Anda di halaman 1dari 15

Mereka yang Melawan: Melihat Masyarakat Samin Lewat Perspektif

Anarkisme
Najib

Latar Belakang
Pertama kali saya mengetahui masyarakat Samin yaitu dari film
dokumenter berjudul “SAMIN vs SEMEN” yang diproduksi oleh Watchdoc. Film
berdurasi kurang lebih 40 menit ini bercerita soal perjuangan masyarakat Samin di
kaki pegunungan Kendeng yang melawan pembangunan pabrik semen. Dari situ
saya mengetahui ternyata di zaman yang serba modern dan begitu akut
ketergantungannya pada uang, terdapat kelompok orang yang cara hidupnya sama
sekali berbeda. Mereka benar-benar menggantungkan hidupnya pada sumber daya
alam di sekitarnya. Mereka makan dari hasil pertanian yang mereka jalankan.
Model pertaniannya pun bukan pertanian modern yang mengandalkan bibit dan
pupuk dari pemerintah atau pihak swasta. Bahkan, mereka menggunakan kotoran
sapi yang diolah menjadi gas untuk kebutuhan memasak.
Sesaat setelah menonton film dokumenter tersebut, saya benar-benar
terperangah. Imajinasi saya soal kesejahteraan yang identik dengan kepemilikan
uang dan harta tiba-tiba saya pertanyakan kembali. “Apa itu kesejahteraan?”,
“Apakah pembangunan selalu membawa kesejahteraan atau malah sebaliknya?”.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlintas di benak saya setelah menonton film
tersebut. Yang lebih mengherankan buat saya, selain kemandirian hidupnya,
masyarakat Samin yang notabene hidup di Pulau Jawa memiliki perbedaan yang
cukup mencolok dengan orang Jawa pada umumnya – terutama Jawa Tengahan
atau bekas daerah kekuasaan Mataram. Misalnya mereka menolak menggunakan
hierarki bahasa yang khas Mataram itu.
Penolakan masyarakat Samin untuk menggunakan hierarki bahasa
menunjukkan kecenderungan egaliter yang ada pada mereka. Ini mengingatkan
saya pada suatu gerakan serupa yang muncul pada 1917 yaitu gerakan Djawa
Dwipa. Gerakan ini menganjurkan agar orang-orang Jawa memakai bahasa Jawa
Ngoko atau bahasa Jawa yang dicap kasar oleh golongan bangsawan dan priyayi
sebagai bahasa sehari-hari untuk mendobrak tatanan feodal yang telah lama
mapan di Jawa.1 Gerakan yang diinisiasi oleh anggota Sarekat Islam (SI) dan
golongan kiri ini merupakan respon atas kolonialisme yang diperparah dengan
banyaknya golongan bangsawan atau priyayi yang menjilat penjajah, alih-alih
berpihak pada bangsanya sendiri.
Selain beberapa hal yang telah saya sebutkan di atas, yang membuat saya
makin tertarik untuk lebih jauh mengetahui seluk-beluk masyarakat Samin adalah
terbitnya buku berjudul Dayak Mardaheka: Sejarah Masyarakat Tanpa Negara di
Pedalaman Kalimantan karya Bima Satria Putra (2021). Bima mengajukan satu
tesis penting yang bagi saya begitu berani:2

“...yang diimpor dan asing itu bukanlah anarkisme, melainkan negara. Kita
mengimpor banyak hal tentang raja dan kenegaraan (statecraaft) sehingga
para ahli sejarah yang jujur tidak akan menyangkal bahwa apa yang kita
maksud dengan “negara” hari ini dengan sengaja mewarisi kumpulan
pengalaman penjajah. Asumsi sejarah kita menjadi buram akibat
historiografi nusantara yang melulu berpusat pada sejarah penguasa dan
penakluk. Saya salah karena pikiran saya tentang Nusantara merujuk pada
Gajah mada atau Sriwijaya. Karenanya saya menggunakan pendekatan
berbeda untuk melihat dunia dari sudut pandang mereka yang dikuasai dan
ditaklukan.”

