Anda di halaman 1dari 6

TUGAS REVIEW BUKU

“KOTA-KOTA DI JAWA (IDENTITAS, GAYA HIDUP, DAN


PERMASALAHAN SOSIAL)”
Sub Bab Urbanisasi dan Migrasi Di Karisidenan Surabaya Akhir Abad Ke-19 dan Awal
Abad Ke-20

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Sejarah Kota

Dosen : I Putu Hendra Mas Martayana S. Pd., MA

Disusun Oleh :

Milzam Fahri NIM 1614021005

Uswatun Hasanah NIM 1614021016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2018
IDENDTITAS BUKU

Judul Buku : Kota-Kota Di Jawa (Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial)

Penulis : Sri Margana dan M. Nursam

Penerbit : Penerbit Ombak

ISBN : 978-602-8335-28-7

Tahun Terbit : 2010

Cetakan : Pertama, Tahun 2010

Tebal : X + 341 halaman

Keresidenan Surabaya
Keresidenan Surabaya pada akhir abad ke-19 menjadi salah satu kota yang cukup
pesat perkembangannya setelah Undang-Undang Agraria dikeluarkan Tahun 1870.
Pertambahan Penduduk di Keresidenan Surabaya seiring dengan lajunya urbanisasi dan
migrasi. Terjadi perluasan pabrik gula di wilayah itu yang mengakibatkan urbanisasi dan
migrasi meningkat, sehingga penduduk juga semakin padat. Kepadatan penduduk terjadi
disekitar pabrik-pabrik gula yang kemudian berpengaruh terhadap pola permukiman.

Urbanisasi dan Migrasi Di Karisidenan Surabaya Pada Akhir Abad Ke-19 dan
Awal Abad Ke-20

Dalam sub bagian ini poin yang dibahas adalah daya tarik Karisidenan Surabaya
bagi migrasi dari daerah lain yang didukung pula dengan dikeluarkannya Agrarische Wet
Tahun 1870 (bahasa Belanda) yaitu Undang-Undang Agraria Tahun 1870 oleh
Engelbertus de Waal sebagai reaksi atas kebijakan Hindia Belanda di Jawa yang tidak
setuju dengan penerapan tanam paksa dan kesewenangan pemerintah Hindia Belanda
mengambil alih tanah milik rakyat. Oleh sebab itu, engelbertus de Waal selaku Menteri
Jajahan ingin membantu penduduk Jawa sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah
jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Jawa.
Secara faktual berdirinya perkebunan tebu akibat didukung adanya kondisi
geografis di Jawa, hal tersebut menyebabkan pola permukiman desa dapat berubah
karena desa dapat mengalami reorganisasi. Selain itu juga kemajuan jalur komunikasi,
seperti pembuatan jalan-jalan baru, peletakkan rel-rel kereta api dan jalan raya,
pengenalan alat-alat transportasi baru juga merupakan dorongan untuk proses perubahan
sosial. Pembukaan jalur komunikasi biasanya merupakan kelanjutan dari pembukaan
perkebunan untuk memperlancar hubungan sosial ekonomi diantara perkebunan tebu
bersama pabrik gula hal tersebut juga terjadi di Karesidenan Surabaya dan sekitarnya.
Masuknya perkebunan tebu ke desa berarti terjadi pergumulan antara petani
dengan perkebunan. Hal itu menyebabkan petani sangat tergantung hidupnya dari
perkebunan, sebab sejak itu proses monetasi semakin lancar dengan mulai diperkenalkan
kerja upah. Terlebih apabila dibukanya perkebunan baru berarti membuka pula
kesempatan kerja baru di berbagai daerah.
Dalam hal ini terjadi urbanisasi karena pengaruh perubahan stuktural dalam sektor
mata pencaharian. Hal ini daapat dilihat pada banyaknya penduduk desa yang
meninggalkan pekerjaannya di bidang pertanian, beralih bekerja menjadi buruh atau
pekerja non agraris di kota.
Menjelang akhir abaad ke-19, perpindahan penduduk secara urbanisasi maupun
transmigrasi di kawasan Jawa Timur semakin mudah dan lancar. Kelancaran perpindahan
mereka itu didukung oleh semakin meningkatnya sarana dan prasarana transportasi
modern yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda dan pihak swasta. Pembagunan
itu terutama pembuatan jalan-jalan kereta api, jalan-jalan raya dan jembatan-jembatan.
Tujuan pokok pembagunan pabrik-pabrik gula, tetapi hasilnya juga dapat dirasakan oleh
masyarakat pribumi.
Banyaknya sarana transportasi dalam masyarakat, membuat pemerintah
memberlakukan pajak, tak terkecuali pada kereta kuda. Pajak ini ditarik untuk menambah
biaya perbaikan jalan raya akibat seringnya dilewati oleh kereta kuda. Saat itu, kereta
kuda juga menjadi alternatif transportasi yang banyak diminati oleh masyarakat, terutama
kalangan menengah atas yang umumnya adalah orang Cina dan Jawa.
Urbanisasi dan migrasi diwilayah Karesidenan Surabaya mengakibatkan
peningkatan kepadatan penduduk, terutama di sekitar pabrik-pabrik gula yang kemudian
berpengaruh terhadap pola pemukiman. Maka, timbullah “kampung–kampung” disekitar
pabrik–pabrik gula yang padat dengan rumah–rumah penduduk pada daerah pedesaan.
Sementara itu pemukiman di kota Surabaya yang semakin padat penduduknya,
menimbulkan suatu problem yang harus diselesaikan oleh pemerintah Hindia Belanda
maupun pihak swasta. Untuk mengatasi kesulitan masalah pemukiman pada tahun 1906
Pemerintah Kota praja Surabaya membeli tanah seluas 130 ha di Gubeng Jepit untuk
dikembangkan sebagai perumahan. Kemudian pada tahun 1916 membeli tanah seluas 138
ha di Ketabang Utara dan Selatan serta 550 ha di Ngagel yang lebih dikenal dengan nama
Jagir.1
Pertumbuhan industri gula mendorong perkembangan yang membutuhkan
keahlian kerja bagi kaum urban di Jawa. Bertambahnya permintaan komoditas gula di
pasar Eropa, hal itu menyebabkan bertambahnya tenaga kerja untuk keperluan pabrik
gula. Dalam periode ini, pabrik-pabrik gula di kawasan Jawa Timur telah mengalami
modernisasi, alasan inilah ada hubungan antara modernisasi dan urbanisasi. Alasan
terpenting, modernisasi mencakup industrialisasi, dan industrialisasi secara khas
ditempatkan di kawasan urban, dengan mengalirnya penduduk yang mencari keuntungan
dari sektor ekonomi yang ditimbulkan. Pada 1930 angka urbanisasi di Kota Surabaya
mencapai 60%. Masyoritas kaum migrant berasal dari Madura
Menurut catatan Kielstra, perpindahan penduduk dari Madura ke Jawa pada 1850
setiap musim antara 20.000 hingga 30.000 pekerja dengan upah f.0,25 per hari.
Sedangkan pada saat mereka bekerja diperkebunan teh atau gula mereka mendapatkan
upah f. 0,40 per hari. Migrasi ini akibat dari ekologi Pulau Madura yang tidak
menguntungkan sehingga memaksa mereka mencari pekerjaan keluar.
Banyak dari perusahaan-perusahaan perkebunan memberikan janji-janji manis
kepada orang-orang Madura yang mau melakukan migran. Begitupun bagi mereka yang
berhasil mengajak sanak saudara mereka bermigrasi ke Jawa Timur untuk bekerja di
perkebunan. Salah satu janjinya yakni apabila mereka banyak memasukkan tenaga kerja,
mereka akan diberi tanah garapan yang luas dan akan dijadikan mandor perkebunan.
Pada waktu itu jabatan mandor merupakan jabatan yang banyak diharapkan oleh para
penduduk pribumi.

