Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Perkembangan Novel dan Konflik Sosial dalam Novel “Di Kaki Bukit Cibalak”

karya Ahmad Tohari


Oleh Vadila Amelia Putri
2210721012

Novel, sebagai salah satu jenis karya sastra mempunyai popularitas yang luar biasa di
kalangan generasi muda saat ini. Ketertarikan terhadap novel, terutama pada novel populer,
menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun demikian, kita perlu mengakui bahwa ketertarikan
terhadap novel sastra berkurang. Sebagian generasi muda kurangnya minat terhadap novel
sastra karena bahasanya yang sulit dipahami. Namun, di tengah populernya novel, perlu untuk
mengetahui bagaimana novel terlahir di dunia ini. Dengan menyusuri sejarah yang telah
membentuknya, kita dapat menggali bagaimana novel tidak hanya berfungsi sebagai hiburan,
tetapi juga menjadi sarana mendalam untuk menyampaikan gagasan dan menjadikan pelajaran
dalam kehidupan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa sejarah adalah kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Oleh karena itu penyajian sejarah
merupakan upaya menyampaikan apa yang terjadi pada masa lalu. Perubahan yang terus
menerus dari generasi ke generasi membuat penyajian sejarah menjadi suatu kegiatan yang
sangat menarik dan penuh kepentingan (Rosida, Bahtia, 2011 : 6).
Dalam sejarah sastra Indonesia, novel merupakan salah satu genre sastra yang
berkembang sejak lahirnya sastra Indonesia. Dengan mengacu pada pendapat Umar Junus,
novel dibedakan dengan hikayat. Dalam hal ini Junus menyebut novel sebagai karya kelahiran
sastra Indonesia modern, sedangkan hikayat merupakan karya sastra klasik. Terbitnya novel
Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah
Rusli oleh Junus dianggap sebagai titik awal kelahiran novel Indonesia modern.
Alasan yang dikemukakan Junus mendukung novel sebagai penanda sastra modern
Indonesia adalah pengarang tidak lagi mencantumkan kata hikayat dalam judul karyanya.
Berbeda dengan penulis terdahulu, Abdullah bin Abdul Munsyi yang memberi judul karyanya
dengan hikayat yaitu Hikayat Abdullah. Kedua novel tersebut merupakan karya pengarang dan
bukan terjemahan, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi sastra Melayu. Kedua novel tersebut
bebas dari pretensi sejarah yang menjadi ciri khas sastra lama, termasuk hikayat. Kedua novel
tersebut merupakan karya yang ditulis berdasarkan imajinasi. Kisah dalam kedua novel
tersebut tidak lagi berkisah kehidupan istana, yang menjadi salah satu ciri sastra lama, mainkan
tentang manusia biasa dan dunia khayal (Wiyatmi, 2018: 1-2).
Dalam buku yang berjudul Novel Indonesia Periode 2000-an tahun 2018 yang ditulis oleh
Wiyatmi mengungkapkan bahwa generasi baru dalam penulisan novel Indonesia, pada awal
tahun 2000, Korrie Layun Rampan menerbitkan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Buku
tersebut membahas dan memberikan contoh beberapa karya para sastrawan yang dikategorikan
sebagai angkatan 2000 dalam sejarah sastra Indonesia. Terdapat 77 sastrawan yang dimasukkan
dalam Angkatan 2000 oleh Rampan. Mereka terdiri dari penulis novel, cerpenis, penyair,
bahkan juga kritikus.
Buku Rampan tersebut diterbitkan tepat tahun 2000 dan menggunakan data dari sastrawan
dan karyanya dari awal 1990-an. Masih banyak sastrawan, terutama para penulis novel, yang
berkarya pada periode 2000-an yang belum atau baru mulai berkarya setelah buku Rampan
tersebut terbit, antara lain Dee , Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Ratih Kumala,
Dewi Sartika, Abidah El Khaileqy, Andrea Hirata, Habiburahman El Shirazy, juga Eka
Kurniawan yang karya-karyanya mewarnai perkembangan sastra Indonesia periode 2000-an.
Generasi baru sastrawan yang berkarya periode 2000-an ini belum disebut dalam buku Rampan
tersebut.