Meski terpaut jarak yang cukup jauh antara pedalaman Kalimantan tempat
tinggal orang-orang Dayak dengan daerah utara Jawa Tengah tempat bermukim
masyarakat Samin, menurut saya ada beberapa kemiripan yang unik di antara dua
kelompok masyarakat ini. Pertama, mereka sama-sama memiliki kecenderungan
egaliter. Kedua, sepanjang sejarah kedua kelompok masyarakat ini ditandai
dengan ketidakpatuhan terhadap otoritas dengan menolak pajak, upeti, dan
perbudakan atau kerja paksa. Ketiga, mereka dulunya mampu bertahan tanpa
bergantung pada uang, pasar, bahkan negara. Keempat, mereka sama-sama
digambarkan sebagai masyarakat yang “terbelakang”, “bodoh”, bahkan “primitif”

1
Aji Dedi Mulawarman, “Jang oetama yang hidup”, Oetoesan Hindia: Pemikiran
Kebangsaan, Vol. 1, No. 1, 2019, hlm 35.
2
Bima Satria Putra, Dayak Mardaheka: Sejarah Masyarakat Tanpa Negara di
Pedalaman Kalimantan, (Salatiga: Pustaka Catut, 2021), hlm iv.
yang kita bisa tahu bahwa stigma-stigma tersebut diciptakan oleh penguasa karena
kedua kelompok ini memang sulit untuk sekadar diatur.3 Karena hal-hal inilah,
saya pikir perlu untuk melihat apa yang dilakukan oleh masyarakat Samin adalah
satu bentuk perlawanan mereka pada otoritas dan kekuasaan.

Bab 1
Embrio Masyarakat Samin
Berbicara mengenai masyarakat Samin tidak bisa dilepaskan dari sosok
yang bernama Samin Surosentiko. Seorang yang diperkirakan lahir pada tahun
1859, di desa Randublatung, bagian selatan Kabupaten Blora. Disebutkan bahwa
ia hanyalah seorang petani biasa yang memiliki lahan sawah padi seluas 3 bau (5
hektar).4 Dari nama depannya inilah orang-orang mengidentifikasi suatu gerakan
perlawanan kaum tani di sekitaran utara Jawa, khususnya Blora, sebagai
masyarakat Samin. Sebab gerakan ini didasarkan oleh ajaran-ajaran dari Samin
Surosentiko.5 Kendati demikian, bagi masyarakat Samin sendiri, mereka lebih
suka mengidentifikasi diri mereka sebagai Sedulur Sikep.
Pada sekitar 1890, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajarannya
secara diam-diam. Awalnya ia menyebarkan ajarannya di desanya sendiri dan
desa-desa di sekitarnya. Pada masa-masa awal itu, pihak kolonial belum menaruh
perhatian pada kelompok ini. Pemerintah kolonial belum memiliki kecurigaan
pada apa yang sedang dilakukan dan dibangun oleh Samin Surosentiko beserta
pengikutnya. Situasi mulai berubah sejak 1905. Pengikut ajaran Samin
Surosentiko mulai menjaga jarak dari kehidupan desa pada umumnya: mereka
menolak untuk turut berpartisipasi pada lumbung desa (bank padi). Tidak hanya
itu, penafsiran mereka atas pajak atau upeti juga berubah. Mereka beranggapan

3
Ibid., hlm 3. Lihat pula, Mukodi dan Afid Burhanuddin, Pendidikan Samin
Surosentiko, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015), hlm 1.
4
Harry J. Benda and Lance Castles, “The Samin Movement”, Bijdragen tot de
Taal Land en Volkenkunde, Vol. 125, 1969, hlm 210.
5
A. Widyarsono, Gerakan Samin: Perlawanan Rakyat Tanpa Kekerasan, Unisia,
No. 36, XXI/IV, 1998, hlm 81.
tidak ada kewajiban bagi mereka untuk membayar pajak, kecuali jika mereka
ingin membayarnya secara sukarela.6
Gerakan ini terus berkembang dan meluas hingga pada 1906 pemerintah
kolonial melaporkan bahwa pengikut Samin Surosentiko telah mencapai 3.000
orang. Tersebar tidak hanya di Blora. Orang-orang dari bagian selatan Rembang,
Grobogan, Bojonegoro, Tuban, hingga Ngawi mulai berduyun-duyun datang ke
Blora untuk belajar mengenai ajaran baru ini. Hal ini menyebabkan Klontrolir 7
Blora meradang, apalagi setelah ia mendengar rumor bahwa gerakan ini hendak
melakukan pemberontakan pada 1 Maret 1907. Beberapa hari berselang,
pemerintah kolonial menangkapi pengikut Samin yang sedang berkumpul untuk
melakukan slametan8 di daerah Kedung, Tuban. Saat itu Samin Surosentiko tidak
berada di situ. Namun, tak lama setelahnya, Samin Surosentiko menerima
undangan Bupati Rembang dan saat itu pula ia ditangkap. 9 Pada tahun yang sama
Samin Surosentiko dibuang ke Sumatera Barat dan meninggal di sana pada
1914.10