1
Sudarmawan, Widi dan Purnawan Basundoro: AKTIVITAS GEMENTEE SURABAYA TAHUN 1906-1942
Di samping dampak sosial ekonomi, mobilitas penduduk juga membawa dampak
sosial budaya, dalam kaitannya dengan intervensi nilai budaya baru yang dibawa migran
dari daerah tujuan. Perubahan-perubahan kebudayaan biasanya telah terjadi karena
adanya kontak-kontak hubungan dengan kebudayaan lain yang lebih tinggi tingkat
efisiensi dan ekonomi dari teknologinya, yang biasanya berlangsung melalui proses-
proses difusi atau penyebaran unsur-unsur kebudayaan. 2 Proses ini menghasilkan unsur-
unsur kebudayaan yang merupakan perpaduan dengan atau pengaruh dari kebudayaan
yang datang dari luar. Proses ini tejadi bila warga masyarakat setempat menganggap
bahwa peminjaman unsur-unsur kebudayaan dari luar tersebut menguntungkan bagi
kebudayaan mereka.

Komentar :
Buku ini memiliki kelebihan diantaranya bahasa yang digunakan mudah untuk
dimengerti. Dalam sub bab keempat penulis memaparkan berdasarkan data-data
kesejarahan, salah satunya adalah studi pustaka. Selain itu pada setiap bab nya terdapat
kesimpulan dari penulis dan juga terdapat daftar pustaka. Hanya saja terdapat beberapa
kata asing yang berbahasa Belanda yang sulit dimengerti oleh pembaca karena tidak
tersediannya terjemahan oleh penulis.
Jika dibandingkan dengan buku karya Purnawan Basundoro dengan judul
“Pengantar Sejarah Kota” dalam sub bab ke IX yang membahas tentang “Urbanisasi dan
Kondisi Masyarakat Urban di Perkotaan”, buku ini jauh lebih baik karena data-data yang
digunakan dalam menggambarkan keadaan kota di Jawa Timur (Khususnya Surabaya)
lebih banyak digunakan.

2
Kresnan Hadi, Andreas : MIGRASI ORANG-ORANG MADURA KE JAWA TIMUR TAHUN 1870-1930
BAB III
SIMPULAN
Dalam buku Kota-Kota di Jawa (Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial)
dalam sub bagian keempat tentang urbanisasi dan migrasi di Keresidenan Surabaya akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 belum bergerak jauh dalam memaparkan kondisi awal
mula Karesidenan Surabaya sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Agraria Tahun
1870. Pemamparan hanya bermula pada faktor-faktor daya tarik Karesidenan Surabaya
kepada para migrasi sampai pada perkembangan kondisi sosial yaitu pertumbuhan
penduduk di Kota Surabaya pada yahun 1930.
Buku ini dianggap memberikan gambaran penting untuk mengetahui Karesidenan
Surabaya akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, ada tiga point yaitu pertama faktor
yang menarik dari Kota Surabaya untuk para migrasi dari luar daerah sehingga
menjadikan Surabaya sebagai salah satu tempat untuk mencari mata pencaharian, kedua
adalah faktor penyebab para Migrasi, beralih ke Karesidenan Surabaya, kebanyakan
dijelaskan karena faktor kondisi geografis. Ketiga adalah mengenai perkembangan
penduduk di Karesidenan Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai