Anda di halaman 1dari 8

27

SEMANTIKA DALAM PERKEMBANGAN DESAIN PRODUK


PERMAINAN CONGKLAK JOGJA DAN SOLO
Semantics of Jogja’s and Solo’s Congklak Game Board
Product Design Development

Winta Tridhatu Satwikasanti


Tgl Masuk Naskah: 1 April 2012
Tgl Masuk Revisi: 10 Juni 2012
ABSTRAK
Perkembangan permainan tradisional seperti halnya produk hasil budaya lainnya dari suatu ko-
munitas masyarakat tidak bisa dipisahkan dari konteks relasi spasial dan sosiologi yang meru-
pakan bentuk dari interaksi antar manusia dan lingkungannya. Maka dari itu, sebagai sebuah
negara yang dibangun oleh budaya, sejarah pengembangan produk harus juga dilihat dari per-
spektif pemaknaan budaya. Jogja dan Solo menjadi lahan banyak laboratorium sejarah karena
masih menjaga nilai lokal dalam intepretasi pemaknaan dari simbol-simbol budaya mereka.
Fenomena menarik yang terjadi adalah perbedaan dari sejumlah artefak budaya lokal yang
berdasar pada karakteristik masyarakat dan kronologis sejarah walau keduanya berasal dari
akar budaya yang sama, contohnya : permainan tradisional Congklak yang masih dikembang-
kan hingga hari ini. Sebagai permainan papan yang merupakan refleksi aspek sosio-kultur dari
sebuah tatanan masyarakat, sebuah investigasi latar belakang semantika budaya yang dalam
dapat dilakukan. Pengembangan produk lokal tidak dapat meninggalkan pemaknaan sehingga
nilai-nilai lokal tidak akan hilang dan berkelanjutan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah
untuk melakukan investigasi dan pengkajian implikasi fisik dari produk hasil budaya yang
telah dikenal baik oleh pengrajin dan pelaku dalam masyarakat dalam setiap detil desain papan
permainan agar pengembangan selanjutnya tidak meninggalkan karakter lokal masyarakat.
Kata kunci: semantika, budaya, desain produk, congklak

ABSTRACT
Traditional product development as the output of society cannot be seperated from the culture
which includes sociology, time and spacial aspect between a man with another and the envi-
ronment. Therefore, as a country constructed by culture, the history of local product develop-
ment should be analized from semantics point of view. Jogja and Solo become a numerous
history laboratories because they still mantain local values in semantics interpretation of their
symbols. An interesting phenomena occur in differences of local culture artefacts based on the
characteristics of the society and historical time-line although they came from one root of cul-
ture, for instance : congklak, a traditional game which is still developed nowadays. As a board-
game which is be the sosio-culture reflection of a society, we can do a deep investigation of the
semantic background. Local product development cannot leave semantics so the local values
will not dissapeared and be sustainable. The purpose of this research is documenting and
analysing semantics that are well-known by craftmen and society in every detail of congklak-
board development so the values can be mantained without leaving the local characteristic of
the society.
Keywords : semantics, culture, product design, congklak