Pada masa tahun 2000an, semakin banyak penulis perempuan yang menerbitkan
karyanya, khususnya novel. Terbitnya novel Saman karya Ayu Utami yang semula menjadi
juara pertama Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta, dikuti dengan Dadaisme
karya Dewi Sartika, Geni Jora karya Abidah El Khalieqy, dan Tabularasa karya Ratih Kumala
yang ketiganya juga memenangkan Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2003, ditambah Dee yang menerbitkan Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh,
Djenar Maesa Ayu yang menerbitkan Nayla, Oka Rusmini yang menerbitkan Tarian Bumi dan
Kenanga, Laksmi Pamuntjak yang menerbitkan novelnya Amba dan Aruna dapat dikatakan
menandai kebangkitan kembali secara serentak para penulis perempuan dalam sejarah novel
Indonesia.
Kemunculan sastrawan perempuan generasi 2000-an di kancah sastra Indonesia
nampaknya bukan suatu kebetulan, ada kaitannya dengan transformasi sosial budaya Indonesia
yang antara lain perjuangan kaum feminis menuntut adanya kesetaraan gender. Kehadiran
mereka dalam kancah penulisan novel menunjukkan adanya upaca deksntruksi terhadap sistem
patriarki yang selama ini telah melahirkan para pengarang novel laki-laki yang telah menguasai
sejarah sastra Indonesia. Kehadiran mereka dalam dunia penulisan sastra dapat dilihat sebagai
bentuk perlawanan terhadap dominasi patriarki dalam penulisan novel di Indonesia.
Novel Realis
Novel realis pada hakikatnya adalah novel yang dibangun berdasarkan aliran seni
realisme. Abrams (1999:260) menyatakan bahwa realisme adalah sebuah gerakan dalam
penulisan novel pada abad ke-19 di era sastrawan Honore de Balzac di Perancis, George Eliot
di Inggris, dan Wlliam Dean Howells di Amerika. Novel realis adalah novel yang
merepresentasikan kehidupan dan pengalaman kemanusiaan (Abrams (1999:260). Untuk
merepresentasikan kehidupan dan pengalaman kemanusian, novel realis mementingkan
penggambaran yang teliti, seperti cermin yang memantulkan realitas objektif itu di depan
pembaca atau penikmat (Rampan, 2000:5). Novel realis ingin menampilkan kenyataan sehari-
hari menyangkut orang, peristiwa, keadaan masyarakat secara objektif dan teliti (Hartoko dan
Rahmanto, 1986:114).
Beberapa novel realis pada awal pertumbuhan novel Indonesia adalah Sitti Nurbaya karya
Marah Roesli, Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari, Halafan Sholat Delisa karya Tere-
liye, Entrok karya Okky Madasari, dan Jatisaba karya Ramayda Akmal.
Novel Posmodernis
Bambang Sugiharto (1991:25-26) mengemukakan bahwa beberapa ciri seni posmodernis
adalah hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya batas antara budaya
tinggi dan budaya pop, percampuradukan gaya yang bersifat eklektik, parodi, pastiche, ironi,
kebermainan, dan merayakan budaya permukaan tanpa peduli pada kedalaman, hilangnya
orisinalitas dan kejeniusan, dan adanya asumsi bahwa seni hanya mengulang-ulang masa lalu
belaka. Beberapa novel Indonesia periode 2000-an yang dapat disebut sebagai novel genre
posmodernis yaitu Kitab Omong Kosong karya Sena Gumira Ajidarma (2004), Supernova 1:
Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh karya Dee (Dewi Lestari, 2001), Saman dan Larung karya
Ayu Utami, 1998, 2000, dan Cantik Itu Luka karys Eka Kurniawan, 2002.
Novel Feminisme
Feminisme pada dasarnya merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan
bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm, 2007:15).
Feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku dari penindasan
perempuan (Humm, 2007:15-18). Beberapa novel feminis periode 2000-an, yaitu Saman dan
Larung (Ayu Utami), Geni Jora dan Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El Khalieqy), dan
Namaku Teweraut (Ani Sekarningsih).
Novel Autobiografi
Autobiografi adalah salah satu genre novel yang ditulis oleh pengarang untuk
menggambarkan kehidupan dirinya, dan khususnya tentang perkembangan personalitasnya
(Anderson, 2001:2). Novel autobiografi yang terbit pada periode 2000-an, yaitu Habibie-Ainun
(B.J. Habibie, 2010), Dari Ngalian ke Sendowo (Nh. Dini, 2015), dan Pengakuan Eks Parasit
Lajang (Ayu Utami, 2013).
