Anda di halaman 1dari 30

TRADISI KHITANAN:

SISINGAAN

KELOMPOK 4:
Ayu Erlyanda Alifirani
Dewa Rakmatullah
Husna Ghaisani
Satrio Pinandito
Sekar Ayu Chadarwati

X-7
SMA Negeri 3 Bogor
Jalan Pakuan no. 4 Kota Bogor
Tahun Pelajaran 2011/2012

ANGGOTA KELOMPOK

Ayu Erlyanda Alifirani

Satrio Pinandito

Sebagai Notulen

Sebagai moderator

Dewa Rakmatullah

Sekar Ayu Chadarwati

Sebagai penyaji

Sebagai penyaji

Husna Ghaisani
Sebagai Penata gerak

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
karya tulis kami yang membahas tentang tradisi khitanan atau dapat disebut juga sebagai
sisingaan. Dalam karya tulis ini kami berusaha sebisa mungkin untuk memberika
penjelasan mengenai topik bahasan kami sedetail dan secermat mungkin.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan karya tulis kami. Kepada pihak guru yang telah bersedia membantu,
teman-teman yang memberikan informasi tambahan, dan tentunya kepada Tuhan yang
telah memberkati kami sehingga lancar dalam pengerjaan karya tulis ini.
Seperti kata peribahasa berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian kami
mengalami kesulitan pada tahap-tahap awal pengerjaan karya tulis ini, namun dengan
bantuan semua pihak dan kepada Tuhan, kami akhirnya dapat mengerjakan karya tulis
kami dengan lancar.
Karya tulis ini kami tulis dengan tujuan dapat membagi informasi mengenai
tradisi khitanan & sisingaan kepada pihak guru dan kepada teman-teman sekalian. Tujuan
lain dari penulisan karya tulis ini adalah untuk memenuhi tugas kesenian dan kebudayaan
yang diberikan kepada kami. Kami berharap bahwa karya tulis kami dapat bermanfaat
bagi pihak yang membaca dan memanfaatkannya.

Bogor, 16 Januari 2012

Tim Penulis

ii

DAFTAR ISI
Kata pengantar..iii
Daftar isi....iv
Bab I: Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah ..1
1.2 Tujuan Penulisan...2
1.3 Manfaat.....2
Bab II : Isi Materi
2.1 Sejarah...3
2.2 Sinopsis.7
2.3 Watak....8
2.4 Durasi........9
2.5 Gerakan.9
2.6 Iringan......11
2.7 Tata Rias......13
2.8 Tata Busana.....15
2.9 Tata Cara......16
2.10 Pola Lantai.....17
2.11 Galeri Foto.18
Bab III : Kesimpulan
3.1 Kesimpulan..21
3.2 Kritik dan Saran...22
3.3 Lembar pertanyaan..23
3.4 Tabel Penilaian24
Bab IV : Penutup
4.1 Penutup ..25
4.2 Daftar Pustaka....26

iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Akhir-akhir ini makin banyak generasi muda yang seolah-olah tutup mata terhadap
kebudayaannya sendiri seiring dengan makin derasnya arus globalisasi yang dengan
mudahnya masuk dan diserap oleh masyarakat Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara
yang sangat kaya akan suku bangsa, bahasa, budaya, tradisi, serta adat istiadat. Bangsa
Indonesia memiliki suatu karakteristik yang unik dan berbeda-beda antar daerahnya. Yakni
ciri khas yang hanya dimiliki tiap daerah tersebut. Inilah yang membuat bangsa indonesia
yang unik di mata dunia. Setiap kebudayaan Indonesia memiliki peran yang penting
terhadap ketahanan budaya nasional.
Perilaku tutup mata ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, karena jika
dibiarkan terjadi maka bukan tidak mungkinjika nanti kebudayaan yang tadinya milik
Indonesia menjadi berpindah tangan ke negara lain. Kalau hal ini sudah terjadi barulah
mereka menjadi pahlawan kesiangan yang meneriakkan kata-kata makian kepada negara
yang mencuri kebudayaannya. Padahal jika mereka lebih menjaga, melestarikan, dan
bangga terhadap budayanya, maka tidak akan ada lagi negara yang berani mengakui
kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan negaranya.
Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia adalah tradisi khitanan di berbagai
daerah. Seperti di Jawa Barat, adat khitanan disebut Sisingaan, sedangkan adat khitanan di
Jawa Tengah disebut Supitan, dsb. Budaya khitanan di Indonesia berasal dari masuknya
agama Islam di Indonesia. Dalam agama Islam, khitanan atau lebih familiar disebut
sebagai sunatan, adalah sebuah proses pendewasaan bagi seorang anak lelaki.

