Anda di halaman 1dari 8

A.

Nasionalisme di Arab Saudi

Kerajaan Arab Saudi didirikan oleh keluarga Saud pada tahun 1932. Setelah Ibnu
Saud meninggal, ia digantikan oleh putranya yang juga menganut agama Islam namun
juga menjalin hubungan dengan negara-negara Barat. Arab Saudi dihormati diseluruh
dunia Arab melalui pemeliharaan kota-kota sucinya di Mekah dan Madinah.
Kemakmuran kerajaan Arab Saudi ditopang oleh cadangan minyak buminya yang kaya.
Tahun 1982, Saud turun tahta dan digantikan oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz.

Sejak 1517 sampai dengan Perang Dunia II, Arab menjadi jajahan Turki. Raja-raja
Arab di bawah jajahan Turki disebut Syarif, sedangkan sultan Turki memakai gelar
Khalifah. Dengan adanya penjajahan Turki, bukan berarti bangsa Arab tinggal diam.
Mereka tetap berusaha melakukan perlawanan sehingga timbullah gerakan nasionalisme.

Latar belakang timbulnya nasionalisme di Arab Saudi antara lain:

1 Gerakan Wahabi, yaitu suatu gerakan agam yang memberontak terhadap Turki.
2 Timbulnya kaum terpelajar Arab yang berpaam modern.
3 Gerakan Pan Arab yang bercita-cita persatuan Arab.
4 Pengaruh dari revolusi Prancis, yaitu adanya faham Liberalisme dan Egalit.
5 Adanya Gerakan Turki Muda yang bersemboyan; berbangsa satu, berbahasa satu
dan bertanah air satu, yaitu Turki. Semboyan tersebut ibarat senjata makan tuan yaitu
bangsa Arab ingin bebas dari penjajahan Turki.

Tanah Arab waktu itu masih dihuni oleh klan-klan yang justru saling berperang
satu sama lain. Yang terbesar adalah Bani Hasyim yang juga klan sang Nabi
Muhammad. Klan Hasyim ini menjadi penguasa di Mekkah dan Madinah (atau
Hejaz). Sedangkan Klan Saud atau Bani Saud berkuasa di Najd, yang masih berada di
kawasan Arab Saudi sekarang.

Bagi Inggris, Bani Hasyim yang memimpin Hejaz sangat penting. Dalam situasi
krusial Perang Dunia I, penguasa Hejaz adalah Sharif Hussein yang diangkat sebagai
Emir (atau Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909. Tanpa campur tangan Inggris
sekali pun, kerajaan-kerjaan di jaziarah Arab sebenarnya sudah mulai tidak nyaman
dengan status mereka sebagai bawahan Kekhalifahan Ottoman di Turki.

Salah satu penyebabnya adalah kemunduran Ottoman yang dianggap dipicu oleh
penetrasi kebudayaan modern. Terkepung oleh kemajuan Eropa, Ottoman memang
mulai menyurut pengasuh dan ketangguhannya. Salah satu usaha untuk memperkuat
Ottoman adalah memulai pendekatan modern dalam berbagai bidang, dari pendidikan
hingga persenjataan. Inilah yang membuat Ottoman, dipandang dari Arab, menjadi
dekaden karena dianggap mulai menjauhi nilai-nilai Islam.

Diperumit oleh kemunculan sentimen nasionalisme Arab, maka cikal bakal


perlawanan bangsa Arab kepada Ottoman pun kian tak terbendung. Dan Inggris,
sebagai lawan Ottoman di Perang Dunia I, melihat hal itu dengan jeli. Inggris,
bersama Prancis, menganggap menghapus pengaruh Turki di jazirah Arab sebagai
keniscayaan jika ingin memperluas kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah.

Benih-benih perlawanan terhadap Turki Ottoman sudah muncul sejak 1915. Pada
bulan Maret tahun itu, Sharif Hussein mengirimkan anaknya yang bernama Faisal
untuk bergabung dengan Jami’yah Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang
bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan pemerintahan Turki Ottoman.