Winta Tridhatu Satwikasanti: Universitas Kristen Duta Wacana


1
28 Dinamika Kerajinan dan Batik, Vol. 31, Juni 2012

I. LATAR BELAKANG
Keberadaan pemaknaan dan simbol rumah; omweso, yang merupakan nama
merupakan hal dasar dalam siklus bijian berbau harum dari pohon Omiyuki
manusia. Manusia tidak bisa mendapatkan yang digunakan biji permainan; ada pula
pijakan kuat dalam hidupnya jika yang menggunakan bagian dari papan
melalui pemahaman secara ilmiah saja permainan seperti Row, Store, Storeholes
(Norberg,1984). Mereka membutuhkan dan Tea Party dari waktu senggang saat
simbol-simbol yang bekerja sebagai permainan ini dimainkan. Di Filipina dikenal
seni yang merepresentasikan situasi dengan nama Sungka dan di Damaskus
kehidupan. Hal ini bersifat sebagai dikenal dengan istilah La’b madjnuni
‘penjaga’ dan meneruskan makna karena yang artinya permainan gila atau La’b
salah satu kebutuhan dasar manusia adalah akila yang berarti permainan yang pintar.
mengalami suatu peristiwa di hidupnya Di Sumatra permainan ini dikenal dengan
dengan penghayatan yang dalam. nama congkak dan dimainkan oleh laki-
Permainan papan sebagai monumen laki; di Lampung disebut dengan dentuman
historis budaya manusia lamban; sedangkan di Sulawesi permainan
Permainan papan merupakan miniatur ini bernama makaotan, anggalacang, atau
dari waktu dan tempat (Binsbergen, nogarata dan dimainkan sebagai salah satu
1996). Semenjak jaman Neolithikum ritual untuk mengenang orang yang kita
setelah manusia melewati masa berburu sayangi meninggal dunia. Pola waktu dan
menjadi bercocok tanam dan mulai fungsi asal permainan mirip dengan pola
mempunyai pembagian daerah yang yang berlangsung di Afrika selain sebagai
berbatas, permainan papan menjadi alat peramalan. Di Jawa Barat, khususnya
sebuah piranti pemaknaan antara manusia di Purwakarta permainan ini lebih dikenal
dengan lingkungan fisiknya maupun dengan nama congkak; di Kuningan
dengan lingkungan sosialnya. Karakter disebut dengan nama lulumbungan; serta
itulah yang membuat permainan papan kuwuk yang berasal dari kulit kerang
beradaptasi mengikuti interaksi dengan sebagai biji permainan di Cirebon.
kultur dan sosial yang terjadi. Oleh sebab Permainan yang berasal dari permainan
itu, ia menjadi refleksi historis kultur lokal dengan papan pun sudah mulai
yang mendasari pada suatu masa. dikembangkan sebagai permainan virtual.
Permainan congklak atau yang di Jawa Pada tahun 1994, Sastro Adiwibowo telah
Tengah lebih dikenal dengan nama dhakon menciptakan permainan congklak digital
adalah keluarga dari permainan mancala, versi MS-Dos yang diberi nama Dakon
merupakan permainan papan tertua dan Master dengan tampilan grafis yang
dimainkan hampir di setiap negara di masih sangat sederhana tanpa tema. Dalam
dunia. Permainan ini telah mengalami kancah internasional, sebuah software
perubahan fungsi, nama, desain papan permainan mancala yang bernama Bantumi
maupun cara memainkan sesuai dengan juga dikembangkan di tahun 2004. Hadir
sosio kultur yang berkembang dari jaman dengan perkembangan grafis yang lebih
Neolithikum hingga saat ini. baik, permainan Kalah diperkenalkan
oleh Geoffrey Irving . Software permainan
Di benua Afrika, permainan ini berkembang
Mancala Snails dan Mancala Bugs telah
menjadi 4 baris. Di Uganda bernama
menggunakan tema dalam desain visual
: wari, warri atau owari yang berarti
mereka.
Satwikasanti, Semantika Dalam Perkembangan Desain.......... 29

Dalam masa sekarang, permainan pada masanya maupun pengrajin aktif yang
congklak dan mancala digunakan sebagai memiliki pemahaman budaya terkait dalam
sarana belajar hitung namun yang sangat kurun waktu cukup lama. Pemahaman ini
penting esensi keberadaannya sebagai cenderung diturunkan dari keluarga dan
pembentukan karakter yang merupakan lingkungan sosialnya. Wawancara juga
bagian dari pendidikan budaya. Suatu dilakukan pada pemerhati budaya maupun
strategi pengembangan permainan ini akademisi untuk melengkapi pemahaman
sebagai salah satu aspek dalam strategi yang lebih terstuktur.
pendidikan budaya yang berkelanjutan Domain yang ditentukan adalah
patut menjadi konsentrasi dalam domain rakyat (folk domain) yaitu
pengembangan desain produk yang suatu kategorisasi kebudayaan yang
mengangkat lokalitas. diidentifikasi oleh anggota masyarakat,
Tujuan khususnya strata keberadaan dan wilayah.
Mengkaji hubungan sebab akibat Perbandingan dengan wilayah lain
perkembangan desain piranti permainan dilakukan untuk mengetahui konsistensi
congklak di Jogja dan Solo dari konteks pola pengembangan desain yang terjadi
sosio-kultur, historis dan semantika. dan kategorisasi dilakukan untuk mencari
Hasil dari kajian ini akan menjadi bagian simbol, makna dan hubungan yang terjadi
dari tolak ukur dalam pengembangan di antara keduanya sehingga bergerak
desain produk papan permainan secara menjadi suatu pemaknaan yang utuh.
berkelanjutan selain menggunakan Semantika pada budaya selalu terkait
semantika visual juga terhadap inovasi dengan simbol-simbol. Hal ini mendasari
teknik produksi. Penelitian ini tidak pembahasan akan didekati dengan
dilihat dari perspektif tata cara permainan pembedaan antara makna konotatif dari
congklak secara detil namun lebih pada makna denotatif dalam desain papan
simbol-simbol yang hadir dalam papan congklak. Makna denotatif meliputi makna
permainan congklak sebagai bagian dari langsung yang didapat dari referensi
refleksi budaya. waktu dan ruang umum. Makna konotatif meliputi semua
signifikansi sugestif dari simbol, yang
lebih dari arti referensialnya.
II. METODE PENELITIAN
Studi literatur perkembangan permainan
Sebagai bagian dari penelitian yang
yang memiliki pola permainan dan
mencangkup aspek sosio-kultur,
desain papan yang hampir serupa dari
metodologi penelitian yang digunakan
daerah dan negara lain dilakukan sebagai
adalah fenomenologi kualitatif. Ratna
perbandingan analisa semantika pola
(2010 : 42) yang juga mengacu pada
pemikiran dalam mengembangkan papan
deskripsi Muhadjir (20112 : 23-27)
permainan.
menguraikan bahwa ciri metode ini adalah
intepretasi (Geertz), teori dari bawah
(Glaser dan Strauss), etnometodologi III. HASIL DAN PEMBAHASAN
(Bogdan), naturalistik (Guba), interaksi
simbolik (Blumer). Pola media permainan ini adalah
sekumpulan cekungan-cekungan kecil,
Teknik pengumpulan data berupa sejajar dan saling berhadapan dengan
wawancara pada informan dengan jumlah yang sama dan dua cekungan
enkulturasi penuh yaitu pelaku kegiatan
30 Dinamika Kerajinan dan Batik, Vol. 31, Juni 2012

besar yang masing-masing berada di adanya lubang yang tak sempurna dan ada
ujung rangkaian cekungan kecil, dan lubang yang halus.
biji permainan yang dibagikan memutar. Dari perspektif ilmu etnoarkeologi, yaitu
Secara garis besar permainan ini adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat
mengumpulkan biji-biji permainan sekarang adalah seperti yang dilakukan
terbanyak. Dari pengertian inilah kata oleh masyarakat pada zaman sebelumnya,
dhakon berasal dari kata dhaku yang maka dapat diperkirakan relasi antara
berarti ‘milikku’ (Dharmamulya, 2005). batu dakon dalam ruang lingkup kegiatan
Dalam masyarakat budaya Jawa, cekungan bercocok tanam dengan alih fungsi pola
kecil ini dinamakan lumbung cilik dan media tersebut menjadi suatu permainan.
cekungan besar dinamakan lumbung
gedhe. Hal ini menunjukkan keterkaitan
permainan ini dengan kegiatan bercocok
tanam yang berkembang dari jaman
Neolithikum sebagai alat ramalan, baik di
Afrika maupun Srilanka.
Batu Dakon
Ditunjang dari temuan bidang arkeologi
di beberapa negara, sebagai contoh di
Indonesia, terdapat batu Dakon yang
menyerupai papan permainan congklak
di beberapa daerah, yaitu : Daerah Batu, Gambar 1. Artefak Batu Dakon yang ditemukan
Malang, Wonosobo dan Cigugur sebagai di daerah Kuningan (Koleksi : Badan Arkeologi
fungsi meramal atau menghitung masa Bandung)
panen dan diletakkan dengan orientasi
matahari. Hal ini dapat diketahui dari Congklak di kalangan Rakyat
peletakkan batu dakon yang selalu berada Di budaya Jawa, permainan ini berkembang
di dekat daerah pertanian dengan posisi dimainkan oleh anak-anak, khususnya
cekungan besar menghadap ke arah anak perempuan di saat menunggui sawah
terbit dan tenggelamnya matahari atau agar tidak diserang hama burung, sore hari
menghadap ke arah gunung. Masyarakat saat menunggu orang tua mereka pulang
kala itu percaya bahwa gunung merupakan dari sawah, atau ketika bulan purnama
tempat bersemayamnya arwah dan roh- (“padhang bulan”). Media permainan
roh penguasa. Penggunaan batu dakon yang paling dasar adalah melubangi
merupakan suatu acara ritual khusus dan tanah sebagai cekungan lumbung dan
tidak dapat dimainkan sewaktu-waktu dan menggunakan kerikil sebagai bijinya.
belum ditemukan jenis biji yang digunakan Permainan berkembang dengan
untuk mengisi lubang-lubang tersebut. menggunakan bentuk papan yang
Batu ini ditemukan biasanya memiliki digunakan di kalangan rakyat adalah papan
lubang lebih dari empat pasang dan datar bercekung biasa atau berdekorasi
terdapat satu pasang lubang yang berada di ukiran ukel di kedua ujungnya. Bentuk
ujung sumbu. Pelubangan batu-batu dakon ukel ini diadopsi dari bentuk akar atau
ini dilakukan menggunakan batang bambu sulur. Bentuk ini memberikan makna
yang diberi pasir dan digosok-gosokkan di bahwa rakyat atau kawula mempunyai
atas batu datar. Proses ini mengakibatkan sifat seperti akar atau sulur yang menjadi
Satwikasanti, Semantika Dalam Perkembangan Desain.......... 31

pondasi bagi tanaman dan menyebar ke kelenturan tangan saat menari. Tujuan
mana-mana. Warna yang digunakan adalah khusus ini mempengaruhi cara bermain
warna coklat. Jumlah lumbung kecil congklak tersebut. Biji-biji yang
adalah lima atau tujuh buah tiap pemain digunakan adalah biji-biji mutiara. Tiap
dengan satu lumbung besar. Filosofi Jawa lumbung kecil diisi sembilan mutiara
mempercayai bahwa formasi ganjil adalah sehingga mutiara yang dibutuhkan adalah
baik, karena mempunyai satu pemimpin 162 mutiara. Mutiara-mutiara tersebut
di depan, sehingga angka 1, 3, 5, 7, 9, dimasukkan ke dalam lumbung kecil secara
dan seterusnya banyak ditemui dalam memutar berlawanan jarum jam seperti
artefak kebudayaan Jawa dan memiliki pada umumnya. Yang menarik adalah
pemaknaan masing-masing. pada cara menjatuhkan butir mutiara ke
dalam lumbung. Karena bertujuan untuk
Angka Makna
melenturkan dan melentikkan jari-jari
1 Kelahiran tangan saat menari maka mutiara-mutiara
3 Satu diri dalam lumbung kecil diambil dengan cara
5 Hubungan diri sendiri ‘diserok’ menggunakan punggung tangan.
dengan orang lain, Mutiara yang telah berada di atas punggung
Hubungan diri sendiri tangan dibagi dengan cara membuka celah
dengan orang lain, atara jari telunjuk dan jari tengah.
kawula/rakyat
7 Pitulung, pituduh, Warna congklak Yogyakarta dan Solo di
pitunjuk ; masa lalu sedikit berbeda. Warna congklak
pemimpin masyara- Yogyakarta cenderung berwarna gelap,
kat seperti warna coklat dan emas sedangkan
9 Raja Surakarta cenderung berwarna lebih
terang seperti warna merah, hijau dan
Congklak di kalangan kerajaan emas. Sesuai dengan kajian historis dan
Papan congklak yang dimainkan oleh geografis, Kasunanan Solo bersifat lebih
keluarga kerajaan dihiasi dengan kepala terbuka pada kebudayaan lain sehingga
naga bermahkota. Filosofi kepala naga warna congklak Solo mendapat pengaruh
sebagai hiasan adalah pertama karena kuat dari kebudayaan Cina.
naga merupakan keluarga ular terkuat
dan dilambangkan oleh masyarakat Jawa Biji permainan yang digunakan disesuaikan
sebagai ula yang pengucapannya sama dengan potensi lingkungan yang ada di
dengan kawula yang berarti rakyat. Visi dan sekitar pengguna. Macam biji permainan
misi kerajaan di Jawa Tengah antara lain yang digunakan di Jawa Tengah selain
adalah merangkul dan mengemban kawula kerikil dan mutiara adalah biji sawo kecik.
rakyat, jadi pemaknaan yang terkandung Lain halnya dengan temuan di daerah
adalah kerajaan semakin menyatu dengan Jawa Barat, selain menggunakan biji-biji
rakyat. Jumlah lumbung papan congklak mutiara untuk kalangan kerajaan, mereka
milik kerajaan yang dimiliki pemain adalah menggunakan kulit kerang/kuwuk (Sunda)
9 buah. Angka sembilan merupakan angka untuk daerah pesisir dan biji asam/ siki
tertinggi dalam susunan angka Jawa. asem (Sunda) untuk daerah pegunungan.
Perkembangan produksi pada masa
Permainan dhakon atau congklak ini sekarang dengan material plastik masih
terutama dimainkan oleh para putri raja. mengacu pada duplikasi morfologi kuwuk
Salah satu tujuannya adalah melatih atau biji sawo.
32 Dinamika Kerajinan dan Batik, Vol. 31, Juni 2012

Relasi penggunaan biji sawo kecik sebagai Pakem atau aturan mengenai banyaknya
bagian dari permainan congklak bisa lumbung kecil tetap dipertahankan oleh
didapat dari budaya masyarakat Jogja keduanya yaitu berkisar antara 5, 7, atau 9
dan Solo yang mempunyai aturan dalam lubang. Congklak yang banyak beredar di
menanam pohon di tempat tinggal mereka. daerah Yogyakarta dan Solo mulai variatif
Di luar rumah mereka harus menanam dengan bentuk dan motif yang berbeda
pohon asam. Asam dalam bahasa Jawa dengan congklak yang banyak beredar di
adalah asem. Kata asem hampir sama tahun-tahun sebelumnya menyesuaikan
pengucapannya dengan esem. Jadi dengan teknik kerajinan yang berkembang
pemaknaannya adalah supaya orang dan minat pasar.
yang masuk ke dalam rumah menjadi Di Yogyakarta terdapat dua bentuk congklak
tersenyum. Di gapura atau gerbang masuk, yang berkembang yaitu congklak lipat dan
mereka menanam pohon beringin dengan masif. Meskipun berkembang menjadi
pemaknaan supaya tamu diberi keteduhan. congklak lipat, namun banyak lubang
Di halaman mereka menanam pohon sawo tetap dijaga sehingga lipatan membujur
kecik. Sawo kecik pengucapannya hampir dipilih dalam desain papan. Bentuk papan
sama dengan sarwo becik, yang berarti congklak lipat Yogyakarta tidak berbentuk
serba baik sehingga memiliki permaknaan persegi saja namun mengadopsi bentuk-
agar tamu dan penghuni rumah selalu bentuk hewan yang telah disederhanakan
disertai dengan kebajikan. Karena terdapat (stilasi bentuk) dengan aplikasi teknik
kepercayaan untuk menanam pohon batik kayu. Bentuk konvensional atau
dengan susunan seperti itu, maka biji masif yang juga berkembang adalah batik
sawo mudah ditemukan di halaman rumah kayu dan pahatan batu. Ornamen-ornamen
tempat biasa rakyat / kawula bermain yang diaplikasikan berkisar motif flora dan
congklak. Biji-biji tersebut yang kemudian ragam hias batik Yogyakarta.
digunakan sebagai bebijian permainan
congklak.
Perkembangan desain papan congklak
Jogja dan Solo pada masa kini
Pengembangan congklak yang melibatkan
manusia dalam proses produksinya
membawa konsekuensi logis nilai-nilai
utama produk kerajinan yaitu keahlian Gambar 2. Lipatan vertikal pada desain
teknik pengerjaan, sensitivitas, kreativitas congklak Jogja untuk mempertahankan jumlah
dan kesadaran komprehensive yang ganjil lumbung kecil (Koleksi : Penulis)
meningkatkan wawasan akan tanggung
jawab terhadap proses, material dan Perkembangan congklak Solo hingga
produk (Hardy : 2004). Kesadaran tersebut sekarang cenderung mempertahankan
secara tidak langsung akan membawa bentuk masif dengan menggunakan kayu
pengembangan produk kerajinan tersebut jati dan mahoni yang dipahat dengan
sebagai sebuah metafora kepada kearifan bentuk-bentuk yang kontemporer. Bentuk-
alam sebagai pembentuk suatu budaya bentuk congklak Solo tak harus selalu
manusia (Fariello : 2004). menuruti bentuk-bentuk tradisional Jawa
Perkembangan congklak modern yang ada bahkan terkadang mengambil inspirasi
di Yogyakarta dan Solo cukup berbeda. dari daerah lain . Ragam hias yang
Satwikasanti, Semantika Dalam Perkembangan Desain.......... 33

digunakan tidak terlalu banyak dan warna


yang digunakan adalah warna coklat tua,
merah atau emas.