Novel Ekofeminis
Fiksi ekofeminis adalah fiksi (baca: novel dan cerita pendek) yang mengusung pandangan
atau aliran pemikiran ekofeminisme (Wiyatmi, 2018: 81). Ekofeminisme adalah istilah yang
diperkenalkan oleh Francoide d’Eaubonne melalui buku yang berjudul Le Feminisme ou la
Mart (Feminisme atau Kematian) yang terbit pertama kali 1974 (Tong, 2006:366). Dalam
bukunya tersebut dikemukakan adanya hubungan antara penindasan terhadap alam dengan
penindasan terhadap perempuan (Gaard, 1998:13). Dalam patriarki, perempuan dan alam
dipandang sebagai objek dan preperti yang layak dieksploitasi (Candraningrum, 2013:4).
Ekofeminisme berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk penindasan
manusia, khususnya perempuan, dan alam. Dalam hal ini ekofeminisme memandang bahwa
perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam. Ada hubungan konseptual, simbolik, dan
linguistik antara feminisme dengan isu ekologis (Tong, 2006:350). Novel ekofeminis yang
terbit pada periode 2000-an,
Novel Di Kaki Bukit Cibalak Karya Ahmad Tohari
Novel yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari meruapakan salah satu
novel yang memiliki genre realis. Seperti yang telah dibicarakan di atas, Hartoko dan
Rahmanto, (1986:114) mengungkapkan bahwa novel realis ingin menampilkan kenyataan
sehari-hari menyangkut orang, peristiwa, keadaan masyarakat secara objektif dan teliti. Dalam
novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan konflik sosial yang ada di desa Tanggir. Desa
Tanggir memang ada secara fisik di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari bertema kehidupan yang dihadapi oleh
tokoh utama yang bernama Pambudi. Pambudi mengalami berbagai permasalahan dalam
hidupnya, diantaranya yaitu konflik politik dengan lurah. Konflik tersebut diawali dengan
pemilihan calon lurah Tanggir yang baru yang dimenangkan oleh Pak Dirga dengan cara
curang. Setelah menjabat menjadi lurah, Pak Dirga bersama Poyo, salah satu pengurus
lumbung padi memanipulasi laporan keuangan. Mereka juga mengajak salah seorang pengurus
lumbung padi yang lainnya bernama Pambudi, namun Pambudi menolaknya karna tidak sesuai
dengan prinsipnya. Kemudian Pambudi dijadikan kambing hitam dan dituduh mengambil uang
dari lumbung padi. Hal imi dapat ditandai oleh kutipan berikut:
“.....Pengeluaran untuk biaya pelantikan Bapak sebelas bulan yang lalu sudah diha-
puskan."
"Hanya dihapuskan?"
"Ya, Pak. Tetapi dalam buku yang kedua ada pengeluar an sebesar 125.000 atas
tanggung jawab seseorang."
“Pambudi” (59-60).
".....Anakku, kau didakwa melarikan uang milik lumbung koperasi seba nyak 125.000
rupiah. Kata orang, buktinya ada dalam buku lumbung."
"Kampret!" teriak Pambudi dalam hati. "Ini pasti perbuatan Lurah Tanggir dan Poyo.
Pengecut! Akan kubuktikan di depan pengadilan siapa yang menggarong uang itu (hlm.
115).
Tidak hanya itu yang dilakukan oleh Pak Dirga, ia juga tidak mau membantu warga desa
yang membutuhkan biaya untuk berobat. Kemudian Pambudi menjadi bingung karna ia
hanyalah seorang pengurus lumbung. Pambudi sudah berusaha membujuk Pak Dirga agar
membantu salah seorang warganya yang bernama Mbok Ralem, namun Pak Dirga tetap
menolaknya. Pambudi memutuskan untuk membantu Mbok Ralem dengan tabungannya dan
ia mengundurkan diri dari pekerjaannya yang ditandai oleh kutipan berikut:
“Pambudi tidak bisa mengatakan mengapa di pagi hari itu ia merasa begitu tenteram.
Padahal tadi malam ia telah menulis surat kepada Pak Dirga. Pambudi menyatakan
mengundurkan diri dari kepengurusan lumbung koperasi desa.” (hlm. 27).