Dalam sejarah gerakan nasionalisme dikenal adanya dua tokoh yaitu Hussein dan
Abdul Aziz Ibnu Saud. Pada waktu terjadi Perang Dunia I pada 1914, Inggris
membutuhkan bantuan bangsa Arab untuk dapat mengalahkan Turki, maka Inggris
mengadakan perjanjian rahasia dengan Hussein. Perjanjian tersebut pada intinya
adalah jika bangsa Arab memihak Inggris, maka setelah Perang Dunia I selesai,
Inggris akan mengakui kemerdekaan Arab Saudi.

Isi perjanjian antara Hussein dengan Sir Mac Mahon antara lain:

1) Inggris berjanji akan membentuk suatu pemerintahan Arab yang merdeka baik ke
dalam maupun keluar.
2) Sementara pemerintah Arab belum dapat menyempurnakan susunan serta alat-alat
perlengkapan pemerintahannya, Inggris berjanji akan melindungi pemerintah Arab
dari setiap campur tangan asing dan mempertahankannya dari serangan asing.
3) Sementara pemerintah Arab belum mempunyai alat-alat perlengkapan yang cukup,
Basrah akan diletakkan di bawah penduduk Inggris dengan ketentuan bahwa Inggris
akan membayar kepada pemerintah Arab sejumlah uang yang akan ditentukan
pemerintah Arab sesuai dengan kebutuhan.
4) Selama dalam keadaan perang, Inggris berjanji akan memenuhi segala kebutuhan
pemerintah Arab, baik kebutuhan militer, dan kebutuhan finansial lainnya.
5) Inggris berjanji akan memutuskan jalan kereta api Arab-Turki untuk mengurangi
tekanan musuh terhadap bangsa Arab.

Tapi, Inggris rupanya sudah menyiapkan strategi lain. Iming-iming untuk Sharif
Hussein itu sebenarnya cuma akal bulus belaka supaya Inggris memperoleh tambahan
kekuatan untuk melawan Turki Ottoman.

Tanpa sepengetahuan Sharif Hussein, Inggris pada 9 Mei 1916 itu juga meneken
Perjanjian Sykes-Picot Agreement dengan Prancis. Isinya, wilayah Arab nanti akan dibagi
dua. Inggris mendapatkan Irak, Yordania, Haifa (Israel), dan sekitarnya, sementara
Prancis diberi Suriah dan Libanon. Adapun sebagian besar wilayah Palestina akan berada
dalam kontrol bersama (Gordon Martel dalam Tirto: https://tirto.id/peran--orang--inggris-
di-balik-lahirnya-arab-saudi-cjRu diakses pada 7 April 2018). Selain itu, Inggris juga
menandatangani Perjanjian Balfour yang isinya memberikan hak kepadaYahudi
internasional untuk mendirikan negara zionis di Palestina jika Turki Ottoman sudah
dikalahkan.

Dalam rangka memenuhi perjanjian dengan Inggris, maka Hussein memberontak


kepada Turki dan pada 7 Juni 1916, Hussein memproklamirkan kemerdekaan tanah Hejaz
dan pembentukan negara Arab merdeka pada 27 Juni 1916 dan Hussein sebagai raja
Arab. Perlawanan terhadap Turki dilanjutkan. Inggris mendapat bantuan dari anak-anak
Hussein yang bernama Abdullah dan Faisal. Akhirnya Turki dapat dikalahkan dan
menyerah pada 30 Oktober 1918.

Kemudian Thomas Edward Lawrence yang terkenal dengan sebutan Lawrence of


Arabia, mengakui terus terang bahwa Negara yang dibelanya dengan darah, air mata dan
kesetiaan, yaitu Inggris telah melakukan penghianatan terhadap dirinya dan penipuan
kepada bangsa Arab. Lawrence yang telah hidup bersama bangsa Arab dan menyalakan
revolusi Arab melawan Khilafah Turki atas dorongan Inggris dalam bukunya Seven of
Wisdom yang ditulis 1939 menyatakan:

"Aku terpaksa ikut ambil bagian melakukan penipuan ini karena yakin bantuan Arab sangat
kita butuhkan untuk mendapat kemenangan secara cepat dan murah di Timur. Aku berpikir,
lebih baik menyalahi janji daripada kalah sehingga aku terus meyakinkan orang-orang Arab
akan kejujuran Inggris untuk mematuhi semua perjanjian dengan bangsa Arab. Tetapi
akhirnya aku menyesal dan malu. Perasaan yang selalu terus menghantuiku walaupun aku
telah meninggalkan tanah Arab dan kembali ke Inggris," demikian T.E Lawrence.
(Isawati dalam Maryati, 2012: 100)

Setelah Perang Dunia I selesai, Hussein disodori isi perjanjian Sykes-Picot


Agreement yang menyatakan bahwa Palestina dan Irak menjadi tanah Inggris, sedangkan
Syria menjadi mendat Prancis. Hussein dan rakyat Arab sangat marah, apalagi setelah
mereka mengetahui bahwa tanah Palestina akan dijadikan National Home bagi orang
Yahudi. Pada akhirnya karena desakan Inggris, Hussein menerima perjanjian tersebut.
Sikap lemah dari Hussein tersebut menimbulkan kemarahan besar dari seluruh rakyat
Arab sehingga Hussein dipaksa turun takhta dan digantikan putranya yang bernama Ali
untuk menjadi raja, tetapi Ali kemudian dapat dikalahkan oleh kaum Wahabi di bawah
pimpinan Abdul Aziz Ibnu Suud, raja dari Najd. Ali dan Hussein kemudian melarikan diri
keluar negeri. Abdul Aziz Ibnu Suud kemudian menjadi raja Arab, tetapi wilayahnya
tidak termasuk Palestina, Syria dan Irak.

Perjuangan Abdul Aziz Ibnu Suud mendapat dukungan dari Inggris karena tujuan
Inggris adalah melenyapkan Hussein, tetapi pada perkembangannya Inggris gentar
terhadap Abdul Aziz Ibnu Suud dan kepada anakHussein yang bernama Abdullah dan
Faisal. Untuk meredam perjuangan Abdul Aziz Ibnu Suud dan anak-anak Hussein, maka
Inggris melancarkan sebuah taktik, yaitu:

 Membentuk daerah-daerah mandat di Palestina, Transyordania dan Irak untuk


menahan kekuasaan Abdul Aziz Ibnu Suud
 Mengangkat Abdullah sebagai Amir di Transyordania dan Faisal sebagai raja Irak

Taktik devide et impera Inggris dimaksudkan agar ada perpecahan antara Abdul Aziz
Ibnu Suud dengan anak-anak Hussein. Abdul Aziz Ibnu Suud mendapat perlawanan dari
Inggris karena Inggris takut jika Abdul Aziz Ibnu Suud akan menyerang Aden milik
Inggris. Oleh karena itu, Yaman dijadikan negara merdeka oleh Inggris dan berfungsi
sebagai negara landasan atau buffer staat antara negara Suud Arabia dengan Aden.

Pemerintah Abdul Aziz Ibnu Suud mendatangan banyak medernisasi di tanah Arab.
Jalan-jalan raya dibangun, alat-alat transportasi modern mulai digunakan. Kesehatan
diperbaiki dan sarana pendidikan ditingkatkan dan diperluas. Kekayaan Abdul Aziz Ibnu
Suud diperoleh karena konsesi-konsesi yang diberikan kepada perusahaan minyak
Aramco yang mengerjakan pertambangan minyak di pantai timur Arabia, dekat
kepulauan Bahrein.

B. Nasionalisme di Syiria dan Lebanon

Kekalahan Turki dalam perang dunia I, menyebabkan Turki harus menyerahkan


sebagian wilayah kekuasaannya berada dibawah pengawasan Liga Bangsa-Bangsa.
(Khoury, 2004:429). Prancis mendapatkan hak atas Levant (istilah untuk wilayah Suriah
dan Lebanon) dibawah pengawasan Liga Bangsa-Bangsa berdasarkan keputusan
Konferensi San Remo yang Akta mandatnya ditanda tangani di London pada 24 Juli
1922.

Tumbuhnya nasionalisme Arab di Suriah menjadi kekecewaan tersendiri bagi


Prancis karena tidak sesuai dengan misi budaya yang diusungnya di Levant, selain itu
masyarakat Suriah pada saat itu lebih setuju berada dibawah mandat Inggris atau Amerika
dari pada Prancis. Melihat kondisi tersebut, Prancis selanjutnya menyerang Damaskus
dan mengusir Emir Faisal sebagai pemimpin tentara padang pasir yang nasionalis yang
memiliki kekuasaan atas daerah pedalaman Suriah pada saat itu. (Khoury, 2004:429-431)

Setelah berhasil menguasai Suriah secara utuh, Prancis mulai melaksanakan politik
divide et impera dengan memecah belah wilayah Suriah menjadi empat bagian yaitu
Lebanon Raya, negara Damaskus meliputi Jabal Druze, Aleppo termasuk sanjaq
Alexandretta dan wilayah Lattakia atau wilayah Alawi. Pengawasan atas Levant sendiri
dilakukan oleh Komisaris Tinggi Prancis.

Dari keempat wilayah yang dibentuknya, Prancis relatif berhasil di Lebanon dan
Lattakia. Penduduk Lebanon yang mayoritas beragama Kristen lebih menikmati status
terpisahnya dan lebih berharap mendapat perlindungan dari Prancis. Pada tahun 1925,
Dewan Perwakilan Lebanon bentukan Prancis membuat rancangan undang-undang yang
disahkan menjadi undang-undang dasar oleh komisaris tinggi pada Mei 1926 dan
mensahkan system negara parlementer mengikuti pola barat. Dalam pasal 30
konstitusinya menyebutkan mengenai hubungan republic yang bergantung pada Prancis.
Konstitusi tersebut diamandemen oleh pemerintah Lebanon pada 1927 dan 1929.

Tahun 1931, Lebanon mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan terjadinya


peningkatan angka pengangguran. Hal tersebut memaksa komisaris tinggi Prancis
menghapus konstitusi dan membentuk pemerintahan sementara untuk membenahi
keadaan kas negara. Krisis tersebut juga membuat Prancis mengubah Lebanon menjadi
negara korporatif semiotoriter, selanjutnya komisaris tinggi yang baru, Count de Martel
memberlakukan konstitusi baru Lebanon pada 2 Januari 1934 yang isinya tidak
menyatakan agama resmi negara, menjamin perwakilan profesi, membatasi wewenang
parlemen, memperkuat kekuasaan eksekutif dan menjaga keuntungan negara dari
pembelanjaan yang tidak bertanggung jawab.

Selanjutnya secara bertahap tradisi baru dibentuk yaitu Presiden harus orang Katolik
Maronit dan perdana menterinya orang Muslim Sunni tujuannya agar ada keseimbangan
diantara dua kelompok mayoritas Lebanon. Pemberlakuan Millet atau zakat disesuaikan
dengan kebijakan agama masing-masing. Kekuatan politik di Lebanon terbagi diantara
pemimpin agama dan partai politik dan terdapat kelompok bersama dengan Prancis. Pada
perkembangan selanjutnya muncul kelompok yang menentang dan menuntut
dihapuskannya pemerintahan mandat. (Lenczowski, 1993:199)

Pada 9 September 1936 enam tokoh nasionalis dan moderat dari Suriah berangkat
ke Prancis untuk membuat perjanjian dengan pihak pemerintah Prancis yang pada saat itu
diwakili oleh Menteri Luar Negeri Prancis, Vienot. Isi perjanjian yang berhasil disepakati
dan ditandatangani pihak Prancis dan Suriah yang pada saat itu diwakili oleh Hasyim Bey
Al Atassi adalah:

(a) Upaya Suriah untuk merdeka dalam waktu tiga tahun dan meminta Prancis untuk
mendukung masuknya Suriah dalam keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa

(b) Prancis dan suriah mengadakan aliansi militer

(c) Hak Prancis untuk menggunakan dua pangkalan udara Suriah (d) Izin atas angkatan
darat Prancis untuk berada di daerah Alawi dan Druze selama lima tahun termasuk
pengakuan atas distrik-distrik tersebut kedalam wilayah Suriah

(e) Instruktur militer Prancis diakui sebagai penasihat militer Suriah

(f) Prancis harus memasok senjata dan perlengkapan militer bagi Suriah

(g) Apabila terjadi perang, Suriah dan Prancis harus bekerjasama melindungi dan
memasok pangkalan udara Prancis serta menyediakan komunikasi dan transit.

Dalam surat-surat lampiran lainnya, Suriah juga setuju untuk merekrut para
penasihat dan ahli teknik dari Prancis, membentuk system hukum khusus bagi
perlindungan orang asing dan duta besar Prancis diistimewakan dari para perwakilan
diplomatik lainnya. Ketetapan selanjutnya adalah: (1) Meskipun Suriah berhak atas
Lattakia dan Jabal Druze, otonomi wilayah tersebut tetap di jamin; (2) Biro khusus
didirikan bagi sekolah asing, lembaga amal dan misi arkeologi; (3) Perjanjian dibuat guna
merundingkan perkembangan universitas yang ada; (4) Suriah berjanji akan menghormati
hak-hak resmi dan kekayaan pribadi milik bangsa Prancis; (5) Persetujuan dibidang
moneter; (6) Perjanjian keuangan. (Lenczowski, 1993:201)

Perjanjian yang sama juga dibuat dan disahkan Prancis dengan Lebanon, yang
ditanda tangani oleh Komisaris Tinggi Count de Martel dan Emile Adde di Beirut 13
November 1936, isinya sendiri merupakan duplikat perjanjian dengan Suriah kecuali
masalah ketentuan teritorial dan minoritas sehingga tidak ada batasan bagi tentara Prancis
dalam hal penempatannya.

Optimisme para kaum nasionalis di Suriah dan Lebanon kembali suram karena
pertama Prancis menolak meratifikasi perjanjian. Perubahan peta politik Prancis dan
masalah keamanan nasional yang terancam menjadi faktor pendukung hal tersebut. Saat
itu Prancis khawatir mendapat serangan dari Jerman dan Italia sehingga Prancis tidak
mau kehilangan pangkalan militernya di Mediterania Timur. Keduanya adalah karena
Suriah tetap memperjuangkan upaya persatuan dan kesatuan bangsanya.

Penolakan Prancis untuk meratifikasi perjanjian yang dibuat tahun 1936


mempengaruhi situasi politik di Suriah dan Lebanon pada saat itu, tetapi karena kuatnya
pengaruh Prancis dikedua wilayah tersebut kalangan politisi dari kedua belah pihak masih
menunjukkan loyalitasnya terhadap Prancis sehingga menjelang pecahnya perang dunia II
kekuatan pangkalan militer Prancis di Mediterania Timur masih kuat. Dipihak lain pihak
para masyarakat Arab saat itu justru sangat membenci Prancis dan sekutunya, hal tersebut
dilatar belakangi oleh pengkhianatan Prancis terhadap bangsa Arab menyusul berakhirnya
perang dunia I, dukungan terhadap Turki dalam masalah sanjaq Alexandretta, tidak
diratifikasinya perjanjian dengan Suriah dan Lebanon, serta pengakuan terhadap
keberadaan zionisme di Palestina.

Pada 8 Juni 1941, pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Sir Henry Haitland
Wilson menyerang Suriah melalui Palestina, transyordania dan Irak, tetapi unsur-unsur
Prancis bebas menyertai penyerangan tersebut, keadaan tersebut dikarenakan pada saat
itu Suriah termasuk juga Lebanon berada dibawah kekuasaan Vichy dan pejabat Prancis
yang anti-Inggris dan menolak Komite Prancis Bebas bentukan Jenderal de Gaulle .
Sehari setelah invasi, panglima Prancis, Jenderal Catroux menyatakan bahwa pemerintah
Prancis Bebas akan mengakhiri mandatnya atas Suriah dan Lebanon. Dengan demikian
keduanya akan merdeka dan akan merundingkan hubungan timbal balik dengan Prancis.
Pada saat yang sama Inggris pun setuju dengan pernyataan Prancis tersebut. Selanjutnya
Jenderal de Gaulle menunjuk jenderal Catroux sebagai “Delegasi Jenderal dan Berkuasa
Penuh Prancis Bebas di Levant”, menggantikan jabatan komisaris tinggi pada 24 Juni
1941. Dalam upaya tersebut Prancis menyertakan Inggris didalamnya, namun konsep
mengenai kemerdekaan Suriah dan Lebanon antara Inggris dan Prancis ternyata berbeda
sehingga Jenderal de Gaulle melakukan penangguhan. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh
pihak Prancis untuk kembali memperkuat posisi istimewanya atas Suriah dan Lebanon.
Perbedaan antara Prancis dan Inggris selanjutnya tidak dapat disembunyikan sehingga
menimbulkan kecurigaan keduanya dalam masalah penyelesaian Levant.

Pada 28 September 1941, Jenderal Catroux memproklamasikan kemerdekaan


Suriah, yang isi naskahnya adalah:

6 Suriah berhak menjadi negara merdeka dan berdaulat;


7 Suriah berkuasa menunjuk perwakilan diplomatiknya;
8 Suriah berhak menyusun angkatan perangnya;
9 Suriah bersedia membantu Prancis selama perang;
10 Segala syarat terdahulu dengan perjanjian Prancis-Suriah yang baru yang
menjamin kemerdekaan Suriah.

Tindakan tersebut juga diikuti dengan proklamasi kemerdekaan bagi Lebanon pada
26 November 1941. Isi naskahnya hampir sama dengan isi naskah proklamasi Suriah.
Untuk pelaksanaanya Jenderal Catroux mengangkat Seikh Taj ad-din sebagai presiden
Suriah dan Alfred Naccache sebagai presiden Lebanon.

Menaggapi hal tersebut, Inggris mengakui kemerdekaan kedua negara tersebut


secara de jure, dan mengangkat Jenderal Spear sebagai duta besar pertama untuk kedua
negara tersebut. Negara-negara Arab lainnya justru merasa ragu dengan kejadian tersebut,
dilain pihak Amerika tidak langsung mengakui kemerdekaan kedua negara baru tersebut
tetapi bersikap menunggu proses berakhirnya mandat secara resmi dan tercapainya
keepakatan resmi bilateral Prancis dengan Suriah dan Lebanon. (Lenczowski, 1993:203-
205)

Di lain pihak, Prancis ternyata masih belum siap untuk mengalihkan fungsi
pemerintahan secara langsung kepada kedua negara tersebut. Ditundanya penyusunan
konstitusi dan penunjukkan presiden oleh pihak Prancis menimbulkan pertentangn baru
dalam masyarakat, terutama dari para kelompok nasionalis dan kelompok sayap-kiri;
sosialis dan komunis. Akibat kondisi tersebut, pemerintah Prancis akhirnya memutuskan
memberlakukan kembali konstitusi lama yang pernah dibuat pada Maret 1943 dan
mengupayakan diselenggarakannya pemilihan umum sesegera mungkin. Meski demikian
kemerdekaan secara sempurna ternyata belum dirasakan oleh kedua negara tersebut
karena pengawasan Prancis yang masih ketat terhadap kelangsungan pemerintahan
keduanya. Delegasi Jenderal masih memiliki hak untuk mengeluarkan dekrit guna
membubarkan parlemen dan menghapuskan konstitusi dengan alasan sesuai mandat Liga
Bangsa-Bangsa. Prancis juga masih menguasai tata tertib pemerintahan dalam negeri,
politik luar negeri, pertahanan dan sensor atas jurnalistik. Lebih jauh lagi agen intel
Prancis Services Speciaux masih banyak berkeliaran di kedua negara tersebut.

Banyaknya para kaum nasionalis yang berada di kursi parlemen di kedua negara
tersebut memancing untuk bereaksi atas kondisi tersebut. Parlemen Lebanon, pada 8
November 1943 mengajukan sebuah resolusi untuk menghapuskan segala kekuasaan
Prancis dari konstitusinya yang mengakibatkan ditahannya presiden republik dan seluruh
anggota kabinet dilanjutkan penunjukkan Emile Edde sebagai kepala negara
pemerintahan Lebanon oleh delegasi Jenderal Prancis baru, Helleu. Keadaan tersebut
memancing gelombang demonstrasi anti Prancis di Lebanon serta tekanan dari Inggris.
Inggris melalui Jenderal de Gaulle memanggil Helleu dan mengirim kembali Catroux,
tetapi pada akhirnya para pemimpin Lebanon ditangkap dan dipecat dari jabatannya.

Krisis yang sama juga terjadi di Suriah, pada 24 Januari 1944, presiden republik dan
para anggota parlemen menyatakan untuk menghapus pasal 116 konstitusinya yang
berkaitan dengan wewenang prancis. Akan tetapi tindakan tersebut tidak sampai
menimbulkan gelombang revolusi seperti di Lebanon. Hal tersebut dikarenakan
disepakatinya perjanjian oleh Komite Pembebasan Nasional.

Tanggal 22 desember 1943 terjadi peralihan kekuasaan delegasi Jenderal kepada


pemerintahan setempat. Proses peralihannya sendiri berlangsung pada tahun 1944, tetapi
Troupes Speciales tetap menjadi daerah khusus yang dikontrol oleh Prancis. Setelah itu
Prancis menuntut kespakatan dengan Suriah dan Lebanon mengenai: (1) Keselamatan
lembaga kebudayaan Prancis, (2) Pengakuan atas hak-hak ekonominya, dan (3)
Pengakuan atas kepentingan strateginya. Perundingan mengenai hal tersebut rencananya
akan dilaksanakan pada 19 Mei 1945, namun empat hari sebelum hal tersebut terwujud
pasukan baru Prancis mendarat di Beirut yang memancing kembali demonstrasi di kedua
negara, Suriah dan Lebanon. Suriah dan Lebanon mengambil tindakan dengan melakukan
pemutusan hubungan dengan Delegasi Jenderal Prancis, Jenderal Beynet.

Keadaan tersebut membuat Inggris turun untuk membela suriah dan Lebanon. Akhir
Mei 1945 Perdana Menteri Churchill mengimbau Jenderal de Gaulle agar menarik
pasukannya dari Levant dan Prancis menurut namun perundingan perjanjian tidak pernah
diperbarui. Tumbuhnya kepercayaan diri akibat dukungan Inggris membuat suriah dan
Lebanon menyerukan deklarasi bersama guna mengusir semua warga negara Prancis dari
Levant dan mengalihkan Troupes Speciales kedalam kendali nasional mereka pada 21
Juni 1945, selanjutnya Prancis menyetujui keputusan tersebut secara resmi pada 7 Juli
1945. Mulai saat itu status kemerdekaan kedua negara mendapatkan pengakuan
internasional secara eksplisit melalui sejumlah tindakan diplomatik. (Lenczowski,
1993:206-207)

Anda mungkin juga menyukai