Anda di halaman 1dari 7

Bandit-bandit Pedesaan Jawa

Ryantino Paundra Nagari

12/335129/SA/16605

Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

2015
PENDAHULUAN

Hampir sepenuhnya dalam lembaran Sejarah Indonesia petani menjadi objek eksploitasi
baik oleh pemerintah kerajaan maupun pemerintah colonial. Sejak tahun 1800 pemerintah
kolonial mengubah cara eksploitasi dari cara lama konservatif yang memusatkan pada
perdagangan yang dikelola VOC menjadi eksploitasi yang dikelola oleh pemerintah maupun
swasta. Masa-masa sebelum datangnya perkebunan kehidupan petani relative lebih baik
karena ada keseimbangan antara pendapatan dan pajak. Akan tetapi setelah masuknya
perkebunan petani menjadi makin dikurangi kemerdekaanya dan lebih banyak dituntut untuk
bekerja di perkebunan. Pihak perkebunan dan pabrik lebih banyak menuntut pajak natura dan
tenaga kerja. Praktek–praktek tanam paksa dipraktekkan untuk mencapai output produksi
setinggi-tingginya.

Perbanditan sosial mempunyai arti protes petani untuk memodifikasi atau menghilangkan
system kolonial yang merugikan petani. Protes ini merupakan kesadaran petani baik individu
maupun kolektif dari organisasi tradisional , untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan
tanpa konfromtasi langsung dengan pemerintah atau perkebunan.

PEMBAHASAN

Terdapat tiga daerah karesidenan Banten-Batavia, Yogyakarta-Surakarta, dan


Pasuruan-Probolinggo. Terdapat dari berbagai daerah di Jawa erat kaitannya dengan
perkebunan yang merupakan refleksi kapitalisme mencari keuntungan sebesar – besarnya
dengan mengeksploitasi faktor produksi pedesaan.

Banten, karesidenan ini terdiri beberapa distrik Anyer, Cilegon, Lebak, dan Kramat Watu.
Secara historis , kesultanan Banten didirikan oleh para pendatang dari Demak, Jawa Tengah
pada 1520. Setelah banten dapat ditaklukan Fatahillah, maka pemerintahan itu diberikan pada
putranya Pangeran Hasanudin. Banten dilalui Oleh Jalan Pos yang dibuat Daendels pada
Tahun 1808 untuk menghadapi Inggris. Jalan yang dibuat dari Anyer terus ke Panarukan.
Daerah Banten Utara yang merupakan persawahan menjadi gudang beras dan mempunyai
jalur perdagangan dengan daerah luar. Penduduknya hidup tenteram sedangkan di tanah
Partikelir banyak terjadi Eksploitasi dan bukan saja perlawanan perseorang tetapi juga
perlawanan kolektif juga merupakan gerakan sosial. Karesidenan Batavia dalam sejarahnya,
Batavia didirikan pada tahun 1619 J.P.Coen semula bernama Jayakarta yang diperintah oleh
Wijayakrama. Daerah utara adalah dataran rendah berawa, ke arah selatan daerah dataran
rendah subur membentang luas ke gunung Salak dan Gunung Gedhe, utara yang subur
merupakan persawahan dan tanaman kelapa, dan di selatan perkebunan Kopi, cokelat ,
kacang, buah-buahan, kayu, dll. Bagian selatan ini merupakan tanah partikelir yang banyak
menimbulkan keresahan sosial dan perbanditan.

Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, dua kerajaan itu berdiri sejak diadakanya perjanjian
giyanti, pada tahun 1755. Kerajaan Mataram dibagi dua, kerajaan itu dihuni oleh orang Jawa
yang lebih homogen meskipun terdapat suku-suku yang bertugas di kerajaan. Bagian utara
Yogyakarta adala dataran tinggi, yan berakhir di Merapi dan Merbabu, sedangkan di utara
Surakarta merupakan dataran tinggi berkapur Kendeng. Bagian timur Surakarta dataran tinggi
berbatasan madiun gunung Lawu. Lereng Merapi ke selatan dan Lawu ke barat merupakan
dataran rendah dan subur. Penggunaan bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat menunjukan
membuktikan bahwa pada dasarnya di Jawa terdapat banyak lapisan sosial. Ada golongan
tinggi ada golongan rendah, dan golongan terahir ini yang dikategorikan petani atau wong cilik.

Pasuruan dan Probolinggo merupakan dua keresidenan di Jawa Timur yang subur , dan sejak
masa Jawa Kuno tela dijadikan area perswahan. Dataran rendah membentang luas di bagian
utara dua karesidenan itu, dan makin menuju utara terdapat dataran tinggi Malang yang tidak
disiakan sebagai perkebunan kopi. Pusat perkebunan tebu terletak di kabupaten Malang,
Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Kraksaan dan Lumajang. Di Pasuruan dan Probolinggo terdapat
dua etnik yaitu Jawa dan Madura.

Dalam perjalanan sejarah tanah-tanah di Banten dan Pasuruan dan juga Tanah Apanage atau
tanah lungguh keresidenan Yogyakarta-Surakarta banyak terjadi pergantian penguasanya.
Yang menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Sistem status di masyarakat harus
diketahui lebih mendalam guna melihat stratifikasi sosial mana dalam masyarakat itu yang
terlibat dalam perbanditan terhadap pemerintah.
Perluasan Perkebunan dan Sifat Dasar Perbanditan.

Timbulnya perkebunan dan tanah-tanah partikelir di Jawa adalah babak baru bagi
ekonomi perkebunan. Dengan kata lain terjadi perubahan perekonomian yang semula
didominasi oleh perekonomian tradisional kemudian digantikan oleh perekonomian yang
didominasi tanaman perdagangan dan mengalami perubahan sosial yang dikembangkan
sebagai perkebunan. Di Banten –Batavia banyak tanah partikelir yang mengusahakan bahan
pangan dan barang ekspor. Asal mula tanah partikelir ini berasal dari tanah-tanah penjualan
oleh VOC yang terdapat di sepanjang pantai utara termasuk daerah bogor dan pariangan.
Pertanian merupakan aset utama bagi eksistensi dan kelangsungan hidup agraris sejak
timbulnya masyarakat bermata pencaharian petani yang mengola tanah dengan intensif baik
berupa sawah atau ladang. Hasil pertanian itulah yang menghidupi masyarakat secara turun
temurun yang tidak dipisahkan dari tenaga kerja petani. Namun perekonomian rakyat dikuasai
oleh tuan-tuan tanah partikelir, di Yogyakarta-Surakarta dengan adanya penguasa kerajaan
kehidupan ekonomi rakyat ditekan oleh ekonomi kerajaan dan perkebunan. Meskipun di
Pasuruan-Probolinggo dapat dikatakan hanya ada tanah gubernemen, tetapi karena
kedudukannya sangat kuat maka ekonomi rakyat sangat ditekan untuk menghidupi ekonomi
perkebunan.

Kehidupan petani di tanah partikelir memang berat karena berbagai pajak dan layanan, disebut
cuke seperlima dari panen, harus diserahkan kepada tuan-tuan tanah Belanda dan cina, pada
dasarnya petani yang tinggal di tanah-tanah mereka harus membayar pajak antara lain berupa
sebagian hasil panen, uang, layanan tenaga kerja. Petani mendapat bagian yang kecil sekali
kalau dihitung bagian panen itu tidak cukup untuk hidup.

Kehidupan petani di Vorsttenlanden juga mengalami keadaan serupa, khususnya di daerah


subur. Pendapatan petani dihitung dengan mengurangi pendapatan dengan biaya produksi ,
termasuk pajak , penyerahan wajib, dan sumbangan

Sejak adanya perluasan perkebunan banyak diperlukan bukan hanya tenaga laki-laki, tetapi
juga tenaga wanita dan anak anak, mereka di pekerjakan di gudang tembakau, kebun kopi,
dengan upah separoh laki-laki.

Selain itu masih banyak lagi lintah darat yang menyedot upah penduduk, bukan hanya rentenir
cina tetapi juga pribumi, orang kaya di desa dan kepala-kepala desa. Dengan masuknya
dominasi perkebunan di pedesaan lembaga desa yang mengatur kehidupan masyarakat mulai
hilang ke eksistensinya. Tidak dapat ditolak lagi bahwa masuknya ekonomi perkebunan yang
mencakup factor produksi berupa tanah, tenaga kerja, perdagangan, pajak dll, merusak tertib
masyarakat yang akibatnya memberatkan beban petani. Dengan masuknya birokrasi kolonial ,
kondisi kerja sangat tergantung pada perkebunan dan pabrik.

Sifat dasar perbanditan dipandang sangat subyektif, biasanya terminology itu muncul dari
kalangan penguasa dalam hal ini pemerintah kolonial. Namun akhirnya istilah itu diterima
masyarakat karena perbuatan perbanditan bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan
sekelompok orang yang berkuasa. Selanjutnya pengertian perbanditan itu mencakup
pengertian perampok berkawan, seorang yang mencuri, membunuh dengan cara kejam tanpa
rasa malu, seorang yang mendapatkan keuntungan dengan tidak wajar. Diantara pakar yang
meneliti tentang perbanditan Hobsbawn seorang sejarawan sosial Inggris mengatakan bahwa
bandit adalah seorang dari anggota kelompok yang menyerang dan merampok dengan cara
kekerasan. Namun demikian bandit dibedakan atas bandit biasa dan bandit sosial. Sedangkan
bandit sosial adalah perbuatan seorang untuk merampok yang dilator belakangi dengan
kepentingan sosia-politik. Jelas perbanditan ini mengandung pengertian protes sosial terhadap
pemerintah atau perkebunan yang melakukan tindakan merugikan terhadap petani. Gerakan
perbanditan itu dilakukan untuk menghilangkan ketidakadilan, penekanan, dan eksploitasi
khususnya untuk perbanditan di Pedesaan Jawa.

Keadaan Daerah Perbanditan Banten-Batavia, Yogyakarta-Surakarta, Pasuruan-


Probolinggo.

Di tiap tanah yang disewa perkebunan itu timbul istilah yang berbeda-beda. Di tanah
partikelir Banten- Batavia di sebut rampok dan perusuh. Di Vorstenlanden dikenal dengan istilah
kecu, kampak, sedang di Pasuruan-Probolinggo untuk bandit dalam jumlah kecil disebut koyok.

Di Banten-Batavia para perampok dalam abad XIX ada dalam suasana perbanditan yang
didukung oleh berbagai lapisan masyarakat yang menjadi simpatisan. Lingkungan yang sangat
mendukung termasuk keberanian melawan penindas yang disertai alat-alat perlawanan serta
kekebalan. Diantara bandit terkenal ialah mas Jakaria yang mengaku sebagai keturunan orang
suci yang menurunkan bapaknya juga seorang bandit yang oleh pemerintah kolonial disebut
pemberontak. Beberapa contoh tokoh perbanditan dapat ditujukan antara lain seorang bernama
Sahab,Conat, Ija, Sakam, dan Kamaudin. Sedangkan yang paling di sebut adalah Entong Tolo
dan Entong Gendut.

Di Yogyakarta yang lebih dikenal adalah kecu, perampokan yang dilakukan lebih dari lima
orang dengan korban personil perkebunan, orang china dan kepala-kepala setempat.
Gangguan perbanditan ini sangat menakutkan, lebih-lebih para personil perkebunan yang
tinggal di desa , untuk mencegah datangnya kecu , pada tahun 1860 an residen memerintahkan
agar setiap jalan masuk desa ditutup pada malam hari dan dilakukan ronda malam. Mereka itu
diantaranya adalah Petung Pinangul, Gobang Kinosek, Kandang Jinongkeng, Dhadung Sinedel.

Di Surakarta tidak jauh berbeda kondisi ekonomi masyarakat juga tidak menyenangkan, kecu
telah beroperasi di Surakarta dengan korban para penguasa lokal dan orang orang kaya.

Di Pasuruan-Probolinggo jenis resistensi Petani yang merupakan bentuk perbanditan pedesaan


di dominasi oleh pembakaran tebu. Meskipun demikian resistensi lain juga ada tetapi
frekuensinya sangat kecil, hanya salah satu jenis perbanditan saja yaitu pencurian hewan
cukup tinggi

PENUTUP

Proses lahirnya perbanditan berasal dari petani yang terdesak dan tertekan oleh
beratnya pajak dan kerja wajib. Para kuli juga mengalami kehidupan yang tidak menentu , upah
sangat rendah, kebutuhan meningkat, dan kebutuhan konsumtif menjerat mereka dan
mendorong mereka mencari tambahan pendapatan dengan cara pintas. Manifestasi kapitalisme
agraris yang diwujudkan dalam bentuk komersialisasi agraris adalah penyerapan faktor-faktor
produksi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya yang sudah pasti merugikan
petani. Secara umum dampak yang dialami petani dengan berbagai tekanan dari perkebunan
yang kebetulan berdekatan letaknya adalah beban kerja wajib yang berat, karena hamper
seluruh waktunya dikonsumsikan untuk melayani perkebunan.

Keadaan ini merupakan kenyataan umum bahwa petani hidup dalam kemiskinan. Hampir satu
setengah abad kehidupan petani tergantung pada perkebunan, sejak persewaan tanah secara
perseorangan sampai meluasnya perkebunan besar dapat dikatakan tidak bebas dari
penderitaan.
DAFTAR PUSTAKA

Houben, Vincent J.H. “Kraton And Kumpeni: Surakarta And Yogyakarta 1830-1870. VKI vol.
164. Leiden: KITLV, 1994.

Ricklefs, M.C. “Sejarah Indonesia Modern”, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Ricklefs, M.C. “Modern Javanese Historical Tradition: A Study Of An Original Kartasura


Chronicle And Related Materials. London: School Of Oriental And African Studies, 1978.

Suhartono, “Bandit-bandit pedesaan: Studi historis 1850-1942 di Jawa”, Yogyakarta: Aditya


Media, 1995.

Suhartono, Perbanditan Pedesaan di Jawa 1850--1942, Yogyakarta: Fakultas Sastra,


Universitas Gadjah Mada, 1993.

Anda mungkin juga menyukai