Pak Dirga semakin marah kepada Pambudi, karena Pambudi berhasil mengobati Mbok
Ralem dengan usahanya sendiri. Pambudi saat di Yogya, ia membantu Mbok Ralem dengan
menyebarkannya ke sebuah koran kalawarta di Yogya yang dibantu oleh Pak Barkah sebagai
Pemimpin redaksi dan pemilik penerbitan kalawarta. Mbok Ralem dapat terbantu dengan iklan
dompet sumbangan yang diterbitkan di koran tersebut. Koran tersebut dibaca oleh Gubernur
dan Pak Dirga dimarahi oleh bupati karna tidak membantu warganya. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan berikut:
“....Dan yang jelas aku tidak senang masalah Mbok Ralem tersebar sebagai berita yang
hebat; menyebabkan aku dan Pak Camat kena marah Bupati, menyebabkan Bupati
ditegur oleh Gubernur. Nah, kau tahu siapa yang telah membuat kekacauan ini. Akan
kuuji sampai di mana kekuatan otaknya, kekuatan ngelmunya. Jelas?"(hlm. 58).
Karena Permasalahan tersebut Pak Dirga menguna-guna Pambudi melalui Eyang Wira. Pak
Dirga ingin menyingkirkan Pambudi dari desanya. Hal ini ditandai dengan kutipan berikut:
“Ayah Pambudi menatap wajah anaknya. Orang tua itu heran karena anaknya malah
tersenyum. Apa kataku, keluh Pambudi dalam hati. Kepergianku dari lumbung koperasi
Desa Tanggir, perbedaan paham antara aku dan Pak Dirga, mulai tampak ekornya. Tak
kusangka lurah yang gagah itu berhati tempe, tidak mau menghadapiku dari depan.”
(hlm. 77).
Novel Di Kaki Bukit Cibalak ini juga menceritakan tentang kisah romansa Pambudi.
Awalnya Pambudi menyukai gadis dari desa Tanggir yang bernama Sanis yang lebih kecil
darinya. Namun, saat Pambudi merantau ke Yogya, ia mendapatkan kabar bahwa sanis menikah
dengan Pak Dirga. Ia merasa sedih karna masalah tersebut. Hal tersebut dapat ditandai dengan
kutipan berikut:
“Sanis, yang sedang dinanti kematangannya, diambil oleh Pak Dirga. Pambudi tidak
malu mengakui bahwa hatinya terguncang. Sakitnya kehilangan seorang kekasih,
sakitnya menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak cukup berharga di mata anak Pak
Modin itu. Lebih sakit daripada menerima dakwaan melarikan uang milik koperasi
Desa Tanggir.” (hlm. 158).
Perjalanannya merantau ke Yogya dipertemukan dengan seorang gadis bernama Mulyani
dan memiliki cerita romansa. Mereka memiliki perasaan kepada yang sama, namun Pambudi
masih belum mampu untuk menikahi Mulyani. Hal ini dapat dibuktikan oleh kutipan berikut:
“Aku seorang pemuda biasa yang berumur 27 tahun. Tak ada yang kurang pada diriku,
utuh dan sehat. Apa yang dirasakan oleh Mulyani, aku pun merasakannya pula. Rasa
cinta tidak mati, meskipun aku telah dikhianatinya. Apa salahnya kalau kuakui bahwa
Mulyani segar dan lembut. Apa salahnya kalau aku berkata bahwa sudah lama aku
tertarik padanya. Tetapi yang kutampilkan adalah sikap kemunafikan. Tak ada rasa
rendah diri padaku terhadap Mulyani karena ia sangat kaya. Tidak ada juga rasa angkuh.
Yang ada hanyalah suara akal sehat. Dengan sungguh-sungguh aku berusaha supaya
aku tidak jatuh cinta kepada Mulyani, karena tentang cinta aku berpendirian sangat
kolot: Rasa cinta hanya tersedia buat bekal perkawinan. Nah, aku hendak mengawini
Mulyani? Oh, seribu perbedaan yang harus kusingkirkan sebelum aku memutuskan
berbuat demikian.” (hlm. 168-169).

Daftar Pustaka
Wiyatmi. 2018. NOVEL INDONESIA PERIODE 2000AN. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tohari, Ahmad. 2014. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Erowati, Rosida dan Bahtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai