SEJARAH PEMIKIRAN
Abstrak
1. Pendahuluan
Erotisme adalah ungkapan-ungkapan yang berhubungan
dengan perilaku seksual. Pada umumnya, erotisme juga
dipandang sebagai pornografi, cabul, dan dianggap tabu. Jika
21
22 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI
Terjemahannya:
Berjalan di angkasa, lincah ceria, namun hati mereka sama-sama
terbeban asmara. Tiba-tiba saling mencurigai, menerka-nerka
siapa yang akan berjalan dahulu, serentak bertemu pandang.
Sang Rajaputra berkata, “Nini engkau saja berjalan dahulu,
jangan berselimut. Akan kuamati kerampingan pinggangmu,
yang diperindah oleh tapih kain.” (Wiryamartana, 1990: 93).
Terjemahannya:
Dan yang kedua, saat bercinta jangan sambil bercanda, kelak
bila jadi anak, akan bersifat juweh (tidak serius) kata orang-
orang tua.
2. Pembahasan
2.1 Erotisme Klasik (1000–1900-an)
Erotisme klasik adalah periode sastra Jawa jenis kakawin,
kidung, babad, suluk, dan serat tahun 1000–1900an. Dalam
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 27
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN
periode ini hanya akan diambil dua contoh karya, yaitu Kakawin
Baratayuddha dan Serat Centhini.
Kakawin Baratayuddha adalah kakawin yang dibuat tahun 1157
Masehi, ditulis dengan aksara Jawa kuna. Kakawin Barayuddha
merupakan gubahan dari kitab Mahabarata yang digubah oleh
Empu Sedah. Kakawin Baratayuddha menceritakan perang saudara
bangsa kuru yang memperebutkan takhta Kerajaan Hastinapura.
Kakawin Baratayuddha berbeda dengan kitab Mahabarata yang
ada di India, walau garis besar ceritanya sama. Wirjasuprapta
(1968) mengatakan gubahan Kakawin Baratayuddha memiliki
interpretasi pengarangnya sehingga teks sastra yang ada di dalam
kakawin tersebut berbeda dengan kitab Mahabarata India.
Erotisme dalam Kakawin Baratayuddha disimbolkan lewat
metrum-metrumnya, sehingga harus diterjemahkan untuk
menemukan unsur erotisme dalam naskah tersebut. Kakawin
Baratayuddha menggambarkan perang ibarat hubungan seksual
yang suci. Citra wanita juga selalu tampak untuk menggambarkan
suasana, latar, dan keadaan alamnya. Pertempuran kerap kali
dilukiskan dengan gambaran dari alam atau percintaan, serta
wanita yang sangat cantik dikatakan kecantikannya melebihi
keindahan alam (Wirjusuprapto, 1968: 88). Berikut terjemahan
Kakawin Baratayuddha yang diterjemahkan oleh Wirjosuprapto
(1968) pupuh XIII, bait 28–29:
28
Ngkara krodha sakolawalana manah panahira lawan aswa
sarathi, tan waktan tang awak tangan suku gigir dada wadana
linaksa kinrepan, mangkin partha-sutojwala murek anakra
makapalaga punggel ing laras, dhiramuk mangusir yasang getem
aten pejaha makiwuleng Suyodhana.
28 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI
29
Angganyan racane pemuknira hatur taruna sedeng amurwa
kanyaka, tan pendah ri kedalning astra malungid sinamanira
halis rinengwaken, byakta strinaka panghidepenira dumeh brana
ni jajanira n keneng panah, mangka panghriki, sabdaning gaja
ratha swa walingira rangihning adyahi.
Terjemahannya:
28
Pada saat itulah seluruh Kurawa marah, mereka terus-menerus
memanahkan anak panahnya pada kuda dan saisnya. Tidak
diceritakan tubuh, tangan, kaki, punggung, dada, dan wajah
diserbu dan dihujani panah. Abhimanyu semakin menyala
hatinya. Ia menyerang dengan melepaskan cakra dan sebagai
senjatanya adalah panah yang telah patah. Dengan berani dan
hebat, Abhimanyu menyerang. Ia mencoba untuk mencapai
kehormatan untuk dibawa dalam kematiannya melawan
Suyodhana.
29
Keadaan gambaran serangan diibaratkan dengan seorang
pemuda yang sedang merenggut kegadisan seorang perawan.
Sentakan senjata yang tajam diibaratkannya alis mata yang
dikerutkan. “Jelas kuku wanita,” pendapatnya, ketika dadanya
terluka terkena panah. Demikian pula bunyi suara gajah, kereta,
dan kuda, dianggapnya sebagai ringkihan seorang wanita.
36
Lan aja asanggama sira, sambi ngusapi pareji, miwah dakar
iku aja, ngusapan lawan jejarik, mangka kalamun dadi, bocah
kurang budinipun, lan aja asanggama, sambi rarasan tan becik,
mapan bisa adate yen dadi bocah.
Terjemahannya:
35
Jangan bercinta dengan terkena sinar matahari sebab anaknya
akan dijauhi rezeki. Juga jangan bercinta berdiri, karena anaknya
jadi kebelet buang air, jangan bercinta pada hari Sabtu, anaknya
terjerumus air.
36
Jangan bercinta dengan mengusap vagina dan penis dengan
kain sebab anaknya akan kurang berbudi. Juga jangan bercinta
sambil menggunjing orang, anaknya akan suka mencela.
“Sing dadi asu kuwi ya durjana kang aran cipta mau. Dheweke
duwe ilmu kanuragan supaya ben wayah operasi ora konangan
uwong. Nanging yen pengin saresmi karo sisihane ya kudu wujud
kewan” (C MA. PS.30. 2010).
3. Simpulan
Erotisme pada zaman klasik diwujudkan dalam simbol-simbol
bahasa. Erotisme pada zaman ini cenderung kepada perumpamaan
berbagai kejadian, latar, dan alam. Pada kakawin, misalnya,
perumpamaan kematian Abhimanyu agar tidak terkesan keji.
Pengarang pada zaman klasik memaknai erotisme dan seksualitas
sebagai hal yang suci dan sakral. Serat Centhini menggambarkan
hubungan seksual yang memiliki tatanan. Semua karya klasik
berisi nasihat kehidupan dengan manifestasi unsur erotisme.
Erotisme pada periode 1960–1970-an bisa disebut memutuskan
tali unsur erotisme periode klasik. Erotisme simbolik yang bersifat
nasihat pada masa klasik berubah drastis menjadi erotisme yang
vulgar dan bersifat menghibur. Erotisme pascakemerdekaan
hampir mendekati pornografi, karena didukung dengan ilustrasi
sampul yang sangat seronok. Erotisme pascakemerdekaan muncul
38 AHMAD ALFAN RIZKA ALHAMAMI
Daftar Referensi
Darin. (2012). Kekerasan terhadap Perempuan Sajrone Fiksi Jawa
Modern. Surabaya: Putra Media Nusantara.
Florida, K Nancy. (2012). Javanese Literature in Surakarta
Manuscript: Manuscript of The Radya Pustaka Museum and
The Hardjonagaran Library. New York: Cornell Univesity.
Foucault, Michele. (2002). The Archeology of Knowledge: Menggugat
Ide-ide (Terjemahan). Yogyakarta Penerbit: IRCiSoD.
Harry E, Barnes. (1973). Anintellectual and Cultural History of the
Western World. New York: Reynald & Hitchock.
Hoed, B. H. (1994). “Erotisme dalam Bahasa: Sebuah Kajian
Linguistik dan Semiotik” dalam Lembaran Sastra (Edisi
Khusus). Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hutomo, S. S. (1975). Telaah kesusastraan Jawa Modern. Jakarta:
Pusat Bahasa.
PERJALANAN EROTISME SASTRA JAWA: 39
TINJAUAN SEJARAH PEMIKIRAN