1.2 TUJUAN PENULISAN


Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

Membuka wawasan tentang kebudayaan Masyarakat Jawa Barat

Menginformasikan tentang tradisi khitanan di Indonesia khususnya di daerah Jawa


Barat yaitu tradisi Sisingaan.

Menumbuhkan rasa cinta terhadap kesenian daerah Jawa Barat

Menambah pengetahuan tentang kebudayaan daerah Jawa Barat

Melengkapi nilai tugas pelajaran seni budaya

1.3 MANFAAT
Kami menulis makalah ini agar kami dapat memberitahukan manfaat-manfaat dari
khitanan dan sisingaan yang mengiringi tradisi khitanan tersebut. Salah satunya manfaat
dari khitanan adalah meminimalisasi penularan penyakit menular seksual. Manfaat lainnya
adalah agar mencegah penumpukan air seni agar tidak mengkristal dan membuat benih
penyakit. Manfaat lainnya adalah sebagai salah satu ibadah bagi umat islam. Walaupun
demikian, khitanan tidak hanya dilaksanakan bagi umat Islam saja. Khitanan mempunyai
banyak sekali manfaat posotif sehingga umat beragama lainnya idak jarang melangsungkan
khitanan bagi anak lelakinya. Selain itu dalam kepercayaan masyarakat, jika seorang anak
sudah disunat, biasanya anak itu akan menjadi pintar dan mengalami perubahan tinggi
badan secara drastis. Selain itu anak yang disunat akan menjadi berkah bagi keluarganya.
Sedangkan sisingaan sendiri pada awalnya terbatas hanya untuk sarana hiburan pada
saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini
kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi
penyambutan tamu terhormat, dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk
menyambut atlit yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara
eksklusif berdasarkan permintaan.

BAB II
ISI MATERI
2.3 SEJARAH
Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang
tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang. Kesenian ini
mempunyai ciri khas atau identitas sepasang patung sisingaan atau
binatang yang menyerupai singa.
Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa
pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur,
dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en
Tjiasemlanden). Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat
mulai diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan.
Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang
memperkenalkan lambang negaranya yakni singa. Sehingga secara administratif daerah
Subang terbagi dalam dua bagian, yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara
ekonomi dikuasai oleh Inggris.
Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, sosial, dan
budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam, mereka
melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun
juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut
mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan),
sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau
melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna). Dengan
demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka
secara terselubung, melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi
kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang,
3

dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama
sisingaan.
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan,
atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan
dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu
melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut
menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin, sehingga
para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa bangkit, mengusir
penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati kehidupan yang sejahtera.
Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang pengusung sisingaan
sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru
kawih. Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat
pribumi/terjajah/tertindas, sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni
Belanda dan Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang
nantinya harus mampu mengusir penjajah, nayaga melambangkan masyarakat yang
bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi/semangat kepada
generasi muda untuk dapat mengalahkan serta mengusir penjajah dari daerah mereka.
Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu, sangat tepat dan
jitu menggunakan sisingaan sebagai sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan
diri dari tekanan kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir,
tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian sisingaan, karena lambang
negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat. Pihak penjajah hanya
memahami bahwa kesenian sisingaan merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat
secara spontan, sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan anak.
Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan menggunakan lambang
kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan
menjambak rambut sisingaan, merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum
penjajah.
Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat sekarang ini, cikal
bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut dengan singa abrug karena patung
4

singa ini dimainkan dengan cara diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa
abrug tersebut digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk pertama
kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.
Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian
muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu atau albasia,
rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan
terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan
karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan.
Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Proses
pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan secara bersama-sama, secara gotong royong oleh
masyarakat.
Sementara itu lagu-lagu yang dinyanyikan pada masa itu antara lain lagu badud
samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain. Sedangkan untuk lagu
pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung. Apabila yang mempunyai adalah
tokoh agama/ulama, maka lagu yang disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau
shalawat nabi.
Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat itu belum
terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara mereka masih saling meminjam
sisingaan. Gerakannya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan, namun
tidak menghilangkan gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang
melambangkan keberanian dalam menghadapi musuh. Gerakan yang ditampilkan saat
pertunjukan pada saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong sapi. Sedangkan
busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung sisingaan pada saat itu hanya
mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang
hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan
antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an, busana
pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan
warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup baik.
Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat dilihat dari yang
dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan pertunjukan, bahkan penonton
5

yang tertarik dapat ikut menari di depan sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari
awal atau saat sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga
kesenian sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat yang
bersifat terbuka, umum, dan spontan.
Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan
silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau kerjasama waditra yakni adanya
tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan
sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun
mulai ada perubahan yang cukup besar dan mendasar.
Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran pada masa
lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering ditampilkan pada saat upacara
peringatan hari ulang tahun P & T Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas,
meskipun belum terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.
Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan mulai
mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan,
seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan inspirasinya. Kemudian mulai
bermunculan kelompok-kelompok kesenian sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru,
namun demikian tetap masih ada koreografer-koreografer tradisional yang masih
mendasarkan pada naluri atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.
Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah, hal ini
disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan Subang utara
menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan Gotong Sisingaan. Kemudian
daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah odong-odong, citot, kuda depok, kuda
ungkleuk, kukudaan, kuda singa, singa depok.
Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari tahun 1988,
diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk
pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa
sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan,
kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.

Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat penyambutan


kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani tahun 1968 di Balanakan.
Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan, difungsikan sebagai kesenian untuk
menyambut tamu terhormat/tamu kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan
Subang, para seniman mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.
Event lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971 saat
penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung kesenian acara
tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana Bogor, pada tahun 1973
dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi duta seni Indonesia di Hongkong dan
menjadi juara pertama. Pada tahun 1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying
internasional untuk mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah
secara rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat ini kesenian
sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang, namun sudah menjadi milik
nasional.

2.2 SINOPSIS
Pola penyajian Sisingaan meliputi:
1. Tatalu (tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan

2. Kidung atau kembang gadung

3. Sajian Ibingan, yang terdiri atas tahap-tahap berikut:

Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat
anak yang dikhitan ke atas sisingaan.

Helaran,

yaitu pergelaran/pagelaran

yang

dilakukan dengan cara

berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan. Dalam
kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu unsur yang harus
dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan. Pada saat helaran para
pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga kekompakan, saling
memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung lainnya.

Atraksi/demonstrasi, merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan


yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik.
Dengan demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan
ini.

4. Penutup dengan musik keringan.

2.3 WATAK
Kesenian sisingaan ini berwatak senang, gembira, dan riang karena kesenian
sisingaan ini bertujuan untuk menghibur anak yang baru dikhitan.

2.4 DURASI
Tradisi Sisingaan untuk menghibur anak yang baru dikhitan biasanya
berlangsung lama, bisa dari pagi hingga sore atau malam. Yang membuat sisingaan ini
berlangsung lama adalah saat helaran, atau berjalan berkeliling kampung. Namun jika
hanya untuk hiburan atau pertunjukan, biasanya hanya berlangsung sekitar sepuluh
menit. Namun dalaam presentasi ini kami hanya menayangkan tayangan sisingaan
yang berdurasi 10 menit.

2.5 GERAKAN
Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat anak
yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan
antara lain:
Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari.
Najong, yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan.
Silat tepak tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang,
memukul, dan mengunci.
Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan.
Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang,
dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri.
Ewag, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tarian.
Mincid, yakni gerakan memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil
memutarkan kepala.
Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan
gerakan tendangan.
Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara gendang yang
lebih keras dan sambil melakukan tendangan.

Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang dilakukan dengan cara berkeliling, atau


sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan..Gerak tari yang dilakukan dalam
helaran antara lain:

Mincid yaitu melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan
musik untuk lebih mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke
tanah.
Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke depan, ke samping sesuai
dengan irama gendang.
Gopar/bangkaret, yakni gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas
lutut.
Meresan, yakni berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik.
Mars/incek, yakni berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus.
Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng.
Gerak jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di
awal.
Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki
ke tanah (nenjrag).

Atraksi/demonstrasi, merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan yang


dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik. Dengan
demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan ini. Gerak dan
tari yang ditampilkan dalam atraksi/demonstrasi antara lain:
Bubuka gebrag, yakni membuka gerakan dengan cara meloncat dan
menggebrak sambil mengangkat sisingaan.
Gobyog, yakni gerak naik turun sisingaan, kemudian berlari.
Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai dengan
irama gendang.
Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat menangkis, menendang,
memukul, dan mengunci.
Kidung depok, yakni gerak tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan
irama yang lambat.
Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi.
Ewag/ewag depok, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan
gerak tari.

10

Ewag luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak
tari dan sisingaan diangkat.
Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo
sedang.
Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan sisingaan untuk berpindah
pundak.
Mincid solor, yakni gerakan yang dilakukan setelah ewag dalam lagu
kangsreng dan lagu polos.
Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan
menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup.
Bukaan jaipong, yakni memadukan tari jaipong dengan gerak tari
sisingaan, sehingga terlihat lebih variatif dan atraktif.
Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari mincid tari jaipong sebelum
masuk ke atraksi.
Atraksi, beberapa atraksi yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara
lain oray-orayan, gugunungan, melak cau, dan sebagainya.

2.6 IRINGAN
Musik pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain:
Kendang yang digunakan sebanyak 2 buah.
Fungsi: mengatur irama dan memberi tekanan musik.
Kendang Indung

Kulanter yang digunakan sebanyak 1 buah


Fungsi: mengikuti irama.

Kulanter

11

Bonang yang digunakan sebanyak 3 buah

Bonang (ketuk)

Tarompet yang digunakan sebanyak 1 buah


Fungsi: untuk membawakan melodi.
Tarompet

Goong yang digunakan sebanyak 1 buah


Fungsi: menutup akhir irama dan mengiringi irama.

Goong

Kempul yang digunakan sebanyak 1 buah

Kempul

Kecrek yang digunakan sebanyak 1 buah


Fungsi: ntuk mempertegas dan mengatur irama.

Kecrek

12

Karena Helaran memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh.


Dalam perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal
maupun intrumental), antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu
Gondang,Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat Salira,
Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dll), Lagu Gurudugan,
Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam Sisingaan
tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan Kliningan.

2.7 TATA RIAS


Foundation
Fungsi :
1. Berguna untuk menyamarkan noda serta lingkar kehitaman di
daerah mata.
2. Sebagai shading dan highlight pada beberapa bagian wajah,
sehingga bentuk wajah terlihat lebih proporsional. Untuk tujuan ini gunakan beberapa
foundation dalam berbagai tingkatan warna sesuai dengan bagian yang ingin di
gelapkan (shading) atau di terangkan (highlight)
3. Sebagai penyamar noda untuk fungsi ini gunakan foundation berformula pekat dan
sesuai dengan warna kulit.
Concealer
Fungsi: untuk menutupi kekurangan yang ada pada wajah
kita,misalnya seperti flek,bekas jerawat,mata yang cekung
karena kurang tidur,dll.

Loose powder
Fungsi : Menyatukan foundation dan concealer sehingga pori-pori
tampak lebih kecil dan kosmetikpun bertahan lebih lama.
13

Compact Powder
Fungsi : Memberikan efek rapi dan lembut pada riasan wajah
secara keseluruhan

Lipstik
Fungsi: Memberi warna pada bibir sehingga tercipta kesan yang
diinginkan.

Pensil alis
Fungsi: Membentuk dan memberikan efek tebal pada alis

Maskara
Fungsi: Membuat bulu mata menjadi lebih tebal, lentik, dan
memberi kesan panjang

Eyeshadow
Fungsi: untuk menghias kelopak mata dengan warna-warna yang
menarik dan indah.

14

Eyeliner
Fungsi: Membuat mata terlihat lebih tajam dan tegas.

Blush On
Fungsi: Untuk menegaskan bentuk rahang atau tulang pipi

2.8. TATA BUSANA


Busana yang dipakai oleh pengusung hanya satu jenis saja, yaitu:
1. Iket terbuat dari kain batik berwarna coklat,
2. Kampret berwarna merah atau oranye
3. Beubeur dengan warna kuning
4. Celana panjang (pangsi) hijau atau oranye
5. Sepatu kelinci (titania) dengan warna putih
6. Kaos kaki panjang
Sedangkan busana yang digunakan oleh penari jaipong adalah kebaya, kain (untuk
rok), ikat pinggang, selendang,sanggul, dan perlengkapan lain

15

2.9 . TATA CARA


o Orang tua, keluarga, dan kerabat berkumpul. Seorang dukun sunat yang disebut
paraji beserta asistennya yang memimpin upacara. Paraji sunat bukan hanya
sekedar tukang sunat, tetapi melainkan dianggap sebagai orang yang mempunyai
koneksi terhadap dunia ghaib. Selama upacara awal, sang anak ditemani oleh
seorang gadis cilik yang melambangkan kalau laki-laki dan perempuan itu tidak
terpisahkan.
o Kedua bocah itu lalu dibawa mengelilingi lesung dan menerima sejumput padi.
Menjelang petang, upacara awal ditutup.
o Keesokan harinya, seusai shalat shubuh, angklung jengglang mengiringi arakarakan. Sang anak menuju sungai untuk berendam. Berendam disungai adalah
sebuah syarat awal penyunatan. Tujuannya agar darah membeku agar anak tidak
merasa begitu sakit saat disunat.
o Ritual disungai pun usai. Sang anak kemudian dipangku dan dibawa ke halaman
rumah untuk disunat oleh paraji sunat.
o Banyak orang yang menyaksikan diantaranya ada yang membawa ayam untuk
disembelih, ada yang memegang petasan dan ada yang membawa berbagai macam
tetabuhan sambil menyanyikan marhaba. Bersamaan dengan disunatnya anak itu,
ayam jantan disembelih sebagai bela, petasan disulut dan tetabuhan dibunyikan.
o Tidak lama setelah itu para undangan berdatangan, baik yang dekat maupun yang
jauh. Mereka memberikan uang/nyecep pada anak yang telah disunat itu agar
bergembira dan melupakan rasa sakitnya .
o Dari pagi hingga malam, pertunjukan kesenian sisingaan ditampilkan. Pertunjukan
sisingaan dibagi kedalam tiga tahap yaitu naekeun (menaikkan sang anak keatas
patung sisingaan), helaran (diarak keliling kampong), dan atraksi (variasi gerak dan
tari pada sisingaan yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai
daya tarik.)
o Saat malam semakin larut, Angklung Jengglung kembali dikumandangkan. Namun,
ritual penutup ini khusus digelar bagi roh halus yang telah memberikan berkah
16

sehingga perhelatan berjalan sukses. Warga sekitar percaya roh-roh ghaib turut
bergembira melalui perantara badan-badan penari yang kesurupan. Pesta selesai
seiring dengan menyatunya jagad manusia dengan alam ghaib.

2.10 POLA LANTAI

P
E
M

KETERANGAN:

= Patung Singa

O
M

= Pengusung

= Pembawa payung

= sinden

17

2.11 Galeri Foto

Sisingaan

Helaran

Mengusung sisingaan

Para pengusung sisingaan

Melakukan gerakan secara kompak

Penari Jaipong

Menari Jaipongan

Anak yang dikhitan

18

Atraksi atau demonstrasi

Atraksi atau demonstrasi

Atraksi atau demonstrasi

Atraksi atau demonstrasi

Musik keringan
Kidung

Sisingaan

Sisingaan

19

Atraksi Atau Demonstrasi

Mengusung Sisingaan

Menari Jaipongan

20

BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di
Kabupaten Subang. Kesenian ini mempunyai ciri khas atau identitas sepasang patung
sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.
Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa
pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur,
Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan
dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan. Dalam waktu yang
bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan
lambang negaranya yakni singa.
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan
secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, busana, dan fungsi sisingaan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti
perkembangan zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.
Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada
saat anak dikhitan, dengan cara keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan
mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat,
dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit yang berhasil
memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif berdasarkan
permintaan.
Tradisi sisingaan ini sekarang biasa di pakai sebagai hajatan seorang anak sehabis di
khitan. Sebagai tanda kalau anak itu telah memasuki ke tingkat dewasa. Anak yang habis
dikhitan tersebut, biasanya menaiki sisingaan tersebut. Kemudian sisingaan tersebut di
21

angkat atau di gotong oleh 4 orang dewasa. Lalu anak tersebut di gotong memakai
sisingaan tersebut mengelilingi kampung dengan di iringi musik-musik tradisional khas
sunda. Tradisi sisingaan ini masih ada di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Subang.

3.2 KRITIK DAN SARAN


Menurut kelompok kami, pelaksanaan tradisi khitanan yaitu sisingaan sudah
berlangsung cukup baik. Namun ada bagian yang kurang kami setujui. Pada bagian tata
cara pelaksanaan, anak yang mau dikhitan harus berendam di sungai pada dini hari agar
darahnya membeku sehingga anak tidak merasa sakit saat dikhitan. Jika kita lihat dari sisi
medis, hal ini justru membahayakan. Darah seharusnya tidak boleh dibuat membeku
karena akan berbahaya bagi tubuh si anak dan bisa menyebabkan kematian.
Selain itu mungkin tidak ada yang bisa kami kritik karena secara keseluruhan tradisi
sisingaan ini berlangsung cukup baik dan tertib.

22

3.3 LEMBAR PERTANYAAN DAN JAWABAN


NO

KELOMPOK & NAMA

PERTANYAAN

23

JAWABAN

3.1 TABEL PENILAIAN


NO

NAMA

PENILAIAN

24

BAB IV
PENUTUP
4.1 PENUTUP
Assalamualaikum wr. wb.
Dengan berakhirnya makalah ini, kami sebagai tim penulis mengharapkan karya
tulis ini digunakan untuk hal yang semestinya dan tidak disalahgunakan. Kami
menyadari tidak ada gading yang tak retak. Sehingga kami mohon maaf apabila ada
kesalahan informasi, kesalahan penulisan, dan kata-kata yang menyinggung perasaan.
Kami menerima kritik maupun saran yang diberikan kepada kami mengenai karya tulis
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siswa/siswi SMA Negeri 3 Bogor dan
pihak lain yang membaca karya tulis kami.
Wassalamualaikum wr. wb.

Salam hormat,

Tim Penulis

25

4.1 DAFTAR PUSTAKA

http://blog.ugm.ac.id/2010/11/11/tradisi-sisingaan-di-subang/

http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingaan

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan &
Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

Respository.upi.edu/operator/upload/s_c0951_055349_chapter4.pdf

http://www.infowisata.web.id/2011/06/sisingaan.html

http://situseni.com/jejak/wikiseni

http://ferdy-skynet.blogspot.com/2010/03/genjring-bonyok.html

26

Anda mungkin juga menyukai