Gambar 4. Desain papan congklak lipat


produksi sentra industri Raja Polah, Jawa Barat
(Koleksi : Penulis)
Gambar 3. Perkembangan papan desain
congklak Solo yang cenderung masif dan
kontemporer namun bentuk ukel tetap IV. KESIMPULAN DAN SARAN
dipertahankan (Koleksi : Penulis) Dari hasil penelusuran artefak budaya dan
pengembangannya oleh para pengrajin dari
Jogja dan Solo, sebagai sampel dari Jawa
Sebagai pembanding konsistensi pengrajin
Tengah maupun Rajapolah dan Sukabumi
menerapkan pemaknaan ke dalam
dari Jawa Barat sebagai pembanding
desain papan congklak, ditemukan fakta
maka dapat disimpulkan bahwa piranti
bahwa tidak seperti di Jogja dan Solo,
permainan congklak menjadi bukti respon
perkembangan desain papan congklak
kondisi sosio-kultur dan lingkungan
di Jawa Barat, khususnya di daerah Raja
masyarakat pada masanya. Pola yang sama
Polah yang merupakan sentra kerajinan
juga terjadi di negara-negara lain.
congklak, tidak mengutamakan pakem
Pengrajin piranti permainan congklak
dari desain congklak lama Sukabumi yang
di Jogja dan Solo lebih mengutamakan
berupa papan datar dengan tujuh lumbung
pemaknaan budaya ke dalam proses
kecil pada dua sisi. Perkembangan desain
pengembangan desain papan permainan
berubah menjadi papan yang dapat dilipat
dibandingkan pengrajin Jawa Barat.
untuk memudahkan proses membawa dan
Kekuatan produk kerajinan yang
menjinjing. Karena aspek kemudahan
melibatkan peran manusia dalam
produksi, desain lipatan melintang
kreativitas penciptaan dan proses produksi
mengakibatkan lumbung kecil harus
akan meninggalkan jejak subjektivitas
genap jumlahnya, yaitu enam buah. Tak
objek tersebut. Aspek tersebut akan
ada ornamen dan teknik produksi yang
menjadikan produk kerajinan menjadi
secara berkelanjutan diterapkan pada
media pengetahuan yang baik untuk
desain papan tersebut. Unsur dekoratif
memberikan latar belakang dan nilai dalam
yang diaplikasikan cenderung berubah
suatu masyarakat pada suatu masa.
sesuai dengan permintaan pasar tanpa
mengetahui filosofi yang terkandung di Semantika budaya ini seharusnya
dalamnya. menjadi pemikiran para desainer maupun
pengrajin dalam pengembangan produk
yang mengangkat lokalitas suatu daerah
34 Dinamika Kerajinan dan Batik, Vol. 31, Juni 2012

sebagai bagian dari pengembangan desain and Knowledge” dalam Objects and
berkelanjutan yang akan mendukung Meaning : New Perspective on Art and
eksistensi komunitas tersebut. Craft. Plymouth : Scarecrow Press, INC.
Iriani, S., Yunita, 2002, Laporan Kegiatan
Penelitian selanjutnya dapat dikembangkan
Pengumpulan Data Permainan Anak
untuk dokumentasi pemaknaan morfologi
Tradisional di Wilayah Kuningan,
dan visual papan permainan yang juga
Bandung : Museum Sribaduga.
melibatkan bidang ilmu lain seperti
Munawaroh, Siti, 2011, “Permainan Anak
rekayasa teknologi, matematika maupun
Tradisional Sebuah Model Pendidikan
psikologi.
dalam Budaya”, dalam Jantra, vol.
VI,no. 12 , Yogyakarta : Balai Pelestarian
V. DAFTAR PUSTAKA Sejarah dan Nilai Tradisional.
Moles, Abraham A., 1995, “Design and
Binsbergen, Wim, 1996. “Time, Space Immateriality : What of It in a Post
and History in African Divination and Industrial Society?” dalam The Idea of
Board-games,” in Tiemersena,D., & Design, London : MIT Press.
Oesterling, H.A.F. (ed.), Time and Norberg, Christian, 1984, Genius Loci, New
Temporality in Intercultural Perspective, York : Rizzoli International Publication,
Studies presented to Heiz Kimmerle, Inc.
(Amsterdam : Rodopi, pp 105-125. Ratna, Nyoman Kutha Dharmamulya,
Dharmamulya, Sukirman, 2005, Permainan 2010, Metodologi Penelitian : Kajian
Tradisional Jawa. Yogyakarta : Kepel Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Press pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka
Fariello, M. Anna, 2004, “Reading the Pelajar.
Language Objects” dalam Objects and Spradley, James P., 1997. “Ethnographic
Meaning : New Perspective on Art and Interview,” 1979, diterjemahkan oleh
Craft. Plymouth : Scarecrow Press, INC. Mizbah Zulfa Elizabeth menjadi Metode
Hardy, Michele, 2004, “Feminism, Crafts, Etnografi, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai