Sinom. 36a). Bercinta yang digambarkan pupuh ini
adalah bercinta yang harus saling menikmati dan jauh dari pikiran
yang lain (aja asanggama, sambi rarasan tan becik, SC. Sinom. 36a)
karena akan berakibat anaknya suka mencela.
Perbedaan erotisme pada Kakawin Baratayuddha dan Serat
Centhini adalah pemaknaannya. Simbol yang dipakai dalam
kakawin lebih rumit dan harus melewati interpretasi pemaknaan
kedua. Sedangkan pada Serat Centhini langsung gamblang dibahas
apabila teksnya diterjemahkan. Erotisme pada Serat Centhini masih
terbilang simbolik karena menggunakan istilah-istilah arkais dalam
bahasa Jawa (sanggama, saresmi, dakar), sehingga pemaknaan erotis
tidak langsung sampai kepada pembaca.

2.2 Erotisme Pascakemerdekaan (1960–1970-an)


Tahun 1960-an adalah masa sastra Jawa secara besar-besaran
beralih dari sastra piwulang ke sastra hiburan. Pada 1960 muncul
karya bernama Roman Panglipur Wuyung dengan tema latar
percintaan. Disebut Roman Panglipur Wuyung karena menghibur
dan umumnya menceritakan percintaan para remaja (Utomo,
1975: 70). Utomo (1975) juga mengatakan bahwa periode 1960-
an adalah periode sastra Jawa modern dengan unsur eskapisme.
Eskapisme merupakan sebuah keadaan atau sikap memasuki
alam khayal atau hiburan untuk melupakan atau menghindari
kenyataan-kenyataan atau masalah yang tidak menggembirakan
(Utomo, 2002). Faktor utama beralihnya sastra piwulang kraton
ke sastra hiburan adalah adanya keinginan melepaskan belenggu
feodalistik yang mengikat dengan berbagai kaidah-kaidahnya.
Damono (2002) mengatakan bahwa roman adalah sastra tandingan
32 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

bagi sastra-sastra kraton yang dianggap mapan, berkaidah, dan


memiliki estetika tinggi. Munculnya berbagai majalah berbahasa
Jawa membuat Roman Panglipur Wuyung semakin berkembang.
Majalah yang terbit adalah Panjebar Semangat (Surabaya, 1933),
Djaka Lodhang (Yogyakarta, 1967), Jaya Baya (Kediri, 1945), dan
Gumregah (Surakarta, 1967).
Roman Panglipur Wuyung yang menjadi sastra hiburan dengan
tema percintaan, dalam perkembangannya mulai memasukkan
unsur erotis. Cerita di dalam Roman Panglipur Wuyung biasanya
mengisahkan dua muda-mudi yang menjalin hubungan asmara
kemudian melakukan hubungan seksual. Penggambaran hubungan
seksual para tokoh Roman Panglipur Wuyung dideskripskan sangat
detail, natural, dan mengalir. Sehingga membuat para pembaca
berimajinasi tinggi. Utomo (2002) mengatakan bahwa Roman
Panglipur Wuyung umumnya dicetak tipis sebanyak empat puluh
halaman dan berkualitas rendah, kemudian berkembang menjadi
sastra yang bertema erotis dengan didukung ilustrasi yang vulgar.
Lihat gambar berikut:

Gambar 1. Cover novelet Neng Ati karya Any Asmara


Foto: buku Eskapisme Sastra Jawa (Utomo, 2002)
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 33
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

Quinn (1995) juga sependapat, dia mengatakan bahwa


Roman Panglipur Wuyung mengandung unsur moralistik yang
dibumbui dengan peristiwa sensasional atau sadistis dan diwarnai
dengan gelitikan erotis dan adikodrati. Kandungan unsur
erotisme yang terlalu vulgar dalam roman tersebut berakibat
pada pelarangan penerbitannya sekitar tahun 1967 di Surakarta.
Opterma atau Operasi Tertib Remaja adalah cara pemerintah
Orde Baru memberantas Roman Panglipur Wuyung, sehingga para
pengarangnya memakai nama samaran. Beberapa roman seperti
Asmara Tanpa Weweka, Cahyaning Asmara, dan Godhane Perawan
Indo dianggap merusak moral (Widati, et al., 2001: 123).

2.3 Erotisme Masa Kini (2000–sekarang)


Erotisme pada masa pascakemerdekaan yang secara signifikan
memutus benang merah dengan sastra klasik, sangat berdampak
pada perkembangan sastra Jawa 2000-an. Sebagian besar
perkembangan sastra Jawa 2000-an cenderung mengikuti masa
pascakemerdekaan. Pada masa ini akan diambil contoh karya dari
majalah Panjebar Semangat yang menjadi salah satu ruang bagi
sastra Jawa yang masih ada hingga saat ini. Dari majalah Panjebar
Semangat akan ditinjau model erotisme yang muncul dalam sarana
ruang publik yang cukup luas, karena majalah bisa diakses siapa
saja.
Wujud erotisme dalam cerita pendek (cerkak) berbahasa Jawa
tahun 2012 ada empat, yaitu 1) gambaran wanita, 2) gambaran
pria, 3) konsep nyaman dan dekat, 4) gambaran memadu asmara
(Sari, 2012 : 4). Gambaran wanita bisa dilihat dalam Cerkak Tante
Rosa (2012). Lihat kutipan sebagai berikut:
34 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

Wiwitane aku pakewuh gandhengan karo Tante Rosa. Nanging


bareng dalane saya suwe saya munggah, rasa ewuhku dakkipatake.
Karo mlaku aku nyolong nglirik bosku. Isih ayu. Kaca mripat sing
ngrenggani netrane muwuhi ayuning rupa najan umur-umurane
mbok menawa wis ngancik seket taun. Clanane model pensil, kaose
ketat. Dhadhane ora patiya gedhe nanging weweg. Ati lanangku
gumronjal, tangane Tante Rosa dakgegem kenceng. Dheweke ora
suwala najan ora ana owah-owahan apa-apa ing praupane. (Met,
PS:39.2012:23).

Dari kutipan tersebut, bisa dilihat pengarang yang


menggambarkan tokoh Tante Rosa yang seksi dengan kaos ketat
dan celana pensilnya (clanane model pensil, kaose ketat, CT Ros. PS:
39). Penggambaran payudara Tante Rosa yang tidak terlalu besar
namun berisi (dhadhane ora patiya gedhe nanging weweg, CT Ros.
PS: 39). Dan reaksi tokoh pria yang naik libidonya saat melihat
Tante Rosa (ati lanangku gumronjal, CT Ros. PS: 39).
Gambaran pria bisa dilihat pada cerita Mbah Miya Kaningaya.
Seorang kakek bernama Mbah Miya yang ingin menikahi janda
bernama Srinthil. Mbah Miya selalu mengumbar kekuatannya
dalam berhubungan seksual. Lihat kutipan berikut:

“Njenengan kok ngebet ta Mbah, napa taksih greng?” Rumangsa


ditantang. Mbah Miya pamer dhirine, wangsulane ladak: “Thil,
wong ayu, aja ndeleng tuweke ndhuk. Gaplek-gaplek tela Thil,
gathote ireng… tuwek-tuwek Mbah Miya, njot-njotane jik
kenceng.” (Brintik, PS:49.2012:23).

Ungkapan Srinthil (napa taksih greng? C Mb M. PS: 49) vulgar


dan sangat menantang Mbah Miya untuk unjuk kekuatan seksnya.
Mbah Miya menjawab dengan lantang untuk meladeni Srinthil
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 35
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

(gaplek-gaplek tela Thil, gathote ireng, C Mb M. PS: 49). Mbah


Miya juga menegaskan bahwa dia kuat untuk melayani Srinthil di
ranjang (tuwek-tuwek Mbah Miya, njot-njotane jik kenceng, C Mb
M. PS: 49).
Contoh gambaran memadu asmara adalah gambaran
persetubuhan berdasarkan cinta dan kasih (Poerwadarminta, 1996:
38). Gambaran memadu asmara dapat dilihat dari cerita Randha
Teles Kampung Blarak. Lihat kutipan yang menggambarkan tokoh
Janaka dan Dewi sedang memadu kasih:

“Iki mesthi, yen dijak ngomong serius, buntute mesthi ngajak


ngonokan,” ukarane Dewi ditambahi jiwitan cilik ing
bangkekanku. Lampu gage dakpateni. Sabanjure mung keprungu
swaraning napas kang uber-uberan ing samodraning asmara
bebrayan rumah tangga (Broto, JB:17.2012:28).

Ajakan berhubungan seksual diungkapkan oleh Dewi (buntute


mesthi ngajak ngonokan, C RTKB. JB: 17). Ilustrasi hubungan
seksual juga digambarkan pengarang lewat suara napas yang kejar-
kejaran, dan hanyut dalam samudra asmara (lampu gage dakpateni.
Sabanjure mung keprungu swaraning napas kang uber-uberan ing
samodraning asmara, C RTKB. JB: 17).
Konsep erotisme sebagai ritual juga ditemukan dalam cerita
Alaming Lelembut dalam majalah Panjebar Semangat. Cerita dalam
rubrik Alaming Lelembut berkisah tentang cerita-cerita seputar
dunia gaib. Konsep erotisme sebagai ritual ditemukan dalam cerita
Malih Asu (2010) karya Cak Nang. Lihat kutipan berikut:

Astagfirullah…! Aku nyurupi sesawangan kang nggerisi tur ngisin-


isini. Tanggaku lor omah kang jarene ditinggal bojone nyambut
gawe menyang luwar negeri kuwi saiki lagi nglakoni saresmi kaya
36 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

lumrahe bebojowan karo asu sapedhet gedhene. (C MA. PS.30.


2010).

Cukup aneh ketika ada seorang wanita yang berhubungan


seksual (nglakoni saresmi, C MA. PS: 30) dengan seekor anjing
(karo asu, C MA. PS: 30). Dalam alur berikutnya, dijelaskan
kenapa ada seekor anjing melakukan hubungan seksual dengan
seorang wanita. Lihat kutipan berikut:

“Sing dadi asu kuwi ya durjana kang aran cipta mau. Dheweke
duwe ilmu kanuragan supaya ben wayah operasi ora konangan
uwong. Nanging yen pengin saresmi karo sisihane ya kudu wujud
kewan” (C MA. PS.30. 2010).

Anjing yang melakukan hubungan seksual tersebut adalah


jelmaan manusia (asu kuwi ya durjana kang aran cipta, C MA.
PS: 30). Cipta melakukan ritual (dheweke duwe ilmu kanuragan, C
MA. PS: 30) menjadi anjing supaya tidak ketahuan saat melakukan
tindak kejahatan. Cipta juga harus melakukan hubungan seksual
dengan istrinya dalam wujud anjing, supaya menjaga ilmu
kanuragannya (nanging yen pengin saresmi karo sisihane ya kudu
wujud kewan, C MA. PS: 30).

2.4 Tabel pemikiran erotisme Ala Comte


Bagan ala Comte berasal dari pemikiran August Comte (1789–
1853). Comte membagi sejarah tiga tahap evolusi pemikiran,
meliputi zaman kuno, tengah, dan modern dengan model bagan
atau tabel (Zed, 2014: 4). Merujuk pada konsep Comte, pemikiran
erotisme akan dibagi dalam bentuk tabel. Lihat tabel berikut.
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 37
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

NO Tahap Sejarah Jenis Karya Sifat dan


Pemikiran Fungsi

1 Erotisme Klasik Kakawin, Kidung, § Sifat: simbolik


Serat, Babad, § Fungsi: nasihat dan
Suluk perumpamaan

2 Erotisme Pascake- Roman § Sifat: vulgar hampir


merdekaan kepada pornografi
§ Fungsi: hiburan

3 Erotisme Masa Kini Cerkak, Cerita § Sifat: tidak sevulgar Ro-


Alaming Lelembut, man Panglipur Wuyung,
Cerita Sambung karena sensor editor.
(Cerbung) § Fungsi: hiburan,
sebuah bumbu, dan
konsep ritual dalam
dunia gaib.

3. Simpulan
Erotisme pada zaman klasik diwujudkan dalam simbol-simbol
bahasa. Erotisme pada zaman ini cenderung kepada perumpamaan
berbagai kejadian, latar, dan alam. Pada kakawin, misalnya,
perumpamaan kematian Abhimanyu agar tidak terkesan keji.
Pengarang pada zaman klasik memaknai erotisme dan seksualitas
sebagai hal yang suci dan sakral. Serat Centhini menggambarkan
hubungan seksual yang memiliki tatanan. Semua karya klasik
berisi nasihat kehidupan dengan manifestasi unsur erotisme.
Erotisme pada periode 1960–1970-an bisa disebut memutuskan
tali unsur erotisme periode klasik. Erotisme simbolik yang bersifat
nasihat pada masa klasik berubah drastis menjadi erotisme yang
vulgar dan bersifat menghibur. Erotisme pascakemerdekaan
hampir mendekati pornografi, karena didukung dengan ilustrasi
sampul yang sangat seronok. Erotisme pascakemerdekaan muncul
38 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI

karena adanya tema percintaan atau kisah cinta tokoh-tokohnya.


Hubungan seksual pada sastra klasik dimaknai sebagai sarana ibadah
dan penyucian diri, sedangkan pada masa pascakemerdekaan
dimaknai sebagai sarana pemuas hasrat atas dasar cinta.
Erotisme masa kini cenderung lebih kaya dibandingkan zaman-
zaman sebelumnya. Walaupun masih ada benang merah—dari segi
penggambaran—dengan periode pascakemerdekaan. Erotisme
masa kini tidak hanya timbul dari tema percintaan, tetapi juga
muncul dengan unsur jenaka seperti cerita Mbah Miya Kinayangan
(2012). Konsep ritual juga ditemukan dalam cerita dalam rubrik
Alaming Lelembut. Erotisme dalam cerita gaib dimaknai sebagai
ritual atau sebuah pantangan, seperti cerita Malih Asu (2010).

Daftar Referensi
Darin. (2012). Kekerasan terhadap Perempuan Sajrone Fiksi Jawa
Modern. Surabaya: Putra Media Nusantara.
Florida, K Nancy. (2012). Javanese Literature in Surakarta
Manuscript: Manuscript of The Radya Pustaka Museum and
The Hardjonagaran Library. New York: Cornell Univesity.
Foucault, Michele. (2002). The Archeology of Knowledge: Menggugat
Ide-ide (Terjemahan). Yogyakarta Penerbit: IRCiSoD.
Harry E, Barnes. (1973). Anintellectual and Cultural History of the
Western World. New York: Reynald & Hitchock.
Hoed, B. H. (1994). “Erotisme dalam Bahasa: Sebuah Kajian
Linguistik dan Semiotik” dalam Lembaran Sastra (Edisi
Khusus). Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hutomo, S. S. (1975). Telaah kesusastraan Jawa Modern. Jakarta:
Pusat Bahasa.
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 39
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (1996). Jakarta: Balai


Pustaka.
Mahendra, Abrianto Yusuf. (2013). “Mitos Masyarakat Jawa dalam
Hubungan Seksual Menurut Serat Centhini” (Skripsi).
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Quinn, George. (1995). The Novel in Javanese. Leiden: KITLV Press.
Ras, J.J. (1985). Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Grafiti.
Rockhyatmo, Amir. (1994). “Unsur Erotisme dalam Teks Babad”
dalam Lembaran Sastra (Edisi Khusus). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sari I N. (2012). “Erotisme dalam Cerita Cekak Majalah Panyebar
Semangat Tahun 2012” (Skripsi). Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.
Utomo, Imam Budi. (2002). Eskapisme Sastra Jawa. Yogyakarta:
Gama Media.
Wirjosuparto, Sutjipto. (1968). Kakawin Baratayuddha. Jakarta:
Bharata.
Widati, E Al. (2001). Ikhtisari Perkembangan Sastra Jawa Modern
Periode Kemerdekaan. Yogyakarta: Kalika.
Wiryamartana, I Kuntara. (1990). Arjunawiwaha: Transformasi
Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di
Lingkungan Sastra Jawa. Jakarta: Djambatan.
Zed, Mestika. (2014). Modul Sejarah Pemikiran. Universitas Negeri
Padang.

Anda mungkin juga menyukai