Swa-Barbarisasi
Pada 1918 seorang tokoh pergerakan anti-kolonial bernama Dr.
Tjiptomangunkusumo pergi ke Blora untuk mempelajari gerakan perlawanan yang
dilakukan para pengikut Samin Surosentiko. Ia tertarik mempelajari gerakan ini
salah satunya karena semangat zaman waktu itu. Setahun sebelumnya, yaitu 1917,
di Rusia terjadi revolusi yang dipelopori oleh kaum Bolshevik. Revolusi yang
identik dengan kemenangan kaum buruh dan petani ini tidak mungkin luput dari
telinga kaum pergerakan anti-kolonial di Hindia Belanda. Salah satunya adalah
Dr. Tjiptomangunkusumo. Ia menggambarkan bahwa ajaran agama Adam yang
6
Harry J. Benda and Lance Castles, Op. Cit., hlm 210-211.
7
Pejabat administrasi kolonial tingkat terendah.
8
Salah satu ritual dalam tradisi khas masyarakat agraris yang diadakan untuk
memohon keselamatan pada yang kuasa. Dalam konteks Jawa terdapat beragam
jenis makanan yang harus disajikan saat ritual berlangsung.
9
A. Widyarsono, Op. Cit., hlm 83.
10
Takashi Shiraishi, Dunia Hantu Digul: Pemolisian Sebagai Strategi Politik di
Indonesia Masa Kolonial, 1926-1941, alih bahasa Jafar Suryomenggolo,
(Yogyakarta: INSISTPress, 2023), hlm 37.
dipercayai orang-orang Samin memiliki kesamaan dengan sebuah sekte agama di
zaman Tsar Rusia yang bertujuan untuk meniadakan Tuhan, setan, surga, neraka,
kekuasaan Tsar, sistem kepemilikan, serta hukum negara.11 Bagi saya, apa yang
dilakukan oleh Dr. Tjiptomangunkusumo ini semacam bentuk propaganda kepada
orang-orang pada zaman tersebut – khususnya kaum pergerakan dan kaum anti-
kolonial – bahwa ada satu bentuk perlawanan kaum tani yang unik karena sama
sekali tidak dipengaruhi ide-ide yang masuk dan berkembang di kalangan
intelektual atau pergerakan zaman itu seperti nasionalisme, islamisme, dan
komunisme. Apa yang dilakukan Dr. Tjiptomangunkusumo bagi saya adalah
menakar tanah di negeri sendiri dan menggali harapan. Bahwa akar perlawanan
dan cita-cita akan kemerdekaan serta kebebasan sebenarnya ada dalam diri rakyat
kita sendiri seperti yang telah dilakukan oleh Samin dan para pengikutnya.
Karena kecenderungan anarkistik yang dimiliki gerakan Samin seperti
yang diungkapkan oleh Dr.Tjiptomangunkusumo tersebut, bagi saya perlu untuk
lebih jauh lagi melihat apa yang dilakukan orang-orang Samin lewat perspektif
anarkis kontemporer. Saya meminjam apa yang telah dilakukan James C. Scott
dalam karyanya The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland
Southeast Asia (2009) serta Bima Satria Putra dalam Dayak Mardaheka: Sejarah
Masyarakat Tanpa Negara di Pedalaman Kalimantan (2021). Mereka sama-sama
menggunakan istilah “swa-barbarisasi” (self-barbarization) untuk menyebut suatu
kelompok masyarakat yang dengan sengaja menghindari dan menolak kekuasaan
atau otoritas negara. Swa-barbarisasi ialah ketika masyarakat yang berada di
dalam maupun di luar lingkup kekuasaan negara memilih untuk dengan sengaja
membarbarkan dirinya; dengan sengaja memilih untuk tidak berasimilasi dengan
budaya dan rutinitas negara. Artinya, bukan saja memberi jarak fisik melainkan
juga menjaga jarak dengan budaya yang dihasilkan negara itu sendiri.12
Sejak awal kemunculannya hingga saat ini masyarakat Samin
diidentifikasikan sebagai orang Jawa yang sekaligus bukan Jawa. Sebab mereka
sama sekali berbeda dengan orang Jawa pada umumnya yang memegang teguh
11
Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,
alih bahasa Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm 126.
12
Bima Satria Putra., Op. Cit., hlm 81.
nilai-nilai ke-Jawa-an ala keraton yang feodal seperti kepatuhan pada otoritas,
penerimaan atas stratifikasi sosial dalam masyarakat atau nilai kesopanan yang
dilaksanakan lewat hierarki bahasa. Tidak mengherankan apabila akhirnya orang-
orang Samin disebut oleh orang-orang di luar mereka sebagai “Suku Samin”.
Sebab pembentukan suatu etnis atau suku baru terkadang merupakan pilihan
politik aktif dalam upaya penolakan atas otoritas negara, baik negara pramodern
maupun negara modern.13

Alasan-Alasan Perlawanan
Sudah barang tentu suatu bentuk perlawanan – terutama terhadap negara –
memiliki alasan-alasan yang sifatnya ekonomis, selain politis. Dalam konteks
perlawanan masyarakat Samin, kita bisa melihat alasan ekonomis yang kuat. Pada
permulaan abad ke-20, kebijakan kolonialisme Belanda mengalami pergeseran. Di
negeri Belanda, parlemen dikuasai oleh golongan liberal yang nantinya
mempengaruhi pergeseran kebijakan pada negeri-negeri jajahan. Terutama untuk
Hindia Belanda, mereka mengembangkan suatu kebijakan yang dikenal sebagai
“politik etis”. Hal ini didasarkan atas keprihatinan-keprihatinan Belanda atas
kesejahteraan Hindia Belanda. Kaum intelektual dan pergerakan bumiputra yang
nantinya akan begitu berkobar semangatnya untuk mencapai cita-cita
kemerdekaan ialah mereka yang mampu menikmati hasil dari kebijakan ini.
Sementara kaum priyayi atau bangsawan bisa mengakses hasil dari politik etis,
kita bisa melihat bahwa politik etis ini justru membuat rakyat jajahan – khususnya
kelas bawah – makin tertindas. Ini yang nantinya juga menjadi alasan perlawanan
masyarakat Samin.
Sejatinya, kebijakan tersebut justru memuluskan penetrasi kapitalisme
swasta di Hindia Belanda. Pada masa itu, modal Belanda dan internasional
berusaha mencari lahan-lahan basah baru bagi kepentingan investasi dan
eksploitasi bahan-bahan mentah.14 Kepentingan bisnis makin masif setelah kaum
liberal dan humanis Belanda memberi dukungan pada apa yang ingin
13
James C. Scott, The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of
Upland Southeast Asia, (New Haven & London: Yale University Press, 2009),
hlm 184.
dilaksanakan oleh kalangan pengusaha ini. Hal ini justru yang akhirnya makin
memberatkan rakyat. Sebab logika kapitalisme yang tujuannya adalah menggali
profit sebesar-besarnya. Kita bisa tahu bahwa embel-embel kesejahteraan dan
kemanusiaan yang digaungkan kaum liberal Belanda lewat kebijakan politik etis
kebanyakan hanyalah janji-janji belaka.
Pada periode yang sama, kebijakan etis dilaksanakan di Madiun,
Rembang, Semarang dan sekitarnya. Blora yang berada di sekitar Rembang juga
merasakan dampak yang sama dari kebijakan baru tersebut. Bentuk kebijakan
tersebut berupa: sistem irigasi atau pengairan sawah yang diperbaiki,
pengumpulan kas desa melalui sawah celengan, masuknya sapi Bengala yang
menggantikan sapi lokal untuk peternakan, serta kewajiban kerja bakti untuk desa.
Sekilas arah kebijakan ini memang untuk perbaikan kesejahteraan rakyat. Namun,
kenyataannya justru menyengsarakan rakyat. Hal ini disebabkan munculnya
pungutan-pungutan baru oleh otoritas yang berwenang di semua lembaga
tersebut.15
Salah satu kebijakan yang makin memberatkan rakyat adalah pembaruan
pajak tanah yang mulai dilaksanakan pada 1913-1914. Kebijakan ini berlaku bagi
semua petani yang memiliki tanah lebih dari ¼ bau. Tak hanya untuk lahan yang
diperuntukkan sebagai sawah atau lahan produktif, mereka yang memiliki lahan
pekarangan pun akan dikenai pajak yang sama. Kita bisa melihat bobroknya
penerapan kebijakan etis ini. Selain pajak tanah yang sebenarnya sudah
memberatkan rakyat, tarif untuk pajak ini berubah-ubah dan cenderung terus naik.
Kesaksian dari seorang pengikut Samin dari daerah Simo, Grobogan mengeluhkan
kenaikan pajak tanah sawah yang sebelumnya 1,50 Gulden per bau menjadi 4,40
Gulden per bau.16 Ditambah dengan waktu penarikan pajak yang tidak menentu.
Terkadang penarikan pajak sudah dimulai di masa sebelum panen. Sebagai petani
yang hanya menggantungkan hidupnya dari hasil panen, kita bisa melihat bahwa
kebijakan ini pada dasarnya memang cenderung mengeksploitasi.

14
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Penerbit
Serambi, 2005), hlm 319.
15
A. Widyarsono. Op. Cit., hlm 87-88.
16
Ibid.
Tidak hanya pajak. Blora dan Rembang merupakan daerah yang penuh
dengan hutan jati. Masyarakat Samin umumnya tinggal di sekitaran hutan jati
tersebut. Namun, dengan dilaksanakannya kebijakan politik etis yang makin
memuluskan kapitalisme swasta, hutan jati di daerah tersebut dianggap memiliki
nilai ekonomis yang tinggi. Pemerintah kolonial sadar akan hal itu dan membuat
kebijakan penutupan hutan jati yang sudah sejak lama dimanfaatkan untuk
kebutuhan rakyat. Sejak saat itu, hutan di daerah Blora dieksploitasi untuk
kepentingan industri kayu. Karena kayu jati dari Blora terkenal akan kualitasnya
yang tinggi dan dikenal di seluruh dunia dengan nama merek dagang Java-teak.17
Untuk itu, pemerintah kolonial membentuk polisi hutan untuk menjaga hutan
kayu jati agar tidak dimanfaatkan rakyat. Biasanya mereka yang berani
mengambil kayu dan ketahuan oleh polisi hutan akan dihukum dengan dalih
“pencurian”, meski jumlah yang mereka ambil sangat sedikit. Padahal apabila
ditelisik lebih jauh, pemanfaatan kayu jati oleh rakyat skalanya selalu kecil
ketimbang pemerintah yang mengeksploitasi secara masif dan intensif untuk
kepentingan bisnis. Karena alasan-alasan ini, kita bisa melihat bentuk-bentuk
perlawanan masyarakat Samin.

Bentuk-Bentuk Perlawanan
Puncak perlawanan masyarakat Samin berlangsung pada tahun 1914. Hal
ini tentu saja merupakan respon atas kenaikan pajak serta penutupan hutan kayu
jati yang merupakan bentuk dari kebijakan politik etis. Seorang pengikut Samin
dari Balerejo, Madiun tercatat secara terang-terangan mengajak banyak orang di
sekitarnya untuk menipu aparat, sebab pajak akan terus naik.18 Ada cerita menarik
soal ini. Pada bulan Desember 1914, seorang pengikut Samin diperiksa oleh Patih
di pengadilan.19 Si Patih berkata bahwa dia berhutang sebesar 90 sen kepada
negara. Orang ini lantas menjawab, “Saya tak punya hutang pada negara”. Si
Patih terus mendesak bahwa sebagai warga negara, ia mesti membayar pajak.
Lagi-lagi, orang ini berkata, “Wong Sikep tak kenal pajak”. Si Patih terus
17
Ibid., hlm 89.
18
Ibid., hlm 84.
19
Harry J. Benda and Lance Castles, Op. Cit., hlm 225.
berusaha meyakinkan orang ini agar ia membayar pajak. Si Patih menunjukkan
bagaimana mekanisme pajak berjalan. Ia berkata, “Negara mengeluarkan uang
untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak memiliki cukup uang, tidak akan
mungkin bisa merawat jalan dengan baik”. Dengan enteng pengikut Samin ini
menjawab, “Kalau menurut kami keadaan jalan itu tidak baik, kami sendiri yang
akan memperbaiki”. Selain itu, terdapat cerita yang tidak kalah menarik. Suatu
kali, karena enggan membayar pajak, harta milik seorang pengikut Samin disita
oleh pemerintah. Anehnya sampai habis disita orang ini tidak melawan. Lalu sisa
hasil dari penjualan harta sitaan dari orang Samin ini hendak dikembalikan, ia
menolak: “Saya tidak menjual apa-apa”. Petugas kolonial yang kebingungan
lantas berkata bahwa uang ini bisa digunakan untuk membayar pajak pada negara.
Orang Samin ini pun membalas, “Apa itu uang? Saya tidak bisa berbuat apa-apa
dengan uang”.20
Dari cerita-cerita di atas kita bisa tahu bahwa masyarakat Samin punya
caranya sendiri untuk tidak patuh pada otoritas. Bahkan, cenderung mengejek dan
mengakali otoritas. Sebenarnya, cara-cara semacam itu memang khas masyarakat
egaliter yang cenderung menolak otoritas dan kekuasaan negara. Misalnya cerita
Orang Bukkit (Meratus) yang kasusnya mirip seperti cerita Orang Samin di atas.
Orang Bukkit sengaja memiskinkan dirinya agar tidak ditarik upeti oleh negara. 21
Mereka dikenal sebagai orang yang sebagaimana orang Dayak pada umumnya,
tidak menyukai otoritas, malas, miskin, bahkan mempersulit diri sendiri. Mereka,
alih-alih menanam ladang mereka dengan padi, lebih memilih menanam jagung,
nangka, keladi, kacang, dll. Mengapa mereka menanam tanaman-tanaman tersebut
dan bukannya padi? Sebab, mereka tahu bahwa tanaman-tanaman tersebut
merupakan tanaman yang tidak dapat disimpan lama – tidak seperti padi dan
sejenisnya. Memungut pajak atau upeti dari tanaman semacam itu tentu akan tidak
sepadan dengan upaya dari si pemungut pajak. Kita bisa melihat bentuk-bentuk
perlawanan semacam ini adalah cara lain untuk tidak dikontrol sepenuhnya oleh
otoritas, apabila perlawanan secara fisik tidak memungkinkan. David Graeber

20
A. Widyarsono, Op. Cit., hlm 86.
21
Bima Satria Putra, Op. Cit., hlm 406.
dalam Kepingan-Kepingan Antropologi Anarkis (2020) menyatakan bahwa
bentuk-bentuk pembangkangan seperti di atas sebagai: “Penolakan secara sadar
terhadap bentuk-bentuk tertentu dari kekuatan politik menyeluruh yang juga
menyebabkan orang untuk memikirkan kembali dan mengatur kembali cara
mereka berurusan satu sama lain setiap hari”.22

Elmu Adam
Seperti yang sudah saya singgung di awal, istilah “orang Samin” atau
“masyarakat Samin” bukanlah istilah yang diciptakan sendiri oleh orang-orang
dari komunitas tersebut. Mereka lebih suka mengidentifikasi kelompok mereka
sebagai “wong sikep” atau “sedulur sikep”. Justru, pada awalnya istilah “orang
Samin” konotasinya merendahkan. Istilah “orang Samin” bahkan hingga kini bagi
beberapa orang identik dengan perilaku buruk.23 Istilah “Samin” ini beriringan
dengan stigma “terbelakang”, “bodoh”, “liar”, “tidak sopan”, “tidak bisa diatur”.
Istilah dan stigma yang melekat pada suatu kelompok masyarakat tidak terjadi
begitu saja, melainkan tercipta dari suatu kurun waktu tertentu pengkondisian
hubungan suatu etnis atau kelompok masyarakat tertentu dengan otoritas negara. 24
Ini adalah akibat dari pembangkangan suatu kelompok masyarakat tertentu
terhadap otoritas. Artinya, istilah beserta stigma yang melekat pada suatu
kelompok tertentu diciptakan otoritas untuk membedakan dirinya dengan
kelompok yang ingin mereka taklukan. Stigma-stigma tersebut digunakan salah
satunya untuk membenarkan proses penaklukan yang otoritas hendaki.
Masyarakat Samin lebih suka diidentifikasi sebagai wong sikep karena
ajaran yang mereka anut, yaitu elmu Adam atau agama Adam. Meski terdengar
mendapat pengaruh Arab, ajaran ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
ajaran Islam, pun tidak diilhami oleh ajaran Hindu-Buddha.

22
David Graeber, Kepingan-Kepingan Antropologi Anarkis, alih bahasa Bima
Satria Putra, (Salatiga: Pustaka Catut, 2020), hlm 53.
23
Sugeng Winarno, Samin: Ajaran Kebenaran yang Nyleneh, dalam Agama
Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger,
(Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm 55.
24
Bima Satria Putra, Op. Cit., hlm 70-71
“Kepercayaan ini lebih merupakan suatu kumpulan doktrin-doktrin etika
dan agama yang menitikberatkan pada pentingnya kerja pertanian,
kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga inti,
sementara menolak perekonomian uang, struktur-struktur desa yang
bersifat non-Samin, dan segala bentuk kekuasaan dari luar” menurut
Ricklefs.25

Ajaran yang dianut oleh orang-orang Samin ini cenderung atheistik. Pada 1906,
seorang pengikut Samin ditanyai mengenai konsepsi Tuhan. Orang itu berkata
bahwa, “Tuhan ada dalam diri saya”.26 Bahwa keselamatan atas siksaan juga
karena dirinya sendiri. Ini sama seperti yang diungkapkan oleh Dr.
Tjiptomangunkusumo. Kendati memiliki kecenderungan atheistik, mereka tidak
sepenuhnya menolak keberadaan Tuhan. Hanya saja konsepsi ketuhanan mereka
berbeda. Mereka mengakui keberadaan Tuhan yang tercermin melalui empat arah
mata angin (utara, selatan, timur, dan barat). Bahwa keempat arah mata angin itu
sebagai batas-batas alam semesta secara mistik. Segala yang berada dalam alam
semesta adalah ciptaan Tuhan. Dan Tuhan itu sejatinya ada di dalam diri sendiri.27
Konsepsi ketuhanan yang semacam ini berpengaruh pada hidup keseharian
mereka, sekaligus juga pada perlawanan mereka pada otoritas. Untuk hubungan
sesama manusia, mereka percaya bahwa setiap manusia sami (sama dan
sederajat). Oleh sebab itu, mereka menolak menggunakan hierarki bahasa.
Sekalipun kepada pihak kolonial atau kaum priyayi mereka tetap menggunakan
bahasa Ngoko atau bahasa Jawa kasar.28 Selain itu, doktrin lain ajaran ini adalah
lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe yang artinya tanah, air, dan
kayu milik semua orang dan semua orang memiliki hak yang sama untuk
mengakses segala hal tersebut.29 Ajaran-ajaran ini mereka aplikasikan dalam
konteks perlawanan terhadap otoritas. Misalnya mereka yang dengan sengaja
menolak untuk bersikap sopan pada penguasa atau mereka tetap mengambil kayu
di hutan jati meski dilarang oleh pemerintah kolonial.,
25
M. C. Ricklefs, Op. Cit., hlm 349.
26
Harry J. Benda and Lance Castles, Op. Cit., hlm 226.
27
Agus Budi Purwanto, Skripsi: “Samin dan Kehutanan Abad XIX” (Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2009), hlm 27.
28
Sugeng Winarno, Op. Cit., hlm 58.
29
A. Widyarsono, Op. Cit., hlm 90.
Kesimpulan
Masyarakat Samin yang mendiami daerah utara pulau Jawa merupakan
suatu kelompok yang lahir karena perlawanan mereka kepada otoritas negara.
Saya menyebut otoritas, bukannya pemerintah kolonial sebab hingga sekarang
mereka masih berusaha menjaga otonomi dan kemerdekaan mereka. Selain masih
mendapat stigma “terbelakang”, “bodoh”, “liar”, “tidak bisa diatur” dan
sebagainya, mereka kini menghadapi tantangan yang jauh lebih besar ketimbang
pada masa kolonial Belanda. Salah satunya adalah mempertahankan otonomi dan
kemandirian hidup. Di tengah derasnya arus modernitas sejauh mana mereka
mampu mempertahankan otonomi dan kemandirian. Beberapa orang mengatakan
bahwa generasi muda mereka sudah mulai meninggalkan ajarannya. Bahkan,
mereka cenderung malu untuk disebut wong Samin.
Menurut saya peran para intelektual juga turut membuat otonomi dan
kemandirian mereka makin terancam. Dalam sebuah buku tentang masyarakat
Samin – yang ironisnya juga saya pakai sebagai sumber dalam tulisan ini – tertulis
bahwa para intelektual ini meneliti kehidupan mereka sekaligus memberikan
penyuluhan-penyuluhan yang menurut saya mendorong orang-orang Samin ini
agar makin terintegrasi dengan logika negara dan kapital lewat ilusi-ilusi
kemajuan dan pembangunan. Bagi saya, logika ini sebenarnya adalah logika
kolonial atau penjajah. Mereka para penjajah berusaha menunjukkan apa yang
baik dan buruk; apa yang maju dan apa yang tidak maju; apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya ditinggalkan.
Kendati demikian, saya yakin mereka pasti menemukan cara mereka
sendiri untuk menghadapi kenyataan zaman. Bagaimana mereka tetap teguh
menolak pembangunan pabrik semen di sekitar pegunungan Kendeng
menunjukkan pada saya bahwa harapan akan selalu ada. Bukan hanya itu, saya
pun merasa punya semacam kegelisahan tersendiri ketika menulis tentang mereka
tanpa sepengetahuan mereka. Saya sungguh takut menjadi sama seperti para
intelektual yang sudah saya sebutkan di atas. Kendati demikian, saya percaya
bahwa intelektual memang mesti punya keberpihakan. Dan semoga lewat tulisan
saya ini, saya bisa menunjukkan keberpihakan saya.

Sumber
Burhanuddin, M. d. (2015). Pendidikan Samin Surosentiko. Yogyakarta: Lentera
Kreasindo.
Castles, H. J. (1969). The Samin Movement. Bijdragen tot de Taal Land en
Volkenkunde, Vol. 125, 207-240.
Graeber, D. (2020). Kepingan-Kepingan Antropologi Anarkis. Salatiga: Pustaka
Catut.
Mulawarman, A. D. (2019). Jang Oetama yang hidup. Oetoesan Hindia:
Pemikiran Kebangsaan, Vol. 1, No. 1.
Purwanto, A. B. (2009). Samin dan Kehutanan Abad XIX. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Putra, B. S. (2021). Dayak Mardaheka: Sejarah Masyarakat Tanpa Negara di
Pedalaman Kalimantan. Salatiga: Pustaka Catut.
Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Penerbit
Serambi.
Scott, J. C. (2009). The Art of Not Being Governed. New Haven & London: Yale
University Press.
Shiarishi, T. (2023). Dunia Hantu Digul: Pemolisian Sebagai Strategi Politik di
Indonesia Masa Kolonial, 1926-1941. Yogyakarta: INSISTPress.
Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Widyarsono, A. (1998). Gerakan Samin: Perlawanan Rakyat Tanpa Kekerasan.
Unisia, No. 36, XXI/IV, 81-95.
Winarno, S. (2003). Samin: Ajaran Kebenaran yang Nyleneh. Dalam Nurudin, V.
S. DS, & D. Faturrohman, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup
Masyarakat Samin dan Tengger (hal. 55-68). Yogyakarta: LKiS.

Anda mungkin juga menyukai